Ahmadiyah menarik untuk diteliti karena merupakan gerakan yang

tinggal di Transito ada sekitar 150 orang. Mirisnya, aparat, dalam hal ini polisi misalnya, terlihat melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut. Sampai saat ini, belum ada upaya penyelesaian berarti yang dilakukan oleh pemerintah. Setiap tindak kekerasan pasti akan menorehkan kisah tersendiri dari korbannya, baik berupa trauma, kesedihan, maupun rasa tertekan. Oleh karena itu, tak mengherankan jika ada perubahan sikap karena kejenuhan yang membuncah, aspirasi yang tak tersampaikan, dan trauma penyerangan yang terus membayangi. Secara psikologis, pengalaman kekerasan yang diderita warga atau pengungsi JAI pun telah memicu stres. Muncul semacam ketakutan di diri mereka karena mendapat ancaman terus-menerus. Menariknya, hal itu tidak mereka tampakkan sebagai sesuatu yang dominan. Mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya, yaitu keteguhan dan keyakinan. Dari segi akidah dan keyakinan, mereka mengaku malah semakin kuat dan tabah menjadi bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Gerakannya yang dianggap kontroversial di kalangan ormas-ormas Islam lainnya telah membuat kekerasan terhadap JAI menjadi begitu massif dan berulang. Hal ini terjadi karena tersebarnya banyak informasi mengenai ajaran Ahmadiyah versi ormas-ormas Islam yang keliru. Selain itu, JAI tidak melakukan perlawanan secara frontal, dengan akibat ormas Islam lainnya dapat bertindak dengan bebas. Kasus kekerasan terhadap warga JAI telah diselimuti ideologi pembenaran. Akibatnya, aksi kekerasan bisa terus dilakukan. Salah satunya melalui Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang larangan menyebarkan aliran Ahmadiyah. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk berfatwa, MUI mendasarkan pelarangan tersebut setidaknya pada dua hal, yaitu melindungi pokok ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan menghentikan kegiatan penodaan dan pelecehan terhadap agama. Fatwa MUI tahun 1980 dan -2005 makin diperkuat dengan munculnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. Peraturan ini sering menjadi acuan pemerintah daerah. Bahkan, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berniat membubarkan JAI karena menurut dia JAI telah melecehkan agama Islam. 8 Berbicara tentang ajaran atau akidah, Jemaat Ahmadiyah dan pengurusnya, terutama di Lombok, banyak mengoreksi fitnah-fitnah yang berkembang melalui media yang ditujukan kepada mereka. Mereka menjelaskan bahwa kitab, nabi, atau syahadatnya sama dengan orang Islam lainnya. Adapun tentang tuduhan eksklusif, mereka melihat itu sebagai tuduhan yang berlebihan. Warga JAI mengaku rindu berkumpul dan beribadah dengan umat Islam yang lain, tetapi adanya stigma “sesat” serta berbagai celaan dan makian terhadap mereka membuat hal itu sukar dilakukan. Peran media, khususnya di tingkat lokal, dalam hal ini cukup penting, khususnya dalam mengarahkan opini publik tentang JAI. Tak jarang banyak pemberitaan di media turut memperkeruh suasana. Banyak media massa, khususnya media lokal, melakukan kekerasan dalam bentuk pemberitaan yang tidak seimbang. Sumber yang diambil hanya dari pemerintah daerah, dan sering mengandung opini masyarakat yang cenderung menentang Ahmadiyah. Media tersebut juga jarang menampilkan berita yang seimbang dan sesuai konteks. Hal ini bisa dilihat dalam salah satu contoh tentang pernyataan: “Pokoknya Ahmadiyah itu sesat, tidak ada dialog lagi”, yang disampaikan oleh oleh seorang 8 Lihat Majalah TEMPO. Ultimatum Suryadharma Ali. Edisi 13-19 September 2010. tokoh MUI Nusa Tenggara Barat. Bagi MUI, tidak ada tawar-menawar lagi dengan JAI karena solusi itu saja yang dianggap bisa meredam masyarakat. Ini untuk menanggapi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang pada 2006 silam. 9 Pelarangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah bagi penulis opini itu dianggap sebagai suatu kewajaran tanpa melihat sisi humanitasnya. Mengenai pihak yang “terlibat” di pengungsian Transito memang cukup beragam. Ini bisa dilihat dari daftar pengunjung Transito, yaitu ada pegiat media wartawan baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat, serta pemerintah daerah. Beberapa ormas Islam, seperti Nadhlatul Wathan NW, sempat datang berkunjung beberapa kali, itu pun untuk memberikan ceramah, tanpa dialog sama sekali. Sedangkan peran partai politik sangat minim. Pernah ada satu partai politik yang memberi bantuan pada 2007, tapi setelah itu tidak lagi. Berbagai LSM juga datang untuk memberikan bantuan dan advokasi. Kebijakan dan intervensi negara telah memunculkan bentuk diskriminasi terhadap warga JAI. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain mereka dilarang tinggal di atas tanahnya sendiri. Menurut JAI, SKB Tiga Menteri misalnya hanya melarang warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, bukan melarang untuk tinggal di daerah tertentu. Artinya, SKB tidak mencabut hak warga JAI untuk tinggal di Nusa Tenggara Barat. Namun nyatanya, selama tujuh tahun terakhir ini mereka masih tetap mengungsi. Atas kekerasan yang dialami secara beruntun, Jemaat Ahmadiyah bukannya tanpa upaya atau ikhtiar. Warga JAI berusaha meminta dukungan keamanan kepada Gubernur hingga Presiden. Bahkan kepada gubernur dan 9 Lihat Suara NTB, Edisi 6 Februari 2006. presiden mereka pernah mengirimkan surat. Pimpinan wilayah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok Barat juga menyayangkan sikap pemerintah yang hanya diam tanpa berusaha melindungi- masyarakat yang teraniaya. Meski hidup dalam keadaan yang tak pasti, warga JAI di Transito selalu mendapat dukungan kerohanian dari organisasi. Mereka menyikapi kekerasan yang dialami dalam koridor keimanan dan kerohanian. Hal inilah yang turut membentuk pola bertahan dan identitas mereka dalam menghadapi kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, tesis ini bermaksud membahas beberapa masalah, yaitu a. Bagaimana sejarah kekerasan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI di Lombok? b. Bagaimana bentuk pertarungan hegemoni antara JAI dengan pihak di luar nya dalam menentukan identitas JAI? c. Bagaimana mereka memandang dan memaknai kekerasan yang dialaminya secara berkala dan massif 1998-2010 pada level ideologis dan level praktis?

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengambil salah satu potret kekerasan yang dialami pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI di Lombok, penelitian ini bertujuan untuk melihat wacana lain seputar pengalaman dan suara JAI atas peristiwa kekerasan yang dialami. Suara-suara tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan subjek dan identitas JAI. Akan tetapi, yang dilihat bukan hanya semata-mata dari perspektif JAI sebagai korban, tapi juga menilik bagaimana kekuatan kelas hegemonik mempengaruhi keberlangsungan mereka khususnya di Lombok. Biasanya peristiwa kekerasan berdampak besar pada identitas individu maupun kelompok. Dalam membentuk identitasnya, kelompok sasaran tidak selamanya memandang dirinya sebagai korban karena mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertahan dan berstrategi. Kemampuan tersebut bertemu dengan ideologi kelompok yang dominan sehingga memunculkan proses negosiasi atau bahkan sebuah pertarungan.

D. Manfaat Penelitian

Berawal dari kegelisahan dan keingintahuan melihat maraknya konflik antar-kelompok khususnya dalam konteks umat beragama, penelitian ini mulai dirancang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI menjadi salah satu potret kekerasan yang disorot, karena identitas yang diberikan padanya sebagai ajaran “sesat” dan eksklusif. Terlepas dari pro kontra ajaran aliran Ahmadiyah, wacana ini diharapkan bisa memunculkan narasi lain tentang ideologi di balik kekerasan dan identitas mana yang dominan muncul pada pengungsi JAI di Asrama Transito. Pertarungan identitas dan hegemoni setidaknya bisa membantu untuk memetakan potret kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya entitas Umat Islam di Indonesia. Lebih spesifik lagi, hal ini akan menjadi gambaran bagaimana sebuah aliran—yang menyebut dirinya bagian dari Islam—bisa bertahan dan ditentukan hidup atau matinya oleh ideologi tertentu.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan, namun sebagian besar menyorot permasalahan akidah, terutama yang kontra terhadapnya. Penelitian yang menyorot tajam keberadaan Ahmadiyah di dunia misalnya, ditulis oleh Abdullah Hasan Al-Hadar 1980 dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah. Dia melihat bagaimana Ahmadiyah lahir, berkembang, penuh gejolak di India, dan menyorot identitas seorang Imam Mahdi secara cukup detail. Dalam tulisan ini pula banyak asosiasi negatif yang muncul seputar Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata lugas seperti Ahmadiyah sesat, sosok Mirza yang “gila” gelar keislaman banyak dipakai dalam buku tersebut. Penelitian lain yang juga kontra terhadap Ahmadiyah datang dari Jurnal Ulama Majelis Ulama Indonesia Provinsi D.I Yogyakarta : 2008. Jurnal yang bertajuk Merekontruksi Ukhuwah dan Memahami Aliran Sesat tersebut, mengulas tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI terhadap Ahmadiyah yang sebenarnya sudah sangat lama sejak 1980-an. Salah satunya adalah vonis sesat terhadap Ahmadiyah yang telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Tulisan itu menyebutkan fatwa MUI tidaklah mengada- ngada, melainkan justru mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab lembaga keulamaan dalam membimbing umat dan menjaga akidah mereka. Akan tetapi, dalam tulisan tersebut juga menampilkan protes terhadap MUI yang menilai lembaga ini telah memicu kekerasan, padahal yang berhak melakukan vonis suatu aliran sesat atau tidak adalah Allah SWT. MUI kemudian membela diri dengan mengatakan manusia bisa menilai sesat tidaknya sebuah ajaran berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, karena apabila tidak maka akan terjadi kekaburan antara yang hak dan batil. Ada pula penelitian yang relatif objektif tentang Ahmadiyah yang dilakukan oleh Dr. Iskandar Zulkarnain 2005, dalam bukunya Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Pengajar di UIN Sunan Kalijaga ini meneliti sejarah Ahmadiyah sebagai aliran yang kontroversial, pada 1920-1942. Menurutnya, Gerakan Ahmadiyah memang belum banyak dipahami umat Islam lainnya, padahal ajaran ini telah banyak menyebarkan agama Islam. Kajian hukum datang dari buku yang diterbitkan The Indonesian Legal Resource Center ILRC tahun 2008 lalu. Buku tersebut menyorot keberadaan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat Bakorpakem dan sejauh mana legalitasnya berperan dalam mengawasi agama atau kepercayaan di Indonesia. Penelitian terhadap Tim Pakem ini diharapkan mampu menjawab persoalan kebebasan beragamakepercayaan dan keragaman, serta membuka mata masyarakat umum atas kerja-kerja dan landasan hukum Tim Pakem. Banyak penelitian tentang Ahmadiyah, terutama yang beredar di Indonesia, lebih memfokuskan dirinya pada telaah teologis terhadap ajaran yang lahir di tanah India itu. Namun, Pusat Data dan Analisa TEMPO 2005, menyusun dan menerbitkan buku Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, yang berisi fakta sosial tentang Ahmadiyah sebagai komunitas dan ajaran yang sudah tumbuh berkembang di Indonesia. Banyak fakta menarik disajikan buku ini yang bisa menjadi rujukan penelitian, tentang suara-suara para Ahmadi sebutan bagi Jemaat Ahmadiyah, dan juga membahas sejarah Ahmadiyah di India dan Indonesia. Hanya saja, buku ini memaparkan fakta tentang JAI, dan sepertinya tidak bermaksud untuk mengelaborasi fakta tersebut dengan teori-teori sosial. Maraknya kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terutama di tahun 2000-an juga telah mendorong beberapa lembaga melakukan penelitian. Salah satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Kontras pada 2008 lalu, menerbitkan buku yang berjudul Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…, salah satunya memuat tentang terhadap kekerasan JAI di Manislor Kuningan 2007 dan rentetan kekerasan JAI di Lombok sejak 1998. Segelintir kekerasan yang ditulis disertai dengan analisis hasil temuan investigasi, misalnya melihat modus kekerasan dan peran aparatur negara didalamnya. Namun, tulisan ini merupakan hasil penelitian berbasis investigasi yang tidak disertai dengan kerangka teori atau konseptual untuk menganalisisnya. Ulasan tentang kajian sosial dan budaya lainnya memang belum banyak ditemukan, khususnya dalam konteks kekinian. Oleh karena itu, saya berusaha