Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok

Warga JAI kemudian secara bersama-sama mengumpulkan uang untuk membeli sebuah komplek perumahan BTN tersebut yang dijual dengan harga murah. Penyerangan pertama terjadi pada 19 Oktober 2005 bertepatan dengan bulan Ramadhan 1426 H. Peristiwa ini berawal dari pengajian yang digelar oleh Tuan Guru Muhammad Izzi di Masjid dekat Ketapang. Ceramah Tuan Guru ini telah mengundang reaksi dari massa untuk melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Namun, kejadian tersebut tak membuat Jemaat Ahmadiyah meninggalkan wilayah tempat tinggalnya. Geram dengan hal tersebut, massa kembali menyerang pada 4 Februari 2006. Kejadian yang cukup parah ini mengulang pengalaman pahit yang dialami oleh warga Ahmadiyah setelah terusir dari Lombok Timur. Secara psikologis, pengalaman di Keutapang telah membuat mereka shock, stress, ketakutan karena mendapat ancaman terus-menerus. Identitas mereka sebagai Ahmadiyah turut terancam. Mereka, Jemaat Ahmadiyah yang juga sekaligus warga Pancor ini, tidak bisa kembali ke rumah mereka di Lombok Timur. Selain karena menghindari penyerangan kembali, warga Ahmadiyah sudah tidak memiliki harta benda lagi di Lombok Timur. Mereka juga sudah menjual semua aset untuk menetap di Ketapang. Sejak kejadian 2006, hak mereka untuk tinggal di Ketapang pun nyaris hilang. Setelah penyerangan tersebut, Jemaat Ahmadiyah di Lombok tak patah arang. Upaya hukum tetap diusahakan agar mereka mendapat perlindungan hukum. Namun, dalam upaya tersebut, mereka tidak melalui jalur kekerasan, melainkan lewat negosiasi atau dialog agar mereka bisa menyampaikan keinginan sekaligus mengklarifikasi pokok masalah yang beredar di masyarakat tentang Ahmadiyah. Mereka juga mulai membangun kembali puing puing bangunan yang sudah berserakan akibat penyerangan tahun 2006 agar mereka bisa kembali tinggal di perumahan BTN Ketapang. Sayangnya, penyerangan terjadi kembali ke rumah Jemaat Ahmadiyah berlangsung pada 26 November 2010 dan membuat mereka benar-benar kehilangan harta benda. Kali ini bahkan lebih naas, karena sebagian besar dari warga sudah mulai membangun kembali rumah yang sebelumnya telah menjadi puing. Baru beberapa bulan berdiri dan upaya pemulihan mulai dilakukan, harapan itu pupus lagi. Bagi warga JAI, aparat dalam hal ini polisi terkesan melakukan pembiaran terhadap 8 kali kejadian kekerasan. Bahkan, menurut mereka, ada massa yang berceletuk : “Kami berani menyerang karena disuruh oleh polisi”. Hal ini juga disesalkan oleh kalangan ibu-ibu dan anak-anak Ahmadi. Menurut mereka, seharusnya pemerintah atau gubernur menjadi pemimpin bagi semua orang, apapun golongan dan keyakinannya. Tapi sebaliknya, yang dilihat selama ini, gubernur cenderung memainkan peran sebagai seorang Tuan Guru yang berpihak, bukan seorang abdi rakyat. 50 Akan hal tersebut, mereka melihat penegakan hukum di Indonesia sangat rapuh. Selain harta benda yang terjarah dan habis, saat kasus di Sambielen ada korban yang meninggal. Massa pun bebas melakukan penyerangan di depan polisi, seolah aparat tidak punya kuasa untuk menghalangi. Media pun bagi JAI seringkali tidak menampilkan wacana yang seimbang, karena lebih menyorot 50 Berdasarkan wawancara dengan ibu-ibu pengungsi di Transito, 17 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. pihak-pihak yang kontra. “Kami tidak boleh mengklarifikasi apapun di surat kabar, maka kami mencetak buku-buku. Salah satu contohnya adalah Kami Orang Islam”, ujar Nasiruddin. 51 Hanya saja, warga JAI tidak melakukan penuntutan yang berarti agar kasus ini diusut. Mereka hanya berupaya bertemu dan bersurat kepada pihak-pihak yang mempunyai wewenang sembari melakukan klarifikasi lewat tulisan. Tindakan pembiaran dan lambatnya antisipasi dari pemerintah juga dapat dilihat dari penyerangan yang terjadi pada 13 Juli 2012 silam di tempat yang berbeda. Penyerangan terhadap komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh sekelompok orang berjumlah sekitar 20 orang, dengan melempari masjid yang didirikan dan digunakan oleh warga JAI. Berdasarkan keterangan dari Pengurus JAI Cisalada, aparat kepolisian dari Resort Bogor tiba 1,5 jam kemudian setelah pelaporan oleh Pengurus JAI Cisalada. Yang disesalkan oleh pengurus JAI bahwa tidak ada pelaku yang ditahan dalam kasus penyerangan ini. Kasus penyerangan terbaru dapat pula dilihat saat sekelompok orang merusak Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei 2013. Menurut keterangan salah seorang Jemaat Ahmadiyah, hal ini terjadi pada pukul 01.30 WIB. Pada malam sebelumnya, telah digelar pengajian Jemaat Ahmadiyah di masjid tersebut. Akibat serangan itu, sejumlah rumah warga Ahmadiyah, toko, dan masjid mengalami kerusakan pecah kaca. Peristiwa itu 51 Loc,cit… Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmad pada tanggal 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. tidak menimbulkan korban jiwa atau menyebabkan warga Jemaat Ahmadiyah terluka. 52

2. Wajah-wajah di Bilik Transito

Setelah mengalami pengusiran dan amukan massa secara berantai sejak 1998, secara otomatis warga JAI tergabung menjadi kelompok orang yang mencari suaka dan tempat untuk bernaung. Mereka meminta perlindungan ke pemerintah. Akhirnya, warga JAI diperbolehkan menempati sebuah gedung kosong yang sudah tak terpakai lagi di kota Mataram. Gedung atau Asrama Transito—eks gedung transmigrasi—adalah tempat mereka bernaung pasca kerusuhan 4 Februari 2006 silam. Rumah-rumah warga JAI di perumahan BTN Ketapang saat itu sudah tinggal puing karena dihancurkan massa, sehingga mereka tidak mempunyai tempat untuk tinggal lagi. Hal ini sepertinya bertentangan dengan seruan Walikota Mataram pada 2002, atau 4 tahun sebelum kejadian di perumahan BTN Ketapang. Sehubungan dengan keberadaan pengungsi dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah administratif kota Mataram sebagai dampak dari peristiwa di Lombok Timur, Pemerintah Kota Mataram menyampaikan seruan khususnya kepada para pengungsi. 53 Seruan itu berisi perhatian agar JAI mentaati beberapa hal, antara lain menghindari pertemuan yang sifatnya berkelompok dengan jemaatnya, membaur dan bersosialisasi dengan warga sekitar, menghindari tinggal secara berkelompok dalam satu tempat, tidak ekslusif dalam beribadah, dan tidak diperkenankan untuk mengembangkan ajarannya di tengah masyarakat. Selain itu, 52 Lihat http:www.kabar24.comindex.phpmasjid-ahmadiyah-tasikmalaya-dirusak massa- menyerang-setelah-pengajian, diunduh tanggal 5 Mei 2013. 53 Berdasarkan Seruan Walikota Mataram No.008283XINKOM02 tertanggal 10 Oktober 2002. kepolisian juga menghimbau pada masyarakat agar tidak bertindak di luar hukum kepada warga JAI, dan jika terjadi apa-apa, Jemaat Ahmadiyah diminta untuk segera melapor ke lurah setempat. Apabila melihat seruan Wali Kota Mataram di atas, salah satunya adalah menyebutkan agar JAI menghindari tinggal secara berkelompok dalam satu tempat, atau tidak ekslusif dalam beribadah. Akan tetapi, tragedi tahun 2006, telah membuat pengungsi JAI dari Lombok Timur berkumpul di satu kanal pengungsian yaitu di Gedung atau Asrama Transito, Mataram. Sebenarnya pemilihan tempat untuk Jemaat Ahmadiyah di Transito merupakan ide dari pemerintah. Mereka dibawa ke Transito dengan sedikit dipaksa. Menurut para pengungsi, pada saat penyerangan, sebenarnya mereka bertahan untuk tetap di rumah. Polisi kemudian menyuruh mereka meninggalkan rumah dengan dalih aparat akan menjaga komplek tersebut. Lalu, anak-anak dan ibu-ibu segera diangkut dengan mobil dan dibawa ke Kantor Dinas Sosial, baru kemudian ke Transito. Menurut Jemaat Ahmadiyah yang tersisa di sana, setelah warga JAI meninggalkan rumah, barulah massa menyerbu rumah-rumah tersebut dengan ditonton oleh aparat. Keadaan pengungsian para JAI, yaitu di Asrama Transito terbilang cukup miris. Gedung pengungsian yang berusia tua itu sudah tidak terawat lagi, gedung yang pernah digunakan untuk pendidikan orang-orang yang akan transmigrasi, dan sudah tak terlihat papan nama bangunannya. Kini, Jemaat Ahmadiyah yang mengungsi disitu lebih akrab menyebut gedung tersebut dengan asrama. Dengan ruangan seadanya, fasilitas listrik yang sangat terbatas menjadi pemandangan di pengungsian. Tak hanya itu, ruangan tempat tinggal mereka hanya dibatasi oleh spanduk-spanduk bekas, dengan luas hanya 2 meter untuk tiap keluarga. Pada malam hari, gedung itu berubah seperti tempat tak berpenghuni karena tidak ada listrik atau cahaya yang terlihat, kecuali di Mushola yang terletak agak belakang asrama tersebut. Saat ditemui di Asrama Transito pada 2010 hingga 2012 lalu, banyak cerita seputar perjalanan mereka saat melakukan eksodus dari satu tempat ke tempat lainnya. Awalnya mereka enggan untuk bercerita, namun ketika sang koordinator pengungsi, Syahidin, mengatakan bahwa ini digunakan untuk penelitian, bukan dari pihak berwajib atau pemerintah, maka keramahan terpancar dari wajah mereka. 54 Kekecewaan terjadi bukan hanya karena pembiaran dan hilangnya rasa aman warga JAI untuk melaksanakan ajaran dan keyakinan mereka. Akan tetapi, juga hilangnya harta benda dan kesempatan untuk berusaha. Warga JAI menganggap mereka tidak dihargai oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Mereka masih mengingat bagaimana setelah penyerangan tahun 2002, warga JAI kemudian pulang ke Lombok Timur untuk menjual aset yang masih tersisa, mengumpulkan remah-remah rezeki yang ada untuk membeli perumahan BTN Keutapang sebagai tempat tinggal baru. Namun, sayangnya BTN tersebut hanya tinggal cerita karena tidak mungkin mereka kembali lagi ke sana. Selain karena takut bahwa penyerangan itu terjadi lagi, mereka sudah kehabisan uang untuk membangun kembali rumah-rumah tersebut. Hal inilah yang membuat mereka tak habis pikir, mengapa masih saja ada yang menganggap JAI menerima bantuan dari luar negeri. “Walaupun nasib 54 Menurut keterangan mereka, warga JAI sudah cukup malas mengharapkan sesuatu dari pihak berwajib karena tidak ada tindakan yang tegas untuk menindak rentetan kekerasan yang sudah terjadi satu dekade ini. warga Ahmadiyah seperti ini, masing-masing dari mereka selalu mengeluarkan uang pengorbanan tiap bulannya. Ibaratnya, warga Ahmadiyah ini bekerja untuk organisasi, bukan organisasi yang mendanai. Makanya kalau dilihat, banyak pengorbanan, kita disebut jemaah pengorbanan, bahkan bisa dilacak dari bukti atau kuitansi”, ujar Basyiruddin. 55 Seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya, uang pengorbanan itu sebagian diberikan ke mubalig untuk penghidupannya karena mereka hanya menyebarkan ajaran Islam dan memperkenalkan bahwa Imam Mahdi sudah datang. Mubalig tidak boleh berbisnis, dia ditugaskan khusus menyebarkan ajaran Islam. Lalu, mengapa pengorbanan orang Ahmadiyah cukup kuat? Seperti yang dijelaskan oleh Basyiruddin, bahwa dalam surah Al-Baqarah: 4, disampaikan bahwa orang-orang bertakwa percaya terhadap yang gaib, mendirikan sholat, dan menafkahkan sebagian hartanya untuk orang lain. Setiap rezeki adalah hak Allah, dan pahalanya akan dilipatgandakan 700 kali. “Barang siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah tidak ada yang bangkrut, lihat saja warga Ahmadiyah walaupun beberapa kali diusir tetap bisa bertahan, dihancurkan rumahnya, kemudian dibangun lagi. Satu persen pun tidak meminta dana dari manapun, termasuk kalau membangun masjid. Kita cukup sedih melihat fenomena orang- orang yang meminta uang di jalan-jalan untuk membangun masjid. Apa kata orang agama lain melihat seperti itu, orang Islam miskin, mau membangun masjid harus meminta-minta di jalan”, begitu keluhnya. 55 Wawancara dengan Mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin pada 14 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. Basyiruddin mengatakan jika memang pihak-pihak yang menyebarkan isu bahwa Ahmadiyah mendapat dana dari luar, Ahmadiyah menantang dan menawarkan orang- orang seperti itu. “Tolong di cek kita mendapatkan dana dari Inggris, kalau itu terbukti, maka kita akan membiayai berapapun jumlahnya. Tapi sampai sekarang ga ada yang berani untuk meneliti, karena tidak terbukti”, tukasnya. Basyiruddin adalah mubalig JAI yang sudah 7 tahun ini ditugaskan di Lombok. Mereka juga menyebut dirinya sebagai jemaat pengorbanan yang tidak memiliki peluang untuk korupsi. Mereka mengemukakan contoh ketika di rekening JAI pusat bertambah uang sekian puluh juta, namun tidak diketahui darimana datangnya. Pengurus JAI kemudian menyebarkan surat ke ratusan cabang untuk menanyakan uang tersebut. Ternyata ada orang yang mengeluarkan uang pengorbanan, tapi tidak mau diketahui namanya. Hal ini juga terjadi pada Jemaat Ahmadiyah di Lombok. Termasuk mereka yang menjadi pengungsi, meskipun sudah kehilangan harta benda dan pekerjaan, Jemaat Ahmadiyah tidak mau bergantung atau mengharapkan bantuan dari Pemerintah, termasuk Pemkot Mataram, tempat mereka bernaung. Hal ini seperti disampaikan oleh Syahidin : “ Makanya salah kalau orang bilang kami dibiayai pemerintah untuk membangun rumah kembali, bahkan ada yang bilang kami digaji. Hanya Allah yang tahu betapa itu uang kami. Beberapa keluarga juga pernah di Transito setelah kasus Pancor. Tapi disuruh mengosongkan, akhirnya pada berusaha mengontrak rumah. Kemarin ada isu kami disuruh pergi dari Transito karena akan direhab. Saya bilang silahkan direhab. Terus ada petugas yang meminta kami untuk tidur di lantai, tanpa bangku-bangku. Tapi saya bilang, tidak boleh, karena saya akan mengadu. Akhirnya petugas itu diganti, dan petugas yang sekarang udah lembut.” 56 Adalah Syahidin, koordinator pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun sejak 2006 silam. Bersama mubalig dan pengurus JAI NTB, dia mengatur semua urusan warga JAI yang ada di pengungsian Asrama Transito. Dia menceritakan sedikit tentang dirinya dan perjalanannya selama menjadi Jemaat Ahmadiyah yang dirongrong terus-menerus. “Saya pada dasarnya dari Lombok Utara, Bayan. Pada tahun 2001, tanggal 12 juli, Ahmad Hariyadi dari Jakarta pihak LPPI menyebarkan brosur-brosur bahkan masuk ke masjid yang menuliskan bahwa Ahmadiyah itu kafir, pokoknya macam-macam lah. Itu sudah 5 56 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito.