12
yang  akan diperolehnya  di  masa  yang akan datang. Semakin bertambahnya usia, individu  akan  mengganti  perannya  yang  lama  dengan  yang  baru.  Dikarenakan
sosialisasi ini,
kebanyakan orang
akan mempersiapkan
diri untuk
bertanggungjawab  atas  apa  yang  akan  mereka  hadapi  nantinya,  baik  itu  sebagai orang tua, pekerja, atau dokter.
Ketiga,  Resocialization resosialisasi.  Tipe  ini  diperoleh  ketika  individu
meninggalkan  konsep  diri  dan  cara  hidupnya  untuk  secara  radikal  memperoleh yang  baru.  perubahan  “social  behavior”,  nilai-nilai,  dan  konsep  diri  yang
diperoleh  dari  pengalaman  seumur  hidup  merupakan  hal  yang  sulit,  dan  hanya sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.
Agen  sosialisasi  juga  merupakan  faktor  penting  dalam  proses  sosialisasi. Setiap  tahapannya  memiliki  agen-agen  tersendiri  yang  sangat  berperan  penting
dalam  proses  sosialisasi.  Brinkerhoff,  dkk  1995  membagi  agen  sosialisasi menjadi  6,  yaitu;  keluarga,  sekolah,  teman  sebaya,  media  massa,  agama,  dan
tempat bekerja.
2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu
Kekerasan  simbolis  merupakan  suatu  perlakuan  dominasi  kultural  dan sosial  yang  berlangsung  secara  tidak  sadar  unconscious  dalam  kehidupan
masyarakat  yang  meliputi  tindakan  diskriminasi  terhadal  kelompok  ras  suku gender  tertentu.  Menurut  Bourdieu  dalam  Jenkins,  2004,  kekerasan  simbolis
Universitas Sumatera Utara
13
adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna misalnya kebudayaan terhadap kelompok  atau  kelas  sedemikian  rupa  sehingga  hal  itu  dialami  sebagai  sesuatu
yang sah. Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi
kekuasaan  yang  menyebabkan  pemaksaan  tersebut  berhasil.  Selama  dia  diterima sebagai  sesuatu  yang  sah,  maka  kebudayaan  memperkuat  kekerasan  simbolis
tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah mengerti  misunderstanding,  yaitu  suatu  proses  yang  relasi  kekuasaan  tidak
dipersepsikan  secara  objektif  tetapi  tetap  saja  menjadikan  kekuasaan  tersebut absah bagi pemeluknya.
Menurut  Jerkins  2004  Inti  penggunaan  kekerasan  simbolis  adalah „tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya
terdapat tiga mode, yaitu: 1.  Pendidikan  yang  tersebar  luas  diffuse  education,  yang  terjadi  dalam
interaksi dengan anggota bangunan sosial satu contoh mungkin adalah kelompok umur informal.
2.  Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri. 3.  Pendidikan  institusional  misalnya  ritual  inisiasi,  di  satu  sisi  atau
sekolah, di sisi yang lain. Tindakan  pedagogis,  ketika  mereproduksi  kebudayaan  dalam  segala
kesmrawutannya,  juga  mereproduksi  relasi  kekuasaan  yang  menjamin
Universitas Sumatera Utara
14
keberlangsungannya.  Tindakan  pedagogis  mencerminkan  kepentingan  kelompok atau  kelas  dominan,  yang  cenderung  mereproduksi  distribusi  modal  kultural
secara  tidak  meratan  antar  kelompok  atau  kelas  yang  hidup  dalam  satu  ruang sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.
Penanaman  nilai  yang  bersifat  dominan  dari  satu  kelompok  kepada kelompok  lain  memerlukan  tindakan  pedagogis  yang  simultan.  Tindakan
pedagogis  tersebut  memerlukan  otoritas  sebagai  prasyarat  keberhasilannya. Menurut  Jerkins  2004,  otoritas  ini  adalah  suatu  kekuasaan  yang  berubah-ubah
untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang  legitimate.  Adanya  legitimasi  ini  memungkinkan  suatu  tindakan  pedagogis
untuk  beroperasi.  Semua  bentuk  donimasi  harus  mendapakan  pengakuan  atau diterima sebagai sebuah legitimitas Wahyuni, 2008.
Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan simbolik  yang  dirujuk  oleh  Bourdieu.  Hal  itu  merujuk  pada  kekerasan  simbolik
yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar menerima  ideologi  yang  ditanamkann
ya  dan  “memaksakannya”  agar  menjadi legitim  dengan  menyembunyikan  hubungan  kekuasaan  yang  mendasari
kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat diamati  pada  fenomena  pekerja  anak  di  Desa  Bogak  Kec.  Tanjung  Tiram  Kab.
Batubara  yang  berisi  perlakuan  dominasi  secara  simbolis  dari  hubungan  senior- junior pada masyarakat nelayan.
Universitas Sumatera Utara
15
2.3. Pekerja Anak-Anak