29
dalam pengembangan kawasan kota sehingga dapat dipahami dinamika ekosistem kota melalui penelusuran ekosistem manusia secara terpadu Grove, Burch, 1997.
Gambar 2.4 Konsep kerja ekosistem kota
Sumber: UNUIAS Report, May 2003
2.4. Sistem Perumahan Perkotaan di Indonesia
Berbagai literatur kebijakan publik sektor perumahan selalu mengalami kesulitan dalam merumuskan permasalahan penyelenggaraan perumahan secara
tepat dan akurat agar dapat menghasilkan kebijakan yang efektif dan efisien Priemus, H., 2005. Kesulitan ini akan tampak jelas manakala penyelenggaraan
perumahan perkotaan ditempatkan sebagai suatu rangkaian proses yang saling kait-mengkait dan sekaligus juga produk yang sangat ditentukan oleh berbagai
bentuk kebijakan publik yang ada diberbagai sektor seperti; pertanahan, pembiayaan, infrastruktur, perindustrian dan perdagangan, industri konstruksi,
lingkungan, kesehatan, pemerintah pusat dan lain sebagainya. Lebih jauh, perumahan juga adalah merupakan komoditas properti yang memiliki perilaku
pasar tertentu sehingga dalam aspek tertentu, setiap kebijakan perumahan adalah
Universitas Sumatera Utara
30
merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pasar perumahan Simanungkalit, 2009. Oleh karena itu, apabila melihat kompleksitas
penyelenggaraan perumahan maka jelaslah diperlukan suatu perangkat sistem yang dapat digunakan sebagai kerangka analisis yang komprehensif yang dapat
digunakan dalam memahami akibat-akibat dan bentuk-bentuk interaksi dari berbagai sektor dalam proses pembuatan kebijakan sektor perumahan Adib,
2007. Secara umum kebijakan penyelenggaraan perumahan dapat dibagi dalam
tiga kelompok kategori kebijakan publik. Kategori pertama adalah termasuk dalam kelompok kebijakan masukan input dalam proses seperti; pertanahan,
infrastruktur, perhubungan, tata ruang, pengembangan kawasan dan pembiayaan. Kategori kedua adalah merupakan kelompok kebijakan keluaran output dalam
proses, dimana melalui arah pembangunan dari sektor-sektor tertentu kebijakan perumahan dapat dikembangkan seperti; perindustrian, perkotaan, pengembangan
kawasan khusus, pertanian dan pedesaan, kelautan dan perikanan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Kategori
ketiga adalah kelompok kebijakan pendukung seperti lingkungan hidup,
kesehatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya Siregar, 2008. Oleh karena itu, pilihan bagi setiap bentuk kebijakan penyelenggaraan perumahan yang efektif
dan efisien tentu haruslah mampu menggerakkan ketiga kategori kebijakan tersebut secara bersamaan.
Sistem perumahan perkotaan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan yang terjadi di masyarakat dan juga kebijakan perumahan yang dibuat pemerintah
dari masa ke masa. Sejalan dengan hal tersebut maka sistem perumahan perkotaan
Universitas Sumatera Utara
31
tidak dapat ditinjau sebagai masalah fungsional dan fisik bangunan semata, tetapi lebih jauh berkaitan erat dengan beragam dimensi kehidupan seperti sosial,
ekonomi, budaya, teknologi, ekologi maupun politik Syahrin, 2003. Oleh karena itu, apabila kebijakan penyelenggaraan perumahan akan dikembangkan haruslah
mengaitkan sistem alam, ekonomi, dan lingkungan serta proses ekologi agar tidak hanya mengurangi tekanan pada ekosistem kawasan semata melainkan juga
menciptakan perumahan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya ekosistem setempat serta selalu memperhatikan dimensi konservasi
lingkungan seperti pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Dimensi penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia
Secara umum, ada tiga masalah mendasar saling berkaitan yang menjadikan karakter kebijakan perumahan di Indonesia sangat kompleks, paling tidak, pasca
tidak berfungsinya lagi BKP4N Badan Kebijakan dan Pengendalian SISTEM PERUMAHAN PERKOTAAN DI INDONESIA
DUA DIMENSI
Dimensi Ekologi Dimensi Sosial, Budaya,
Ekonomi
Bagaimana mempertahankan fungsi-fungsi ekologis
ekosistem perumahan Bagaimana mampu
memenuhi kebutuhan sosial masyarakat lokal
PERLU STRATEGI
Universitas Sumatera Utara
32
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional yang sebelumnya bernama BKPN Badan Kebijakan Perumahan Nasional. Masalah dasar pertama adalah
kurangnya pemahaman akan sektor perumahan sendiri, terutama oleh para pihak pembuat kebijakan. Kedua adalah masalah politik, yang sangat terkait dengan
masalah dasar pertama. Akibat kurangnya pemahaman secara komprehensif maka intervensi politik dalam pembuatan kebijakan perumahan cenderung mengambil
langkah-langkah pragmatis. Masalah ketiga adalah kemampuan pengelolaan kebijakan yang memiliki kompleksitas tinggi Siregar, 2008. Oleh karena itu,
masalah dasar pemahaman dan politik praktis pada akhirnya cenderung mempengaruhi sedemikian rupa setiap proses pembuatan kebijakan
penyelenggaraan perumahan. Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan
perumahan di Indonesia terkait erat dengan agenda global yaitu Agenda 21 bidang perumahan yang mempersyaratkan penerapan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan secara bertahap. Selain itu, Indonesia juga memiliki tanggung jawab berkaitan dengan Agenda Habitat dimana setelah Deklarasi Habitat II Indonesia
menempatkan masalah hunian sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak semua orang KSNPP, 2002.
Penerapan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan
pada penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia dalam kenyataannya
dihadapkan dengan tiga isu strategis. Isu strategis pertama adalah adanya kesenjangan pelayanan dimana implementasi kebijakan perumahan belum
sepenuhnya memberi perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak. Isu kedua adalah tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi belum
Universitas Sumatera Utara
33
menciptakan lingkungan perumahan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan belum diterapkannya secara optimal
standar pelayanan minimal perumahan berbasis indeks pembangunan berkelanjutan. Isu strategis ketiga adalah lemahnya manajemen pembangunan
yang bersumber dari keterbatasan kinerja tata pemerintahan yang berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dan juga inkonsistensi
pemanfaatan lahan Suprijanto, 2004. Pentingnya menetapkan prinsip-prinsip berkelanjutan juga jelas tampak
pada Amandemen Pasal 33 Ayat 4 Undang-undang Dasar RI 1945 yang menekankan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Amandemen Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945. Pembangunan berkelanjutan secara resmi didefinisikan oleh
The World Commision for Environment and Development sebagai pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Brundtland, 1987. Akan tetapi, banyak pemangku kepentingan menyadari bahwa definisi
dari berbagai disiplin tentang pembangunan berkelanjutan terlalu luas dan tidak jelas serta memiliki kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan
suatu sistem berdasarkan definisi sains yang mengakomodasi beragam tingkatan berkelanjutan dari berbagai displin sains, rekayasa dan humaniora Halog, 2008.
Berkelanjutan sesungguhnya ditujukan untuk mempertahankan sistem- sistem tetap berfungsi dalam jangka panjang, dan terhindar dari kerusakan yang
Universitas Sumatera Utara
34
tak dapat diperbaiki, serta memberikan kepada generasi mendatang pilihan bagaimana mereka mempergunakan sumber daya yang dimiliki agar dapat
memberi suatu kualitas hidup sesuai dengan pilihannya Charter dan Tischer, 2001. Definisi ini tidak hanya berkaitan dengan ekosistem-ekosistem alam
seperti; air, udara, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan institusi. Ronnie, Carolyn, dan Mehreen 2009 menggambarkan dimensi dari berkelanjutan seperti
pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Tiga dimensi berkelanjutan
Source : Harding, hal. 29 2009
Lebih jauh, para pemangku kepentingan perumahan dari berbagai latar- belakang sering kali menentukan tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan
secara spesifik sesuai dengan kebutuhannya Ronnie, Carolyn, dan Mehreen, 2009. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menemukan parameter-
parameter yang dapat diukur baik kualitatif ataupun kuantitatif yang dapat
Universitas Sumatera Utara
35
memetakan interpretasi berbagai keinginan para pemangku kepentingan terhadap pembangunan berkelanjutan setepat mungkin Azapagis, Perdan, dan Clift, 2004.
Konsep berkelanjutan memiliki kerangka waktu yang tetap, merujuk secara jelas kepada masa yang akan datang sehingga dicapai harmoni antara kegiatan-
kegiatan manusia dan lingkungan dalam rentang waktu tertentu Budihardjo, dan Sujarto, 2005. Selain itu, konsep berkelanjutan juga mengandung arti adanya
keterbatasan dan batas untuk bertumbuh manakala pertumbuhan diartikan sebagai sesuatu yang membesar secara fisik Siregar, 2004. Oleh karena itu, didalam
mengkaji berkelanjutan suatu sistem penyelenggaraan perumahan, pendekatan yang digunakan sebaiknya berbasis sistem, multi-disiplin, multikriteria dan
sebaiknya mengikut-sertakan seluruh pandangan berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-beda dan sebanyak mungkin menyertakan dimensi waktu.
Terdapat beberapa tingkatan didalam pengambilan keputusan pada penyelenggaraan perumahan di Indonesia. Di tingkat nasional sebagai jenjang
tertinggi, pengambilan keputusan terutama ditujukan pada kebijakan-kebijakan jangka panjang. Walaupun terkadang terlibat dalam kebijakan jangka pendek dan
ad-hoc tetapi hanya sebagai komplemen kebijakan jangka panjang. Keputusan- keputusan kebijakan ad-hoc biasanya untuk situasi tanggap darurat, dibuat oleh
forum lintas departemen dan instansi terkait. Sementara di tingkat daerah, provinsi dan kabupaten kota keputusan dibuat hanya untuk lokasi tertentu yang
berhubungan dengan pengembangan kota dan regional. Di tingkat terendah masyarakat keputusan dilakukan untuk memilih standar rumah dan mobilisasi
sumber daya. Diperkirakan hampir 85 stok perumahan yang ada di Indonesia saat ini adalah produk swadaya masyarakat Siregar, 2008; KSNPP, 2002.
Universitas Sumatera Utara
36
Selanjutnya terdapat 3 tiga kebijakan dasar yang menjadi landasan pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia. Pertama yaitu kebijakan
yang ditujukan untuk memecahkan keterbatasan pengadaan perumahan serta menawarkan peningkatan perumahan berkelanjutan melalui desentralisasi
tanggung jawab dengan menyatukan semua peran, fungsi, kemampuan semua pihak. Kedua adalah kebijakan memadukan program perumahan dan permukiman
dengan program pengentasan kemiskinan. Ketiga adalah merupakan kebijakan memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah mendapat akses kepada tanah,
infrastruktur dan lembaga keuangan untuk memperoleh kehidupan yang sehat. Pada hakekatnya rumah adalah merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia bagi peningkatan kualitas kehidupan. Oleh sebab itu, pengembangan perumahan yang sehat dan layak bagi masyarakat Indonesia ditujukan untuk
wadah pengembangan sumber daya masyarakat. Gambaran dari upaya yang dilakukan masyarakat di Indonesia mencukupi tempat huniannya secara tradisi
dapat terlihat dari berbagai bentuk perumahan tradisional dan bentuk rumah adat yang sangat beragam. Pendekatan yang umum dilakukan dalam penyelenggaraan
perumahan adalah atas dasar unit keluarga sebagai inti yang selalu diupayakan agar harmonis dengan lingkungan sekitarnya sehingga rumah sering dianggap
sebagai identitas komunitas Rapoport, 1977; Silas, 1989; Suganda, 2006. Pendekatan ini hingga sekarang masih terus berlangsung diperkotaan Indonesia
dimana daya dukung lingkungan perkotaan sudah makin terbatas dan kemampuaan masyarakat umumnya masih rendah serta konsep pengadaan
perumahan publik oleh pemerintah juga belum jelas Syahrin, 2003; Siregar, 2008.
Universitas Sumatera Utara
37
Umumnya, pada setiap pembangunan perumahan dan permukiman lahan peruntukannya selalu lebih besar dari lahan bagi peruntukan lainnya yang ada di
perkotaan. Akan tetapi, kenyataan yang ada sampai saat ini adalah walaupun lebih banyak memakai lahan perkotaan, tetap saja pembangunan perumahan dan
permukiman bagi masyarakat golongan menengah ke bawah di kota Medan, dalam setiap proses perencanaan dan pengelolaan perumahan, penekanan
terhadap aspek lingkungan hidup belumlah menjadi prioritas dalam pembangunan perumahan.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman UUPP pasal 3 dan 4 menekankan kelestarian lingkungan hidup sebagai salah
satu azas dan tujuan penataan perumahan dan permukiman di Indonesa. Kelestarian lingkungan hidup tidak dapat hanya dilihat dari masalah lingkungan
tetapi juga harus dikaitkan dengan masalah-masalah sosial seperti; tidak ada pemerataan dan tidak ada kesejahteraan, kemiskinan, pelanggaran atas hak-hak
asasi manusia, yang semuanya erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan kegiatan-kegiatan ekspansif manusia yang
mengganggu atau merusak lingkungan kehidupannya sendiri. Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup UUPPLH tahun 2009 mempersyaratkan adanya kewajiban memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang
untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Usaha untuk memahami hubungan antara pembangunan yang berkesinambungan dan perumahan
perkotaan berhubungan erat dengan konsep urbanisasi berkelanjutan. Urbanisasi berkelanjutan hanya mungkin tercipta bila tersedia komponen-komponen seperti;
Universitas Sumatera Utara
38
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, teknologi tepat guna, manajemen kota, penciptaan lapangan kerja Budihardjo dan Sujarto, 2005. Seluruh komponen ini
dibutuhkan dalam kerangka kerja pemenuhan kebutuhan perumahan perkotaan berkelanjutan.
Perumahan berkelanjutan adalah perumahan yang memiliki dampak negatif lingkungan minimal berkaitan dengan effek rumah kaca greenhouse effect;
kualitas udara, air, tanah, suara, bau-bauan, material dan sumber daya alam tak terbarukan, serta keanekaragaman hayati Knudstrup, Hansen, Brunsgaard C.,
2009. Sementara itu, mengaitkan keputusan-keputusan operasional suatu lingkungan binaan berkelanjutan kedalam konsep strategis pembangunan
perumahan berkelanjutan untuk memenuhi rumah bagi masyarakat yang berpengahasilan menengah ke bawah sudah tentu akan sulit dilakukan. Hal ini
terutama dikarenakan dasar-dasar penyusunan membuat konsep pembangunan berkelanjutan yaitu; keragaman yang permanen dari suatu kawasan, keberlanjutan
penggunaan sumber daya yang ada, keberlanjutan keterlibatan banyak pihak. Ketiga dimensi ini disebut juga sebagai kawasanarea, aliranflow, aktormanusia
Halog, 2008. Di Indonesia pembangunan rumah secara masal telah dilakukan sejak
diterbitkannya Keputusan Presiden RI No.291974 tentang pembentukan Perusahaan Umum Perumahan Nasional Perum Perumnas. Perumnas
mempunyai misi untuk melaksanakan pembangunan perumahan, terutama untuk melayani penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya Perumnas untuk
meningkatkan jumlah pengadaan rumah baru setiap tahun dilakukan dengan tetap menggunakan konsep rumah sederhana sehat. Rumah sederhana sehat adalah
Universitas Sumatera Utara
39
rumah dengan material dan konstruksi bangunan sederhana serta dibangun dengan tetap memenuhi standar kenyamanan, kesehatan, dan keamanan minimal
dan dengan mempertimbangkan serta memanfaatkan potensi yang ada disekitar lokasi seperti; bahan bangunan, geologis dan iklim setempat serta potensi sosial
budaya seperti arsitektur lokal dan cara hidup masyarakat di sekitar lokasi perumahan Puslitbangkim, 2002.
Rumah sederhana sehat harus memberi kehidupan sehat bagi penghuninya terutama dalam menjalankan aktifitas keseharian secara layak. Aspek-aspek
kebutuhan ruang minimal harus diperhatikan pada rumah sederhana sehat antara lain; kebutuhan luas bangunan per jiwa, kebutuhan luas bangunan per kepala
keluarga, kebutuhan luas lahan per unit bangunan.Untuk kebutuhan ruang minimal per orang dihitung berdasarkan kegiatan dasar penghuni yaitu kegiatan-
kegiatan meliputi; makan, kerja, duduk, tidur, masak, mandi, cuci, kakus. Standar kebutuhan minimal yang digunakan oleh Perumnas adalah 9 sembilan m
2
dan dengan menggunakan rata-rata ketinggian plafon 2,80 m. Sementara, untuk
menghemat energi dalam sistem desain rumah sederhana sehat dilakukan dengan memanfaatkan secara maksimal angin dan matahari daerah tropis terutama
kebutuhan penerangan siang hari UU RI No.1 tahun 2011, Lippsmeier, 1997. Puslitbangkim 2006 menyatakan bahwa strandar kesehatan dan
kenyamanan dari rumah sederhana sehat yang sejalan dengan konsep rumah hemat energi ditentukan oleh:
Pencahayaan yaitu upaya pemanfaatan terang langit dari sinar matahari
secara merata di dalam ruangan untuk menunjang seluruh aktifitas manusia di dalam rumah. Kualitas cahaya yang masuk ke ruang dalam rumah ditentukan
Universitas Sumatera Utara
40
oleh: jenis kegiatan dalam ruang, lamanya kegiatan dalam ruang, dimensi lubang cahaya berupa; pintu, jendela, lubang angin, dengan luas minimal sepersepuluh
dari luas lantai, serta sinar matahari langsung masuk ke dalam ruangan minimal 1 jam per hari dan efektif diperoleh sejak matahari terbit Puslitbangkim, 2006.
Penghawaan dimaksudkan agar udara segar melalui aliran udara silang
secara terus menerus dapat masuk ke dalam ruangan sekaligus dapat menghasilkan kenyamanan dan menciptakan rumah yang sehat. Untuk tujuan
tersebut maka ketentuan lubang penghawaan yang dibutuhkan adalah sebesar 5 lima persen dari luas lantai ruangan dan pengaturan letak lubang penghawaan
dapat mengalirkan volume udara masuk sama dengan jumlah udara keluar ruangan. Beberapa faktor yang menentukan keberadaan aliran udara pada
perumahan adalah terdapatnya area terbuka pada kawasan, perbandingan area terbuka dengan bangunan, kepadatan bangunan, sistem jaringan jalan perumahan
Santamouris dan Asimakopoulos, 1996. Temperatur
dan kelembaban udara sangat mempengaruhi persyaratan rumah sehat. Radiasi matahari dan suhu udara tinggi kemudian dipicu oleh
kelembaban tinggi adalah masalah utama pada perumahan di daerah tropis Antaryama, 2002. Jika suhu dan kelembaban udara di dalam ruangan sama
dengan temperatur normal tubuh manusia maka akan membantu menciptakan ruang yang nyaman dan sehat. Apabila sistem penghawaan suatu rumah tidak baik
maka akan menaikkan suhu udara dalam ruangan dan kelembaban udara dalam ruangan juga akan naik.
Universitas Sumatera Utara
41
2.5. Emisi CO