Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan

Meskipun sudah tinggal di Asrama Transito selama 7 tahun terakhir, Jemaat Ahmadiyah di Lombok ternyata tak cukup akrab dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan, nyaris tak bergaul. Padahal Asrama Transito letaknya di tengah pemukiman penduduk Kampung Majeluk, Kota Mataram. Hal ini diungkapkan oleh beberapa penduduk sekitar termasuk penilaian pribadi mereka tentang pengungsi Jemaat Ahmadiyah. Salah satunya adalah Safni. 83 Ia menuturkan bahwa selama 5 tahun pengungsi JAI tinggal di Transito, Safni tidak pernah masuk ke asrama tersebut. Dia juga melihat JAI di Transito—sebagai warga yang menumpang di sana— tidak melakukan sosialisasi dengan warga sekitar. Meskipun begitu, kesan yang dilihat terhadap para pengungsi umumnya baik. Safni menyadari kemungkinan bahwa warga JAI yang mengungsi tersebut minder sehingga tidak pernah mendatangi warga sekitarnya. Apalagi pernah ada kejadian yang membuat mereka tersudut. Begini papar Safni : “Tidak pernah ada acara bersama. Walaupun kegiatan dia, kita tidak pernah dilibatkan. Berapa orang yang meninggal di sana, besok pagi sudah tidak ada, kita tidak tahu kapan acara pemakaman atau penguburannya. Terus waktu itu ada yang mau melaksanakan acara akad nikah di Mushola Asrama Transito, kebetulan anak penjaga malam di Asrama Transito. Namun, Kepala Lingkungan tidak mengizinkan karena tidak mau terjadi sesuatu jika mengadakan acara di sana.” Istri Safni juga berkomentar perihal keberadaan warga JAI di Transito. “Saya tidak pernah bergaul dengan mereka karena lain jalurnya, bukan karena kesibukan. Mereka juga tidak pernah ke masjid atau musholla di sekitar sini. Mereka hanya di gedung itu saja. Mereka juga tidak pernah menghubungi saya tentang kebutuhannya. Makanya saya tidak tahu persis”, ujarnya. Terkait 83 Berdasarkan wawancara dengan Pak Safni, Ketua RT sekaligus warga asli di Majeluk, pada tanggal 22 Juli 2011 di kediamannya. kebutuhan JAI, dia menyebutkan jika pengungsi tidak mau menerima bantuan. Para pengungsi ini kelihatannya lebih senang untuk bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Agaknya hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan JAI dan pengurusnya, jika mereka enggan menerima bantuan agar tidak ketergantungan. Meskipun tak pernah ada kontak langsung yang berarti di antara pengungsi JAI dengan warga sekitar, Safni merasa memiliki kewajiban untuk melindungi. Namun, hal yang terkait dengan pembuatan KTP, dia tidak tahu menahu karena merasa bukan wewenangnya. Dia hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan dan berharap tidak terjadi apa-apa di lingkungan tersebut. Menurutnya, pernah ada yang datang ke tempatnya dengan maksud meminta izin untuk melakukan kekerasan. Hanya saja, Safni memberi pengertian untuk tidak melakukan hal tersebut, karena walaupun berbeda aliran, mereka juga manusia. Selain karena alasan ini, ada indikasi warga sekitar takut jika penyerangan akan berdampak ke lingkungan mereka. Kesan lain muncul dari seorang warga yang sering nongkrong di depan Transito, di sebuah warung. 84 Menurutnya, pengungsi Ahmadiyah di Transito sepertinya tidak ingin bergaul dengan warga di sini. Kesannya seperti menutup diri, sehingga warga sekitar cenderung tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh JAI di dalam pengungsian. Atas hal tersebut, warga lainnya berpendapat bisa jadi pengungsi JAI merasa malu atau sungkan untuk memperkenalkan diri karena identitas yang melekat sebagai Ahmadi. Memang, warga sekitar tersebut menduga-duga Ahmadiyah berbeda dari Islam pada umumnya. Salah satunya, yaitu perbedaan syahadat. 84 Berdasarkan wawancara dengan seorang warga Majeluk, pada tanggal 22 Juli 2011. Ada pula warga lain yang merasa kasihan dengan apa yang dialami oleh pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok. Menurutnya, mereka seperti tidak berdaya karena mendapat kekerasan terus-menerus. Walaupun iba dengan hal tersebut, tapi warga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela. “Toh, mereka sudah berbeda keyakinan dengan kita, bukan Islam seperti kita. Atau mungkin lebih tepatnya bukan Islam mayoritas seperti di Indonesia”, tukas warga tersebut. Penilaian lain datang dari salah satu orang yang mengaku pernah bergaul dengan Jemaat Ahmadiyah di Kalimantan. 85 Menurutnya, JAI memiliki syahadat yang berbeda. Dulu banyak ajaran yang tidak seperti ini, mereka mengajak orang untuk masuk Ahmadiyah. Mungkin dengan kekerasan dan kecaman yang berlangsung terus ini, Ahmadiyah semakin mendekati dan meng-identik-kan dirinya sebagai Islam. Pola saling pandang antara warga sekitar dengan pengungsi JAI di Asrama Transito juga terjadi. Ketika masyarakat sekitar memiliki pendapat sendiri atas pengungsi Ahmadiyah, JAI juga memiliki pandangan tentang warga di sekitar Transito. Hal itu bisa dilihat dari pendapat pengungsi JAI bahwa orang-orang di sekitar Transito memiliki toleransi yang bagus, baik-baik, dan rajin beribadah. Tapi warga JAI tetap menyayangkan, seharusnya jika ada sangkaan dari warga, akan lebih baik jika ditanyakan langsung ke sumbernya. Untuk kasus di Lombok, salah satu elemen masyarakat yang memiliki keengganan untuk bersentuhan langsung dengan Ahmadiyah adalah sejumlah tokoh MUI. Hal ini berdasarkan keterangan JAI di pengungsian jika tokoh MUI hanya menyampaikan ceramah di masjid bahwa Ahmadiyah itu “sesat”, tapi tidak 85 Kutipan kata-kata dari seorang teman di jejaring sosial facebook pada 8 Januari 2012 yang mengaku pernah bergaul dengan Ahmadiyah. pernah mendatangi Transito untuk memberitahu apa yang salah dengan ajaran tersebut. Pengalaman tidak bersentuhan langsung juga diakui oleh salah satu tokoh MUI NTB di Sumbawa. 86 Perihal pengakuan JAI bahwa tidak ada keinginan dialog dari ulama Islam, tokoh MUI tersebut menyanggah pendapat tersebut. Menurutnya, malah JAI yang tidak mendatangkan pemimpinnya untuk berdialog dengan MUI. “Kita dari pihak Islam mendatangkan ulama untuk menemukan kebenaran, tapi kalau yang didatangkan bukan orang orang terdepannya, itu pelecehan. Ahmadiyah ini cerita lama. Apa yang mereka katakan saat ini, adalah takiyah, berbohong untuk keamanan, semacam siasat”, jelasnya. Meskipun belum pernah bertemu langsung dengan JAI, tapi dia mendengar dari teman-temannya yang menyebutkan Ahmadiyah provokatif dalam menyebarkan ajarannya. Menurutnya, ketika JAI menyebutkan Tadzkirah sebagai kitab suci, maka hal itu menunjukkan kesesatan. Selain itu, dia masih menyangsikan pengakuan JAI bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid. Sepanjang yang didengar dan diketahui MUI, Jemaat Ahmadiyah berusaha mengurangi martabat Mirza dari Nabi menjadi mujaddid. Bagi ulama MUI tersebut, hal itu menunjukkan kefasikan sebuah ajaran. Ketidakkonsistenan inilah yang dibaca oleh tokoh MUI sekaligus tokoh Muhammadiyah tersebut sebagai bukti Jemaat Ahmadiyah menyembunyikan sesuatu. Ketika JAI ingin melakukan klarifikasi dan mendapat tanggapan dari kelompok Islam, Ahmadiyah tidak serius untuk menghadapinya. Hal itu terjadi berulang ulang hingga sebagian besar umat Islam tidak menerima Ahmadiyah. Menurutnya, solusi bijak adalah mereka bebas meyakini Mirza sebagai apapun, 86 Wawancara dengan salah satu tokoh MUI NTB, Ust Maruf. Pada 02 Januari 2012 di Sumbawa Barat. bahkan Tuhan sekalipun, asal tidak mengatasnamakan Islam. Kekerasan yang terjadi sebenarnya adalah upaya masyarakat mengambil alih karena pemerintah tidak kunjung bertindak. Apabila ajaran ini hanya didiamkan, maka Ahmadiyah akan merajalela. Akan berbagai hal kontroversial tentang JAI, ada tulisan menarik dari Saiful Mujani 87 , yang mengatakan bahwa para ulama melihat Ahmadiyah sebagai ancaman terhadap umat Islam. Akan tetapi, para pejabat negara terkait sebenarnya tidak merasa seperti itu. Banyak di antara mereka yang memandang paham seperti yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaatnya dan negara tidak boleh memaksa mereka ber-Islam selain caranya sendiri. Mereka juga percaya bahwa negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Sayangnya, negara takut terhadap umat jika harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka merasa takut dinilai merusak Islam dan akhirnya dimusuhi umat Islam. Dalam sebuah media, ada beberapa tokoh yang juga menyatakan keberatan dengan kekerasan yang menimpa Ahmadiyah. Djoko Suyanto 88 misalnya menyebutkan sikap pemerintah sudah jelas bahwa sebuah kepercayaan tidak bisa dibekukan atau dilarang. Menurutnya, jika ada yang tidak suka dengan 87 Dua artikel DR. Saiful Mujani Dosen UIN Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Ahmadiyah: Dalam Bayang-Bayang Kuasa Umat” yang diterbitkan di Koran TEMPO, 922011, diambil https:www.facebook.comakhmad.sahal.5posts10152838840370045, diunduh tanggal 14 Mei 2013. 88 Djoko Suyanto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 6 Mei 2011. Lihat Koran “Darsus” edaran khusus untuk kalangan sendiri vol VI no 3 Edisi Maret 2011 dalam Kliping Nasional Tempo Interaktif, “Pemerintah Tidak Bisa Melarang Kepercayaan”. Yang ditulis oleh Eko Siswono. Mengenai munculnya peraturan- peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah menurutnya harus mengacu pada dua landasan yakni UUD 1945 Pasal 28 dan 29 serta Surat Keputusan Bersama SKB Tiga Menteri soal Ahmadiyah. Ahmadiyah sah-sah saja, tapi ketidaksenangan tersebut tidak boleh lantas digunakan untuk menghakimi orang lain. Tak ketinggalan Mahfud MD menyatakan : “Saya lebih suka kembali ke dalilnya Gus Dur bahwa setiap orang tidak usah membela Tuhan, karena Tuhan itu tidak perlu dibela. Tuhan itu bisa membela dirinya sendiri kok. Kalau Ahmadiyah memang salah, biar Tuhan yang menghakimi”. Dia menyayangkan tindakan intimidasi, penganiayaan, serta pengrusakan yang dilakukan kepada JAI akan membunuh masa depan setiap warga yang akan menjalankan keyakinannya. Mengenai desakan pembubaran JAI, hal itu bukanlah solusi terbaik, karena tidak akan menghilangkan keyakinan mereka. 89 Dalam koran yang sama, juga ditampilkan pendapat Adnan Buyung Nasution yang menanggapi SKB Tiga Menteri harusnya bisa melindungi warga Ahmadiyah. “Pembatasan terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah semata-mata mengenai penyebaran yang menyimpang dari ajaran Islam”. Buyung menilai kurang pahamnya pemerintah atas esensi SKB Tiga Menteri berbuntut pada menjamurnya penerbitan surat keputusan atau peraturan daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Prof. Dr Buya Hamka juga sempat menuliskan, “Adapun kaum Ahmadi dan usahanya melebarkan Islam di Benua Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga.” 90 89 Ibid. Lihat Koran “Darsus” edaran khusus untuk kalangan sendiri vol VI no 3 Edisi Maret 2011 dalam Kliping Nasional Antara, Mahfud MD [MK] : “Kalau Ahmadiyah salah, biar Tuhan sendiri menghukumnya”. Dalam Koran yang sama, juga ditampilkan pendapat Adnan Buyung Nasution yang menanggapi SKB Tiga Menteri harusnya bisa melindungi warga Ahmadiyah. 90 Menurut Buya Hamka, kaum Ahmadi menafsirkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa yang hidup di Eropa. Padahal zaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh menafsirkan Al-Quran. Penafsiran Al-Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang mengingini kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali buat memperdalam sedikitnya tentang Islam…Pelajaran Agama Islam, Cet I :199, Kami orang Islam, Saiful Mujani juga mengingatkan bahwa banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang memiliki ungkapan ganjil bagi umat Islam awam ketika mengatakan, misalnya, tidak ada Tuhan selain Aku; Aku adalah Tuhan, dan seterusnya. Itu semua wilayah akidah. Berbeda paham dalam soal akidah adalah hal biasa. “Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka”, ungkap Saiful dalam tulisannya. Bagi Saiful Mujani, para ulama yang berdiri di belakang SKB cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah sehingga membenarkan substansi SKB tersebut, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam. Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk umat muslim yang paham keislamannya hal.106, cetak ulang, 2007 Dalam Dokumen tersebut disertai surat pengantar ke Gubernur Provinsi NTB. Surat dan penjelasan tersebut sesuai dengan permintaan Gubernur melalui Tuan Guru Anwar MZ Tuan Guru yang toleran terhadap Ahmadiyah agar JAI membuat “Penjelasan mengenai Eksistensi Hukum dan Teologi JAI wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011. dari tradisi abangan. Dia juga menekankan perbedaan akidah itu ada dan sangat manusiawi. Perbedaan tersebut akan melahirkan bencana ketika negara ikut campur menyensor akidah seseorang atau sekelompok orang. Meskipun pendapat Saiful Mujani ini terlihat ekstrem, setidaknya untuk kondisi saat ini di Indonesia, agaknya pendapat itu ada benarnya ketika kita melihat kembali Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang melindungi kebebasan paham beragama, dan mempraktekkannya sesuai dengan keyakinannya. Konstitusi kemudian menjadi dasar untuk menilai apakah paham dan perilaku umat beragama, termasuk dalam hubungan antar-paham agama, menyimpang atau tidak menyimpang. Jika ada yang menyebarkan paham dan apalagi melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi tersebut, maka harus diluruskan, dibina, atau setidaknya dibui. Bukan dengan cara-cara koersi yaitu membunuh, termasuk kepada orang Ahmadiyah. Guntur Romli, seorang aktivis muda NU 91 , yang meneliti tentang Ahmadiyah dari sisi HAM juga punya pendapat tentang kekerasan terhadap JAI. Dia sering “berkicau” lewat akun twitter-nya bahwa ajaran Ahmadiyah versi Ahmadiyah tidak ada yang salah, selama Ahmadiyah berikrar syahadat, shalat, puasa, zakat dan hajinya sama. Itu berarti dia muslim. Apabila ada perbedaan, dalam kelompok yang lain juga banyak. Jadi, ajaran Ahmadiyah yang sesat adalah Ahmadiyah versi MUI yang menyatakan Nabi-nya berbeda, kitab suci, dan syahadat yang juga berbeda. Menurutnya, mungkin saja ulama ini mengetahui, tapi karena sudah terlanjur benci maka Ahmadiyah tetap dianggap “sesat” dan menjadi ancaman. 91 Lihat twitahmadiyah.wordpress.com201305…pada 30 Mei 2013. Pendapat terbuka lainnya datang dari salah satu ulama di Sumbawa Barat yang juga cukup mengetahui tentang ajaran Ahmadiyah, hanya saja belum pernah bersentuhan langsung dengan JAI di manapun. 92 Dia menuturkan pengetahuannya tentang Ahmadiyah. Semua kelompok termasuk Ahmadiyah masuk dalam gerakan sufi dan Mirza Ghulam Ahmad dalam sejumlah literatur merupakan seorang ulama yang cerdas. Saat kemunculannya, Imam Mahdi tidak langsung mengaku sebagai Nabi. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang pertama, titisan, atau Imam Mahdi secara langsung. Kemudian berubah lagi ajarannya itu, dan dia mengikrarkan diri sebagai Isa al-Masih. Lambat laun, pengikutnya semakin banyak, dan Mirza merasa mendapatkan wahyu, dititisi oleh Nabi Muhammad SAW. Ulama tersebut mengaku cukup perlu untuk mengenal Ahmadiyah secara langsung dan mendetail. Hal ini diperlukan agar kita bisa menyikapi dan menghindari tindak kekerasan. Justru perbincangan ini akan menarik apabila diangkat ke publik agar masyarakat umum bisa tahu seperti apa ajaran Ahmadiyah. Hanya saja, tidak boleh ada tindak kekerasan yang mewarnai diskusi tersebut. Semua elemen yang ada harus menggunakan pikiran jernihnya dalam melihat permasalahan ini dan tidak terjebak dalam tindak kekerasan. Menurutnya, perbedaan dalam hal yang cabang itu tidak masalah dan sesuatu yang wajar. Ahlus Sunnah Wal Jamaah ada dalam tiap organisasi dan kelompok. Setiap kelompok semisal NU, NW, Muhammadiyah, Ahmadiyah pasti ada kelemahannya juga. 92 Wawancara dengan salah tokoh Islam di Sumbawa Barat, KH. Syamsul Ismain pada 30 Desember 2011 di Pondok Pesantren binaannya di Sumbawa Barat. Dia memandang Ahmadiyah dari kacamata literatur dan teks Al-Quran, tapi memang belum mengenal lebih jauh tentang Ahmadiyah, baru berasal dari literatur. Tokoh ini juga sering dikirimkan berbagai macam literatur dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok, yang sedang saya teliti. Dia termasuk yang kaget juga mendengar pengakuan peneliti bahwa mubalig dan JAI di Lombok terbuka ngobrol dan berdiskusi dengan siapa saja. Orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut tidak sepenuhnya baik, pasti ada juga yang melenceng. Jadi, bukan dilihat dari kelompok mana yang diberikan label “benar”, tapi sejauh mana mereka menjalankan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena

Sebagai subjek yang hidup dalam masyarakat, apalagi tergabung dalam sebuah perkumpulan atau jemaat, tentunya JAI memiliki visimisi yang ingin disuarakan. Apalagi Jemaat Ahmadiyah di Lombok—yang menjadi sasaran kekerasan dalam satu dekade—berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sejatinya memiliki cerita dibalik kejadian tersebut. Sebagai korban kekerasan, JAI menjadi subjek yang “tak berdaya”. Namun, ketidakberdayaan telah melahirkan keberdayaan, sesuatu yang menjadi hasil dari ideologi dan strategi JAI. Bahkan, kebungkaman dan kepatuhan pun adalah perwujudan atas ideologi yang digunakan. Bagaimana para pengungsi memaknai dan menyikapi pengalaman mereka pada level ideologis dan level praktis? Dalam level ideologis, para warga JAI ternyata semakin memperjelas identitas mereka sebagai orang Islam dengan memperbanyak literatur dan tulisan yang menyatakan bahwa mereka merupakan orang Islam. Mereka juga mengatakan jihad dengan pedang bukanlah masanya sekarang. Istilah yang digunakan saat ini adalah jihad dengan pena, dengan lisan dan tulisan. Menurut mereka, Ahmadiyah tidak senang berdebat, namun lebih mengarah pada diskusi yang lebih hikmah dan bijaksana. Ahmadiyah memperjelasnya dengan mengutip kata-kata dalam Al-Quran bahwa untuk memperbaiki ajaran yang “sesat”, bukan dengan kekerasan, makian, celaan, tapi dengan nasehat yang hikmah. Pada level praktis mereka melakukan tindakan konkrit dalam menyebarkan dakwahnya. Jemaat Ahmadiyah menggunakan berbagai elemen ideologi untuk menancapkan hegemoninya. Usaha tersebut dilakukan jemaat ini untuk melebarkan sayap ajarannya. Jemaat Ahmadiyah memiliki TV Internasional, “Muslim Television Ahmadiyya” MTA di London, yang mengudara selama 24 jam tanpa iklan. Semuanya memberitakan tentang agama Islam dan perilaku manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Stasiun TV tersebut tidak menayangkan acara hiburan yang menurut mereka hanya menghabiskan waktu. Jemaat Ahmadiyah juga memiliki banyak koleksi Video tentang ajaran dan perkembangannya di berbagai negara khususnya di Eropa. Tak terkecuali banyak pula media yang mereka hasilkan untuk menulis tentang Islam dan Ahmadiyah, termasuk wadah untuk menangkis pihak luar yang menuliskan segala hal yang tak sesuai dengan Ahmadiyah. Khusus untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga memiliki sekolah Mubalig Nasional di Parung, Bogor. Bahasa pengantar sekolah ini adalah bahasa Urdu, dan juga bahasa lainnya seperti bahasa Arab, Jerman, dan Perancis. Hal ini menjadi semacam ideologi Ahmadiyah, melalui pengikutnya di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia untuk menyerukan Islam lewat pena, dan perang dalam suara. Selain itu, praktik dalam pola bertahan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya di Lombok yaitu dengan tak melawan secara koersif serta patuh kepada Ulil Amri. Mereka juga mengaku semakin teguh dengan keyakinannya karena terbukti Ahmadiyah selama 125 tahun eksis di muka bumi. Mereka ditentang dan dijarah habis-habisan, tapi kebenaran bagi JAI yang menuntunnya untuk tetap saja bertahan dengan keyakinannya. Warga JAI merasa semakin kuat walaupun harus tinggal di pengungsian Transito. Fitnah dan kata- kata yang menyudutkan mereka sungguh menjadi amunisi bagi JAI untuk tetap bertahan. Bagi JAI, dunia merupakan surga bagi orang kafir, derita bagi orang mukmin. Semua ini menjadi bagian dari perjuangan. Jemaat Ahmadiyah juga tidak mau dibantu orang lain, karena mereka tidak ingin bergantung dan akan mengarah pada ketidakberdayaan. Keadaan yang tak kunjung pasti dan belum adanya solusi yang jitu bagi JAI di Lombok telah membuat Pemerintah Provinsi bertindak “aman”. Pada tahun 2011, Gubernur melalui Kesbangpoldagri melakukan program pembinaan Tausiah selama 6 bulan. 93 Pembinaan ini dilakukan karena desakan dari beberapa Ormas Islam yang dipimpin oleh para tokoh agama dengan mengatasnamakan umat kepada Gubernur Provinsi NTB. Mereka mendesak agar pemerintah mengeluarkan Pergub atau peraturan sejenisnya mengenai pelarangan aktivitas bahkan pembubaran bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di NTB. Desakan tersebut disikapi dengan cara yang “bijaksana“ baca: istilah yang dipakai oleh JAI untuk menggambarkan simpatinya atas sikap toleran oleh Gubernur NTB. Tidak seperti yang dilakukan oleh wilayah lainnya seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten, Gubernur Nusa Tenggara Barat tidak mengeluarkan Pergub PelaranganPembubaran Aktivitas Islam Ahmadiyah Wilayah NTB. Selain karena pengeluaran Pergub itu akan melanggar konstitusi NKRI, Gubernur lebih melihat JAI sebagai saudara-saudara yang perlu dibina. Kepala Kejati NTB juga 93 Berdasarkan Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito. menegaskan : “Secara konstitusi, keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia adalah legal, sudah berbadan hukum SK Menteri Kehakiman sejak Tahun 1953, berarti Pemerintah Daerah tidak berhak melarang atau membubarkan Ahmadiyah, karena hal itu wewenang Pemerintah Pusat.” Atas dasar itulah dilakukan pembinaan 6 bulan untuk warga JAI yang ada di Transito. 94 JAI memandang pembinaan tersebut sebagai pelaksanaan dakwah damai yang elegan dan diharapkan sesuai dengan visi jihad mereka. Menurut mereka, jumlah narasumber cukup mewakili dari tokoh agama, bidang akademisi, dan masyarakat. Materi tausiyah sekitar Rukun Islam dan Rukun Iman, masalah lingkungan, dan perekonomian. Namun, menurut JAI masih sedikit yang menyinggung masalah semangat kebangsaan, konstitusi NKRI, dan penegakan hukum, kecuali dari Gerakan Pemuda GP Anshar Provinsi NTB. Pada kenyataannya, JAI melihat apa yang diajarkan tersebut sama dengan apa yang mereka lakukan. Perbedaannya adalah pada kepercayaan sudah atau belum turunnya Imam Mahdi. Sebenarnya Syahidin 95 menyayangkan sistem pembinaan lebih mengarah pada ceramah dan tidak ada dialog. Jemaat Ahmadiyah tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya di forum tersebut. Jika terpaksa mereka harus mengklarifikasi, para Jemaat Ahmadiyah ini mendatangi rumah para penceramahnya secara pribadi. Setelah berjalan kurang lebih 2 bulan, Jemaat Ahmadiyah di Lombok menilai positif terhadap kegiatan tersebut. Menurut pandangan JAI, ada 3 94 Sebelum melakukan pembinaan, pada tanggal 19 April 2011 dan 19 Mei 2011, Bakorpakem NTB mengundang beberapa pengurus JAI wilayah NTB seperti Mln. Nasiruddin Ahmadi, Ir.Jauzi Jafar, Drs.Udin,M.Pd, Mln.Basyiruddin Azis, Syahidin, Parmono, Musipuddin di Aula Kejati untuk membahas teknis pelaksanaannya. 95 Op, cit…Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 22 Juli 2011 di Asrama Transito, Mataram. kelompok yang memiliki pola berbeda dalam pembinaan tersebut. Pertama, kelompok yang diwakili beberapa narasumber moderat yang melihat keyakinan seseorang tidak bisa diintervensi dan diintimidasi. Kelompok pertama ini memiliki kesimpulan apabila orang tersebut sudah membaca syahadat, Nabinya Muhammad, Agamanya Islam, kitab sucinya Al-Quran, dan taat pemerintah maka mereka muslim, serta haram hukumnya apabila menganggu apalagi membunuhnya. Kedua, kelompok kebangsaan yang diwakili oleh GP Anshar. Menurut kelompok ini, untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah harus ada penegakan hukum yang jelas berdasarkan konstitusi, jaminan keamanan, dan pelayanan publik yang memadai, serta bisa membuka “keran” silaturrahmi atau dialog. Ketiga, kelompok yang menginginkan hasil akhir pembinaan agar JAI “ruju’ilal-haq an bertaubat” sesuai dengan versinya. Jika ini tidak dilakukan oleh JAI, kemungkinan kelompok ini akan melakukan desakan kembali kepada pemerintah. 96 Menurut warga JAI, pembinaan tersebut tidak menyentuh substansi yang sedang dibutuhkan oleh penghuni Transito. Substansi yang dimaksud oleh mereka adalah kebutuhan ekonomi, hidup layak, dan pelayanan dengan fasilitas yang sama sebagaimana dinikmati oleh warga masyarakat lainnya. Selain melakukan pembinaan, pemerintah daerah juga memberikan janji- janji kepada pengungsi Ahmadiyah di Transito. Kegiatan pembinaan ini sebenarnya merupakan salah satu langkah sebagai solusi yang dijanjikan oleh pemerintah. Solusi lainnya antara lain Pemerintah NTB melalui Badan Koordinasi 96 Loc.cit…Berdasarkan Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito.