1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
SMA Negeri 9 Yogyakarta sebagai institusi pendidikan menengah atas memiliki tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah siswa
memiliki penguasaan konsep seluruh mata pelajaran secara komprehensif sehingga mampu berkompetisi di tingkat nasional dan internasional. Hal tersebut
tercantum dalam visi dan misi sekolah SMA Negeri 9 Yogyakarta. Dengan adanya tujuan tersebut, maka tugas utama siswa adalah belajar.
Belajar di sekolah dilakukan agar siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mempersiapkan diri sebelum menempuh
pendidikan selanjutnya. Di samping itu, belajar juga dilakukan dengan tujuan agar siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Agar siswa
siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan ke depan dengan baik, tentunya siswa harus belajar dengan optimal.
Belajar dengan optimal membuat siswa memiliki prestasi belajar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011, prestasi belajar merupakan penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau nilai yang diberikan oleh guru. Adanya prestasi
belajar yang tinggi juga dapat memudahkan siswa dalam menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Prestasi yang tinggi
berarti siswa mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah.
Terkait belajar yang optimal, terdapat permasalahan yang dihadapi oleh siswa yakni adanya perilaku-perilaku yang berpotensi membuat belajar menjadi
tidak optimal. Berdasarkan wawancara terhadap seorang guru SMA Negeri 9 Yogyakarta, terungkap bahwa ada perilaku kurang serius ketika pelajaran di kelas
berlangsung. Perilaku tersebut misalnya siswa mengganggu teman yang lain. Di samping itu, siswa menunjukkan sikap-sikap yang membuat guru tidak senang.
Ketika ulangan harian, terdapat siswa yang mengalami ulangan yang diulang kembali guna memperbaiki nilai atau remidial. Hal tersebut dapat terjadi karena
siswa mungkin kurang mempersiapkan diri Pradana, komunikasi pribadi, Juli, 2014.
Peneliti juga melakukan wawancara pribadi dengan seorang siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa ada teman yang tidak
memperhatikan pelajaran saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di kelas. Ia juga menjelaskan bahwa siswa yang tidak memperhatikan pelajaran tersebut
melakukan aktivitas lain yaitu bermain hp handphone atau menggunakan internet. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa ada teman yang mengikuti
bimbingan belajar di luar sekolah tetapi jarang hadir untuk mengikuti bimbingan belajar tersebut Nita, komunikasi pribadi, Juli, 2014. Hal-hal tersebut tentunya
berpotensi menghambat siswa untuk belajar dengan optimal.
Untuk mengurangi perilaku-perilaku yang berpotensi menghambat siswa untuk belajar optimal, perlu adanya perhatian pada self-regulated learning. Self-
regulated learning atau pengaturan diri dalam belajar merupakan salah satu hal yang berhubungan dengan keberhasilan pelajar dalam belajar akademis Pintrich
De Groot, 1990; Zimmerman, 2008. Belajar akademis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2011 maksudnya ialah belajar yang bersifat ilmu pengetahuan.
Zimmerman 2008 menyebutkan bahwa pengaturan diri dalam belajar merupakan hal yang membuat siswa dapat menguasai proses belajar yang dilakukan. Pelajar
yang berprestasi akademis tinggi melakukan pengaturan diri dengan menerapkan banyak strategi dibandingkan pelajar yang berprestasi akademis yang rendah.
Strategi ini merupakan tindakan langsung yang diarahkan untuk mengumpulkan informasi dan keterampilan-keterampilan terkait belajar Zimmerman Martinez-
Pons, 1986. Di samping itu, suatu penelitian mengungkapkan bahwa pengaturan diri dalam belajar memiliki hubungan terhadap prestasi akademis. Pelajar
memiliki pengaturan diri dalam belajar yang tinggi cenderung memiliki prestasi akademis yang tinggi Putriansari, 2009. Prestasi akademis merupakan hasil
pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011. Pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh siswa pada jenjang
pendidikan sekolah menengah atas juga menjadi penting untuk diperhatikan. Di samping berhubungan dengan keberhasilan akademis, pengaturan diri dalam
belajar yang dilakukan pada masa SMA juga akan membantu siswa untuk
mempersiapkan diri ketika menghadapi pendidikan tinggi pada jenjang selanjutnya. Hofer, Shirley, dan Pintrich Schunk Zimmerman, 1998
mengungkapkan bahwa karakteristik pelajar pada jenjang perguruan tinggi untuk belajar dan menggunakan strategi belajar cenderung menggunakan pengetahuan
dan strategi belajar dari pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Oleh sebab itu, pengaturan diri dalam belajar tentunya menjadi penting untuk
diperhatikan sehingga siswa sekolah menengah atas agar menjadi siap dan terbantu untuk menghadapi belajar di perguruan tinggi.
Pengaturan diri dalam belajar pada penelitian-penelitian sebelumnya terdapat beberapa versi, yakni menurut Zimmerman dan Pintrich. Zimmerman
1990, 2008 menyebutkan pengaturan diri dalam belajar adalah perilaku aktif yang dilakukan pelajar dengan mengatur metakognitif, motivasi, dan perilaku
dalam belajar sehingga dapat berhasil mencapai tujuan belajar akademis. Pelajar mengatur metakognitif berarti dapat memilih dan membuat keputusan mengenai
bagaimana sebaiknya ia belajar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengaturan pada motivasi terkait dengan pelajar beranggapan bahwa dirinya mampu mengatur
dan menerapkan suatu tindakan untuk menunjukkan performansi pada suatu tugas. Hal tersebut membuat pelajar aktif untuk memotivasi diri agar mampu bertahan
ketika mempelajari suatu materi maupun menyelesaikan suatu tugas. Pengaturan perilaku diartikan bahwa siswa melakukan usaha terkait perilaku atau
kebiasaannya untuk mengoptimalkan belajar dengan cara mengatur lingkungan belajar serta menambah wawasan dari orang lain. Tujuan belajar akademis yang
dimaksud dapat berupa nilai, penghargaan sosial, ataupun kesempatan berkarir setelah menyelesaikan pendidikan Zimmerman, 1989.
Zimmerman 2008 menjabarkan pengaturan diri dalam belajar ke dalam 14 strategi sebagai pengaturan diri dalam belajar. Pengaturan pada metakognitif
meliputi: 1 mengatur tujuan dan perencanaan belajar. Ini dilakukan agar tujuan belajar yang dilakukan dapat tercapai; 2 mengatur dan mengubah, bertujuan
untuk membuat materi pelajaran menjadi mudah dipahami; 3 mencari informasi, yakni mencari pengetahuan-pengetahuan dari sumberdaya nonsosial seperti buku-
buku di perpustakaan untuk menambah wawasannya; 4 mengulang dan mengingat, dilakukan terhadap materi yang dipelajari sehingga dapat
meningkatkan kualitas belajar yang dilakukan. Pengaturan pada motivasi meliputi: 5 evaluasi diri, dilakukan dengan mengecek kualitas dari penyelesaian
tugas serta pemahaman dari hal-hal yang dipelajari; 6 konsekuensi diri, dilakukan dengan membayangkan hadiah yang akan diberikan ketika berhasil atau hukuman
ketika mengalami kegagalan saat belajar. pengaturan perilaku meliputi: 7 menyusun lingkungan belajar, dilakukan agar dapat mendukung proses belajar; 8
merekam dan memantau, dilakukan pada kejadian atau suatu hasil dari yang dipelajari; pelajar meninjau kembali 9 ujian; 10 catatan; 11 buku materi guna
mempersiapkan diri untuk belajar di kelas maupun menghadapi ujian; pelajar juga bertanya pada 12 teman sebaya; 13 guru; 14 orang tua atau orang dewasa lain
ketika mengalami kesulitan dalam mempelajari hal yang sedang dipelajarinya. Penjabaran ini merupakan alat ukur yang bernama Self-Regulated Learning
Interview Schedule SRLIS Zimmerman Martinez-Pons, 1986.
Senada dengan Zimmerman, Pintrich Schunk, 2005 mengatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar merupakan perilaku aktif yang dilakukan pelajar
dengan mengatur kognisi, motivasi, dan perilaku. Awalnya, pengaturan tersebut dilakukan dengan mengatur tujuan dari belajar yang dilakukan. Selanjutnya,
pelajar memantau, mengatur, serta mengendalikan kognisi, motivasi, dan perilakunya sehingga dapat mencapai tujuan tersebut. Hal-hal tersebut berkaitan
dengan suatu proses belajar konstruktif. Proses belajar konstruktif ini dimaksudkan bahwa pelajar tidak hanya mampu menyerap pengetahuan yang
telah disampaikan, melainkan dapat membangun pengetahuan dari pengalaman- pengalamannya Ormrod, 2008. Ada dua versi alat ukur untuk mengukur
pengaturan diri dalam belajar yang menggunakan konsep Pintrich yakni Motivated Strategies for Learning Questionnaire MSLQ Pintrich, Smith,
Garcia, dan McKeachie, 1991 dan Assessing Academic Self-Regulated Learning Wolters, Pintrich, dan Karabenick, 2003.
Alat ukur MSLQ dalam penggunaannya ditujukan untuk kalangan mahasiswa. Di samping itu, alat ukur ini dirancang untuk mengetahui pengaturan
diri dalam belajar yang dilakukan pada suatu mata kuliah tertentu. Ini disebabkan adanya asumsi bahwa pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan oleh
mahasiswa berbeda antara satu jenis mata kuliah dengan yang lainnya Pintrich dkk, 1991; Wolters dkk, 2003. Wolter dkk 2003 membuat alat ukur Assessing
Academic Self-Regulated Learning sebagai pengembangan dari MSLQ. Alat ukur ini dibuat bertujuan untuk mengetahui perilaku-perilaku pengaturan diri dalam
belajar secara umum tanpa memperhatikan jenis mata kuliah tertentu.
Penelitian dengan menggunakan adaptasi alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning terkait jenis kelamin yang peneliti temukan dalam
lingkup Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan untuk skripsi perbedaan mahasiswa dan mahasiswi Sayekti, 2011. Hasilnya adalah
tidak ada perbedaan signifikan pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan antara sampel mahasiswa dan mahasiswi. Pengambilan sampel pada penelitian
tersebut adalah mahasiswa atau pelajar pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi sehingga hasil penelitian hanya dapat digunakan untuk menggambarkan
pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada mahasiswa. Dalam lingkup yang sama, peneliti belum menemukan penelitian dengan menggunakan Assessing
Academic Self-Regulated Learning terkait dengan perbedaan usia atau tingkatan pendidikan, secara khusus di kalangan siswa sekolah menengah atas.
Penelitian tentang pengaturan diri dalam belajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pernah dilakukan. Secara keseluruhan berjumlah
delapan penelitian. Penelitian yang tidak menggunakan alat ukur Assessing Academic Self-Regulated Learning
adalah penelitian “Perbedaan Self-Regulated Learning Pada Mahasiswa Yang Tinggal Di Kos Dan Di Rumah Bersama Dengan
Orang Tua” yakni menggunakan SRLIS sebagai pedoman untuk membuat alat ukur Arisandy, 2011. Di samping itu ada juga yang membuat alat ukur
berdasarkan karakteristik pelajar yang memiliki pengaturan diri dalam belajar yakni “Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Pada
Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi” oleh Kurniawati 2010. Di samping
itu, delapan penelitian yang pernah dilakukan menggunakan subjek dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, adanya latar belakang subjek penelitian yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, membuat peneliti
tertarik untuk melihat pengaturan diri dalam belajar yang dilakukan pada jenjang pendidikan yang berbeda. Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
pengaturan diri yang dilakukan pelajar di sekolah menengah atas. Di samping itu, pengaturan diri dalam belajar tersebut akan dieksplorasi pada jenis kelamin dan
tingkat kelas sebagai karakteristik siswa sekolah menengah atas.
B. Rumusan Masalah