Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena

kelompok yang memiliki pola berbeda dalam pembinaan tersebut. Pertama, kelompok yang diwakili beberapa narasumber moderat yang melihat keyakinan seseorang tidak bisa diintervensi dan diintimidasi. Kelompok pertama ini memiliki kesimpulan apabila orang tersebut sudah membaca syahadat, Nabinya Muhammad, Agamanya Islam, kitab sucinya Al-Quran, dan taat pemerintah maka mereka muslim, serta haram hukumnya apabila menganggu apalagi membunuhnya. Kedua, kelompok kebangsaan yang diwakili oleh GP Anshar. Menurut kelompok ini, untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah harus ada penegakan hukum yang jelas berdasarkan konstitusi, jaminan keamanan, dan pelayanan publik yang memadai, serta bisa membuka “keran” silaturrahmi atau dialog. Ketiga, kelompok yang menginginkan hasil akhir pembinaan agar JAI “ruju’ilal-haq an bertaubat” sesuai dengan versinya. Jika ini tidak dilakukan oleh JAI, kemungkinan kelompok ini akan melakukan desakan kembali kepada pemerintah. 96 Menurut warga JAI, pembinaan tersebut tidak menyentuh substansi yang sedang dibutuhkan oleh penghuni Transito. Substansi yang dimaksud oleh mereka adalah kebutuhan ekonomi, hidup layak, dan pelayanan dengan fasilitas yang sama sebagaimana dinikmati oleh warga masyarakat lainnya. Selain melakukan pembinaan, pemerintah daerah juga memberikan janji- janji kepada pengungsi Ahmadiyah di Transito. Kegiatan pembinaan ini sebenarnya merupakan salah satu langkah sebagai solusi yang dijanjikan oleh pemerintah. Solusi lainnya antara lain Pemerintah NTB melalui Badan Koordinasi 96 Loc.cit…Berdasarkan Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito. Pengawasan Aliran Kepercayaan Bakorpakem dan pihak-pihak yang berwenang akan mensosialisasikan SKB Tiga Menteri untuk masyarakat pada umumnya dan warga JAI pada khususnya. Selain itu, Pemerintah melalui Kementerian Agama NTB juga akan memfasilitasi dialog damai terbuka dan moderat antara Ahmadiyah dengan pihak-pihak yang selama ini belum memahami Ahmadiyah sampai ke akar rumput umat. Solusi terpenting lainnya adalah Bakorpakem berjanji akan membantu memfasilitasi warga JAI dengan Pemerintah Lombok Barat mengenai pembelian aset-aset warga di Ketapang, meskipun yang tersisa tinggal tanah dan puing-puing rumah. Seperti yang diketahui, warga JAI sudah menyerahkan ke pemerintah bagaimana penyeleseian aset-aset tersebut. Apabila dijual, maka akan ada ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada warga JAI. Sempat ada rumor dari pihak non-Ahmadiyah yang mengatakan bahwa pengungsi Ahmadiyah tidak mau menerima ganti rugi tersebut. Hal ini bertentangan dengan keterangan JAI yang mengatakan belum ada sama sekali keputusan dari pemerintah yang mengarah ke hal tersebut. Hingga kini, solusi-solusi tersebut masih menjadi janji janji pemerintah. Yang baru terlaksana hanyalah tentang poin pembinaan. Padahal solusi lainnya juga merupakan hal utama untuk masuk dan mengenal Ahmadiyah yang dianggap sebagai ajaran yang kontroversial. Harapannya, agar solusi tersebut bisa menghindari terjadinya kekerasan lagi. Pemenuhan kebutuhan JAI sebagai warga negara juga perlu dilakukan agar hak-hak mereka tidak terbengkalai. Jemaat Ahmadiyah masih berharap adanya solusi ke depan yang lebih baik. Apalagi ketika melihat kejayaan tradisi debat dan dialog yang terjadi di masa silam. Mulai dari perdebatan sengit melalui buku dari ayah Hamka dengan Ahmadiyah, perang wacana di media massa, perdebatan akbar, hingga dialog sempat terjadi di bumi Indonesia. Nasiruddin, Mubalig JAI pun masih membayangkan hal yang sama ketika dalam konteks nasional, pemerintah melaksanakan dialog damai dengan menghadirkan kubu yang selama ini kurang paham tentang Ahmadiyah, pihak Ahmadiyah sendiri, lalu dimoderatori oleh LSM atau pihak yang netral. Setiap kubu-kubu berlawanan bisa mengemukakan logika masing-masing dan masyarakat bisa menilai. Jika hal ini bisa dilaksanakan, maka tidak akan adanya kecaman tak berdasar ke Ahmadiyah karena semua orang bisa memahami dengan cara pandang masing-masing. Dengan pelaksanaan hal-hal tersebut, warga JAI di Lombok berharap bisa merdeka tanpa intervensi dan intimidasi dari siapapun. Masalah keyakinan merupakan hak privat seseorang dengan Tuhannya. Bagi mereka, keyakinan tersebut menjadi sah saja ketika tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, tidak memperburuk citra Islam di mata agama lain, serta tidak merongrong kewibawaan pemerintah yang sah. Selain itu, mereka juga sangat berharap agar segera mendapatkan kepastian hukum dan jaminan keamanan di manapun mereka akan tinggal. “Sebenarnya kami ingin mengharumkan nama pemerintah, dengan menghilangkan pengungsi di NTB. Akan tetapi pemerintah berkata lain. Mungkin selama-lamanya NTB ini dibicarakan di luar Indonesia”, ungkap Syahidin. 97 Berbagai solusi yang tertera di atas sebenarnya menunjukkan pola penanganan JAI di NTB yang bisa menjadi model untuk penyelesaian konflik dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ahmadiyah tersebar di berbagai 97 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito. daerah di Indonesia dan memiliki sejarah kontroversial yang beragam. Kasus di Lombok bisa menjadi cermin kekerasan yang bisa diupayakan solusinya demi meminimalisir atau bahkan menghilangkan riak-riak kekerasan. Segala daya upaya juga dilakukan JAI untuk mengartikulasikan suaranya dan menepis wacana liyan yang merongrong mereka. Mereka sepertinya tak kenal putus asa untuk mencapai penyelesaian yang lebih baik. Pengungsi JAI tetap berdiri tegak di tengah kemelut yang mereka hadapi, berdiam di Asrama Transito selama 7 tahun terakhir ini. Namun, jika semua daya upaya sudah tak bisa lagi, maka dalam istilah Jemaat Ahmadiyah, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Mahkamah Ilahi.

BAB IV JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN

IDENTITAS DAN HEGEMONI Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI di Lombok senyatanya merupakan bagian dari entitas Islam di Indonesia. Ajaran ini tumbuh dan berkembang sebagai sebuah gerakan perluasan dan pendalaman revolusi Demokrasi dalam arti menciptakan ruang-ruang politik baru, yaitu sebagai gerakan sipil keagamaan. Meskipun secara organisatoris JAI menyebut dirinya bukanlah organisasi berbau politik, keberadaannya telah memberi dampak pada kehidupan sosial politik di tengah masyarakat. Di kala mereka menjadi sasaran kekerasan, suara-suara JAI sebagai korban menjadi faktor penentu identitas yang melibatkan unsur keimanan. Ini merupakan fenomena gerakan sipil keagamaan yang berbeda dari kemunculan budaya atau subkultur lainnya. Membaca fenomena JAI dapat dilihat dari sudut pandang Demokrasi Radikal yang digagas oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe 1985. Cara kerja dari Demokrasi Radikal, yaitu hegemoni menjadi fakta menentukan dari narasi kekerasan yang dialami pengungsi JAI di Lombok dalam kurun waktu setidaknya satu dekade 1998-2010. Selain memberikan pengaruh terhadap kekerasan yang muncul, hegemoni juga turut menentukan pembentukan identitas JAI. Hegemoni—yang dikembangkan oleh Gramsci—memberikan ruang bagi para pekerja untuk menjadi masyarakat politik tanpa dipaksakan. Dalam pengertian tradisional, cita cita sosialis adalah masyarakat kelas pekerja. Namun, sejarah menunjukkan bahwa untuk mencapai cita-cita tersebut, yang terjadi justru adalah fragmentasi kelas pekerja. Sementara itu kapitalisme terus berkembang sambil menimbulkan efek proletarisasi masyarakat. Dalam kajian mengenai Jemaat Ahmadiyah Indonesia, hegemoni yang dibincangkan ialah terkait umat Islam, khususnya fragmentasi masyarakat muslim di Indonesia. Seperti diketahui bahwa umat Islam di Indonesia terbagi dalam berbagai organisasi, paham, dan elemen. Salah satunya adalah Ahmadiyah. Oleh beberapa kelompok dan elemen Islam lainnya, Ahmadiyah dijadikan sasaran kekerasan dan dipersoalkan identitasnya. Konsep yang dikembangkan oleh Gramsci dan diradikalisasi oleh Laclau- Mouffe ini memiliki beberapa poin yang hendak dipecahkan, yaitu seputar hegemoni dan perjuangan kelas pekerja dalam hal ini kelas subaltern untuk mencapai sosialisme. Poin-poin tersebut di antaranya melihat bagaimana kesatuan sosial tersebut terbentuk, siapa pemimpinnya, sifat dari kelompok tersebut, serta sejauh mana kesatuan sosial tersebut mapan atau labil. JAI merupakan suatu kesatuan sosial yang terbentuk karena suatu ajaran Ahmadiyah yang lahir di India dengan seorang pendiri sekaligus pemimpin yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Setelah itu ajaran Ahmadiyah menyebar ke seluruh belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Salah satu contohnya adalah Ahmadiyah di Lombok. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka berkumpul sebagai Jemaat Ahmadiyah yang memiliki visimisi sama. Ada intervensi ideologis yang menyebabkan mereka bersatu dan pemimpin mengambil peran. Menurut sejarah dan penuturan mereka, ideologi yang dipegang semata-mata merupakan urusan rohani keagamaan, dan bukan ekonomi apalagi politik. Mereka bukanlah agen- agen sosial dalam kelompok yang terjun ke ranah politik praktis. Namun, JAI muncul sebagai entitas sosial Islam dengan “wajah lain” yang berbeda dari Islam mainstream. Atas hal tersebut, JAI kemudian menjadi kelompok yang kontroversial dan akhirnya menjadi sasaran kekerasan sehingga mereka harus mengungsi. Awalnya mereka tersebar di berbagai daerah di Lombok Timur. Namun demikian, karena adanya kekerasan dari 1998 hingga 2010, mereka akhirnya dipersatukan dalam suatu wadah yang sama bernama Asrama Transito.

A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik

Seperti telah dijelaskan di atas, membaca Ahmadiyah, khususnya para pengungsi JAI di Lombok menggunakan konsep Gramsci, yaitu hegemoni. Hegemoni selalu menjadi basis yang dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui artikulasi kelompok kepentingan. Dengan mengatakan hegemoni sebagai hasil suatu proses artikulasi, formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai floating signifiers sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas struktural. Formasi hegemonik menghasilkan ruang politik, yaitu hubungan oposisional antara totalitas tersebut dengan totalitas yang dieksklusikan, antara sistem di dalam dan sistem di luar. Totalitas hegemonik merepresentasikan seluruh kekuatan-kekuatan sosial sehingga menjadi the social. Totalitas hegemonik tersebut menjadi identitas hegemonik dan par excellence politis. Disebut identitas dalam arti bahwa totalitas merepresentasikan seluruh unsur- unsur pembentuknya baik secara kolektif maupun tunggal. Pembicaraan ini menjadi penting ketika melihat bagaimana representasi para pengungsi JAI di Lombok dalam identitas hegemonik. JAI sebagai salah satu identitas dan menjadi kekuatan sosial telah diartikulasikan oleh kelompok kepentingan yang ada, baik oleh ulama, tokoh agama, ormas Islam, ataupun elemen masyarakat lainnya. Kelompok-kelompok ini merepresentasikan JAI dalam kancah politik identitas Islam secara khusus, bahwa JAI adalah kelompok non-Islam. JAI di Lombok yang mengalami kekerasan dan pengusiran dalam kurun waktu satu dekade menjadi semacam material dari wacana. Fakta ini bermakna setelah melalui bahasa. Representasi akan peristiwa tersebut muncul melalui wacana. Adanya pewacanaan terhadap pengungsi JAI Lombok di Asrama Transito, dan perbedaan bahasa bahasa jurnalistik, penduduk setempat, tokoh agama, ormas, atau gerakan sipil lainnya memunculkan representasi serta pemaknaan atas terjadinya kekerasan yang berbeda-beda pula. Formasi yang menghasilkan ruang politik terlihat dalam fenomena latar belakang terjadinya kekerasan terhadap JAI. Kekerasan yang menimpa warga JAI di Lombok setidaknya selalu diawali dengan seminar atau ceramah dari tokoh agama dan ormas Islam tertentu. Hal ini berlanjut dengan intimidasi melalui media seperti pamflet atau brosur. Setelah segala sesuatu seolah dikondisikan, maka terjadi penyerangan oleh massa yang “tidak diketahui” dari kelompok mana saja. Kelompok yang mengeklusikan JAI juga mendefinisikan Ahmadiyah sesuai versinya. MUI misalnya, melihat JAI mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad, kitab sucinya adalah Tadzkirah, syahadatnya berbeda dari Islam mainstream, dan hal-hal yang telah dibahas pada bab sebelumnya. MUI juga menganggap apa yang diklarifikasi atau apapun argumentasi dari JAI adalah strategi untuk bisa mengelabui umat Islam di Indonesia. Strategi ini juga dilihat oleh kelompok Islam lainnya atau Other Liyan sebagai upaya JAI untuk melindungi diri dari kekerasan yang menimpanya. Strategi itu disebut Takiyah. Untuk kasus di Lombok, MUI menjadikan Ahmadiyah sebagai objek kebenciannya karena dianggap berbahaya dan mengancam keberadaan umat Islam disana. Dalam menghadapi Ahmadiyah, Liyan atau kelompok yang ingin membedakan JAI dalam formasi hegemonik melakukan logika ekuivalensi. Logika ekuivalensi berarti logika mengumpulkan semua unsur yang memiliki common differentiation yaitu semua unsur yang sama dengan sesuatu yang berada di luar. Secara lebih sederhana, logika ekuivalensi adalah logika menghadapi musuh bersama. 98 Kelompok-kelompok Islam yang berpengaruh dalam penentuan identitas Ahmadiyah terdiri dari unsur-unsur yang hakikatnya sama, meskipun memiliki perbedaan secara organisatoris. Mereka kemudian dipersatukan oleh satu pendapat, yakni bahwa JAI adalah “musuh bersama” yang harus dilarang karena membahayakan kehidupan umat muslim di Indonesia. Meskipun sebagian dari mereka tidak bersentuhan langsung dengan Ahmadiyah, kelompok-kelompok ini 98 Lihat St.Sunardi. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Humaniora Baru Vol.3 No.1 Hal 8.