Hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tanggerang Selatan

(1)

PENGGUNAAN STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING

SISWA SMA NEGERI 2 KOTA TANGERANG SELATAN

Disusun Oleh: SYIFA NADLIFAH

105070002260

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i (C) Syifa Nadlifah

(D) Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas dengan Penggunaan Strategi Self-regulated Learning (E) 80 hal, 14 tabel, 5 gambar dan 7 lampiran (F)

Belajar adalah suatu kebutuhan yang vital bagi setiap individu dalam rentang panjang kehidupannya. Dalam pembelajaran siswa di sekolah, ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku belajar siswa, salah satunya adalah persepsi siswa tentang iklim belajar. Siswa yang secara positif mempersepsikan iklim kelas akan melakukan serangkaian strategi belajar yang efektif untuk meningkatkan kemampuan. Dalam penelitian oleh Marsh, Cheng dan Martin, terdapat perbedaan antara siswa putra dan siswa putri dalam penggunaan strategi self-regulated learning.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, melihat perbedaan strategi self-regulated

learning antara siswa putra dan siswa putri, dan besar sumbangan yang

diberikan persepsi tentang iklim kelas terhadap strategi self-regulated

learning. Jumlah responden 90 siswa dipilih secara random dari 360 siswa

kelas XI program IPA dan IPS.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana data yang dihasilkan berupa data yang berbentuk bilangan. Metode yang digunakan adalah metode korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menemukan hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Teknik statistik adalah Pearson Product Momen dalam SPSS 16 for Windows.

Dari hasil uji korelasi didapatkan nilai r hitung 0,450 dengan derajat kebebasan 89 signifikan pada level 0,05 maka diperoleh kesimpulan ada hubungan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi

self-regulated learning. Dari hasil uji t-test juga didapat hasil ada perbedaan

penggunaan strategi self-regulated learning antara siswa putra dan siswa putri dengan nilai 0,014. Siswa putri lebih sering menggunakan strategi evaluasi diri, mencari bantuan (teman dan guru), pencatatan, penetapan dan perencanaan tujuan, pengaturan, pengulangan dan mengingat, dan peninjauan ulang (catatan, ujian atau tugas, dan buku teks). Hasil ini menguatkan hasil penelitian Marsh, Cheng dan Martin yang menyatakan siswa putri lebih sering menunjukkan strategi penetapan dan perencanaan tujuan dan pencatatan. Hasil uji regresi linear menunjukkan sumbangan persepsi tentang iklim kelas terhadap penggunaan strategi self-regulated learning adalah sebesar 20,3%.


(3)

(4)

iii

(D) Correlation Between The Perception of Classroom Climate and The Using of Self-regulated Learning Strategy

(E) 80 pages, 14 tables, 5 pictures, and 7 enclosures (F)

Learning is a vital need for everybody as long as he/she lives. In learning process at school, there are several factors correlating with students learning behavior, one of them is the students’s perception of learning climate. The student who positively perceive the classroom climate will do some effective strategies to improve his/her ability. In the research by Marsh, Cheng, and Martin, there is a difference between girl students and boy students in using the strategy of self-regulated learning.

The aim of this research is to find the correlation between the perception of classroom climate and the using of self-regulated learning strategy at SMAN 2 Kota Tangerang Selatan, to find the differences between boy students and girl students in using self-regulated learning strategy and perception of the classroom climate’s contribution to self-regulated learning strategy . 90 respondents randomly selected from 360 students grade XI program Science and Social.

The research used quantitative approach that produces countable data. It used correlational method, to find the relationship between different variables in population. The statitical technique using Pearson Product Moment, by SPSS 16 for Windows.

The results of study show that r value is 0,450 with degree of freedom 89 (significant) in level 0,05. Therefore it can be concluded that there is a significant relationship between the perception of classroom climate and the using of self-regulated learning strategy. The result from t-test is also shows that there is a difference between boy students and girl students with t-test value 0,014. The girl students use self-evaluation, seeking social assistance (peer and teacher), keeping record and monitoring, goal setting and planning, organizing and transforming, rehearsing and memorizing, and reviewing record (notes, test/work and text books) more than boy students. The result from linear regresion test shows the contribution of perception of classroom climate to self-regulated learning is 20,3%.

For further research, the writer suggests to find other factors which influence the using of self-regulated learning such as self-efficacy and metacognitive process.


(5)

iv

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan berperan serta dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar Ph.D dan juga seluruh staf pengajar dan administrasi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dra. Netty Hartati, M.Si dan Ibu Solicha, M.Si, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan saran yang sangat bemanfaat dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Diana Muti’ah, M.Si selaku pembimbing akademik.

4. Bapak Drs. H. P. Akhmad Sopandy, M.Pd dan Ibu Dra. Hj. Cucu Rostika, M.Pd. Serta seluruh staf pengajar dan administrasi SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

5. Kedua orang tuaku Bapak Drs. Nurhanan dan Ibu Dra. Angen Sumijati yang tanpa pernah putus berdo’a untuk keberhasilan penulis dalam segala hal, termasuk dalam penyelesaian skripsi penulis, serta adik-adikku M. Syafiq Naufal, M. Syauqi Nazhif dan M. Syaifan Nurazzam yang selalu mengingatkan


(6)

v

kebersamaan yang tak tergantikan. Teman-teman angkatan 2005 kelas A: Fika Ratna Yuliati, Ida Isnani, Romi Oktaviardi, dan teman-teman lainnya atas segala keceriaan dan kebersamaan. Special thank to Rahmi Mulia atas bimbingan SPSS-nya, Rizki Kurnia Putri atas panduan skripsi-nya, dan Abang Zainal “Iding” Abidin atas power point-nya. Semoga silaturahim ini selalu terjaga.

7. Adik-adik siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan kontribusi yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kesuksesan selalu menyertai kalian semua.

Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan semuanya dengan berlipat ganda dan penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, amin.

Setu, 4 Juni 2010


(7)

ABSTRACT... .. iii

KATA PENGANTAR... .. iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... . vii

DAFTAR ISI... viii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

1.2.1 Pembatasan masalah... 7

1.2.2 Perumusan masalah... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian... 10

1.4 Sistematika Penulisan... 10

1.5 Teknik Penulisan... 11

BAB 2 KAJIAN TEORI... 12

2.1 Self-Regulated Learning... 12

2.1.1 Definisi self-regulated learning... 14

2.1.2 Strategi-strategi self-regulated learning... 15

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning... 19

2.1.4 Peran self-regulated learning dalam belajar... 25

2.2 Persepsi Tentang Iklim Kelas... 28

2.2.1 Definisi persepsi... 28

2.2.2 Definisi iklim kelas... 29


(8)

2.4 Kerangka Berpikir... 40

2.5 Hipotesis... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN... 43

3.1 Pendekatan Penelitian... 43

3.2 Variabel Penelitian... 44

3.3 Definisi Variabel dan Definisi Operasional Variabel... 44

3.3.1 Definisi variabel... 44

3.3.2 Definisi operasional variabel... 45

3.4 Populasi dan Sampel... 45

3.4.1 Jumlah populasi dan sampel... 45

3.4.2 Teknik pengambilan sampel... 47

3.5 Instrumen Penelitian... 47

3.6 Proses Uji Coba Instrumen... 50

3.7 Analisis Data... 50

3.8 Prosedur Penelitian... 51

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 52

4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 52

4.2 Hasil Uji Instrumen Penelitian... 52

4.3 Uji Persyaratan... 54

4.3.1 Uji normalitas... 54

4.3.2 Uji homogenitas... 61

4.4 Uji Korelasi... 62

4.5 Uji t-test... 63

4.6 Uji Regresi Linear... 65


(9)

x


(10)

vi

3. Tabel 3.3 Blue Print skala self-regulated learning uji coba... 49

4. Tabel 3.4 Skor skala... 49

5. Tabel 4.1 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin... 52

6. Tabel 4.2 Blue Print skala persepsi tentang iklim kelas... 53

7. Tabel 4.3 Blue Print skala self-regulated learning... 53

8. Tabel 4.4 Hasil uji normalitas persepsi tentang iklim kelas... 55

9. Tabel 4.5 Hasil uji normalitas self-regulated learning... 58

10. Tabel 4.6 Hasil uji homogenitas... 61

11. Tabel 4.7 Hasil uji korelasi... 62

12. Tabel 4.8 Hasil uji t-test... 63

13. Tabel 4.9 Hasil F... 65

14. Tabel 4.10 Hasil R square... 66

15. Gambar 2.1 Aspek self-regulated learning... 12

16. Gambar 4.1 Scatterplot persepsi tentang iklim kelas... 56

17. Gambar 4.2 Histogram persepsi tentang iklim kelas... 57

18. Gambar 4.3 Scatterplotself-regulated learning... 59


(11)

vii

2. Hasil skoring skala self-regulated learning saat penelitian

3. Validitas dan reliabilitas skala persepsi tentang iklim kelas dan skala self-regulated learning saat try out

4. Skala persepsi tentang iklim kelas dan self-regulated learning saat penelitian 5. Hasil crosstabs perbedaan self-regulated learning

6. Surat izin penelitian

7. Surat keterangan telah melakukan penelitian di SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan


(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan kesadaran mengenai peranan belajar dalam perkembangan anak, masyarakat modern mulai mendirikan lembaga-lembaga yang secara khusus bertugas mengatur pengalaman-pengalaman belajar sedemikian rupa, sehingga menunjang perkembangan anak didik. Lembaga tersebut biasanya disebut “sekolah” atau “institusi pendidikan formal”. Sekolah menyelenggarakan suatu program pendidikan yang, untuk sebagian, tertuangkan dalam kurikulum pengajaran dan, untuk sebagian tersalurkan melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal. Dikatakan formal karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan terencana dan terorganisasi, termasuk kegiatan dalam rangka proses belajar mengajar di dalam kelas. Kegiatan itu bertujuan menghasilkan perubahan-perubahan positif di dalam diri siswa yang sedang menuju kedewasaan, sejauh perubahan itu dapat diusahakan melalui belajar. Pendidikan di sekolah mengarahkan belajar siswa agar memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang semuanya menunjang perkembangannya. Para pendidik di sekolah diharuskan memiliki keahlian didaktis agar tujuan pendidikan di sekolah tercapai. Guru harus memahami apa hakikat belajar, apa yang mempengaruhi aktivitas belajar itu, bagaimana proses belajar berlangsung, apa ciri-ciri khas dari belajar di bidang


(13)

kognitif, sensorik-motorik serta dinamik-afektif. Baru setelah itu, guru mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses belajar-mengajar di dalam kelas. Mengetahui dan menguasai materi pelajaran, berbagai prosedur didaktis, penggunaan alat-alat peraga dan cara-cara mengadakan evaluasi hasil belajar, tidak mencukupi untuk menunaikan tugas sebagai guru yang baik, guru pun harus mengenal siswa yang belajar dengan baik.

Dalam Ames dan Archer (1988) disebutkan bahwa ada dua kategori orientasi tujuan (achievement goal) yaitu mastery goal dan performance goal. Diantara dua kategori tersebut, siswa yang belajar dengan baik adalah siswa yang memiliki

mastery goal atau siswa yang memiliki fokus pada proses belajar, bukan sekedar

hasil yang dicapai. Karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa lebih berkemauan mengerjakan tugas, memiliki perasaan yang positif terhadap situasi, dan menunjukkan pola perilaku yang adaptif ketika siswa memiliki tujuan menguasai sesuatu yang baru (mastery orientation). Ames dan Archer (1988) juga menyebutkan bahwa situasi kelas yang terbentuk dapat mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mendorong perilaku yang berbeda pada siswa sesuai dengan orientasi tujuan yang diadopsi.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang guru dituntut untuk memiliki keahlian sebagai pendidik serta pengelola proses pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran di dalam kelas merupakan hal yang sangat penting. Karena dalam beberapa penelitian mengenai pembelajaran di dalam kelas, aspek pendidik (guru) merupakan aspek sentral yang dipandang oleh siswa. Bagaimana seorang pendidik mengelola kelas, akan dipersepsikan oleh siswa di dalam kelas. Dalam penelitian


(14)

Church, Elliot dan Gable juga disebutkan bahwa lingkungan kelas atau biasa disebut iklim kelas dan seluruh aspek yang ada di dalamnya ikut mempengaruhi persepsi siswa dan pada akhirnya mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mempengaruhi perilaku belajar siswa. Menurut McCombs dan McCombs dan Quiat (dalam Santrock, 2008) bahwa dalam sebuah studi, persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran yang positif dan hubungan interpersonal dengan guru merupakan faktor paling penting yang memperkuat motivasi siswa dan prestasi siswa.

Iklim kelas merupakan kumpulan dari keadaan di lingkungan tersebut dan diasumsikan bahwa keadaan itu akan mempengaruhi individu. Proses pembelajaran adalah salah satu hal yang dipersepsi oleh siswa di dalam kelas, selain pengajar itu sendiri. Disinilah peran pengajar untuk membuat situasi kelas menjadi daya tarik bagi siswa. Aspek lingkungan kelas (environment) ini dapat dikatakan sebagai salah satu aspek dalam analisis mengenai self-regulated

learning. Lingkungan kelas yang telah dipersepsi oleh siswa akan mempengaruhi

aspek individu (person), yaitu siswa mempersepsikan dengan baik lingkungan kelasnya, atau justru sebaliknya. Persepsi mengenai lingkungan kelasnya ini akan mempengaruhi aspek perilaku (behavior). Sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi dalam lingkungan kelas (dimensi-dimensi iklim kelas) akan mempengaruhi perilaku atau strategi yang akan digunakan siswa dalam belajar (strategi self-regulated learning). Keberhasilan siswa juga ditentukan oleh faktor motivasi dan keahlian dalam self-regulated learning, tidak terbatas pada faktor pengembangan aspek kognitif saja.


(15)

Dalam Pintrich dan Schunk (1996) disebutkan bahwa dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lewin, Lippit dan White dijelaskan pengaruh kepemimpinan seorang guru terhadap motivasi dan perilaku siswa. Bagaimanapun iklim suatu kelas, selalu memiliki pengaruh tertentu terhadap siswa di dalamnya. Sebagai contoh adalah penelitian oleh Lewin, Lippit dan White (1939) yang menjelaskan bahwa iklim kelas yang demokratis memiliki pengaruh yang paling baik dibandingkan iklim kelas otoriter dan permisif. Iklim kelas demokratis merupakan iklim kelas yang dapat menciptakan siswa yang berusaha menyelesaikan tugas, kooperatif, dan ramah. Siswa juga menunjukkan kemandirian dan inisiatif yang tinggi, tetap mengerjakan tugas walau tidak ada guru, dan tidak mudah jenuh. Dari uraian di atas, dapat dilihat pengaruh iklim kelas terhadap perilaku siswa. Walaupun iklim kelas yang ada adalah iklim kelas otoriter, tetap memiliki pengaruh tertentu. Karenanya, sangat penting bagi pendidik mengetahui bagaimana menciptakan iklim kelas yang dapat memacu semangat siswa dalam belajar agar siswa dapat mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan, salah satunya dengan menerapkan strategi self-regulated learning.

Self-regulated learning didefinisikan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan dalam belajar. Sejumlah peneliti telah menemukan bahwa siswa dengan prestasi yang tinggi merupakan siswa-siswa yang memiliki

self-regulated dalam belajar (Paris & Paris, 2001; Pintrich, 2000; Pintrich & Schunk, 2002; Zimmerman, 1998, 2000, 2001; Zimmerman & Schunk, 2001, dalam Santrock, 2008).


(16)

Self-regulated learning memiliki peran yang penting dalam menunjang keberhasilan studi siswa. Self-regulated learning merupakan suatu terminologi yang membuka wacana baru tentang faktor-faktor determinan keberhasilan siswa dalam belajar. Konsep tentang self-regulated learning telah merubah perspektif fokus analisis keberhasilan belajar dari kemampuan belajar siswa atau potensi belajar siswa dan lingkungan belajar di sekolah atau di rumah sebagai suatu entitas yang “fixed”, kini digantikan oleh kesanggupan siswa secara personal untuk merancang sendiri strategi belajar dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar dan kesanggupannya untuk mengelola lingkungan yang kondusif untuk belajar (Zimmerman, 1989). Karenanya, sangat penting bagi siswa mengerti bahwa dirinyalah yang sesungguhnya memiliki peranan utama dalam keberhasilan dalam belajar. Dengan memahami konsep self-regulated learning, siswa diasumsikan akan memiliki prestasi yang tinggi seperti yang telah ditemukan dari beberapa penelitian para ahli.

Zimmerman (1989) menekankan bahwa untuk dapat dikatakan self-regulated, proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademiknya. Strategi self-regulated learning adalah aksi dan proses mendapatkan informasi dan keterampilan secara langsung yang mengandung unsur melakukan aksi, tujuan, dan implementasi persepsi oleh pelajar.

Mengembangkan self-regulated learning adalah salah satu strategi yang penting agar siswa dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan kegiatan belajarnya, target dan cara mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan mengembangkan


(17)

self-regulated learning, siswa akan mampu mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki dan melakukan sesuatu karena mereka menginginkan yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Uraian mengenai iklim kelas dimana iklim kelas ini mempengaruhi orientasi tujuan yang selanjutnya mempengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku belajarnya, maka diharapkan siswa memiliki persepsi iklim yang bagus sehingga memiliki orientasi tujuan penguasaan (mastery goal) yang kemudian strategi-strategi self-regulated learning akan semakin sering digunakan karena siswa mempersepsikan suasana belajar di dalam kelas sebagai suasana yang menyenangkan dan memunculkan perilaku belajar yang positif.

Dalam hal self-regulated learning, perbedaan jenis kelamin juga menjadi catatan tersendiri mengingat penelitian yang dilakukan oleh Marsh, Cheng dan Martin (2008) menyebutkan bahwa siswa putri lebih mudah termotivasi dibanding siswa putra. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) yang menyebutkan bahwa siswa putri lebih sering menunjukkan strategi goal setting and planning, keeping records and monitoring,

dan environmental structuring daripada siswa putra. Namun siswa putra lebih

sering menggunakan respon other daripada siswa putri.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Ames & Archer, 1988; Church, Elliot & Gable, 2001) hanya sampai pada hasil yang menunjukkan bahwa persepsi iklim kelas yang positif akan mempengaruhi orientasi tujuan, namun belum sampai pada strategi apa saja yang digunakan siswa guna mewujudkan orientasi tujuan belajarnya tersebut.


(18)

Karena itu, penulis tertarik untuk membuktikan adanya “Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas Dengan Penggunaan Strategi Self-Regulated Learning Siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan”.

Dengan judul tersebut penulis berharap dapat mengetahui strategi

self-regulated learning yang digunakan siswa yang disebabkan oleh persepsi iklim

kelas.

Berdasarkan judul diatas maka permasalahan yang mungkin muncul adalah gambaran persepsi siswa mengenai iklim kelas dimana siswa tersebut belajar, hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated

learning, self-regulated learning sebagai dampak dari persepsi tentang iklim

kelas, perbedaan strategi self-regulated learning antara siswa putra dan siswa putri, perbedaan penggunaan self-regulated learning berdasarkan persepsi tentang iklim kelas, dan sumbangan persepsi tentang iklim kelas kepada penggunaan strategi self-regulated learning.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup :

1. Persepsi tentang iklim kelas

Persepsi tentang iklim kelas yang dimaksud adalah interpretasi siswa mengenai hal-hal yang diterima di kelas, yang meliputi persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi


(19)

dan metode pengajaran yang dilakukan guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori

Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam

evaluasi yang diberikan guru (kategori Recognition dan

Evaluation). Dibatasi hanya pada tiga hal dikarenakan ketiga hal

tersebut merupakan hal yang paling mempengaruhi orientasi tujuan siswa dan selanjutnya mempengaruhi strategi belajar siswa (Church, Elliot & Gable, 2001).

2. Strategi self-regulated learning

Strategi self-regulated learning yang dimaksud adalah ke-12 strategi yang disusun oleh Zimmerman dan Pons (1988). Yaitu evaluasi diri, pengaturan, penetapan dan perencanaan tujuan, pencarian informasi, pencatatan, konsekuensi diri, pengulangan dan mengingat, meminta bantuan teman, meminta bantuan guru, mengulang catatan, mengulang ujian atau tugas, dan membaca buku teks. Sedangkan untuk strategi pengaturan lingkungan dan meminta bantuan orang dewasa tidak dipergunakan karena penulis hanya memfokuskan pada lingkungan kelas, bukan lingkungan belajar di luar sekolah. Dan other pada dasarnya bukan merupakan strategi self-regulated learning karena other merupakan respon non-strategic yang muncul sebagai hasil interview yang dikembangkan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988).


(20)

1.2.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi siswa mengenai iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan ?

2. Apakah ada perbedaan penggunaan strategi self-regulated learning antara siswa putra dan siswa putri ?

3. Berapa besar sumbangan persepsi tentang iklim kelas kepada penggunaan strategi self-regulated learning ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan. Hal ini dikarenakan hasil penelitian oleh Church, Elliot dan Gable menunjukkan bahwa persepsi tentang iklim kelas mempengaruhi orientasi tujuan siswa, belum sampai strategi yang digunakan sebagai kelanjutan dari pengaruh persepsi tentang iklim kelas. Beberapa penelitian (Ames & Archer, 1988; Church, Eliiot & Gable,2001) menunjukkan bahwa persepsi tentang iklim kelas secara tidak langsung mempengaruhi perilaku belajar siswa. Karena itu, penulis memiliki tujuan melihat hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan melihat perbedaan penggunaan strategi self-regulated


(21)

learning antara siswa putra dan siswa putri serta melihat berapa besar sumbangan yang diberikan persepsi tentang iklim kelas terhadap strategi self-regulated learning.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam psikologi pendidikan. Bagi pengembangan keilmuan diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan pustaka untuk mengkaji masalah iklim kelas dan strategi self-regulated learning siswa SMA.

Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para pendidik, siswa, serta umumnya bagi masyarakat pemerhati masalah pendidikan.

1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisan adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan, dan teknik penulisan.

BAB II : Kajian teori yang meliputi self-regulated learning, persepsi tentang iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka berpikir, dan hipotesis.

BAB III : Metode penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, variabel penelitian, definisi variabel dan definisi operasional variabel,


(22)

populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, prosedur penelitian, dan analisis data.

BAB IV : Presentasi dan analisa data yang meliputi gambaran umum subjek penelitian, kategorisasi subjek, uji persyaratan, hasil penelitian, dan analisis tambahan.

BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran.

1.5 Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan skripsi fakultas psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(23)

BAB 2

KAJIAN TEORI

Dalam bab 2 ini akan dibahas tentang self-regulated learning, persepsi mengenai iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka berpikir, dan diakhiri dengan perumusan hipotesis.

2.1 Self-Regulated Learning

Menurut ahli teori sosial kognitif, self-regulated learning tidak hanya dipengaruhi oleh proses personal saja. Proses personal ini diasumsikan dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku dalam hubungan timbal balik antara kesemuanya.

Person (self)

Environment Behavior

Gambar 2.1 tiga aspek yang saling berhubungan dalam proses self-regulated learning (diadaptasi dari Zimmerman, 1989).

Self-regulation dalam perilaku digambarkan pada gambar 2.1. Siswa yang


(24)

matematika), akan menyediakan informasi mengenai keakuratan dan memeriksa tugas diteruskan melalui umpan balik secara langsung. Dalam penggambaran hubungan timbal balik ini, penyebab utamanya adalah inisiatif dari diri sendiri (self-initiated), yang diimplementasikan melalui serangkaian strategi, dan secara langsung diatur melalui persepsi atas kemampuan. Dengan demikian, self-efficacy

memainkan peranan seperti alat pengatur yang mengatur usaha strategi untuk mendapatkan pengetahuan dan kemahiran melalui umpan balik.

Self-regulation dalam hal lingkungan juga demikian, siswa secara proaktif

melakukan strategi manipulasi lingkungan (misalnya menyusun area untuk belajar yang tenang guna mengerjakan pekerjaan rumah) akan melakukan serangkaian usaha untuk menghalangi respon dalam ruangan seperti mengurangi kebisingan, mengatur pencahayaan yang baik, dan menyusun tempat untuk mengerjakan tugas.

Self-regulation dalam individu diindikasikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Banyak ahli teori sosial kognitif tertarik pada pengaruh proses metakognitif terhadap proses dalam diri seseorang seperti dasar pengetahuan.

Bandura (1986 dalam Zimmerman, 1989) menyimpulkan bahwa proses dalam diri ini saling berhubungan timbal balik dengan faktor lain dalam self-regulated learning ini. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning

memiliki tiga faktor yang saling berhubungan timbal balik selama proses pencapaian pengetahuan atau kemahiran.


(25)

2.1.1 Definisi self-regulated learning

Santrock (2008) mendefinisikan self-regulatory learning sebagai self-generation and self-monitoring of thoughts, feelings, and behaviors in order to

reach a goal (mengatur dan memonitor pikiran, perasaan, dan perilaku guna

meraih suatu tujuan).

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Zimmerman (dalam Schunk, dalam Zaenah, 2007) self-regulation (self-regulated learning) adalah suatu proses dimana siswa secara aktif dan menopang pikiran, perilaku dan pengaruh yang diarahkan secara sistematis untuk mencapai tujuan.

Jadi, self-regulated learning merupakan sebuah cara yang digunakan siswa dalam mencapai tujuan belajar. Zimmerman (1989) juga menyebutkan bahwa siswa yang memiliki self-regulated adalah siswa yang secara metakognitif, motivasi, dan perilakunya aktif dalam proses belajarnya.

Zimmerman (1989) menyatakan ada tiga hal mendasar dalam self-regulated

learning yaitu strategi self-regulated learning, keyakinan terhadap kemampuan

diri sendiri, dan komitmen terhadap tujuan akademik.

Siswa perlu melakukan serangkaian strategi sebagai langkah nyata bahwa dirinya memang mengatur secara mandiri apa yang harus dilakukannya demi mencapai tujuan belajar dan memiliki self-efficacy atau rasa kesanggupan yang tinggi. Hal inilah yang dimaksud dengan pengaturan metakognitif, dimana dalam proses metakognitif ini siswa melakukan serangkaian strategi seperti merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan


(26)

melakukan evaluasi diri selama proses mencapai kemahiran berlangsung (Zimmerman, 1989).

Menurut Schunk (1998, dalam Zaenah, 2007), self-regulated learning bukan kemampuan mental seperti inteligensi atau kemampuan akademik, tetapi lebih kepada proses mengarahkan diri untuk mengubah kemampuan mental menjadi kemampuan akademik. Woolfolk (2004) mendefinisikan self-regulated learner

adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam belajar dan disiplin diri yang membuat mereka lebih mudah dalam belajar dan motivasinya selalu terpelihara. Siswa yang memiliki pengaturan diri dalam belajar (self-regulated learners) melihat kemampuan atau kemahiran sebagai proses yang terkontrol dan terstruktur, dan mereka menerima tanggung jawab yang lebih demi pencapaian tujuan akademiknya (Zimmerman & Martinez-Pons, 1990). Dapat dikatakan bahwa kemahiran itu merupakan tujuan belajar seseorang, sehingga dari pernyataan tersebut dapat diperkuat lagi dengan pernyataan bahwa seseorang yang

self-regulated memiliki karakteristik yang salah satunya memiliki tujuan.

Maka, self-regulated learning merupakan suatu aktivitas terstruktur dalam belajar yang dilakukan oleh siswa guna mencapai tujuan belajar dengan melakukan serangkaian strategi.

2.1.2 Strategi-strategi self-regulated learning

Zimmerman (1989) menyatakan bahwa strategi self-regulated learning adalah aksi dan proses yang diarahkan untuk meraih pengetahuan atau keahlian yang meliputi aksi, tujuan, dan implementasi persepsi oleh siswa.


(27)

Siswa melakukan serangkaian strategi belajar (strategi self-regulated learning) sebagai langkah nyata mencapai tujuan belajarnya. Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) mengembangkan wawancara terstruktur (structured interview) untuk melihat strategi self-regulated learning siswa dan menemukan empat belas strategi self-regulated learning yang biasa dilakukan siswa di kelas ditambah satu respon jawaban yang bukan merupakan strategi self-regulated learning yang diberi label other . Kelima belas strategi tersebut adalah:

1. Evaluasi diri (Self-evaluation)

Self-evaluation adalah inisiatif siswa untuk melihat kualitas atau kemajuan

pekerjaan yang dikerjakannya, pemahaman akan situasi kerja yang berhubungan dengan tugas, atau usaha yang terkait dengan tugas.

2. Pengaturan (Organizing and transforming)

Inisiatif siswa dalam mengatur ulang materi instruksional baik secara overt

atau covert untuk meningkatkan proses belajar.

3. Penetapan dan perencaan tujuan (Goal setting and planning)

Siswa menetapkan tujuan atau sub-tujuan dan merencanakan untuk mengurutkan, memperhitungkan waktu, dan menyelesaikan aktivitas yang berkaitan dengan mencapai tujuan tersebut.

4. Pencarian informasi (Seeking information)

Usaha siswa dalam mencari informasi pada sumber yang tidak biasa ketika menyelesaikan sebuah tugas.

5. Pencatatan (Keeping record and monitoring)


(28)

6. Pengaturan lingkungan (Environmental structuring)

Inisiatif siswa dalam usaha untuk mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu sehingga membantu mereka belajar lebih baik.

7. Konsekuensi diri (Self consequences)

Siswa membayangkan rewards atau punishment bila ia sukses atau gagal dalam menyelesaikan suatu tugas atau ujian.

8. Pengulangan dan Mengingat (Rehearsing and memorizing)

Peserta didik berusaha mengingat bahan bacaan dengan menggunakan perilaku yang overt maupun covert.

9-11. Mencari bantuan dari orang sekitar (Seeking social assistance)

Siswa berusaha meminta bantuan kepada orang lain. Strategi ini berbeda dengan kategori satu yang dimana siswa secara khusus bertanya kepada seseorang untuk memeriksa tugasnya.

9. Meminta bantuan teman (Seek peer assistance)

Meminta bantuan kepada teman sebaya jika menghadapi masalah dengan tugas.

10. Meminta bantuan guru (Seek teacher assistance)

Bertanya kepada pengajar di kelas maupun di luar kelas dengan tujuan agar dapat membantu dalam menyelesaikan tugas.

11. Meminta bantuan orang dewasa (Seek adult assistance)

Meminta bantuan orang dewasa (termasuk orang di luar tutor dan semua orang yang tidak termasuk kedua kategori di atas) yang berada di dalam dan di luar lingkungan belajar jika ada topik yang tidak dipahaminya.


(29)

12-14. Peninjauan ulang (Reviewing record)

Siswa berusaha untuk memperbaiki atau meninjau ulang tugas yang dikerjakannya.

12. Mengulang catatan (Reviewing notes)

Siswa memeriksa ulang catatan sehingga ia tahu topik yang akan diujikan sebelum mengikuti ujian.

13. Mengulang ujian atau tugas (Review test/work)

Menjadikan ujian-ujian yang telah lewat dan tugas-tugas yang telah dikerjakan sebagai sumber informasi untuk belajar.

14. Membaca buku teks (Review text books)

Menjadikan buku teks sebagai sumber informasi dalam belajar. 15. Lain-lain (Other)

Mengindikasikan penyelesaian masalah yang tetap dilakukan oleh siswa untuk berhasil dalam tugasnya atau untuk menggunakan sumber dari dalam dirinya. Other merupakan respon non strategi yang muncul berdasarkan beberapa konteks lingkungan belajar dalam penelitian yang dilakukan Zimmerman dan Martinez-Pons (1988).

Dalam Zimmerman (1989) disebutkan bahwa strategi-strategi di atas digunakan untuk mengatur tiga aspek yang terdapat dalam self-regulated learning. Sebagai contoh, strategi organizing and transforming, rehearsing and

memorizing, dan goal setting and planning berfokus pada pengoptimalan


(30)

didesain untuk meningkatkan fungsi perilaku. Strategi environmental structuring,

seeking information, reviewing, dan seeking assistance dimaksudkan untuk

mengoptimalkan pemanfaatan siswa akan lingkungan belajarnya.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning

Menurut Zimmerman dan Schunk (2001) dan Pintrich dan Schunk (2002) (dalam Santrock, 2008) menyebutkan bahwa perkembangan self-regulated learning dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya modelling dan self-efficacy. Sedangkan jika mengacu pada teori sosial kognitif, self-regulated learning

dipengaruhi oleh tiga faktor besar, yaitu: 1. Faktor individu (Personal influences)

Personal siswa merupakan salah satu faktor penting dalam self-regulated learning. Salah satu bagian dalam personal siswa ini adalah self-efficacy (rasa mampu diri). Self-efficacy ini sangat berkaitan dengan bagian-bagian lainnya dalam personal siswa, yaitu pengetahuan siswa (student’s knowledge), proses metakognitif (metacognitive process), tujuan (goals), dan afeksi (affects).

a. Kemampuan diri (Self-efficacy)

Para ahli teori sosial kognitif mengasumsikan bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci dalam self-regulated learning (Bandura, 1986, dalam Zimmerman, 1989). Zimmerman (1989), mendefinisikan self-efficacy

didefinisikan sebagai persepsi akan kemampuan diri dalam mengelola dan melakukan tindakan-tindakan yang penting untuk mencapai tingkat performa keterampilan dalam suatu tugas. Sementara Bandura (1995, dalam Zaenah,


(31)

2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghadapi dan mengatasi situasi tertentu yang akan dihadapi serta berpengaruh pada bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan memotivasi dirinya.

Sedangkan dalam Santrock (2008) Bandura menyebutkan self-efficacy dapat mempengaruhi siswa dalam memilih suatu tugas, usahanya, ketekunannya, dan prestasinya. Dibandingkan dengan siswa yang meragukan kemampuan belajarnya, siswa yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi suatu kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.

Bandura (1995, dalam Zaenah, 2007) juga mengungkapkan ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan self-efficacy seseorang. Keempat faktor tersebut adalah mastery experience, vicarious experience, social persuasion, serta

physiological and emotional states. Mastery experience adalah pengalaman

keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugas sebelumnya. Vicarious

experience adalah pengalaman seseorang dalam melihat keberhasilan orang lain

yang memiliki kemiripan ciri dengannya. Social persuasion didefinisikan sebagai suatu cara untuk meyakinkan seseorang bahwa ia memiliki sesuatu yang diperlukan untuk berhasil, dan faktor yang terakhir adalah physiological and emotional states yang berarti keadaan fisik dan emosi pada saat menghadapi tugas tertentu dimana dapat mempengaruhi keyakinan seseorang akan kemampuannya


(32)

dalam menghadapi tugas tersebut. Tinggi rendahnya self-efficacy seseorang ditentukan oleh keempat faktor di atas. Sedangkan menurut Kurt dan Borkowski (1984, dalam Zimmerman, 1989) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki

self-efficacy yang tinggi menunjukkan strategi belajar yang lebih baik. b. Pengetahuan siswa (student’s knowledge)

Dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated

learning menurut Zimmerman (1989) yaitu:

• Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge)

Menurut Siegler (1982, dalam Zimmerman, 1989) pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang dikelola dalam bagian subjek dan predikat, memiliki hubungan yang jelas dengan kejadian di dunia luar, terpisah dari struktur pengawasan (proses metakognitif), dan tidak dipengaruhi oleh konteks kondisi.

• Pengetahuan regulasi diri (self-regulative knowledge)

Yaitu pengetahuan yang mengandung pengetahuan procedural

dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan procedural adalah pengetahuan tentang bagaimana seseorang memakai strategi sedangkan pengetahuan kondisional berkaitan dengan kapan dan mengapa strategi yang dipakai dapat efektif.

Sebagai contoh yang menunjukkan bahwa kedua pengetahuan ini saling berhubungan adalah pengetahuan umum siswa mengenai matematika akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan mereka untuk membagi tugas mingguan ke dalam tugas yang dikerjakan setiap hari.


(33)

c. Tujuan (goal)

Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting. Penetapan tujuan jangka panjang merupakan langkah awal dalam mengambil keputusan metakognitif. Hal ini sesuai dengan Zimmerman (1989) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa.

d. Proses metakognitif (metacognitive process)

Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur penyeleksian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Pengambilan keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa (Zimmerman, 1989). Dalam proses metakognitif, seseorang yang melakukan pengaturan diri dalam belajar (self-regulated learning) itu merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan melakukan evaluasi diri selama proses kemahiran itu berlangsung (Corno, 1986, 1989; Ghatala, 1986; Pressley, Borkowski, & Schneider, 1987 dalam Zimmerman, 1990, dalam Zaenah, 2007).

e. Afeksi (affect)

Zimmerman (1989) mengungkapkan bahwa afektif dapat juga mempengaruhi fungsi self-regulated. Misalnya, terdapat sebuah bukti bahwa kecemasan menghambat proses metakognitif, terutama proses mengontrol tindakan.


(34)

2. Faktor perilaku (Behavioral influences)

Tiga kategori tindakan siswa terutama bagian yang relevan dalam melakukan analisis self-regulated learning adalah: self-observation, self-judgement, dan

self-reaction.

a. Observasi diri (Self-observation)

Self-observation merupakan respon siswa yang melibatkan pemantauan yang

sistematis terhadap performanya. Self-observation dipengaruhi oleh beberapa proses dalam diri (personal process) seperti self-efficacy, penetapan tujuan, dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku mempengaruhinya. Dua metode perilaku self-observation antara lain: (a) laporan dalam bentuk lisan atau tulisan dan (b) data kuantitatif akan aksi dan reaksinya.

b. Penilaian diri (Self-judgement)

Self-judgement adalah respons yang melibatkan pembandingan yang sistematis

antara performa (hasil kerjanya) dengan standar atau tujuan yang ditetapkan. Dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali prosedur dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil orang lain atau dengan standar tertentu. Self-judgement berkaitan dengan proses self-regulated learning personal seperti persepsi akan efficacy. c. Reaksi diri (Self-reaction)

Self-reaction melibatkan proses dalam diri seperti penetapan tujuan,

self-efficacy, dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku

mempengaruhinya. Zimmerman (1989) mengungkapkan bahwa berdasarkan teori sosial kognitif, self-reaction ini terdiri dari tiga jenis: (a) behavioral


(35)

self-reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respons belajar yang spesifik, (b) personal self-reaction yang digunakan untuk meningkatkan proses-proses dalam dirinya selama belajar, dan (c) environmental

self-reaction dimana siswa meningkatkan lingkungan-lingkungannya.

3. Faktor lingkungan (Environmental influences)

Para ahli teori sosial kognitif telah banyak memberikan perhatian pada pengaruh pengalaman sosial dan pengalaman enactive (langsung). Dalam Zimmerman (1989) diungkapkan bahwa dua jenis lingkungan yang mempengaruhi

self-regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur dari lingkungan

belajar. Salah satu bagian dari pengalaman sosial yang berpengaruh dalam

self-regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara langsung terhadap

perilakunya sendiri dan hasil yang diperoleh dari perilaku tersebut.

Bandura (1986, dalam Zimmerman, 1989) mengungkapkan akan pentingnya pengalaman enactive (langsung) dalam memberikan umpan balik mengenai kemampuan diri sendiri sekaligus pengetahuan deklaratif dan pengetahuan

self-regulative pada siswa. Perasaan mampu untuk mempelajari sesuatu ini

diasumsikan memotivasi pemilihan dari penerapan strategi selanjutnya. Bagian lain dari pengalaman sosial ini adalah modeling.

Modelling merupakan sebuah proses dimana observer menampilkan

pemikiran, keyakinan, strategi, dan aksi setelah hal tersebut dilakukan oleh satu orang atau lebih model (Schunk, 1987 dalam Schunk, 1998, dalam Zaenah, 2007).


(36)

Model merupakan sumber untuk menampilkan keterampilan dalam

self-regulatory. Yang dapat ditiru dari model diantaranya adalah dalam merencanakan

dan mengelola waktu secara efektif, menampilkan dan menetapkan, mengelola dan mengkodekan informasi secara strategis, membangun lingkungan kerja/belajar yang produktif, dan menggunakan sumber-sumber sosial. Modelling

dari strategi-strategi self-regulated learning yang efektif dapat meningkatkan

self-efficacy siswa, baik bagi siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan maupun

siswa yang yakin akan kemampuannya (Zimmerman, 1989).

2.1.4 Peran self-regulatedlearning dalam belajar

Self-regulated learning memiliki peran yang penting dalam menunjang

keberhasilan studi siswa. Peran self-regulated learning dapat dilihat dari batasan-batasan sebagai berikut ini.

Zimmerman (1989) mendefiniskan self-regulated learning sebagai derajat metakognitif, motivasional, dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan Winne dan Wolters (dalam Nugroho, 2003) mengatakan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Sementara itu Frank dan Robert (1988, dalam Nugroho, 2003) mengatakan bahwa self-regulation

merupakan kemampuan diri untuk memonitor pemahamannya, untuk memutuskan kapan ia siap diuji, untuk memilih startegi pemrosesan informasi yang adekuat


(37)

dan sejenisnya. Dikatakan pula bahwa self-regulated learning mencakup tiga tahap kegiatan yakni sebelum, selama, dan sesudah melaksanakan tugas belajar. Dari batasan-batasan yang diberikan diatas jelaslah terlihat bagaimana peran

self-regulated learning dalam pencapaian tujuan belajar. Dengan melakukan self-regulated learning serta strategi-strategi self-regulated learning, siswa akan mampu mengoptimalkan kemampuannya dengan mengefektifkan pengalaman belajarnya.

Markus & Wurf (1989, dalam Nugroho, 2003) mendeskripsikan bahwa dalam pandangan umum yang dapat diterima, self-regulated learning selalu mengarah pada beberapa tujuan. Dalam hal ini Markus & Wurf (1989) mencatat beberapa tahapan kerja pencapaian tujuan yang berlangsung dalam konteks self-regulated learning sebagai berikut:

™ Tahap pertama yakni pemilihan atau penentuan tujuan belajar yang mana ditentukan oleh 1) Harapan tentang self-competencies dan luaran yang didapat dari pelaksanaan tugas, 2) Faktor-faktor afektif seperti kebutuhan-kebutuhan, motivasi dan nilai-nilai, 3) Keinginan dalam self-conception

sebagai yang digambarkan dalam tujuan umum kehidupan yang telah dirumuskan sesuai selera pribadinya ke dalam tujuan-tujuan sementara dan perilaku-perilakunya.

™ Tahap kedua dalam self-regulated learning yaitu berupa membuat perencanaan, dan memilih strategi pencapaian tujuan.


(38)

™ Tahap pelaksanaan dan evaluasi yang berisi monitoring,

self-evaluation processes untuk membantu memelihara atau mempertahankan

perhatian, membandingkan tujuan-tujuan yang aktual dengan tujuan-tujuan yang diharapkan dan berupaya untuk mengurangi adanya kesenjangan penampilan bagi keberhasilan individu dalam belajar, memecahkan masalah dan melakukan transfer of learning serta keberhasilan akademik secara umum (Winne, 1997, dalam Nugroho, 2003).

Konsep tentang self-regulated learning telah merubah perspektif fokus analisis keberhasilan belajar dari kemampuan belajar siswa atau potensi belajar siswa dan lingkungan belajar di sekolah atau di rumah sebagai sesuatu yang

“fixed”, kini digantikan oleh kesanggupan siswa secara personal untuk merancang

sendiri strategi belajar dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar dan kesanggupannya untuk mengelola lingkungan yang kondusif untuk belajar (Zimmerman, 1989).

Konsep self-regulated learning membalikkan semua paradigma lama yang menempatkan potensi belajar siswa dan lingkungan sebagai sesuatu yang “fixed”

serta berperan sebagai determinan faktor dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Sebab, self-regulated learning berasumsi bahwa a) Siswa secara personal dapat meningkatkan kemampuannya untuk belajar melalui penggunaan metakognitif strategi dan motivasional strategi yang selektif, b) Siswa secara proaktif dapat memilih struktur, dan mengkreasi lingkungan belajar yang menguntungkan untuk mencapai tujuan belajar, c) Siswa dapat memainkan peran


(39)

yang signifikan dalam memilih bentuk dan aktivitas belajar sesuai dengan kebutuhannya.

Teori self-regulated learning berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana siswa-siswa tertentu akan tetap dapat belajar dan berprestasi meskipun memiliki keterbatasan dalam mental ability, latar belakang lingkungan sosial, atau kualitas sekolah. Teori self-regulated learning juga memberikan penjelasan dan deskripsi tentang mengapa kadang ada siswa yang mengalami kegagalan dalam studi meskipun mereka memiliki keunggulan dalam mental ability, latar belakang lingkungan sosial, dan kualitas sekolah yang baik.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana peran self-regulated learning

dalam belajar. Self-regulated learning merupakan cara siswa meningkatkan keberhasilan belajar dengan melakukan serangkaian strategi yang menuntut siswa proaktif selama mencapai kemahiran atau keberhasilan yang ditetapkan. Strategi yang dijalankan meliputi pengaturan terhadap diri sendiri, perilaku, dan lingkungan dimana siswa itu berada.

2.2 Persepsi Tentang Iklim Kelas 2.2.1 Definisi persepsi

Chaplin (2002) menyebutkan bahwa persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Hal ini selaras dengan Matlin (2002) yang menyatakan bahwa persepsi merupakan penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah dan menginterpretasikan


(40)

stimulus yang diterima oleh indera. Persepsi terhadap suatu objek dapat dijelaskan melalui teori pemrosesan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah (

bottom-up-top-down processing). Dalam memproses suatu stimulus, seseorang akan

mencatat stimulus dalam resptor sensoris. Hadirnya stimulus akan menggerakkan proses pengenalan objek. Informasi yang diterima oleh reseptor akan “bergerak” dari tingkat pengenalan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam korteks sehingga objek dapat dikenali. Bersamaan dengan terjadinya proses

bottom-up terjadi juga proses top down. Proses ini menekankan bagaimana konsep yang sudah dimiliki seseorang dan proses mental tingkat tinggi mempengaruhi pengenalan objek. Dapat dikatakan bahwa konsep yang sudah dimiliki, harapan, dan ingatan akan membantu seseorang dalam mengidentifikasi suatu objek. Harapan ini terbentuk berdasarkan pengalaman di masa lalu.

Persepsi terhadap stimulus akan berdampak terhadap beberapa hal. Dalam kaitannya dengan iklim kelas, guru merupakan objek yang sangat penting yang akan dipersepsi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku siswa.

2.2.2 Definisi iklim kelas

Banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan seseorang di berbagai bidang. Khususnya di bidang akademis, Winkel (dalam Ramelan, 1989) berpendapat bahwa faktor-faktor yang berperan dalam proses belajar individu adalah faktor yang ada dalam diri individu dan faktor yang ada di luar diri individu. Faktor dalam diri individu adalah faktor fisik antara lain adalah kondisi fisik individu yang memungkinkan untuk belajar seperti misalnya penglihatan,


(41)

pendengaran, dan sebagainya. Sedangkan faktor psikisnya adalah inteligensi dan non inteligensi seperti misalnya motivasi, cara belajar, minat, ataupun tingkat aspirasi. Adapun faktor di luar individu antara lain adalah pengaturan proses belajar di sekolah, faktor sosial maupun iklim belajar mengajar.

Tahun 1970 di Amerika Serikat dilakukan serangkaian studi observasi terhadap lingkungan kelas. Dari studi ini disimpulkan bahwa prinsip pengajaran, praktek pengajaran dan profil tingkah laku berhubungan dan mempengaruhi prestasi siswa (Anderson, 1987, dalam Ramelan, 1989). Dengan demikian, peristiwa yang terjadi di dalamnya dan iklim psikologis yang tercermin di dalamnya berkaitan erat dengan tingkah laku individu yang berada dalam lingkungan tersebut.

Reilly dan Lewis (1983) memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu yang mengarah pada dimensi psikologis dan sosial seperti tingkat kedisiplinan, fleksibilitas, kecemasan, kontrol guru, aktivitas dan stimulasi.

Sedangkan Engel dan Tannenbaum (1973 dalam Ramelan, 1989) memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu iklim psikologis yang dapat dijelaskan dalam istilah harapan, sangsi, dan kode yang terdapat dalam pertukaran individu-sosial, seperti kegiatan belajar yang spesifik, metode pengajaran oleh guru, perlengkapan dan penilaian (evaluasi).

Dari dua pendapat tersebut dapat diambil definisi mengenai iklim kelas yaitu kondisi psikologis yang tercermin dari suatu lingkungan kelas sebagai tempat belajar mengajar sebagaimana yang dipersepsikan oleh individu yang ada didalamnya. Kondisi psikologis tersebut terbentuk karena adanya faktor-faktor


(42)

yang ada dalam lingkungan kelas itu seperti faktor administratif, disiplin, formalitas, emosi, sosial, di mana kesemuanya tidak terpisahkan dan saling berinteraksi sehingga mempengaruhi individu di dalamnya. Disini terlibat juga proses persepsi yaitu bagaimana seseorang melihat, mendengar atau merasakan lingkungan di sekitarnya, atau apa saja yang dialami oleh orang tersebut (Morgan, King & Robinson, 1979, dalam Ramelan, 1989). Dengan demikian bagaimana iklim kelas dalam suatu lingkungan kelas adalah sebagaimana yang dipersepsi individu.

2.2.3 Karakteristik lingkungan kelas

Woolfolk (1987, dalam Ramelan, 1989) berpendapat bahwa lingkungan kelas dan penghuni lingkungan tersebut, pengajar dan pelajar, saling berhubungan. Masing-masing aspek dalam lingkungan tersebut saling mempengaruhi dan membentuk karakteristik tertentu dan bagaimana sifat-sifat atau karakteristik yang ada selanjutnya akan mempengaruhi “atmosphere” atau iklim psikologis lingkungan kelas tersebut.

Doyle (dalam Woolfolk, 1987) mengemukakan enam karakteristik yang ada dalam lingkungan kelas yaitu:

a. Lingkungan kelas bersifat multidimensional

Suatu lingkungan kelas berisi manusia, tugas-tugas, tekanan-tekanan atau harapan-harapan tertentu. Masing-masing individu memiliki tujuan yang berbeda-beda, kemampuan yang berbeda-beda dan motivasi yang berbeda-beda. Demikian pula dengan jumlah dan sifat tugas ataupun derajat kesulitan tertentu.


(43)

Dengan demikian tingkah laku-tingkah laku individu yang ada pun dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai faktor.

b. Lingkungan kelas bersifat berkesinambungan

Segala sesuatu dalam lingkungan kelas terjadi secara bersamaan. Pengajar yang menerangkan pelajaran, pelajar yang memperhatikan, menulis atau membaca terjadi dalam waktu berkesinambungan.

c. Lingkungan kelas bersifat “immediacy” (kesegeraan)

Sifat ini berkaitan dengan “langkah-langkah” yang cepat dalam kehidupan di lingkungan kelas tersebut. Apa saja yang terjadi di lingkungan kelas selalu bersamaan dan cepat. Interaksi pengajar dan pelajar, interaksi antar pelajar itu sendiri terjadi berpuluh-puluh kali dalam satu hari dan dalam tempo yang cepat. d. Lingkungan kelas bersifat tidak dapat diramalkan (unpredictable)

Segala kejadian-kejadian dalam lingkungan kelas dapat berlangsung secara cepat dan tidak diduga. Proses belajar mengajar dapat saja terganggu bila ada pelajar yang datang terlambat atau listrik tiba-tiba padam. Kejadian-kejadian tersebut akan mempengaruhi proses belajar itu sendiri.

e. Lingkungan kelas bersifat umum (public)

Bagaimana pengajar menangani kegiatan belajar mengajar di kelas dilihat dan dinilai oleh semua pihak karena lingkungan kelas bersifat umum. Pelajar akan selalu memperhatikan bagaimana tingkah laku pengajar. Apa saja yang terjadi dalam lingkungan kelas tersebut dapat dipersepsi secara sama atau berbeda.


(44)

f. Lingkungan kelas memiliki nilai sejarah (historis)

Arti dari tingkah laku pengajar dan pelajar tergantung dari apa yang telah terjadi pada saat-saaat sebelumnya. Bagaimana tingkah laku individu saat ini adalah juga tergantung dari pengalaman-pengalamannya yang ia dapatkan di lingkungan itu.

2.2.4 Dimensi-dimensi iklim kelas

Beberapa peneliti motivasi memfokuskan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orientasi tujuan penguasaan (mastery goal orientation). Walaupun hal tersebut dipengaruhi oleh teori tujuan (goal theory), namun relevan dengan struktur di dalam kelas. Epstein (1989 dalam Pintrich dan Schunk, 1996) mengidentifikasi enam faktor yang terdapat di dalam kelas yang mempengaruhi motivasi atau orientasi tujuan siswa, umumnya disingkat TARGET. Keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tugas yang harus dikerjakan oleh siswa (Task)

Dimensi Task berfokus pada desain aktivitas belajar dan pemberian tugas. Berbagai strategi motivasi menghasilkan bermacam cara agar aktivitas ini dapat meningkatkan orientasi tujuan penguasaan. Strategi-strategi tersebut meliputi membuat pembelajaran menjadi menarik, membuat berbagai macam tantangan untuk siswa, membantu siswa merancang tujuan yang realistik, dan mengembangkan kemampuan siswa dalam manajemen dan pengorganisasian serta strategi yang efektif.


(45)

2. Otonomi yang diberikan pada siswa ketika mereka sedang mengerjakan tugas (Authority)

Dimensi Authority memperlihatkan kesempatan yang dapat siswa gunakan untuk memainkan peran kepemimpinan dan mengembangkan rasa kemandirian dan mengontrol aktivitas belajar. Authority sangat menunjang dengan memperbolehkan siswa untuk berparisipasi dalam pengambilan keputusan, memberikan siswa pilihan-pilihan dan peran kepemimpinan, dan mengajarkan siswa kemampuan agar dapat memiliki tanggung jawab dalam belajar. Persepsi siswa terhadap kompetensi akan meningkat di dalam kelas yang memberikan kemandirian dalam kadar yang lebih besar. 3. Pemberian penghargaan bagi prestasi siswa (Recognition)

Dimensi Recognition berhubungan dengan penggunaan hadiah, insentif, dan penghargaan yang memiliki konsekuensi penting terhadap motivasi siswa dalam belajar. Untuk meningkatkan orientasi tujuan penguasaan, Ames (1992 dalam Pintrich dan Schunk, 1996) merekomendasikan agar guru menghargai usaha, peningkatan, dan hasil belajar siswa; memberikan kesempatan bagi seluruh siswa untuk mendapatkan hadiah; dan menggunakan bentuk penghargaan yang berbeda.

4. Pengorganisasian kelas sehingga siswa dapat saling bekerja sama dan berinteraksi (Grouping)

Dimensi Grouping berfokus pada kemampuan siswa untuk bekerja sama secara efektif dengan siswa lainnya. Untuk mengembangkan atmosfer dimana keberagaman siswa tidak berakibat pada keberagaman motivasi,


(46)

guru sebaiknya menyediakan kesempatan bagi siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dan interaksi antar sesama siswa di dalam kelas.

5. Pelaksanaan evaluasi (Evaluation)

Dimensi Evaluation meliputi metode yang digunakan untuk memonitor dan menghitung pembelajaran yang siswa lakukan. Beberapa strategi evaluasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas motivasi siswa adalah dengan mengevaluasi peningkatan dan penguasaan siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk meningkatkan pekerjaan mereka, metode evaluasi yang berbeda, dan menggunakan evaluasi khusus.

6. Penggunaan waktu di kelas yang berkaitan dengan penentuan waktu penyelesaian tugas oleh siswa dan fleksibilitas jadwal kegiatan (Time) Dimensi Time mengarah pada ketepatan dari suatu tugas yang harus dikerjakan, tahapan instruksi, dan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi tugas. Dimensi Time ini berhubungan erat dengan desain dari tugas itu sendiri.

2.2.5 Persepsi siswa mengenai iklim kelas

Persepsi terhadap stimulus akan berdampak terhadap berbagai hal. Dalam kaitannya dengan iklim kelas, guru merupakan objek yang sangat penting yang akan dipersepsi. Pengajaran yang diberikan oleh guru akan dipersepsi oleh siswa. Persepsi yang positif terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan kesenangan dalam belajar, mendorong mereka untuk mempelajari materi lebih


(47)

mendalam, dan pada akhirnya akan membuat siswa lebih terlibat dalam proses belajar mengajar.

Church, Elliot dan Gable (2001) menyebutkan dari keenam faktor yang telah disebutkan sebelumnya, ada tiga hal yang paling penting yang sangat mempengaruhi pembentukan orientasi tujuan. Yang pertama diambil dari “kategori siswa”, yaitu persepsi siswa terhadap kemampuan guru untuk menyampaikan materi ajar secara menarik, sehingga mendorong siswa melakukan pemikiran kritis dalam belajar dan menunjukkan aktivitas belajar yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi. Guru yang dipersepsi mampu menyampaikan materi ajar dengan menarik akan mendorong terbentuknya orientasi tujuan penguasaan. Selain itu, dalam persepsi terhadap pengajaran guru ini juga terlihat adanya metode pengajaran yang bersifat pemusatan terhadap siswa, yaitu metode yang menjadikan siswa sebagai pusat perhatian, guru memiliki harapan tinggi terhadap siswa, guru mampu menciptakan suasana belajar yang menarik, dan mendorong peserta didik untuk berpikir sendiri serta melakukan organisasi materi ajar sehingga mendorong siswa untuk lebih termotivasi dalam belajar. Metode pengajaran ini akan mendorong terbentuknya orientasi tujuan penguasaan. Sebaliknya, metode lain bersifat pemusatan terhadap guru, yaitu metode yang menjadikan guru sebagai pusat, tidak memiliki harapan tinggi terhadap siswa dan tidak mendorong siswa untuk berpikir mandiri dan mengorganisasikan materi ajar (McCombs & Whisler, 1997).

Yang kedua diambil dari kategori “evaluasi”, yaitu persepsi siswa terhadap evaluasi yang dilakukan guru. Evaluasi merupakan komponen integral dari


(48)

pembelajaran. Persepsi terhadap evaluasi akan mendorong siswa untuk mengadopsi orientasi tujuan performa. Ames dan Archer (1988) menemukan bahwa situasi kelas yang terbentuk dapat mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mendorong perilaku yang berbeda pada siswa sesuai dengan orientasi tujuan yang diadopsi. Berdasarkan evaluasi yang diberikan guru, ada dua macam situasi kelas yang dapat dipersepsi siswa, yaitu situasi kelas yang menekankan pada perbandingan kemampuan kognitif secara sosial dan situasi kelas yang menekankan pada peningkatan diri, partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang dilakukan siswa. Persepsi situasi kelas yang menekankan partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang dilakukan peserta didik akan mendorong siswa untuk mengadopsi orientasi tujuan penguasaan, sedangkan persepsi terhadap situasi kelas yang menekankan perbandingan secara kognitif akan mengarahkan siswa pada orientasi tujuan performa.

Hal ketiga yang diambil dari kategori “pengenalan kembali dan evaluasi”, yaitu persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan. Persepsi akan sulitnya memperoleh nilai yang baik akan berdampak negatif terhadap prestasi belajar karena akan mendorong timbulnya orientasi tujuan performa dan menimbulkan kecemasan.

Persepsi mengenai iklim kelas yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan penginterpretasian hal-hal yang diterima siswa di kelas, yang meliputi cara pengajaran guru dan situasi belajar mengajar yang disebut sebagai persepsi terhadap pembelajaran, serta persepsi terhadap evaluasi yang diberikan guru, yang


(49)

secara tak langsung mempengaruhi penggunaan strategi belajar (strategi self-regulated learning).

2.3 Penelitian-penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai strategi self-regulated learning yang dilakukan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) pada siswa sekolah menengah menghasilkan empat belas kategori strategi self-regulated learning yang meliputi

self-evaluation, organizing and transforming, goal-setting and planning, seeking

information, keeping records and monitoring, environmental structuring,

self-consequences, rehearsing and memorizing, seeking peer, teacher, and adult

assistance, and reviewing notes, tests, or textbooks, ditambah satu respon yang

tidak termasuk strategi self-regulated learning yang diberi label other.

Dalam Santrock (2008) para peneliti telah menemukan bahwa siswa berprestasi tinggi sering kali merupakan siswa yang juga mampu melakukan pengaturan diri sendiri (Paris & Paris, 2001; Pintrich, 2000; Pintrich & Schunk, 2002; Zimmerman, 1998, 2000, 2001; Zimmerman & Schunk, 2001). Misalnya, dibandingkan dengan siswa berprestasi rendah, siswa berprestasi tinggi menentukan tujuan yang lebih spesifik, menggunakan lebih banyak strategi belajar, memonitor sendiri proses belajar mereka, dan lebih sistematis dalam mengevaluasi kemajuan mereka sendiri.

Hasil penemuan-penemuan peneliti menunjukkan bahwa banyak siswa yang berprestasi rendah sekalipun memiliki potensi intelektual yang tinggi. Hal ini


(50)

dijelaskan bahwa dibutuhkan faktor lain disamping kecerdasan, yaitu faktor motivasi dan self-regulated learning (Hawadi, 2004).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan motivasi mempengaruhi siswa dalam menggunakan strategi self-regulated

learning. Hal ini dikarenakan siswa juga menggunakan strategi self-regulated

learning yang didasarkan pada faktor lingkungan seperti environmental

structuring, seeking social assistance from teacher, dan seeking or reviewing

information. Karenanya, faktor lingkungan atau dalam penelitian ini lebih

diarahkan pada lingkungan iklim kelas ini memiliki pengaruh tersendiri terhadap strategi yang akan digunakan oleh siswa. Karena dalam teori sosial kognitif, ketiga faktor yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, meskipun akan berbeda kadarnya sesuai dengan konteks (kondisi) yang terjadi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ames dan Archer (1988) dan penelitian yang dilakukan oleh Church, Elliot dan Gable (2001) menyebutkan bahwa persepsi siswa akan iklim kelas akan mempengaruhi orientasi tujuan belajar siswa yang selanjutnya mempengaruhi perilaku belajar siswa. Bila siswa memiliki persepsi iklim kelas yang positif maka akan mengadopsi orientasi tujuan penguasaan dimana siswa dengan orientasi tujuan penguasaan akan melakukan serangkaian strategi belajar yang efektif.


(51)

2.4 Kerangka Berpikir

Lingkungan kelas dan iklim yang tercipta di dalamnya merupakan salah satu aspek dalam konsep self-regulated learning, yaitu aspek environment.

Lingkungan kelas akan mempengaruhi aspek lain dalam konsep self-regulated learning, yaitu person dan behavior. Dimensi-dimensi dalam lingkungan kelas ini akan mempengaruhi aspek person, yaitu bagaimana siswa memproses dimensi-dimensi dalam lingkungan kelas itu sehingga menghasilkan persepsi dan selanjutnya persepsi itu sendiri akan menjadi penggerak dari perilaku siswa tersebut. Bila ia mempersepsi lingkungan kelasnya dengan baik, maka orientasi belajar yang diadopsi adalah orientasi tujuan penguasaan yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku belajarnya, salah satunya dengan menggunakan strategi

self-regulated learning.

Strategi self-regulated learning merupakan implementasi dari persepsi yang dihasilkan oleh siswa itu sendiri terhadap dimensi-dimensi lingkungan kelas. Strategi self-regulated learning ini sangat berguna bagi siswa, karena dengan menggunakan strategi self-regulated learning, akan membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang memuaskan.

Dalam Church, Elliot dan Gable (2001) disebutkan bahwa persepsi iklim kelas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tujuan belajar yang bersifat penguasaan terhadap kompetensi yang diharapkan dan penguasaan terhadap tugas-tugas yang diberikan (mastery goals). Hal ini sesuai dengan strategi


(52)

tujuan belajar yang telah ditetapkan dengan melakukan serangkaian usaha yang aktif.

Serangkaian strategi self-regulated learning ini juga merupakan implementasi dari persepsi siswa. Sehingga apa yang siswa persepsi akan lingkungan kelasnya akan mempengaruhi strategi yang akan digunakannya.

Berdasarkan hal tersebut, diduga ada hubungan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning. Jika persepsi tentang iklim kelas positif maka akan muncul perilaku-perilaku belajar yang baik, dan sebaliknya jika persepsi tentang iklim kelas negatif maka kemungkinan siswa tidak menunjukkan perilaku belajar yang baik.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Persepsi Positif

Dimensi-dimensi iklim kelas berupa persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi dan persepsi siswa mengenai metode pengajaran guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori

Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang

diberikan guru (kategori Recognition dan Evaluation). Dimensi-dimensi

Iklim Kelas

Persepsi Negatif

12 Strategi Self-regulated


(53)

2.5 Hipotesis

Dari kerangka berpikir di atas, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: H1: “Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan.”

H0: “Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan.”

H2:”Ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan strategi self-regulated

learning siswa putra dan siswa putri.”

H02:”Tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan strategi


(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel penelitian, definisi variabel dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, analisis data, dan prosedur penelitian.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kuantitatif. Dalam Santoso (2007) penelitian kuantitatif (pendekatan rasional-empiris) dimulai dengan problematik yang dihadapi penulis. Problematik atau permasalahan tersebut dikaji secara teoritis dan dicari dasar-dasar rasionalitasnya. Berdasarkan kajian teoritis yang ada, dirumuskan hipotesis atau jawaban sementara atau dugaan atas masalah tersebut. Kemudian dilakukan pengumpulan data empiris, untuk menguji hipotesis tersebut. Atas dasar pengujian atau analisa data diambil kesimpulan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak.

Karena dalam penelitian ini penulis ingin meneliti hubungan antara dua variabel maka metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya dan besar kecilnya hubungan dua atau lebih variabel.


(55)

3.2 Variabel Penelitian

Kerlinger (2000) membagi variabel ke dalam dua macam yaitu variabel bebas

(independent variable) yaitu variabel yang dipandang sebagai sebab kemunculan

varians. Variabel lainnya ialah terikat (dependent variable) yaitu konsekuensi atau yang dipandang sebagai akibat. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Variabel bebas (independent variable) : Persepsi tentang iklim kelas

Variabel terikat (dependent variable) : Penggunaan strategi self- regulated learning

3.3 Definisi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 3.3.1 Definisi variabel

a. Mengacu pada Matlin (2002), persepsi didefinisikan sebagai penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah dan menginterpretasikan stimulus yang diterima oleh indera. Stimulus dalam iklim kelas dapat berupa kegiatan belajar yang spesifik, metode pengajaran oleh guru, perlengkapan dan penilaian (evaluasi). Konsep ini mengacu pada definisi iklim kelas yang dikemukakan oleh Engel dan Tannenbaum (1973 dalam Ramelan, 1989).

b.Strategi self-regulated learning merupakan aksi dan proses mendapatkan informasi dan keterampilan secara langsung yang mengandung unsur melakukan aksi, tujuan, dan implementasi persepsi oleh siswa. Konsep ini mengacu pada teori Zimmerman (1989).


(56)

3.3.2 Definisi operasional variabel

Persepsi tentang iklim kelas yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran terhadap tiga hal yang paling mempengaruhi orientasi tujuan yaitu persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi dan metode pengajaran oleh guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan guru (kategori Recognition dan Evaluation).

Sedangkan strategi self-regulated learning yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran terhadap dua belas strategi self-regulated learning

yang disusun oleh Zimmerman dan Martinez-Pons yang meliputi evaluasi diri

(self-evaluation), pengaturan (organizing and transforming), penetapan dan

perencanaan tujuan (goal setting and planning), pencarian informasi (seeking information), pencatatan (keeping records and monitoring), konsekuensi diri (self

consequences), pengulangan dan mengingat (rehearsing and memorizing),

meminta bantuan teman (seeking peer assistance), meminta bantuan guru (seeking teacher assistance), mengulang catatan (reviewing notes), mengulang ujian atau tugas (review test/work), dan membaca buku teks (review text book).

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Jumlah populasi dan sampel

Populasi adalah semua bagian atau anggota dari objek yang akan diamati (Eriyanto, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XI


(57)

(sebelas) SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 360 orang sebagai populasi target karena siswa kelas XI dianggap sudah melakukan proses adaptasi dengan lingkungan sekolah dan lingkungan kelas selama kurang lebih satu tahun, dengan sebaran sebagai berikut:

Tabel 3.1

Sebaran Populasi Penelitian Kelas Jumlah

XI IPA 1 42 XI IPA 2 42 XI IPA 3 42 XI IPA 4 42 XI IPA 5 40 XI IPA 6 41 Total siswa 249

Kelas Jumlah

XI IPS 1 37

XI IPS 2 38

XI IPS 3 36

Total siswa 111

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Hasan, 2002).

Slovin dalam Sevilla (2006) menjelaskan bahwa dalam menentukan ukuran sampel dari suatu populasi dapat menggunakan rumus:

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = nilai kritis yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel)

n = N 1 + Ne2

bila dihitung menggunakan rumus tersebut maka diperoleh jumlah sampel dengan nilai kritis 10% dari jumlah populasi yaitu sebanyak 78 orang.


(58)

3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

random sampling technique yaitu metode pengambilan sampel dimana setiap

individu dalam populasi tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih (Nasution, 1982). Setelah melakukan pengundian, yang menjadi sampel adalah kelas XI IPA 2 (42 siswa) dan kelas IPS 2 (38 siswa).

3.5 Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini penulis menggunakan angket yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Bagian pertama berisi data subjek.

b. Bagian kedua berisi skala persepsi tentang iklim kelas yang didasarkan pada tiga hal yang paling mempengaruhi yaitu persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi dan metode pengajaran oleh guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan guru (kategori Recognition dan Evaluation). Agar lebih jelas, dapat dilihat melalui blue print berikut ini:


(59)

Tabel 3.2

Blue print skala persepsi tentang iklim kelas (uji coba) No Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Kemampuan dan

metode pengajaran guru

1, 3, 7, 13, 16, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 35, 36, 40, 45, 46.

5, 8, 10, 12, 15, 17, 28, 31, 32, 33, 37, 39, 47.

29

2 Evaluasi yang

diberikan guru

4, 9, 29, 43, 44.

2, 11, 19, 20, 25, 38, 48.

12 3 Pencapaian evaluasi 14, 41, 42. 6, 18, 30, 34. 7

Jumlah 24 24 48

c. Bagian ketiga berisi skala penggunaan strategi self-regulated learning

yang didasarkan pada dua belas strategi yang dikembangkan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988). Kedua belas strategi tersebut adalah evaluasi diri (self-evaluation), pengaturan (organizing and

transforming), penetapan dan perencanaan tujuan (goal setting and

planning), pencarian informasi (seeking information), pencatatan (keeping

records and monitoring), konsekuensi diri (self consequences),

pengulangan dan mengingat (rehearsing and memorizing), meminta bantuan teman (seeking peer assistance), meminta bantuan guru (seeking

teacher assistance), mengulang catatan (reviewing notes), mengulang

ujian atau tugas (review test/work), dan membaca buku teks (review text book). Agar lebih jelas, dapat dilihat melalui blue print berikut ini:


(1)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas dengan Penggunaan Strategi Self-regulated Learning Siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan” telah diujikan dalam sidang munaqosyah fakultas psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana psikologi.

Jakarta, 4 Juni 2010 Sidang Munaqosyah

Ketua merangkap Anggota Sekertaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra.Fadhilah Suralaga, M.Si NIP: 130 885 522 NIP: 1956123 198303 2 001

Anggota:

Penguji I Penguji II

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si Dra. Netty Hartati, M.Si NIP: 1956123 198303 2 001 NIP: 19531002 198303 2 001

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Netty Hartati, M.Si Solicha, M.Si


(2)

DAFTAR REFERENSI

Halaman No Nama Rujukan/Sumber

Skripsi Referensi Paraf Pembimbing 1 Ames, Carole and Jennifer

Archer. Copyright 1988.

Achievement Goals in The Classroom: Students’ Learning Strategies and

Motivation Processes.

Journal of Educational Psychology Vol. 80 No. 3, 260-267.

2, 2 260, 261

2 Chaplin, JP. 2002. Kamus

Lengkap Psikologi. Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada.

32 358

3 Church, MA., AJ. Elliot and SL.,Gable. Copyright 2001.

Perceptions of Classroom Environment, Achievement Goals, and Achievement

Outcomes. Journal of

Educational Psychology Vol. 93 No. 1, 43-54.

40 44

4 Eriyanto. 2007. Teknik

Sampling. Yogyakarta: PT.

LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta.

52 61

5 Hasan, M. Iqbal. 2002.

Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

53 58

6 Hawadi, Reni Akbar. 2006.

Akselerasi: A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat

Intelektual. Jakarta: PT. Gramedia.

43 78

7 Kerlinger, Fred N. 2000.

Foundation of Behavioral

Research. Harcourt College

Publisher.

50

8 Kuncono. 2004. Aplikasi Komputer Psikologi: Diktat Kuliah dan Panduan


(3)

Praktikum. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas

Persada Indonesia. 9 Marsh, HW., JHS. Cheng

and AJ. Martin. Copyright 2008. A Multilevel

Perspective on Gender in Classroom Motivation and Climate: Potential Benefit of

Male Teachers for Boys?.

Journal of Educational Psychology Vol. 100 No. 1, 78-95.

7 78

10 Matlin, MW. 2002.

Cognition. New York:

Thomson Learning, Inc.

32 32

11 McCombs, BL and JS. Whisler. 1997. The Learner-centered Classroom and School: Strategies for Increasing Student Motivation and

Achievement. Colorado:

Aurora.

41

12 Nasution, S. 1982. Metode

Research. Bandung:

Penerbit Jemmars.

53 101

13 Nugroho. 2003. Model Peningkatan Self-regulated Learning(Studi tentang keterkaitan antara proses pembelajaran

konstruktivism, kecerdasan emosional, berpikir kreatif, dan berpikir kritis serta self-regulated learning pada siswa sekolah menengah

umum favorit di Semarang).

Disertasi UI Depok.

28 50

14 Pintrich, Paul R and Dale H. Schunk. 1996. Motivation in Education, Theory,

Research, and Applications.

New Jersey: Prentice-Hall, Inc.


(4)

15 Ramelan, RR Hastuti. 1989.

Hubungan antara Iklim Kelas dengan Tingkat Aspirasi Akademik dan Kesehatan Mental

Mahasiswa: Penelitian di Lingkungan IPB. Skripsi UI Depok.

33, 35 18, 21

16 Reilly and Lewis. 1983.

Educational Psychology: Applications for Classroom Learning and Instruction. New York: Macmillan Publishing Company.

34 465

17 Santoso, Gempur. 2007.

Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Pretasi Pustaka Publisher.

49 7

18 Santrock, John W. 2008.

Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

3, 5, 15, 21, 22 483, 296, 296, 298, 298

19 Sevilla, Ochave, Punsalan, Regala and Uriarte. 2006.

Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.

53 161

20 Woolfolk, Anita E. 2004.

Educational Psychology.

Boston: Pearson.

16 478

21 Zaenah. 2007. Gambaran Self-Regulated Learning Mahasiswa Universitas

Terbuka. Skripsi UI Depok.

15, 16, 21 10, 11, 16

22 Zimmerman, Barry J and Manuel Martinez-Pons. Copyright 1988. Construct Validation of a Strategy Model of Student

Self-Regulated Learning.

Journal of Educational Psychology Vol. 80 No. 3, 284-290.


(5)

23 Zimmerman, Barry J. Copyright 1989. A Social Cognitive View of

Self-Regulated Learning. Journal

of Educational Psychology Vol. 81 No 3, 329-339.

6, 15, 15, 15, 17, 20

329, 330, 329, 329, 329, 337

24 Zimmerman, Barry J and Manuel Martinez-Pons. Copyright 1990. Student Differences in Self-Regulated Learning: Relating Grade, Sex, and Giftedness to Self-Efficacy and Strategy Use. Journal of Educational Psychology Vol. 82 No. 1, 51-59.

7 54

Jakarta, 17 Mei 2010

Syifa Nadlifah

NIM: 105070002260

SURAT KETERANGAN

UJI REFERENSI


(6)

Yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Solicha, M.Si.

NIP : 19720415 1999 03 2 001 Pembimbing : II

Menerangkan bahwa seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang disusun oleh

Nama : Syifa Nadlifah NIM : 105070002260

Judul Skripsi : Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas dengan Penggunaan Strategi

Self-Regulated Learning Siswa SMA Negeri 2 Tangerang Selatan.

Telah diuji kebenarannya dan mahasiswa tersebut telah menunjukkan bukti berupa seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skrispinya. Dengan demikian mahasiswa tersebut layak untuk mengikuti sidang skripsi (munaqasah).

Jakarta, 17 Mei 2010

Dosen Pembimbing Skripsi

Solicha, M.Si.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Iklim Kelas Terhadap Penggunaan Strategi Self- Regulated Learning Siswa Kelas X dan XI Unggulan Pada SMA Negeri 3 Medan

7 59 127

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN SELF Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Self Regulated Learning pada Siswa SMA Negeri 2 Wonogiri.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN SELF Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Self Regulated Learning pada Siswa SMA Negeri 2 Wonogiri.

0 3 17

PENDAHULUAN Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Self Regulated Learning pada Siswa SMA Negeri 2 Wonogiri.

0 2 8

Hubungan Self Regulated Learning Dengan Kecemasan Akademis Pada Siswa Kelas 3 SMA Negeri 1 Kabanjahe

0 0 13

Hubungan Self Regulated Learning Dengan Kecemasan Akademis Pada Siswa Kelas 3 SMA Negeri 1 Kabanjahe

1 3 11

Pengaruh Persepsi Iklim Kelas Terhadap Penggunaan Strategi Self- Regulated Learning Siswa Kelas X dan XI Unggulan Pada SMA Negeri 3 Medan

1 2 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Regulated Learning 1. Pengertian Self-Regulated Learning - Pengaruh Persepsi Iklim Kelas Terhadap Penggunaan Strategi Self- Regulated Learning Siswa Kelas X dan XI Unggulan Pada SMA Negeri 3 Medan

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Persepsi Iklim Kelas Terhadap Penggunaan Strategi Self- Regulated Learning Siswa Kelas X dan XI Unggulan Pada SMA Negeri 3 Medan

0 0 12

PENGARUH PERSEPSI IKLIM KELAS TERHADAP PENGGUNAAN STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING SISWA KELAS X DAN XI UNGGULANPADA SMA NEGERI 3 MEDAN

1 1 14