Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik

Lombok, dan aktif memberikan materi, atau buku tentang kesesatan Ahmadiyah. Kantor LPPI yang berpusat di Jakarta sepertinya mengendalikan penyerangan terhadap Ahmadiyah, karena intensitas penyerangan terhadap Ahmadiyah semakin meningkat pasca pertemuan yang difasilitasi oleh LPPI tersebut. Terkait dengan LPPI, kedutaan besar Saudi Arabia memberikan kontribusi pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah di Lombok dan Sumbawa. Dalam seminar yang dilaksanakan oleh LPPI, Atase keagamaan Kedubes Saudi Arabia memberikan ceramah soal kesesatan Ahmadiyah, pada tanggal 18 Agustus 2002. Pemikiran Wahabi yang melarang Ahmadiyah telah meracuni para Tuan Guru, dan mendorong massa untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Ulama Pakistan juga memberikan kontribusi untuk melarang Ahmadiyah di Lombok dan Sumbawa. Keterlibatan LPPI yang mengakibatkan kekerasan juga terjadi di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, pada tanggal 18 Desember 2007. Sebenarnya kriminalisasi terhadap warga Ahmadiyah sudah terjadi sejak 1954. Namun, peluang kekerasan terbuka lagi pada 1976. Pasca-Reformasi, tepatnya pada 11 Agustus 2002, LPPI mengadakan seminar tentang anti-Ahmadiyah dengan mengundang para tokoh pemuda Manislor. Pasca seminar tersebut, mulai muncul spanduk-spanduk atas nama remaja masjid dan LPPI yang menghina Ahmadiyah. Pihak pemerintah daerah di Kab. Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Barat juga melakukan upaya intimidasi agar JAI keluar dari Ahmadiyah. Bahkan, Pemerintah Daerah Pemda Sumbawa melarang warga JAI untuk tinggal di wilayahnya. Pemda-pemda di Lombok Barat dan Sumbawa dengan sengaja melakukan upaya lokalisasi Ahmadiyah di satu tempat, seperti yang menimpa warga JAI di Ketapang, Lombok Barat. Sejak 2006, warga JAI menempati Asrama Transito di Mataram. Majelis Ulama Indonesia MUI di berbagai daerah, termasuk di Lombok juga antipati terhadap Ahmadiyah. Dalam sejarahnya, fatwa MUI baik pusat maupun daerah, yaitu pada tahun 1980 dan 2005 telah menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Untuk daerah Lombok, Fatwa MUI tahun 1984 soal Ahmadiyah merupakan pemicu kekerasan untuk pelarangan Ahmadiyah di pulau tersebut. Fatwa MUI menjadi referensi untuk pelarangan Ahmadiyah di Pulau Lombok, dan MUI bersama dengan LPPI aktif melakukan kampanye untuk melarang Ahmadiyah di Pulau Lombok, seperti adanya keterlibatannya di dalam pelatihanseminar tentang anti-Ahmadiyah. Termasuk salah satu surat dari Majelis Ulama Indonesia Kabupaten daerah Tingkat II Lombok Barat yang dialamatkan ke Bupati Lombok Barat tentang sebuah rekomendasi yang memohon perhatian pemerintah daerah agar menurunkan Pelarangan Operasional atas Gerakan Jemaat Ahmadiyah yang sudah menyimpang dari ajaran Islam. Agaknya inilah yang mendasari keluarnya Surat Keputusan SK dari Bupati Lombok Barat No 35 yang ditanda tangani tanggal 10 Juli tahun 2001 tentang Pelarangan dan Penghentian Penyebaran AjaranPaham Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat. Latar belakang dari pengeluaran SK tersebut menurut pemerintah adalah telah terjadi konflik berdarah di Kecamatan Bayan sebagai akibat dari penyebaran ajaran Ahmadiyah. Bahwa untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, penyebaran paham Ahmadiyah di Pulau Lombok perlu diperhatikan. 68 Pemerintah Daerah Lombok Timur juga telah mengeluarkan Surat Keputusan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Timur tanggal 7 November 1983 Nomor : Sospol X.223.3581983 tentang penghentian sementara kegiatan Ahmadiyah Qadian di Lombok Timur. Pasca-Reformasi, dengan maraknya kembali kekerasan terhadap Ahmadiyah, Bupati Lombok Timur mengeluarkan lagi surat edaran tentang larangan kegiatan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah Qadian baik secara lisan maupun tertulis di wilayah Lombok Timur. Semua elemen pemerintah, militer, dan kejaksaan dilibatkan dalam hal ini. Ada pula “AMANAH” Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah Kabupaten Lombok tengah yang menuliskan pernyataan sikap mereka dengan menyampaikan somasi atas keberadaan Ahmadiyah di sana. Isinya seputar peringatan jika Ahmadiyah masih mengaku dirinya Islam maka secepatnya menyadari kesalahannya dan bertaubat kembali ke ajaran Islam; dan jika Ahmadiyah masih pada keyakinannya, maka JAI harus meninggalkan wilayah Kabupaten Lombok Tengah. JAI diberikan waktu sampai dengan tanggal 17 Maret 2006. Kepala Kejaksaan Negeri Selong juga turut mengeluarkan Surat Keputusan No : Kep.11IPK.32.2L-2.III.31183 tentang Pelarangan terhadap 68 Berdasarkan dokumen SK Bupati Lombok Barat. Pertimbangan lain dari dikeluarkannya SK ini adalah berdasarkan Surat Edaran Direktorat Bimas Islam dan urusan Haji Nomor DBA.01309984 tanggal 20 September 1984 yang merekomendasikan bahwa ajaran atau paham Ahmadiyah dianggap menimpang dari Islam. Disitu disebutkan alasannya karena mempercayai adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka dipandang perlu mencegah penyebarannya agar tidak menimbulkan keresahan. Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur. 69 Pertimbangannya antara lain karena semenjak berdirinya aliran kepercayaan Ahmadiyah Cabang Pancor di wilayah Lombok Timur, telah beberapa kali menimbulkan pertentangan dan keresahan diantara sesama umat Islam di wilayah Lombok Timur Lotim. Selain itu, kejaksaan memandang pelarangan JAI di Lombok Timur sebagai upaya untuk memelihara kerukunan hidup umat beragama khususnya umat Islam di sana. Pihak Militer juga mengambil peran dalam penahanan dan penindakan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Mereka ikut melakukan intimidasi terhadap JAI agar keluar dari Ahmadiyah. Jika mereka tidak keluar dari Ahmadiyah, maka akan ada upaya kekerasan yang dilakukan massa. Militer bahkan termasuk unsur Muspida telah ikut menandatangani penerbitan SKB di beberapa wilayah Lombok. Setelah kejadian di Sambielen pada 22 Juni 2001 silam, ada upaya dari Ketua Jemaat Ahmadiyah kota Mataram untuk bersurat kepada pihak Kepolisian Daerah Resort Lombok Barat memohon perlindungan hukum. Atas hal tersebut, pada 25 September 2002 mengeluarkan surat balasan yang isinya menyatakan pihak Polres akan berupaya memberikan perlindungan hukum dan bantuan pengamanan terhadap anggota JAI beserta aset-asetnya. Hanya saja karena beberapa pertimbangan 70 , anggota JAI diharapkan berinteraksi sosial di lingkungannya khususnya mengenai masalah peribadatan. Selain itu, mereka 69 Hal ini berdasarkan pertemuan antara Bupati Lombok Timur, Ketua DPRD Tingkat II Lotim, Kepala Kantor Departemen Agama dan MUI Lotim tanggal 5 November 1983 yang secara bulat menyetujui dan mendesak pihak yang berwajib agar menghentikan kegiatan Ahmadiyah di Lombok Timur. 70 Selain surat permohonan perlindungan hukum dari Ketua JAI Mataram, yang menjadi rujukan kepolisian mengambil tindakan dan memberi saran adalah Keputusan Bupati Lombok Barat No 35 Tahun 2001 tanggal 10 Juli 2001 perihal Pelarangan dan Penghentian penyebaran ajaranpaham Ahmadiyah di Lombok Barat. Ada pula surat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia Kab.Lombok Barat yang intinya memohon kepada pemerintah untuk pelarangan operasional gerakan Ahmadiyah. diharapkan untuk menurunkan sementara waktu segala atribut atau simbol yang memperlihatkan tanda khusus Jemaat Ahmadiyah guna menghindari berkembangnya kasus Lombok Timur di Kota Mataram. Pengurus Jemaat Ahmadiyah menyayangkan segala fatwa final tentang kesesatan Ahmadiyah, kecaman, dan surat peringatan dari berbagai organisasi yang ditujukan kepada mereka. Menurut mereka, akan lebih baik jika semua elemen tersebut membuka dialog dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Setidaknya berkaca pada sejarah tentang kejayaan dialog nasional dan terbuka yang pernah terjadi tahun 1933. Jemaat Ahmadiyah membaca jika ada keengganan dari orang-orang di luar mereka outsiders untuk mengenal JAI. Padahal Al-Quran membolehkan dialog dengan tujuan kembali ke jalan yang benar. Bagi JAI, hak prerogatif Allah An-Nahl:26 di ambil oleh MUI. Menurutnya, yang berhak menentukan sesat atau tidaknya seseorang hanya Allah SWT. Mereka menyesalkan pihak MUI yang tidak mau menyaksikan sendiri ibadah yang dilakukan warga Ahmadiyah agar mereka tahu adanya kesalahan atau tidak. Sebaliknya, Saat Al-Qur’an dan Masjid dibakar oleh oknum, pihak MUI pun hanya diam dan tidak melakukan apapun. 71 Sebenarnya upaya dialog telah diusahakan oleh mubalig JAI di Lombok. 72 Saat itu, ada stasiun radio yang siarannya tiap pagi diisi oleh penceramah yang selalu menjelekkan Ahmadiyah. Akhirnya, mubalig JAI mendatangi radio tersebut. Mereka tidak mempermasalahkan adanya siaran tersebut, tapi JAI juga meminta kesempatan untuk menjelaskan atau berdialog agar kesalapahaman tidak 71 Op,cit…Wawancara dengan Mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin pada 14 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. 72 Loc,cit…Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmadi, 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. bertambah panjang. Namun, kesempatan itu tidak diberikan oleh radio tersebut, hanya siaran mengenai ceramah itu yang dihentikan. Padahal, JAI mengharap adanya dialog tersebut. JAI di Lombok juga menyesalkan masyarakat yang tidak mempertanyakan sesuatu langsung dari sumbernya, tapi lebih cenderung ikut suara tokoh agama atau golongan mayoritas. Bagi JAI, mayoritas belum tentu benar, pun sebaliknya. Jika logika ini bertahan maka akan membahayakan bangsa itu sendiri. Inilah yang menjadi kendala saat umat Islam dituntut kritis. Mayoritasminoritas bukanlah ukuran kebenaran, hanya Tuhan yang menentukan. 73 Kekerasan yang terjadi menjadi suatu yang kontra apabila melihat, mendengar, dan membaca literatur Ahmadiyah. Dari tuturan dan sumber tertulis, dapat ditemukan jika ajaran mereka sarat dengan cinta kasih, tolong menolong dan menekankan pentingnya dialog. Bahkan, tak sedikit orang-orang berpengaruh menjadi Ahmadi, di antaranya WR Supratman, Arif Rahman Hakim, dan H. Suhadi. Bertahan dan berdialog. Itulah alat ideologi yang dilakukan oleh JAI untuk membendung perdebatan yang menimpa mereka sejak masuk di Indonesia. Bagi mereka, bukanlah perkara yang mudah untuk mengubah pola pikir orang pada umumnya. Warga JAI sangat berharap agar orang-orang yang tidak mengetahui Ahmadiyah bertanya langsung ke mereka, bukan sebaliknya hanya bertanya pada NU, NW, atau lembaga lainnya. 73 Ibid. Nasiruddin memberikan contoh misal di Indonesia, yang akan terancam agama lain, tapi sebaliknya, di Manado, saudara kita yang Kristen mayoritas, berarti dianggap benar. Di skala dunia, Islam menduduki peringkat ketiga, pertama Kristen lalu Hindu. Kalau dilihat jumlah tersebut, jika menggunakan logika mayoritas benar, maka yang paling benar adalah Kristen. Hal ini juga ditanamkan oleh Ahmadiyah kepada pengikutnya agar nilai- nilai Islam dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat Ahmadiyah memberikan doktrin seperti itu ke umat-umatnya sehingga mereka masih bertahan di tempat pengungsian, yakni di Asrama Transito, hingga sekarang. “Saat ini, jumlah warga yang tinggal di Transito sekitar 150 orang. Dari tempat ini, sudah lahir belasan bayi keturunan Ahmadiyah. Dua diantaranya adalah anak saya, bernama Transiti Mariyam dan Muhammad Khataman Nabiyyin. Kami juga belum tahu kapan akan bisa keluar dari sini, dan hendak kemana nantinya. Entahlah”, ujar Syahidin. Pertanyaan inilah yang belum terjawab hingga saat ini.

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok

Ragam konflik yang dialami oleh JAI di Lombok dengan berbagai kelompok yang ada membuatnya memaknai kekerasan pada level ideologi dan praktis. Pemaknaan tersebut telah membentuk identitas mereka yang disertai dengan keunikan pola bertahan. Pasca-kekerasan yang dialami, ada semacam pemaknaan religiusitas yang muncul. Bisa jadi sebuah resistensi. Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok Ahmadi mengaku jika identitas ke-Ahmadiyah-an mereka semakin kuat pasca-kekerasan tersebut. Tak hanya menurut JAI, pihak-pihak seperti Lembaga Studi Kemanusiaan Lensa yang membantu mereka dalam advokasi pun menilai JAI menjadi lebih tegar dan tidak kapok karena kekerasan itu. Mereka terlihat semakin yakin dengan ajaran yang dianutnya, tabah menghadapi kemelut yang sedang dihadapinya, namun tetap taat kepada keputusan pemerintah Ulil Amri. Fenomena untuk bertahan ini menjadi menarik tatkala disadari bahwa JAI juga tidak pernah berniat untuk melawan secara fisik. Mereka lebih suka melakukan “perlawanan” dengan pemaknaan yang religius serta pendekatan damai berdasarkan dialog. Inilah yang kemudian menjadi alasan kelompok ini terus-menerus menjadi sasaran untuk diserang, yakni karena JAI tidak melawan dalam arti memberi respon kontra. Mereka hanya menyerahkan keputusan pada pemerintah. Namun, bentuk “perlawanan” seperti ini justru semakin membuat warga JAI tidak diberi akses untuk berbicara dengan penuh kebebasan. Ada semacam pemanfaatan dari kelompok tertentu untuk terus melakukan kekerasan, karena “bungkam”-nya warga JAI. Sebagai subjek, siapa yang coba dilawan oleh JAI? Banyak aktor yang bermain di dalamnya, termasuk pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran atas satu kali kekerasan dan memicu kekerasan berikutnya. Dalam kasus kekerasan massal dan beruntun yang dialami oleh JAI, biasanya diawali dengan demonisasi, yang kemudian mendorong munculnya spiral kekerasan. Kekerasan menjadi suatu yang rutin, sah, dan tampak sebagaimana mestinya. Apabila menyitir Galtung 2003: 13-14, agama dan ideologi menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Padahal sejatinya semua agama cenderung mengajarkan kedamaian dan non-kekerasan. Hal inilah yang tercermin dalam penyerangan terhadap warga Ahmadiyah.

1. Suara-Suara di Balik Kekerasan

Setelah menempati Asrama Transito, kelompok JAI yang kemudian menjadi pengungsi ini, tetap melakukan aktivitas mereka seperti biasanya. Kegiatan selama di Transito adalah semata-mata kegiatan keagamaan dan usaha untuk menggerakkan perekonomian mereka. Kegiatan keagamaan meliputi pembinaan keagamaan dan pengajian oleh mubalig dan pengurus JAI. Ujar Syahidin : “Kalau kegiatan sholat rutin, terus malam ajar anak ngaji, cuma itu, tidak ada kegiatan lain. Belum ada ketrampilan yang diajarkan disini. Kalau pengajian ya tetap, bahkan di wanitanya yang paling sering. Pengajian laki-laki dan perempuan tidak campur seperti agama Islam lain, tapi ada juga pengajian umum untuk semua. Mengenai masalah pernikahan misalnya, itu dibahas untuk perempuan, bagaimana dalam Islam terhadap suami. Dulu, saya sering marah-marah, pukul istri. Setelah masuk Ahmadiyah, tidak pernah saya marah atau berlaku kasar lagi.” 74 Sementara itu, untuk memenuhi kehidupan perekonomian, mereka menggerakkan usaha kecil-kecilan di pasar. Ada yang berdagang, menjadi kuli, atau apa saja yang bisa menyambung hidup mereka sehari-hari. Di Ketapang, mereka juga masih memiliki sedikit lahan untuk menanam tomat, sayur bayam, dan tanaman lainnya. Itulah jenis pekerjaan yang mereka tekuni. Sedangkan warga JAI di Lombok yang tidak mengungsi ada pula yang menjadi guru atau pegawai. Hasil dari jerih payah tersebut mereka pergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun dalam keadaan yang terhimpit, pendidikan bagi Jemaat Ahmadiyah penting disediakan untuk generasi mudanya. Mereka juga menyisihkan sebagian uangnya untuk diserahkan ke organisasi sebagai “uang pengorbanan”. Hal ini seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Mereka memulai aktivitas sehari-hari dengan berangkat bekerja dan meninggalkan Transito sehabis Sholat Subuh. Lalu, menjelang siang, mereka 74 Kutipan berdasarkan wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. kembali pulang ke pengungsian. Pada sore hari, pengungsi banyak menggunakan waktunya untuk kegiatan santai, olahraga, atau bercengkrama dengan para pengungsi lainnya. Biasanya Jemaat Ahmadiyah akan berkumpul di Mushola. Jika ada tamu, mereka akan mengajak berbicara sesuai dengan maksud kedatangannya. Tak bisa dimungkiri, sekuat apapun mereka menjalani kehidupan setelah kekerasan, pasti tertoreh kenangan pahit yang traumatis. Trauma dalam berbagai level. Menurut keterangan para pengungsi, saat kejadian tahun 2006, pernah ada yang sampai dibawa ke rumah sakit jiwa, merasa shock, karena rumahnya habis dibakar. Tidak ada yang tersisa. Namun, itu hanya segelintir dari kisah trauma mereka. Sebagian besar dari mereka memiliki keinginan besar untuk tetap bertahan. Kalaupun mereka tetap tinggal di Transito sampai mati, para pengungsi menganggap mungkin itu yang terbaik. Atas segala yang dihadapi, ada seorang pengungsi yang nyeletuk, “Kalau mau belajar sabar, datanglah ke Transito”. Kekerasan yang dialaminya dianggap sebagai cobaan. Mereka justru cenderung bangga, karena bisa merasakan masa seperti yang dialami Nabi Muhammad SAW 14 abad silam. Hal ini diakui oleh kalangan bapak, ibu, remaja, hingga anak-anak Ahmadiyah Ahmadi. Dari beberapa kalangan yang tinggal di pengungsian Transito, kaum remaja Khudamul Ahmadiyah dan Nasiratul Ahmadiyah cukup menarik perhatian. Remaja, umumnya memiliki jiwa muda yang masih penuh dengan idealisme kebebasan. Mereka juga sarat dengan sifat labil. Apa yang terjadi jika kaum remaja ini mengalami kekerasan yang menyebabkan kehidupannya morat- marit? Namun, sebagian dari remaja Ahmadiyah yang hidup di Transito tak seperti sebagian besar remaja pada umumnya. Mereka seolah sudah terinternalisasi oleh nilai-nilai Ahmadiyah yang diajarkan, yaitu keteguhan, kesabaran, dan kedamaian. Hal ini bukanlah sesuatu yang mencengangkan di kalangan Ahmadiyah. Sebagian dari mereka juga sudah terpisah dari orang tua sejak kecil. Sedari kecil, anak-anak dan remaja sudah memahami ajaran Ahmadiyah karena selalu rutin diberikan tarbiyah. Jika hari libur, mereka menggunakan waktu untuk mengenal keorganisasian Ahmadiyah dan pemahaman ajaran Islam. Meskipun pada praktiknya, ada sisi dari para remaja itu yang butuh kesenangan atau hiburan. Hal ini bisa kita lihat dari omongan mereka seputar pengalaman menjadi Ahmadi dan tinggal di Transito. Beberapa pengalaman menarik terlontar dari remaja Ahmadiyah, yang saat kecilnya harus terpisah dari orang tua karena kejadian Pancor tahun 2006. 75 Malik 18 tahun, saat kejadian di Pancor masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar SD. Atas peristiwa itu, Malik dan puluhan anak Ahmadiyah lainnya diungsikan ke Jawa Barat untuk bersekolah dan harus terpisah dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua mereka masih terpuruk secara sosial dan ekonomi. Agar anak-anak itu tetap bisa sekolah, mereka akhirnya harus tinggal bersama orang tua angkat, yang juga Jemaat Ahmadiyah Ahmadi. Setamat Sekolah Dasar, Malik ingin kembali berkumpul bersama orang tuanya lagi. Lambat laun, kehidupan perekonomian orang tuanya pun juga pulih. Saat Sekolah Menengah Pertama SMP, Malik dan beberapa anak lainnya balik lagi ke Lombok. Saat itu, para orang tua mereka sudah menetap di perumahan BTN, Dusun Ketapang. Belum genap setahun tinggal, pada 2006, mereka diserang lagi. Malik dan teman-teman Ahmadi-nya merasakan kembali peristiwa 75 Wawancara dengan para pengungsi remaja Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.