Jejak Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok

di seluruh dunia. Termasuk anak yang kecil sudah masuk perjanjian.”, ujar Nasiruddin. 41 Menurutnya, dana itu dikumpulkan untuk membangun sarana peribadatan, syiar agama, dan untuk diberikan ke mubalig, karena tugas mubalig hanya menyebarkan ajaran Islam dan memperkenalkan bahwa Imam Mahdi sudah datang. Mubalig tidak boleh berbisnis. Dia hanya berfokus untuk menyebarkan ajaran Islam. Selain sepuluh syarat untuk Baiat, seorang yang masuk Jemaat Ahmadiyah wajib berjanji akan memberikan sumbangan untuk dakwah dan tabligh Islam sedikitnya seperenam belas 116 dan adakalanya sampai sepertiga 13 dari penghasilan atau gaji yang didapatnya dalam tiap-tiap bulan. Selain isu tentang bantuan dana, kesimpangsiuran buku Tadzkirah mewarnai perdebatan Ahmadiyah. Akan hal tersebut, Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia telah meneliti dan mengemukakan telaahnya tentang isi buku Tadzkirah ini 42 , antara lain Tadzkirah merupakan buah mimpi; pernyataan Mirza Ghulam Ahmad yang ditafsirkan oleh murid-muridnya dalam bahasa Urdu dengan intisari bahwa pengikutnya membenarkan dan memberikan justifikasi tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, seruan dan pujian kepadanya, doa-doanya, hingga mengkafirkan orang yang mengingkarinya. Akan hal tersebut, tim JAI membuat klarifikasi atas penelitian Puslitbang tersebut. Ilham atau wahyu yang terdapat dalam buku Tadzkirah sebagai penjelasan ataupun kabar gaib yang merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quranul- 41 Berdasarkan keterangan Penasehat Ahmadiyah JAI di Lombok, Mln. Nasiruddin Ahmad saat wawancara dengannya pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. 42 Lihat dokumen Tim Klarifikasi Tadzkirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 2003. Klarifikasi atas telaah Buku Tadzkirah. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia. karim ataupun Sabda Nabi Muhammad SAW. Buku ini juga berisi ungkapan yang menunjuk kepada keadaan yang sedang atau akan terjadi didalam kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan agar manusia bisa mengantisipasi ataupun mendapatkan keteguhan dan keyakinan yang lebih mendalam bahwa Islam adalah agama yang hidup karena Tuhan-nya tetap hidup. Salah satu bukti adalah dengan masih adanya wahyu sebagai tanda sifat Al-Mutakallim-Nya sifat berkata-kata. Buku Tadzkirah tidak disusun oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, tetapi oleh Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir, dan Maulwi Abdul Rasyid. Buku tersebut terbit 30 tahun setelah Ghulam Ahmad wafat. Penerbitan buku Tadzkirah pertama kali dilakukan oleh Book Depot Ta’lif wa Isyaa’at Qadian pada 1935 yang terdiri dari 664 halaman. Isinya adalah himpunan ilhamwahyu, kasyaf, dan rukya mimpi yang benar, selebaran, catatan harian, dan 84 buku karya pendiri Jemaat Ahmadiyah. Tadzkirah juga disebut kumpulan perjalanan spiritual dari pendiri Ahmadiyah, yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Upaya untuk mengklarifikasi ajaran Ahmadiyah terus dilakukan pengikutnya. Perbincangan mengenai Ahmadiyah sempat terjadi dengan damai pada tahun 2007 lalu saat bedah buku Gerakan Ahmadiyah Indonesia 2005 43 , dan mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia diberikan kesempatan untuk berbicara. Mubalig JAI tersebut membuka dengan ucapan shalawat salam dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Khataman Nabiyyin. Dia juga menekankan syarat masuk ke dalam jemaat adalah orang yang telah masuk Islam, 43 Berdasarkan video Bedah buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, di MPM-PPS UIN Alaudin Makasar pada 11 September 2007 dengan menghadirkan penulis buku Dr.Iskandar Zulkarnain “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia” dan pembicara lainnya. kitabnya adalah Al-Quran, mengakui Rasulullah, serta hidup dan matinya pada agama Islam. Akan hal tersebut, salah satu peserta mengemukakan pendapat jika memang itu benar, adalah sebuah kebaikan jika Ahmadiyah diterima dalam masyarakat.

BAB III JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL KEAGAMAAN

A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal

di Lombok Jika ditilik secara historis, kemunculan Ahmadiyah di Indonesia dengan “ajaran yang berbeda” daripada umumnya menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Pada awal kedatangannya di Tapak Tuan, ajaran Ahmadiyah sudah ditentang, salah satunya yaitu pelarangan warga Ahmadiyah untuk Sholat Jumat di rumah kaum Ahmadi pada 1926. Namun, setelah kejadian tersebut, pergolakan dan pertentangan lebih diwarnai setidaknya oleh perang wacana, yang mungkin lebih “bermakna”. Perdebatan sengit terjadi di kalangan intelektual Ahmadiyah Qadian dan Islam Sunni Indonesia. Pada 1928, terjadi perang wacana melalui publikasi. Dr. Abdul Karim Amrullah ayah Hamka merupakan orang pertama yang membuka perdebatan dengan menulis sebuah buku berbahasa Arab yang berjudul Al-Qaulush Sahieh yang berarti Sabda yang Benar. Setelah buku ini terbit, kaum Ahmadiyah segera membalasnya dengan menerbitkan sebuah buku berbahasa Arab pula yaitu Izharul Haqq yang artinya Kumandang Kebenaran. Perang wacana terus berlanjut hingga ke media massa di Zaman Kolonial. Majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan pada 1937 membuat tulisan- tulisan yang berisi serangan terhadap Ahmadiyah. Majalah Panji Masyarakat di Jakarta pada 1936 juga memuat tulisan dengan nada sama. Tulisan ini dibalas oleh tokoh Ahmadiyah Qadian waktu itu, Abu Bakar Ayub, yang menerbitkan brosur berjudul “Bantahan Lengkap”. Pada 1933, perdebatan paling akbar terjadi antara kelompok Ahmadiyah aliran Qadiani dengan tokoh Pembela Islam sebelum Persatuan IslamPersis di waktu itu. Perdebatan pertama terjadi di Bandung pada 14-16 April 1933 bertempat di Gedung Societet Ons Genoegen, Naripanweq, Bandung. Debat yang disaksikan sekitar 1000 orang dari berbagai elemen dan organisasi tersebut membahas masalah kenabian dalam Islam dan masalah hidup matinya Nabi Isa. Kubu Ahmadiyah diwakili oleh Maulana Rahmat Ali, Abu Bakar Ayub, dan Moh. Sadik. Pihak Pembela Islam diwakili A. Hassan dan pimpinan Partai Sarekat Islam PSII Bandung, yaitu Moh. Syafi’i. 44 Tak berhenti di situ, perdebatan dilangsungkan kembali di Salemba, Jakarta. Jumlah peserta yang menghadiri acara tersebut dua kali lipat dari perdebatan di Bandung. Berbagai media hadir untuk meliputnya. Organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam, Pendidikan Islam, An Nadil Islamie, Persatuan Islam Garut, MAS Garut, Persatuan Islam Leles, dan Islamiyah Jatinegara. Tema perdebatannya adalah “Apakah sesudah Nabi Muhammad SAW akan ada nabi lain?” Seperti yang terjadi di Bandung, tidak ada kesimpulan dalam debat terbuka tersebut. Perdebatan pun berakhir dengan damai. Besarnya perhatian terhadap mimbar tersebut menunjukkan Ahmadiyah bukanlah “benda asing” bagi masyarakat waktu itu. Banyaknya media yang 44 Berbagai organisasi yang menghadiri antara lain Muhammadiyah Garut dan Pekalongan, Persatuan Islam Bandung, Jong Islamic Bond JIB Bandung dan Betawi, serta Pendidikan Islam Bandung. Dari kalangan pers antara lain Sinar Islam, Bintang Timoer, Pembela Islam, Soeara Pemoeda, Thahaja Islam, An Noer Het Licht, dan Pers Bureua Hindia Timoer. Dalam Iskandar Zulkarnain. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Hal 224-225. meliput perdebatan membuat Ahmadiyah semakin dikenal masyarakat. Serangan terhadap Ahmadiyah bukannya berhenti, melainkan jalan terus. Jemaat Ahmadiyah tidak pernah berdiam diri. Mereka terus menangkis serangan tersebut dengan menerbitkan Majalah Sinar Islam mulai tahun 1932. Selain sebagai media penangkis, Sinar Islam juga memuat ajaran-ajaran yang bersumber dari karya- karya Mirza Ghulam Ahmad. Berbagai serangan dan tangkisan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia Ahmadiyah Qadian membuatnya menorehkan jejak perdebatan penting dengan berbagai kalangan Islam, tidak halnya dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Ahmadiyah Lahore. Meskipun begitu, Gerakan Ahmadiyah Indonesia GAI memiliki majalah Risalah Ahmadiyah yang diterbitkan pertama kali pada 1927. Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah mengalami kekerasan fisik dan simbolik baca: ideologis secara komunal, namun itu yang membuatnya mampu menambah jumlah pengikut dengan cukup pesat. Setelah Era Reformasi tahun 1998 silam, “keran” demokrasi terbuka lebar. Berbagai perubahan dan hentakan terjadi di setiap lini kehidupan bangsa Indonesia. Gerakan underground, khususnya di bidang sosial agama yang selama Orde Baru terpendam suaranya, mulai muncul. Antara lain Pam Swakarsa dan FPI. Di Zaman Soeharto sempat ada sedikit riak tapi gerakannya banyak bersifat underground, karena kontrol sosial politik saat itu cukup ketat. Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, misalnya, telah mengalami debat terbuka soal Ahmadiyah antara ulama Muhammadiyah dengan kelompok muslim lainnya. Perang pamflet dan spanduk antara yang pro dan kontra terjadi di jalan desa tersebut. Namun, kekerasan juga tak dapat dihindari pada tahun 1976 dan sempat meredup seiring waktu, sampai kemudian muncul lagi pada Desember 2007 silam. 45 Era Reformasi juga tidak diimbangi dengan undang-undang yang kuat mengenai bagaimana menjaga kerukunan, perdamaian, keragaman dalam masyarakat. Tak pelak kebebasan yang ada kemudian disalahgunakan. Menurut Nasiruddin Mubalig JAI, sebenarnya keberadaan agama di Indonesia cukuplah dilihat dan dipahami dengan Pancasila karena butir-butirnya sudah Islami dalam arti kedamaian. “Setelah zaman Reformasi, Ahmadiyah mau dijadikan alih- perhatian orang, agar masyarakat menafikkan masalah kebangsaan lainnya. JAI sebenarnya mencari sosok-sosok seperti A. Hasan, seorang Islam yang mau terbuka untuk berdialog dengan fair saat kejayaan debat terjadi tahun 1933”, ujar Nasiruddin. 46

1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok

Sejak kedatangannya di Lombok pada tahun 1970-an, pada Era Soeharto, tidak ada konflik yang berarti terjadi di sana. Riak-riak konflik pada umumnya terjadi di tingkat pusat dan belum mengarah pada kekerasan fisik karena lebih didominasi perdebatan intelektual. Namun, sejak awal Reformasi, para JAI di Lombok menjadi sasaran kekerasan komunal hingga 2010. Benih-benih kerusuhan mulai menyeruak saat Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang 45 Lihat Ali Nursyahid. 2008. Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…. Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Hal 36-38. 46 Seorang Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmad pada wawacara tanggal 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. sesat berdasarkan 9 buah buku. 47 Fatwa ini langsung mempengaruhi pendapat masyarakat, meskipun dari segi UU Keormasan, MUI dan Ahmadiyah berada pada level yang sama, namun MUI seperti punya hak prerogatif, karena bisa menentukan suatu hal termasuk sesat tidaknya suatu ajaran. Hanya saja riak konflik tak terlalu menonjol saat itu sehingga kekerasan terhadap JAI bisa diredam. Dalam dialog yang diselenggarakan Tim peneliti Setara Institut 2011 silam, salah satunya tim-nya, Ismail Hasani menjelaskan bahwa toleransi antar umat beragama di Indonesia Era Reformasi masih dalam taraf baik. Namun terdapat kondisi sebaliknya, berkaitan dengan soal perbedaan intern dalam suatu agama, misalnya Ahmadiyah. 48 Kita bisa melihat fakta yang terurai di bawah ini sebagai penjelasan bahwa di Era Reformasi, konflik justru terjadi didalam intern umat Islam. Aksi-aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI teridentifikasi terjadi pertama kali pada 1998 di Keruak, Lombok Timur, setelah Tuan Guru Sibawae AMPIBI dalam ceramahnya menyatakan Ahmadiyah kafir, murtad, sesat, serta merusak aqidah Islam. 49 Kekerasan kembali memuncak setelah rangkaian seminar tentang Ahmadiyah yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam LPPI pada 2002 di Masjid Istiqlal dan Lombok saat Ahmadiyah kembali dinyatakan sebagai ajaran “sesat”. 47 Hal ini berdasarkan literatur dari MUI dan wawancara dengan Muhsin mewakili MUI DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY. Dia tidak menyebutkan secara jelas 9 buah buku itu apa saja. Akan hal ini, Jemaat Ahmadiyah menyanggah kenapa menyesatkan ajaran lain tidak berdasarkan Al-Quran dan Hadis saja, bukan buku-buatan manusia yang berpotensi banyak salah dan tafsir. 48 Sudah dibahas dalam bab Pendahuluan, lihat http:www.tribunnews.com20110908survei- setara-606-persen-menolak-kekerasan-terhadap-ahmadiyah, diunduh pada 14 januari 2011. 49 Dalam tulisan Sentot Setya Siswanto, dkk. Maret 2011. Kertas Kerja tentang Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Desa Umbulan-Cikeusik-Pandeglang dalam Bahan Aksi Refleksi : Konstitusi, Negara, dan Hak Asasi Manusia.