Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2006.

Anoraga, Pandji dan Piji Pakarti. Pengantar Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Anwar, Jusuf. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi (Edisi Pertama). Bandung: PT. Alumni. 2008.

____________, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia. Bandung : PT Alumni. 2008.

Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius. 2000.

Bursa Efek Indonesia. Sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia Kelas Basic (Struktur Pasar Modal, Pengetahuan Umum tentang Efek, Reksadana). Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 2005.

De Smalen, B. Bursa Efek, Perusahaan Efek dan Lalu Lintas Efek. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1997.

Dahlan Al Barry, M. Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Arkola. 1995.

Edilius dan Sudarsono. Kamus Ekonomi Uang dan Bank. Jakarta : Rineka Cipta. 1994.

F.K., Reilly. Investment Analysis and Portofolio Management, Second Edition. The Drydan Press. 1984.

Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996.

___________. Dinamika Teori Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. 2007.

Gede Ary Suta, I Putu. Menuju Pasar Modal Modern. Jakarta : Sad Satria Bhakti. 2000.

Gisymar, Najib A. Insider Trading dalam Transaksi Efek. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1998.


(2)

Hadibroto, H.S., dan Oemar Witarsa. Sistem Pengawasan Intern. Jakarta : BPFE. 1984.

Hartini, Rahayu. Hukum Komersial. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. 2005.

Iskandar, Irfan. Pengantar Hukum Pasar Modal Bidang Kustodian. Jakarta : Djambatan. 2000.

Kansil, C.S.T., dan Christine S.T. Kansil. Modul Hukum Dagang. Jakarta: Djambatan. 2001.

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Bina Cipta. Tanpa Tahun.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Rajawali Pers. 2010. Katoppo, Aristides, dkk. Pasar Modal Indonesia : Retrospeksi Lima Tahun

Swastanisasi BEJ. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1997.

Manurung, Mandala, dan Prathama Rahardja. Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004.

Martin, Jhon D. (Haris Munandar Penterjemah). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Cet.2. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 1993.

M. Friedman, Lawrence. American Law An Introduction (Second Edition). Jakarta: PT Tata Nusa. 2001.

M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.1987.

Nasarudin, M. Irsan dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Prenada Media. 2004.

Nasution, Bismar. Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

_______________. Hukum Kegiatan Ekonomi (I). Bandung : BooksTerrace & Library. 2007.

Prasetio, Gunawan. Etika Bisnis. Yogyakarta : Simon & Schuster. 1997. Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia. 2010.

Rasyidi, Lili, dan l.B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cet. 2. Bandung. 2003.


(3)

Ratih Sulistyastuti, Dyah. Saham dan Obligasi Ringkasan Teori dan Soal Jawab. Yogyakarta : Universitas Atmajaya. 2002.

Ridwan, Juniarso, dan Achmad Sodik Sudrajat. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung : Nuansa, Cetakan I. 2009.

Rindjin, Ketut. Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2000.

R.J., Shook, and L. Shook Robert. The Wall Sreet Dictionary. New York: New York Institute of Finance. 1990.

Rokhmatussa’dyah, Ana, dan Suratman. Hukum Investasi dan Pasar Modal. Jakarta : Sinar Grafika. 2010.

Rusdin. Pasar Modal. Bandung : Alfabeta. 2005.

Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesia. Jakarta : Dictionary Modern English Press. 1989.

Saliman, Abdul R., Hermansyah dan Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan (Teori dan contoh kasus). Jakarta : Kencana. 2008.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus). Jakarta: Kencana. 2010.

Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi. Bandung : Nuansa Aulia, Cetakan II. 2010. Setiawan, Albab. Otoritas Jasa Keuangan. jakarta: jas and partner lawyer office.

2012.

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan (Kebijakan Moneter dan Perbankan). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2005.

Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas. Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. 2011.

Simatupang, Mangasa. Pengetahuan Praktis Investasi Saham dan Reksa Dana. Jakarta : Mitra Wacana Media. 2010.

Simorangkir, O.P. Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Sitompul, Asril. Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995.


(4)

Sitompul, Asril, Zulkarnain Sitompul, dan Bismar Nasution. Insider Trading, Kejahatan Di Pasar Modal. Jakarta: Books Terrace & Library. 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2003.

Sri Imaniyati, Neni. Hukum Bisnis ( Telaah tentang pelaku dan kegiatan ekonomi). Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009.

Sumantoro. Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1990.

Sunarmi. Modul Perkuliahan: Hukum Pasar Modal. Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2009.

Surya, Indra, dan lvan Yustiavandana. Penerapan Good Corporate Governanance Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.

Sutedi, Andrian. Segi-Segi Hukum Pasar Modal. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2009. Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar Modal Di Indonesia. Jakarta :

Sinar Grafika. 2009.

Tjager, I Nyoman, dkk. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta : Prenhallindo. 2003.

Triandaru, Sigit, dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya : Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2006.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005.

WargaKusumah, Mohammad Hasan. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta : Kanisius. 1980.

Widoatmodjo, Sawidji. Cara Cepat Memulai Investasi Saham. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2004.

___________________. Pasar Modal Indonesia : Pengantar dan Studi Kasus. Bogor : Ghalia Indonesia. 2009.

Winardi. Manajer dan Manajemen. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. Yulfasni. Hukum Pasar Modal. Jakarta : Badan Penerbit Iblam. 2005.


(5)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Pedoman Kerja dan Wajib dijalankan oleh Konsultan Hukum Pasar Modal, Keputusan HKHPM No. 01/HKH/1995, tanggal 30 maret 1995.

Naskah Akademik RUU Otoritas Jasa Keuangan

C. Jurnal dan Artikel

Bapepam, Laporan Tahunan 2002, Bapepam dan Departemen Keuangan, Jakarta, 2002.

Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan. “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”. Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013. Gandhi, L.M. “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, (Jakarta:

Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995).

Hasan, Hasbi. 2012. “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Ibrahim,Sofyan. “Pelaksanaan Fungsi Hukum Sebagai Sarana Social Control Dalam Suatu Negara”. Majalah Hukum Universitas Sumatera Utara, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2003.

Indaryanto,Wisnu. 2012. “Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.


(6)

Khopiatuziadah. 2012. “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Lubis, Mulya T. dan Alexander Lay. 2008. “Penegakan Hukum Pasar Modal dan Civil Penalty”. Jurnal Bisnis Indonesia, Jakarta, tanggal 26 Februari 2008. Mulyono, Ignatius. “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan

Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 04 November 2011, diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan HAM RI.

Nasution, Anwar. “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.

Nasution, Bismar. “Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”. Seminar tentang Sosialisasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Medan 19 Juni 2012.

______________. “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”. Bening Institute, Jakarta 23 April 2013.

______________. “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”. Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013.

Pakpahan, Rudy Hendra. 2012. “Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Palayukan, Tandi Pada. 2013. “Analisis Terhadap Larangan Praktik Insider Trading Di Pasar Modal”. USU Law Journal, Volume II-No. 2, November 2013.

Pangemanan, Donald Moody. 2005. “Peraturan Insider Trading Dalam Pasar Modal Indonesia : Studi Mengenai Penerapan Teori Penyalahgunaan Dalam Praktik Insider Trading”. Jurnal Hukum Dan Pasar Modal, Edisi 2/Juli 2005, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal.


(7)

Putra, I.B. Priyanta, Ni Ketut Supasti Darmawan dan I ketut Westra, “Insider Trading Dalam Kegiatan Pasar Modal Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995”, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali.

Rahardjo, Satjipto. “Keadilan, Hukum dan Masyarakat”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Nomor 1, Jakarta, Tahun 1988.

Sitompul, Zulkarnain. 2012. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012. Sri Rahyani, Wiwin. 2012. “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

Standar Penilaian dan Kode Etik Profesi, Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI).

Tim Panitia antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta, 2010.

Usman, Marzuki. 1989. “Pasar Modal Sebagai Piranti untuk Mengalokasi Sumber Daya Ekonomi Secara Optimal”. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 1, Nomor 1, Juli 1989.

Wiriadinata,Wahyu. 2012. “Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan Di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012.

D. Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Alkamra, “Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Perdagangan Saham Setelah Listing di Pasar Modal”, (Tesis : Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011).

Feraldi, Fikri, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2012).

Frandoni, Andri, “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading) Oleh Badan Pengawasn Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Studi : Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan”, (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011). Jabbar, Ahmad, “Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan


(8)

Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2010).

Nalole, Masri, “Kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Dalam Mengatasi Praktik Insider Trading Di Pasar Modal Indonesia”, (Tesis: Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Hasanuddin).

Sigalingging, Bisdan, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis: Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum USU, 2013).

Tumanggor, M.S., “Kajian Hukum Atas Insider Trading Di Pasar Modal Suatu Antisipasi Terhadap Pengembangan Ekonomi Indonesia (Suatu Telaah Singkat)”, (Disertasi: Universitas Padjajaran, 2005).

E. Website

14 Februari 2014).

tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 12 Februari 2014).

(Diakses tanggal 28 januari 2014).


(9)

(Diakses tanggal 14 Februari 2014).

tanggal 26 januari 2014).

(Diakses tanggal 27 januari 2014).

tanggal 7 Februari 2014).


(10)

BAB III

URGENSI UPAYA HARMONISASI UNDANG-UNDANG PASAR MODAL NO. 8 TAHUN 1995 TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK NO. 21

TAHUN 2011 DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga Baru dalam Pengawasan Sektor Jasa Keuangan

Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan sektor jasa keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa institusi.192

Sementara itu, di Indonesia pada awalnya menerapkan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi sistem pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan oleh satu institusi setelah lahirnya UUOJK yang berlaku tanggal 22 November 2011. Dengan itu pengawasan keseluruhan sektor jasa keuangan di Indonesia dilakukan oleh institusi tunggal OJK. Pasal 5 UUOJK menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.193

Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi pada awalnya dimulai di Skandinavia pada pertengahan tahun 1980-an. Inggris dan Jepang

192

Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Independen Otoritas Jasa Keuangan”, Seminar tentang Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi”, Bening Institute, Jakarta 23 April 2013, hlm. 1.

193


(11)

kemudian menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan Financial

Services Agency.194

Pembentukan OJK merupakan bentuk atau model “single-regulator supervision” dimana kontrol atas sektor keuangan diserahkan pada satu otoritas tunggal dan lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.195

Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia selama ini pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional (institusional approach), dimana regulator yang mengawasi suatu institusi didasarkan pada status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut. Bank diatur dan diawasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yang saling bersinggungan.

1. Latar belakang berdirinya OJK dan asas-asas pembentukan OJK

196

194

Zulkarnain Sitompul, “Peralihan Fungsi, Tugas, dan Wewenang Pengawasan Bank Dari Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Op.cit., hlm. 2.

195

Wisnu Indaryanto, “ Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 333.

196

Hasbi Hasan, “Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 381.

Aktivitas yang bersinggungan maksudnya adalah telah terjadi konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan regulasi. Sebagai contoh yaitu adanya produk hybrid. Produk hybrid adalah produk yang merupakan perpaduan antara produk


(12)

perbankan, asuransi atau pasar modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut masih merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga dalam hal ini bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent) dan mendapatkan komisi (fee) dari jasanya tersebut. Ambil contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu bancassurance Di Indonesia produk ini masih murni produk perusahaan asuransi yang ditawarkan atau dijual melalui jalur distribusi (distribution channel) perbankan. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan yang melarang bank melakukan kegiatan asuransi. Keuntungan bank menjual produk hybrid tersebut adalah selain menerima komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base dan menjaga loyalitas nasabah.197

Maka hal tersebut menunjukkan produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan harus tunduk pada regulasi Bapepam. Oleh karena itu, dengan diserahkannya kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah kewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan.198

Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya OJK yaitu199

197

Zulkarnain Sitompul “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004, hlm. 2-3.

198

Ibid., hlm. 2. 199

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 416.

: Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Adanya lembaga jasa keuangan yang


(13)

memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

Ditinjau secara yuridis disamping hal-hal disebut diatas, latar belakang berdirinya OJK adalah berdasarkan amanat Pasal 34 UUBI. Adapun keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.200

Dalam pembentukan OJK yang mandiri/independen dilakukan berlandaskan asas-asas, yaitu

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dibentuklah lembaga baru dalam pengawasan sektor jasa keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan.

201

a. Independesi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

:

b. Kepastian hukum, yakni azas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

200

Khopiatuziadah, “Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 427.

201


(14)

c. Kepentingan umum, yakni azas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

d. Keterbukaan, yakni azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

e. Profesionalitas, yakni azas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Integritas, yakni azas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yanng diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

g. Akuntabilitas, yakni azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

2. Tujuan, Tugas, Fungsi, dan Wewenang OJK

Mengikuti trend yang serupa di berbagai negara, OJK dibentuk dan dilandasi oleh prinsip-prinsip tata kelola (governance) yang baik. Pasal 4 UUOJK menentukan, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: (a) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan


(15)

akuntabel; (b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan (c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.202 Dalam mencapai tujuannya, OJK mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional dan meningkatkan daya saing nasional serta OJK diharapkan dapat menjaga kepentingan nasional.203

Pasal 5 UUOJK menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Lembaga Otoritas Jasa Keungan (OJK) didirikan dengan tugas untuk mengawasi lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Pengaturan mengenai tugas OJK diatur dalam Pasal 6 UUOJK. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

204

202

Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, Medan 29 November 2013, hlm. 3.

203

Direktur Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan, Pengenaan Sanksi, dan Penanganan Keberatan di Industri Pasar Modal Indonesia”, Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 21 September 2013, hlm. 7.

204

Bismar Nasution, “Fungsi dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Industri Jasa Keuangan”, Op.cit., hlm. 4.

Untuk melaksanakan fungsi OJK dalam pengaturan dan pengawasan tersebut, ketentuan Pasal 7 UUOJK menyatakan, bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:


(16)

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur;

4) pengujian kredit (credit testing); dan 5) standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) manajemen risiko;

2) tata kelola bank;

3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. Pemeriksaan bank.

Didalam Pasal 8 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

1) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

2) menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 3) menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

4) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 5) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

6) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

7) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

8) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

9) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Dalam Pasal 9 UUOJK menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;


(17)

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter; f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan Usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran, dan penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

B. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan

Terbentuknya Lembaga OJK merupakan sebuah solusi yang terbaik bagi kebaikan sistem keuangan dengan mengedepankan efektivitas dan efiensi dalam melakukan pengawasan lembaga keuangan di Indonesia. Selama ini, pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Namun pada prakteknya BI dan Bapepam dalam melakukan pengawasan tersebut belum optimal.205

Untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara terintegrasi, langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam-LK

205


(18)

dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.206

Perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, dimana lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank.207

Sebagai lembaga negara independen yang baru di Indonesia, OJK diharapkan dapat melaksanakan salah satu tugas Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan sektor perbankan di negara kita. Berdirinya lembaga independen baru ini sebenarnya sudah lama diamanatkan oleh UUBI, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2002 dan kemudian menjadi paling lambat tanggal 31 Desember 2010. Tugas pengawasan bank merupakan tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan pada akhirnya dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter.

sehingga apabila misalnya terjadi suatu bank gagal karena kegiatannya di pasar modal maka tidak akan ada lagi saling melempar tanggung jawab terhadap pengawasannya. Maka dengan dibentuknya OJK akan memberi akibat hukum bagi masing-masing lembaga keuangan.

1. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan perbankan

208

206

Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hlm.345.

207

Fikri Feraldi, “Akibat Hukum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral”, (Skripsi, Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran, 2012), diunduh dari

208


(19)

Dalam melakukan tugasnya lembaga ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam UUOJK. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.209

Selanjutnya, dalam Pasal 39 UUOJK terkait koordinasi dan kerjasama dalam menjalankan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori Systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi.

210

Beralihnya fungsi pengawasan perbankan ini kepada OJK sejak tanggal 31 Desember 2013 juga mengakibatkan pejabat dan /atau pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Bank Indonesia ini wajib bekerja di OJK untuk jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun.211

Pejabat dan/atau pegawai BI wajib menetapkan pilihan status sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat dan/atau pegawai BI,

209

Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

210

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 419. 211


(20)

paling lama 2 (dua) tahun sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kepada OJK, kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan dapat digunakan oleh OJK.212

Kemudian dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UUOJK disebutkan bahwa BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahuli kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai kewenangan BI sebagai bank sentral.213

Akibat hukum setelah dibentuknya Lembaga OJK mengakibatkan peranan BI dalam menjalankan tugasnya hanya sebatas fungsi independen sebagai bank sentral selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran. OJK diberi tugas dalam hal mikro (micro-prudential supervision) yakni mengawasi bank-bank yang ada di Indoensia. Sementara Bank Indonesia sendiri akan lebih bertanggung jawab dalam menangani masalah yang lebih makro ( macro-prudential supervision) misalnya

212

Ibid., hlm. 346-347. 213


(21)

terkait dengan kebijakan moneter dan penanganan di saat krisis. BI tetap berwenang mengatur dan mengawasi seluruh aspek perbankan dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.214 Dalam pelaksanaannya, BI melakukan kebijakan moneter melalui penetapan uang beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain itu, BI juga menciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. OJK dan BI akan bekerjasama dalam pengawasan bank terkait penentuan institusi bank yang masuk kategori

systemically important bank. Dibantu oleh LPS.215

Otoritas Jasa Keuangan merupakan hasil dari suatu proses penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Lembaga ini independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain.

2. Akibat hukum pembentukan OJK terhadap pengawasan pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya

216

214

Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 2003.

215

Rudy Hendra Pakpahan, Op.cit., hlm. 120. 216

Wiwin Sri Rahyani, “Indepensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi indonesia, Volume 9, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 361.


(22)

akibat hukum terhadap kewenangan Bapepam. Dimana sebelum terbentuknya OJK, pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Non Bank berada pada Bapepam-LK. Setelah berlakunya UUOJK maka beralihlah fungsi pengawasan dan pengaturan tersebut yang dulunya berada pada Bapepam-LK kini menjadi tugas dan tanggung jawab dari Lembaga OJK.

Beralihnya fungsi pengawasan pasar modal dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) ini kepada OJK juga mengakibatkan pejabat dan /atau pegawai Badan Pengawas Pasar Modal yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. Adapun pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Bapepam dan Lembaga Keuangan ini wajib bekerja di OJK untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun.217

Pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan wajib menetapkan pilihan status sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau tetap sebagai pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan, paling lama 2 (tiga) bulan sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUOJK. Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kepada OJK, kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan kementerian keuangan dan Bapepam-LK dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBB dapat digunakan oleh OJK.218

Resiko terbesar yang dihadapi oleh OJK pada masa peralihan adalah kemungkinan hilangnya kompetensi pengawasan yang sangat penting. Oleh

217

Zulkarnain Sitompul, Loc.cit. 218


(23)

karena itu, pada masa-masa transisi, penting untuk memastikan bahwa modal manusia dan pengetahuan kelembagaan yang telah dibina oleh BI dan Bapepam-LK tidak hilang, tetapi dialihkan ke OJK.219 Periode peralihan ini menjadi lebih krusial karena dilakukan pada saat perekonomian dunia sedang dilanda krisis yang dalam sehingga menimbulkan banyak ketidakpastian.220

Harmonisasi dalam peraturan perundang-undangan dapat dibagi atas harmonisasi vertikal dan harmonisasi horizontal. Harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan mempunyai peranan penting, selain berfungsi membentuk peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan tergantung berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan serta membentuk suatu kebulatan yang utuh. Harmonisasi vertikal berfungsi sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu peraturan perundang-undangan karena jika hal ini terjadi akan timbul beberapa kerugian, baik dari segi biaya, waktu maupun tenaga.

C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif Ilmu Hukum

221

Harmonisasi horizontal adalah Penyusunan peraturan perundang-undangan yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang sama atau sederajat, berawal dari azas lex posterior delogat legi priori yang artinya suatu peratuan perundang-undangan yang baru mengesampingkan/mengalahkan peraturan

219

PS Srinivas, “Daya Tahan Sektor Keuangan”, Harian Kompas, 14 Agustus 2012, hlm.7.

220

Zulkarnain Sitompul, Loc.cit. 221

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, Diunduh dari


(24)

perundang-undangan yang lama dan azas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum.222

Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lainnya, baik yang berbentuk vertikal (hierarki perundang-undangan) ataupun horizontal (perundang-undangan yang sederajat). Keserasian tersebut, yakni tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mempertegas dan memperjelas (PP Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden).

1. Definisi harmonisasi peraturan perundang-undangan

223

Istilah harmonisasi secara etimologi berasal dari kata dasar harmoni, yaitu menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya untuk menuju atau merealisasikan sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan, keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan.224 Dalam “the contemporary English-Indonesia Dictionery” kata harmoni diartikan sebagai selaras, serasi, dan harmonis. Dengan kata lain bisa diartikan sebagai keselarasan, persesuaian, “harmoni” menjadikan serasi atau menyerasikan.225

222

Ibid. 223

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH),” Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan”, diunduh dari http://jdih.den.go.id/17/pentingnya-harmonisasi-peraturan-perundangundangan, (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

224

M. Dahlan Al Barry, Kamus Indonesia modern Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : Arkola, 1995), hlm. 185.

225

Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia, (Jakarta : Dictionary, Modern English Press, 1989), hlm. 28.


(25)

Selanjutnya L.M Gandhi menarik unsur-unsur dari harmonisasi, yaitu adanya hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau masyarakat dan terciptanya suasana persahabatan dan damai.226

Makna dari harmonisasi adalah baik yang artinya sebagai upaya maupun dalam arti sebagai proses, diartikan sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang bertentangan dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, kecocokan dan keseimbangan antara berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem.

227

Menurut L.M. Gandhi, dalam harmonisasi hukum menuju hukum responsif:

228

Bertitik tolak dari perumusan diatas, harmonisasi hukum merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum.

Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan azas-azas hukum dengan tujuan meningkatkan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengamburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.

229

226

L.M. Gandhi, ”Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1980, hlm. 28.

227

Ahmad Jabbar, “Harmonisasi Pengaturan Badan Pelaksana Migas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Dengan undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerjasama BPMigas dengan PT.Pertamina EP”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2010), hlm. 67.

228

L.M. Gandhi, Op.cit., hlm. 30. 229


(26)

2. Pengaturan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam ketentuan hukum Indonesia

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting, yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.230

Rudolf Stammler mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan individu dengan masyarakat.

231

Prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi antara maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan, dan maksud dan tujuan serta kepentingan perseorangan, dan maksud dan tujuan serta kepentingan umum.232

Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak

230

Turiman Fachturahman Nur, “Masalah Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari

231

Komunitas Wajo Peduli, “Harmonisasi Undang-Undang”, (Jumat, 13 Juli 2012), Kawali News, Diunduh dari

232


(27)

secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.233

Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.234 Hal ini sejalan dengan Pasal 22A UUD 1945.235

Di Indonesia konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui juga dalam pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden,

Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empirikal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

236

yang isi pasal tersebut adalah:

233

Ignatius Mulyono, “Kebijakan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan, Khususnya Pengharmonisasian RUU Di DPR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”, (Jakarta : Makalah disampaikan dalam acara Forum Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, 04 November 2011).

234 Ibid. 235

Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

236

Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 ini menggantikan Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998.


(28)

Pasal 21

(1) Dalam rangka penyusunan konsepsi Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri.

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya.

(2) Apabila dipandang perlu, koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).

Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yangs sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.237

Kehidupan bernegara dan bermasyarakat mengenal aturan atau norma tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma itu yang berkembang menjadi sistem hukum meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sistem hukum nasional menganut azas, nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa dan merasakan sebagai sistem hukum yang selaras dan

Dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

“Usul Rancangan Undang-Undang sebagaiman dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang”

237

Lampiran UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, sub program pembentukan peraturan perundang-undangan.


(29)

serasi dengan perasaan keadilan dan cita hukum, serta selaras dan serasi dengan anggapan dan pandangan masyarakat tentang keadilan.238

Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan meletakkan pola pikir yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud, koheren dengan sasaran program pembentukan peraturan undangan, yaitu terciptanya harmonisasi perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.239

Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan memiliki pengaruh yang besar bagi penegakan hukum. Tujuan dari pengharmonisasian peraturan

Bidang hukum sebagai landasan dalam menghadapi peningkatan pengawasan perusahaan publik pada pasar modal, seperti halnya dalam peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan efektivitas pasar modal sebagai alat pembangunan ekonomi nasional. Maka dapat ditempuh langkah-langkah harmonisasi hukum untuk mewujudkan pelaksanaan pengawasan di pasar modal yang lebih maksimal dan memberi dampak yang besar untuk pertumbuhan pasar modal Indonesia.

3. Tujuan dan manfaat harmonisasi peraturan perundang-undangan bagi penegakan hukum

238

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan

Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung : Nuansa, 20009), hlm. 223. 239


(30)

perundang-undangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan atau rancangan peraturan undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping).240

Dengan kata lain, harmonisasi dalam pembentukan undang-undang bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat di dalam materi muatan undang-undang. Apabila terjadi tumpang tindih antara materi undang-undang yang satu dengan yang lainnya, maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan hukumnya (law enforcement). Selain itu, terjadi “dualisme” hukum, yang akan mengacaukan prosedur penegakan hukum itu sendiri.241

Manfaat lain dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah dapat mencegah terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan

Harmonisasi dalam pembentukan undang-undang mempunyai manfaat yang sangat penting. Agar dalam pemberlakuannya nanti tidak terjadi tumpang tindih (overlap) kewenangan antara undang yang satu dengan undang-undang lainnya dan peraturan perundang-undang-undang-undangan juga tidak saling bertentangan. Sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya.

240

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari

(diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

241 “Pentingnya Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan “ (13 Agustus 2010),

adhonknow’s blog, d


(31)

undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, dan hukum dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negara, membatasi kekuasaan penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.242

Berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban merupakan syarat mendasar dan

Melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan akan membantu dalam pelaksanaan dan/atau mewujudkan hal-hal tersebut.

D. Kepastian Hukum Melalui Harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

1. Terciptanya tujuan hukum dalam pengawasan pasar modal melalui harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi yang pada akhirnya akan memberi kemanfaatan bagi masyarakat.

242

A.A. Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” (1 April 2010), Diunduh dari


(32)

benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.243 Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).244

Sementara itu ada juga aliran utilistis, yakni yang menganggap tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi mayoritas umat manusia.245 Teori Utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.246

Terdapat juga aliran yuridis dogmatik yang menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata hanya untuk mewujudkan kepastian hukum. Aliran ini menganggap bahwa hukum yang telah tertuang dalam rumusan peraturan perundang-undangan adalah sesuatu yang memiliki kepastian untuk diwujudkan. Kepastian hukum adalah hal yang mutlak bagi setiap aturan dan karena itu kepastian hukum itu sendiri merupakan tujuan hukum.247

Tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dengan asas prioritasnya, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum berfungsi untuk mencapai tujuan hukum demi tercapainya kesejahteraan, kedamaian, ketertiban dan keamanan dalam suatu negara.248

243

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Nasional, (Bandung : Bina Cipta, Tanpa Tahun), hlm. 2-3. 244

Mochtar Kusumaatmadja, Loc.cit 245

Fazar Fuzhu, ‘pengertian Tujuan Hukum Yang Ada Di Indonesia”, (12 Maret 2013), Diunduh dari (diakses pada tanggal 12 Februari 2014).

246

K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hlm. 67. 247

Fazar Fuzhu, Loc.cit. 248

Sofyan Ibrahim, “Pelaksanaan Fungsi Hukum Sebagai Sarana Social Control Dalam Suatu Negara”, Majalah Hukum Universitas Sumatera Utara, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2003, hlm. 214-215.


(33)

Ketiga tujuan hukum tersebut masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsional yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis yang menitikberatkan pada kepastian hukum.249

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dimana keadilan menurut Plato250 adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi. Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus

animi).251

Maka keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.

252

Hukum memegang peranan serta kedudukan yang tidak kecil dalam proses pelayanan keadilan terhadap masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya negara sebagai organisasi sosial yang semakin kuat dengan alat perlengkapannya yang semakin tersusun rapi dan lengkap pula. Dengan demikian, hukum akan lebih mampu untuk menjadi sarana penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang efisien.253

249

Bisdan Sigalingging, “Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2013), hlm. 20.

250

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 92. 251

Ibid. 252

Ibid. 253

Satjipto Rahardjo, “Keadilan, Hukum dan Masyarakat”, Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Nomor 1, Tahun 1988, Jakarta, hlm. 33.


(34)

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai segala bentuk norma maupun tindakan yang bertujuan memberikan kondisi aman, nyaman dan kepastian hukum bagi subyek hukum baik orang perorangan maupun badan hukum. Dengan adanya perlindungan hukum diharapkan dapat menghidarkan terjadinya persengketaan, seandainyapun terjadi sengketa, sudah terdapat norma hukum untuk penyelesaiannya.254

Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk mencapai suatu keadilan, sebab fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dengan konsumen, penguasa/ pemerintah dengan rakyat. Bahkan hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi mereka yang lemah atau belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.255

Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK diharapkan dapat melindungi kepentingan pemodal publik agar mempunyai hak-hak yang seimbang dengan

Harmonisasi peraturan perundang-undangan akan sangat membantu dalam mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum. Sebagaimana melalui harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan diselaraskan dan disesuaikan konsepsi peraturan yang terdapat di dalam UUPM terhadap UUOJK. Penyelarasan dan penyesuaian ini pada akhirnya akan memberi pengaruh yang besar dalam menciptakan keadilan.

254

Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,1987, hlm. 1.

255

Lili Rasyidi dan l.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cet. 2, Bandung, 2003, hlm. 118.


(35)

emiten dan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum yang diatur dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pasar Modal. Dalam penerapan sanksi juga akan semakin tegas apabila ditemukan ada pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan di pasar modal. Sehingga undang-undang akan menjadi pondasi dan landasan yang kokoh bagi setiap pihak yang memberi rasa keadilan, aman dan nyaman dalam melaksanakan kegiatan di pasar modal.

Selanjutnya mengenai tujuan hukum untuk memberi kemanfaatan dalam masyarakat. Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.256

Kriteria utilitas (kemanfaatan) menurut Jhon Stuart Mill harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.

Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan memberikan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sesuai dengan tujuan hukum untuk kemanfaatan, maka melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan ini akan menambah kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan berkurangnya jumlah kerugian dari tindakan sebelum adanya upaya pengharmonisasian UUPM terhadap UUOJK ini.

257

256

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006, hlm. 14.

257

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Simon & Schuster, 1997), hlm. 190-192.


(36)

manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun kepada masyarakat konsumen.258

Tujuan dari hukum yang selanjutnya adalah kepastian hukum. Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :259

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

260

Kepastian hukum melalui harmonisasi UUPM terhadap UUOJK yakni memberi adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksanakan. Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK akan

258

O.P. Simorangkir, Etika : Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm. 55.

259

“Memahami Kepastian (Dalam) Hukum”, (05 Februari 2013), diunduh dari

pada tanggal 12 Februari 2014). 260


(37)

menciptakan hukum yang berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum, serta mampu menjamin hak dan kewajiban setiap pihak dalam pasar modal. Hal ini akan mendorong minat para investor untuk bergabung bersama pasar modal Indonesia karena adanya kepastian hukum dalam undang-undang yang menjadi landasan untuk perlindungan hukum di pasar modal.

2. Akibat yang timbul apabila terjadi disharmonisasi Undang-Undang Pasar Modal terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan:261

Arti penting kepastian hukum dikemukakan Sudikno Mertokusumo yang menjelaskan bahwa:

a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya

Apabila UUPM disharmoni dengan UUOJK, maka akan

berdampak pada pelaksanaan ketentuan kedua Undang-Undang tersebut. Bahwa akan muncul berbagai penafsiran di dalam masyarakat berdasarkan pemikiran sendiri mengenai hal yang diatur tersebut. Masyarakat cenderung akan menafsirkan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal ini dapat menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaanya dan berdampak buruk bagi kepentingan masyarakat luas.

b. Timbulnya ketidakpastian hukum

262

“masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum berfungsi menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

261

A.A.Oka Mahendra, Loc.cit. 262

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung : Nuansa Aulia, Cetakan II , 2010), hlm. 20.


(38)

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan.”

Disharmoni undang-undang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal salah satu tujuan hukum yang umum dikenal adalah untuk menciptakan kepastian hukum di dalam pelaksanaanya. Maka disharmoni dalam UUPM terhadap UUOJK tentunya akan sangat berdampak luas bagi pelaksanaan pasar modal. Ketidakpastian hukum dalam pasar modal akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi perkembangan pasar modal Indonesia. Banyak pihak terkhususnya investor yang akan ragu untuk membeli efek pada pasar modal Indonesia mengingat rentannya perlindungan hukum yang mereka terima akibat ketidakpastian hukum. c. Peraturan Perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien Dampak yang lebih signifikan adalah tidak terlaksananya Peraturan Perundang-undangan secara efektif dan efisien. Ketidakjelasan akibat disharmoni undang-undang tersebutlah yang melatarbelakangi masyarakat enggan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Munculnya berbagai penafsiran dalam pelaksanaannya tentu akan mempersulit pencapaian tujuan atau sasaran sesungguhnya dari undang-undang.

d. Disfungsi hukum

Artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.


(39)

BAB IV

UPAYA UNTUK MENGHARMONISASIKAN UNDANG-UNDANG PASAR MODAL (UUPM) TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK

(UUOJK) DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

A. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

1. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal a. Landasan filosofis

Pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Pasar Modal.

b. Tujuan

Peraturan dalam pelaksanaan pasar modal wajib dipatuhi oleh pelaku pasar. Maka untuk menjamin semua aturan dipatuhi oleh para pelaku pasar, hukum memainkan peran yang besar. Peran hukum ini penting bukan hanya apabila terjadi pelanggaran, tetapi juga dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari di pasar modal agar pasar modal dapat menjadi wadah investasi yang


(40)

aman bagi investor.263 Kegiatan di pasar modal sangatlah kompleks karena melibatkan begitu banyak pihak maka sangat dibutuhkan suatu perangkat hukum yang mengaturnya agar pasar tersebut menjadi teratur, wajar dan adil bagi semua pihak. Atas dasar itu, lahirlah Hukum Pasar Modal (Capital

Market Law).264

Sebagai landasan hukum yang kokoh, UUPM memiliki tujuan agar pasar modal dapat lebih berkembang, menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal serta melindungi kepentingan masyarakat dari praktik yang merugikan.265 Lahirnya UUPM yang diundangkan pada tanggal 10 November 1995 dengan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, diharapkan pasar modal dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembangunan, sehingga sasaran pembangunan di bidang ekonomi dapat tercapai.266

Bab VI : tentang Lembaga Penunjang Pasar Modal (Pasal 43-54) c. Sistematika

Bab I : tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-2)

Bab II : tentang Badan Pengawas Pasar Modal (Pasal 3-5)

Bab III : tentang Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 6-17)

Bab IV : tentang Reksa Dana (Pasal 18-29)

Bab V : tentang Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek, dan Penasihat Investasi (Pasal 30-42)

263

Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, Op.cit., hlm.6. 264

Ibid., hlm 7. 265

Ibid., hlm. 7-8. 266


(41)

Bab VII : tentang Penyelesaian Transaksi Bursa dan Penitipan Kolektif (Pasal 55-63)

Bab VIII : tentang Profesi Penunjang Pasar Modal (Pasal 64-69) Bab IX : tentang Emiten dan Perusahaan Publik (Pasal 70-84)

Bab X : tentang Pelaporan dari Keterbukaan Informasi (Pasal 85-89) Bab XI : tentang Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang

Dalam (Pasal 90-99)

Bab XII : tentang Pemeriksaan (Pasal 100) Bab XIII : tentang Penyidikan (Pasal 101)

Bab XIV : tentang Sanksi Administratif (Pasal 102) Bab XV : tentang Ketentua Pidana ( Pasal 103-110) Bab XVI : tentang Ketentuan Lain-Lain (Pasal 111-112)

Bab XVII: tentang Ketentuan Peralihan (Pasal 113-114) Bab XVIII: tentang Ketentuan Penutup (Pasal 115-116)

2. Sistematika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

a. Landasan Filosofis

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). Untuk menjamin tercapainya tujuan pembentukan OJK tersebut diatas, maka OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan kenegaraan


(42)

yang terintegrasi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Republik Indonesia. Disamping itu, agar OJK dapat melaksanakan fungsinya secara efektif, maka OJK harus memiliki independensi di dalam melaksanakan fungsinya agar dapat terlindungi dari berbagai kepentingan yang dapat menghambat tercapainya tujuan tersebut diatas.267

Sebagai bagian dari penataan peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, UUOJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

b. Tujuan

268

Tujuan UUOJK agar terjadinya penyatuan lembaga pengawas yang dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada dari dualisme pengawasan. Lebih dari itu, melalui penyatuan lembaga pengawas, maka aliran informasi menjadi lebih terpusat sehingga pemantauan lembaga keuangan yang menyeluruh dapat direalisasikan. Pada saat yang sama, meluapnya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya

267

Naskah Akademik Pembentukan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hlm. 3-4.

268 Ibid.


(43)

pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.269

Pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membuahkan konsepsi suatu peraturan perudang-undangan

c. Sistematika

Bab I : tentang Ketentuan Umum (Pasal 1)

Bab II : tentang Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan (Pasal 2-3)

Bab III : tentang Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang (Pasal 4-9) Bab IV : tentang Dewan Komisioner (Pasal 10-25)

Bab V : tentang Organisasi dan Kepegawaian (Pasal 26-27)

Bab VI : tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat (Pasal 28-31) Bab VII : tentang Kode Etik dan Kerahasiaan Informasi (Pasal 32-33) Bab VIII : tentang Rencana Kerja dan Anggaran (Pasal 34-37)

Bab IX : tentang Pelaporan dan Akuntabilitas (Pasal 38) Bab X : tentang Hubungan Kelembagaan (Pasal 39-48) Bab XI : tentang Penyidikan (Pasal 49-51)

Bab XII : tentang Ketentuan Pidana (Pasal 52-54) Bab XIII : tentang Ketentuan Peralihan (Pasal 55-68) Bab XIV : Ketentuan Penutup (Pasal 69-71)

C. Pembaruan Pokok-Pokok Materi Dalam Undang-Undang Pasar Modal Mengenai Pengawasan Perusahaan Publik yang Diharmonisasikan Dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan

269


(44)

dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis dan tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan.270

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan, diantaranya :271

Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

1. Pembaharuan Hukum yaitu mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya 2. Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut;

a. Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah Konsitusi;

b. Untuk pengujian peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.

3. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut: a. Lex superior derogat legi inferiori.

270

Ahmad Jabbar , Op.cit., hlm. 83. 271


(45)

b. Lex specialis derogat legi generalis

Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.

c. Asas lex posterior derogat legi priori.

Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.

Sebagaimana disebutkan diatas, salah satu cara untuk mengharmonisasikan undang-undang dapat dilakukan melalui pembaruan pokok-pokok materi yang diatur dalam undang-undang. Dalam hal ini akan lebih khusus dibahas mengenai harmonisasi hukum melalui pembaruan hukum. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata “pembaruan” sebagai proses, cara, perbuatan membarui. Membarui itu sendiri menurut KBBI bermakna (1) memperbaiki supaya menjadi baru, (2) mengulangi sekali lagi, memulai lagi dan (3) mengganti dengan yang baru, memodernkan.272 Bila dikaitkan dengan kata “hukum” maka akan muncul frasa yang berbunyi : proses pelaksanaan pembaruan hukum melalui cara memperbaiki, memodernkan, atau mengganti dengan yang baru.273

Hampir tidak ada ahli hukum yang tidak menyepakati bahwa hukum (selalu) memerlukan pembaruan. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu berubah,

272

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hlm. 105.

273

Mukhtar Zamzani, “Pembaruan Hukum”, Diunduh dari


(46)

tidak statis.274

“Pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global”

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025, pembangunan hukum dilaksanakan melalui :

275

“Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur, sehingga penyelenggaraan

pembangunan nasional akan makin lancar”.

Pada bagian lain pernyataan seperti ini muncul lagi dengan perubahan sedikit kata (ditandai dengan cetak tebal) seperti dibawah ini :

276

“Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia ...”

Pada bagian lain ada pula pernyataan yang berbunyi :

277

Kutipan-kutipan di atas ini menggambarkan RPJP Nasional 2005-2025 menghendaki adanya pembaruan hukum, terutama dalam bentuk pembaruan materi hukum, yang maksudnya tidak lain ialah pembaruan peraturan perundang-undangan. Hal ini dibuktikan dengan sering munculnya undang-undang baru yang merevisi undang-undang sebelumnya.278

274

Ibid. 275

Mukhtar Zamzani, Op.cit., hlm. 4. 276

Ibid. 277

Ibid. 278


(47)

Dapat ditegaskan bahwa hukum memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi hukum dapat dilakukan dengan cara harmonisasi hukum melalui pembaruan hukum. Hal ini dilakukan mengingat hukum harus mampu mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat. Harmonisasi hukum melalui pembaruan hukum pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Melalui pembaruan UUPM yang diharmonisasikan dengan UUOJK akan mampu memberi manfaat yaitu dengan terwujudnya satu masyarakat yang sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan dari tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Lebih spesifik lagi harmonisasi melalui pembaruan hukum ini akan mendukung dan mendorong pelaksanaan kegiatan di pasar modal lebih maksimal dan efektif serta efisien.

Selain memberi manfaat, harmonisasi melalui pembaruan hukum akan semakin mendukung terwujudnya keadilan dalam pelaksanaan pasar modal. Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan yaitu : keadilan yang tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan dan keadilan menuntut persamaan.279 Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya.280

279

K. Bertens, Op.cit., hlm. 87. 280

Ahmad Jabbar, Op.cit., hlm. 96.

Dalam UUPM masih ada celah yang cenderung dapat dikategorikan kurang melindungi kepentingan pemodal (investor) hal ini terlihat dengan tidak adanya diatur mengenai perlindungan investor tersebut dalam UUPM. Maka hal ini seharusnya


(1)

12. Adik-adik Kelompok Kecil NN, Bennidictus, Astriani dan Irma, yang saling mengerti dan mendoakan satu sama lain.

13. Komunitas Pasar Satu (KPS), Ketua Jeffrianto, Novlyana, Merty dan Defina yang menjadi keluarga dan sahabat setia selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi.

14. Tim Penggalang Dana GMKI Komisariat FH-USU Tahun 2012-2013, Bang Hotman, Bang Gabriel, Vivi, dan Elisa yang bersedia bekerja sama dan berusaha bersama untuk mengisi pundi-pundi keuangan GMKI.

15. Tim Kerja Natal GMKI 2013, Bang Anggie, Agnes, Putri, Sam, Liza, Maria, William, Dedy, Satria, Daud, Apriansyah, Nesya dan Getha yang mengajari saya tentang hal kepemimpinan dan kesabaran.

16. Pengurus KAM PEMBEBASAN, Bang Sastro dan Togar yang telah banyak menambah pengetahuan dalam dunia politik kampus.

17. Rekan-rekan saya, Loly, Suwanty, Margaretha, Netthie, Arija, Dessy, Diana, Rezsky, Hasnita, Bobby, Kak Chrisyeila dan Bang Sahat yang menjadi tempat berbagi, tertawa dan mendukung dalam kuliah selama ini. 18. Keseluruhan PKK KMK UP-FH USU, Komponen Pelayanan, dan

Koordinasi KMK yang selama ini saling mendukung dan menguatkan dalam pengerjaan pelayanan.

19. Pengurus Komisariat dan setiap anggota GMKI FH-USU yang sudah banyak memberi warna dalam kehidupan mahasiswa lewat program kegiatannya.


(2)

20. Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH-USU, terkhusus Delegasi MCC UNNES 2013 yang sudah menambah pengetahuan saya mengenai persidangan di pengadilan.

21. International Law Moot Court Club (ILMCC) FH-USU, Kak paulina, Kak Yuthi, Michael, Herbert, Henjoko, Elisa, Yohana, Andi, dan anggota lainnya yang banyak membukakan pemikiran Penulis dalam Hukum Internasional.

22. Sahabat-Sahabat saya di Universitas Methodist Indonesia, terkhusus kepada Hermina dan Rika, yang setia menjadi sahabat dan tempat berbagi. 23. Rekan sesama Guru Sekolah Minggu dan terkhusus kepada Anak Sekolah

Minggu (ASM) GKPI Pagar Jati, senyuman, tingkah laku, dan kepolosan ASM yang memberi saya semangat dan kedewasaan mengendalikan diri dalam melayani Tuhan.

24. IMAHMI , Alliance France, Kita-Kita Grup D, dan rekan-rekan saya di SMP RK Serdang Murni Lubuk Pakam stambuk 2006 dan SMA N. 1 Lubuk Pakam stambuk 2009 yang sekarang berada di berbagai universitas di Indonesia.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, 17 Maret 2014 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II SISTEM PENGAWASAN PASAR MODAL SEBELUM TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN A. Tinjauan Umum Mengenai Pasar Modal 1. Definisi Pasar Modal dan Landasan Hukum Pasar Modal a. Definisi Pasar Modal ... 23

b. Landasan Hukum Pasar Modal ... 25

2. Peranan Pasar Modal Bagi Pembangunan Ekonomi ... 27

3. Instrumen Investasi di Pasar Modal ... 31

4. Mekanisme Pasar Modal ... 38

B. Lembaga yang Terkait dalam Pasar Modal ... 44

1. Struktur Pasar Modal Sebelum Terbentuknya OJK ... 45

2. Otoritas Pasar Modal Sebelum Terbentuknya OJK ... 45

3. Fasilitator Pasar Modal ... 47

4. Lembaga Penunjang Pasar Modal ... 56


(4)

C. Sistem Pengawasan Pasar Modal Oleh Otoritas Pasar Modal (Bapepam) Sebelum Terbentuknya Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) ... 61 1. Tugas, Tujuan, dan Fungsi Bapepam ... 61 2. Wewenang Bapepam Serta Pemeriksaan dan

Penyidikan oleh Bapepam ... 63

3. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance

oleh Bapepam dalam Pengawasan Pasar Modal ... 65 4. Perlindungan Hukum Bagi Investor dan

Kewenangan Bapepam untuk Melakukan

Penegakan Hukum ... 68 D. Penyelesaian Sengketa Dalam Pasar Modal ... 70

BAB III URGENSI UPAYA HARMONISASI UNDANG-UNDANG

PASAR MODAL NO. 8 TAHUN 1995 TERHADAP UNDANG-UNDANG OJK NO. 21 TAHUN 2011 DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga Baru

Dalam Pengawasan Sektor Jasa Keuangan ... 72 1. Latar Belakang Berdirinya OJK dan

Azas-Azas Pembentukan OJK ... 73 2. Tujuan, Tugas, Wewenang, dan Fungsi OJK ... 76 B. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa

Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuanga... 79 1. Akibat Hukum Pembentukan OJK Terhadap

PengawasanPerbankan ... 80 2. Akibat Hukum Pembentukan OJK Terhadap

Pengawasan Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga

Jasa Keuangan Lainnya... 83 C. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Dalam

Perspektif Ilmu Hukum ... 85 1. Definisi Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan.. 86


(5)

2. Pengaturan Mengenai Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Dalam Ketentuan Hukum

Indonesia ... 88

3. Tujuan dan Manfaat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Bagi Penegakan Hukum ... 91

D. Kepastian Hukum Melalui Harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ... 93

1. Terciptanya Tujuan Hukum Dalam Pengawasan Pasar Modal Melalui Harmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan... 93

2. Akibat Yang Timbul Apabila Terjadi Disharmonisasi Undang-Undang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ... 99

BAB IV UPAYA UNTUK MENGHARMONISASIKAN UNDANG PASAR MODAL (UUPM) TERHADAP UNDANG - UNDANG OJK (UUOJK) DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK A. Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 101

B. Pembaruan Pokok-Pokok Materi dalam Undang-Undang Pasar Modal Mengenai Pengawasan Perusahaan Publik yang Diharmonisasikan Dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 138

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 140


(6)

ABSTRAK

UPAYA HARMONISASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR

21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN PERUSAHAAN PUBLIK

Christina Donna Manalu * Bismar Nasution ** Mahmul Siregar***

Pengawasan keseluruhan sektor jasa keuangan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK). Pasar modal sebagai salah satu sektor jasa keuangan yang pengawasannya beralih kepada OJK memiliki landasan hukum dalam pelaksanaan kegiatan di pasar modal yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). UUOJK dan UUPM tentunya akan saling mempengaruhi dan terkait dalam pelaksanaan pengawasan OJK di pasar modal, sehingga untuk mencegah terjadinya persinggungan hukum diperlukan harmonisasi UUPM terhadap UUOJK. Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang sistem pengawasan pasar modal sebelum terbentuknya OJK, urgensi upaya harmonisasi UUPM terhadap UUOJK dalam pengawasan perusahaan publik, serta upaya untuk mengharmonisasikan UUPM terhadap UUOJK.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data sekunder (bahan hukum) dilakukan dengan studi pustaka (library research). Data yang terkumpul dianalisis dengan metode kualitatif.

Lembaga OJK sebagai pengawas baru pasar modal, seharusnya dapat meningkatan kualitas pengawasan sehingga mampu mewujudkan kondisi pasar modal yang teratur, wajar dan efisien. UUPM sebagai landasan hukum pasar modal yang dibentuk ketika pasar modal Indonesia masih sederhana sudah tidak dapat mengakomodir kebutuhan industri pasar modal yang sudah sangat canggih saat ini. Maka untuk mendukung peningkatan kinerja OJK dalam pengawasan tersebut dibutuhkan sebuah konsep pengharmonisasian UUPM terhadap UUOJK. Hal ini untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi hukum sebagai landasan bagi OJK dalam melaksanakan pengawasan pasar modal, untuk mencegah terjadinya persinggungan kewenangan serta untuk menjaga independensi OJK dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Harmonisasi UUPM terhadap UUOJK dapat dilakukan melalui pembaharuan hukum. Pembaharuan pokok-pokok materi UUPM yang diharmonisasikan dengan UUOJK adalah hal yang penting untuk segera dilakukan demi terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam pasar modal.

Kata Kunci : Harmonisasi, Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan. * Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


Dokumen yang terkait

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

Perlindungan Hukum bagi Pihak Ketiga Akibat Misleading Information Dihubungkan dengan Prinsip Keterbukaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

5 9 46

TINJAUAN YURIDIS PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR PASAR MODAL.

0 3 10

FUNGSI PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM HAL TERJADINYA FORCED SELL DI PASAR MODAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TEN.

0 0 1

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

0 0 9

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

0 0 1

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

0 1 23

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

0 0 49

Upaya Harmonisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perusahaan Publik

0 0 9

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN (“UNDANG-UNDANG OJK”)

0 0 68