Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik

yang mewakili diri sebagai Islam. Kelompok ini memiliki pengaruh ke masyarakat muslim lainnya. Artinya, bersifat hegemonik. Pada tataran inilah kelompok kelas dominan seperti MUI dan ormas-ormas Islam lainnya menghegemoni masyarakat sipil. Apalagi Jemaat Ahmadiyah hanyalah kelompok kecil yang menghadapi kelompok besar, yakni sebuah entitas bernama Islam di Indonesia. Meskipun terbilang kecil, keberadaan JAI lagi-lagi dianggap sebagai ancaman. Menurut sebagian ulama dan ormas Islam, apabila Ahmadiyah dibiarkan berkembang terus-menerus akan membahayakan kehidupan umat. Dengan berkembangnya Ahmadiyah dan ragam ideologinya, dikhawatirkan akan mengancam kehidupan entitas Islam di Indonesia. Selain konsep hegemoni-nya Gramsci, keterlibatan aparatur baik aparatus represif maupun ideologis juga terlihat dalam kasus ini. Negara dalam hal ini juga mengambil peran, setidaknya peran aparatus melalui polisi atau militer. Aparat menurut Gramsci adalah struktur ideologi dari kelas dominan. Telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa beberapa kali kekerasan yang menyasar JAI di Lombok disikapi dengan “pembiaran” oleh aparat. Hal ini menunjukkan rapuhnya penegakan hukum untuk menindak kasus tersebut. Menurut keterangan warga JAI di Lombok, dari sekian tindak kekerasan, tidak ada satupun pelaku yang ditahan. Malah sebaliknya, yaitu ada kecenderungan aparat untuk membiarkan kejadian penyerangan berlangsung. Akan hal ini, JAI menyikapi pengabaian dan pembiaran yang dilakukan aparat tersebut dengan kepasrahan. Rasa yang diliputi kepasrahan itu senantiasa diserahkan sepenuhnya pada “penghakiman” Allah, yakni bahwa hanya sang pencipta yang bisa menyelesaikan masalah dengan seadil-adilnya. Sebagai sasaran kekerasan baik secara fisik maupun simbolik, JAI menjadi korban yang mengalami “trauma”, stress, tekanan mental, dan sejenisnya. Kata trauma sengaja diberi tanda petik karena inipun berlaku unik bagi JAI terutama di Lombok. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka pemulihan. Ada semacam optimisme yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian. Trauma pasti ada, tapi dalam level tertentu tidak terlihat. Dalam kondisi “sub- human” seperti yang mereka alami biasanya manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, dan pada skala tertentu mendorong mereka melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selain karena alasan ideologis, pemberontakan dengan cara frontal—dalam struktur dan bangunan besar yang dihadapi JAI— tidak akan berhasil. JAI juga tidak mau tergantung pada orang lain. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan jika mereka yang mendanai organisasi, bukan sebaliknya. Mereka juga menolak tuduhan bahwa menerima bantuan dana dari luar negeri. Warga JAI memiliki prinsip jika mengandalkan dana dari orang lain maka mereka akan tergantung dan tidak mandiri. Masyarakat sekitar tempat pengungsian juga mengatakan bahwa pengungsi JAI tidak mau menerima bantuan dari warga sekitarnya. Keterasingan yang dialami JAI dan dirasakan oleh warga sekitar itu bisa disebabkan oleh rasa malu yang membuncah atau tidak percaya diri ketika ingin bergaul dengan si Liyan. Apalagi pernah ada penolakan dari Kepala Lingkungan setempat ketika warga sekitar ingin mengadakan acara di Asrama Transito. Dalam melakukan proses identifikasi, subjek dalam hal ini yaitu JAI bisa dipahami saat melihat hubungan antara subjek dan struktur. JAI dapat dilihat sebagai subjek yang dislokasi, yakni dirinya tidak merasa berada dalam struktur itu sepenuhnya. Ada bagian yang tersembunyi karena tak terartikulasikan namun kelihatan, sebuah ketidakpercayaan untuk bergaul dengan Liyan karena sudah terlanjur dijadikan “musuh bersama”. Sikap mereka yang lunak dan tak pernah menanggapi kekerasan dengan kekerasan pula menyebabkan ideologi kelompok superstruktur bisa melanggengkan hegemoninya pada masyarakat umum. Bahkan, pasca terjadinya kekerasan komunal, tidak bisa dikatakan bahwa kekerasan serupa tidak akan terjadi lagi. Setiap waktu massa bisa saja tersulut kembali amarahnya karena adanya “provokasi” dari pihak tertentu. Di sinilah bisa dilihat bahwa zaman ini ditandai dengan fragmentasi sosial akibat dari kondisi sosial politik yang berubah-ubah. Demokrasi secara umum tidak bisa menghindari konflik, dislokasi, kekerasan, dan pemecahbelahan. Tujuannya lebih untuk membangun kesatuan dalam lingkungan yang penuh konflik dan keberagaman, menciptakan masyarakat yang penuh keraguan, dengan identifikasi musuh yang disangka benar untuk mencapai sebuah utopia. Mimpi tersebut adalah sebuah negara yang aman sentosa bebas dari konflik. Mimpi dari utopia tentang tatanan sosial yang harmonis hanya bisa berlangsung terus-menerus jika kekacauan dilakukan oleh pengacau atau “orang yang diasingkan”, yaitu sebuah identifikasi “musuh” yang disangka benar. Hal ini ditambahkan dengan ideologi berdasarkan logika mayoritasminoritas. Apabila logika ini dipertahankan, akan cukup berbahaya dan sebenarnya semakin jauh dari utopia negara demokrasi. Logika tersebut berpegang pada prinsip bahwa yang mayoritas selalu benar. Dengan melihat formasi hegemonik dan implikasinya, dapat dikatakan bahwa masyarakat hegemonik bukan ditentukan dari luar, melainkan oleh salah satu unsur kelompok hegemonik. Kelompok pengungsi JAI di Lombok menjadi salah satu kelas, bukan sebagai kelas berkuasa, melainkan hanya sebagai bagian dari sebuah entitas. Keberadaan dan identitas Ahmadiyah sangat dipengaruhi oleh formasi hegemonik yang mendefinisikan mereka. Dalam formasi hegemonik, masalah identitas selalu berada dalam ketegangan, yaitu identitas setiap unsur dan identitas totalitas dari unsur-unsur yang membentuknya.

B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah

Dalam pandangan psikoanalisa Lacanian, subjek selalu melakukan identifikasi dengan masyarakat, yang kemudian menghasilkan split. Subjek yang split mengalami lack, dan mencari lost object baca : other atau autre untuk dapat mewujudkan desire nya. Pemenuhan desire ini bisa melalui hegemoni sebagai sebuah cara kerja, karena hegemoni merupakan artikulasi yang memerlukan bahasa, sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, dan bukan dalam sistem umum seperti halnya Saussure. Proses menjadi subjek atau pada dasarnya sedang mengidentifikasi diri dengan totalitas terstruktur inilah yang disebut identitas. Desire, dalam pandangan Lacan, hanya akan dialami setelah subjek merasa tidak pernah puas akan dunia simbolik atau Liyan. Ketika subjek memahami bahwa ternyata hukum dan dunia verbal tidak bisa memuaskan sama sekali, saat itulah muncul hasrat untuk menemukan kembali objek a baca: autre. Desire merupakan upaya untuk menemukan kembali jejak-jejak yang menyebabkan subjek mengalami lack. Konsep ini berbeda dengan need atau kebutuhan. Dalam tataran simbolik, kebutuhan yang disuarakan secara verbal disebut demand atau tuntutan. Munculnya tuntutan berdasarkan need yang semata-mata merupakan kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan. Salah satu kebutuhan atau need yang diharapkan JAI adalah bisa mengartikulasikan suara sebagai pembentuk identitas, sehingga Liyan menerima kehadiran mereka. Ada kebutuhan dari JAI untuk diakui sebagai subjek. Meskipun dalam sejarahnya Ahmadiyah belum atau bahkan tidak diterima sepenuhnya oleh masyarakat khususnya di Lombok, namun harapan JAI masih tetap ada. Janji-janji atau tuntutan tersebut hendak dicapai melalui kelas berkuasa. Namun dalam hal ini, kelas berkuasa mengalami dilema. Di satu sisi mereka tidak bisa melarang Ahmadiyah karena legalitas dan konstitusi yang menjamin keberadaan JAI. Di sisi lain ada ketakutan dikecam oleh umat Islam lainnya, yang secara jumlah jauh lebih besar dibandingkan JAI. Dunia simbolik juga memiliki demand, yaitu agar JAI mengubah akidahnya seperti ajaran Islam “mainstream” lainnya. Lalu, tuntutan atau kebutuhan masyarakat mana yang hendak diwujudkan? Negara akhirnya menanggapinya dengan setengah-setengah. Adanya pembiaran, pengabaian, dan membuat pengungsi berdiam di Transito menjadi indikasinya. Hal inilah yang oleh Laclau-Mouffe disebut sebagai birokratisasi hubungan sosial, yakni adanya intervensi negara dalam melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan subordinatif baru. Gerakan sipil keagamaan seperti JAI bisa dibaca sebagai munculnya bentuk antagonisme baru dalam masyarakat karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum terlihat di zaman sebelumnya. Apabila menggunakan istilah Laclau-Mouffe, jenis- jenis hubungan subordinatif itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial karena sistem produksi kapitalis, birokratisasi hubungan sosial karena intervensi negara dalam melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan subordinatif baru, dan hegemonisasi hubungan sosial karena moda baru dalam penyebaran budaya lewat media massa. Para pengungsi Jemaat Ahmadiyah cukup menyayangkan sikap pemerintah sebagaimana tercermin dalam pernyataan berikut : “Kalau diibaratkan, rakyat kan jadi anak, pemerintah sebagai orang tua, masa kalau ada perbedaan kita selsaikan antarsaudara, otomatis orang tua dong yang harus turun tangan. Dari pimpinan kami juga ada ajaran patuhi pemerintah siapapun yang berkuasa, karena itu sudah menjadi ajaran Islam”. 99 Adanya pola pembinaan pada 2011-2012 bagi pengungsi JAI di Transito dianggap sebagai jalan tengah oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal ini dilihat sebagai upaya untuk memastikan ideologi yang ada di kelas dominan tersebar dan tersampaikan ke JAI di Lombok. Pola pembinaan tersebut berisi kegiatan ceramah mengenai agama Islam dan ajakan untuk “kembali” ke ajaran Islam bagi warga JAI yang ada di pengungsian. Jika JAI menanggalkan identitas ke-Ahmadiyah-annya, maka umat Islam di Indonesia akan membiarkan 99 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 2010, 14 Desember 2010 di Asrama Transito. mereka hidup bebas. Atau dengan pilihan lain, yaitu benar-benar keluar dari entitas Islam dan mewujud menjadi agama baru. Pola pembinaan seperti ini memperlihatkan Liyan salah membaca need atau kebutuhan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok. Memang, setelah berjalan kurang lebih 2 bulan, Jemaat Ahmadiyah di Lombok menilai positif terhadap kegiatan tersebut. Kalau membahas masalah esensi ke-Islam-an, JAI merasa sudah mendapatkannya. Materi yang disampaikan oleh para tokoh agama juga diajarkan oleh pemimpin atau mubalig JAI. Hanya saja, menurut mereka hal itu tidak menyentuh substansi yang sedang dibutuhkan oleh penghuni Transito. Substansi yang dimaksud oleh JAI adalah bagaimana mereka memenuhi kebutuhan ekonomi, hidup layak, pelayanan dengan fasilitas yang sama sebagaimana dinikmati oleh warga masyarakat lainnya, serta pemenuhan fasilitas publik lainnya. Adanya benturan identitas ini menyebabkan Jemaat Ahmadiyah khususnya di Lombok memiliki pola untuk tetap bisa bertahan. Identitas JAI terbentuk melalui resistensi yang unik, yakni dengan melibatkan unsur keagamaan atau pemaknaan pada level religiusitas. Justru dengan adanya kekerasan dan kecaman kepada JAI, mereka semakin mempertegas identitas ke-Islam-annya. JAI menjadi minoritas yang semakin memperkuat keyakinan Islam dan ke-Ahmadiyah-an mereka. Sayangnya, hidup damai berdasar keyakinan merupakan fantasi bagi para warga JAI. Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah pemikiran ideologi untuk memperkenalkan adanya disharmoni dalam masyarakat yang sebaliknya akan menjadi harmoni di bawah utopia ideal tertentu. Simtom adalah tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a. Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam simtom-simtom tersebut. Kata-kata atau ungkapan simtomatik baca: sakit inilah yang bisa melampaui demand dalam tataran simbolik. Justru hal-hal tak terungkapkan dan tak terkatakan adalah sesuatu menuju objek a. Dilihat dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya bisa dituntaskan dalam artikulasi dengan momen-momen sebagai satuannya melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu. Dalam identitas hegemonik tampak sesuatu yang tidak terkatakan, disebut absent fullness suatu masyarakat, karena represi. Hal ini bisa dilihat dalam komunitas pengungsi JAI Lombok di Asrama Transito, yakni bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibahasakan karena mereka terepresi oleh penyerangan yang dilakukan dalam kurun waktu satu dekade. Bisa jadi, memang ada yang disembunyikan untuk melindungi dirinya sendiri—yang oleh MUI atau kelompok penuding—disebut dengan istilah takiyah. Meskipun secara tersurat agen sosial seperti Jemaat Ahmadiyah bisa mengungkapkan segala hal yang direpresi oleh Liyan dengan berbagai wadah, akan tetapi tak menutup kemungkinan ada hal-hal tersirat yang tak terjelaskan. Jemaat Ahmadiyah Indonesia menggunakan simtom untuk melampaui demand yang tidak tercapai. Jika meminjam bahasa Jemaat Ahmadiyah Indonesia,