Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah

yang sebaliknya akan menjadi harmoni di bawah utopia ideal tertentu. Simtom adalah tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a. Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam simtom-simtom tersebut. Kata-kata atau ungkapan simtomatik baca: sakit inilah yang bisa melampaui demand dalam tataran simbolik. Justru hal-hal tak terungkapkan dan tak terkatakan adalah sesuatu menuju objek a. Dilihat dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya bisa dituntaskan dalam artikulasi dengan momen-momen sebagai satuannya melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu. Dalam identitas hegemonik tampak sesuatu yang tidak terkatakan, disebut absent fullness suatu masyarakat, karena represi. Hal ini bisa dilihat dalam komunitas pengungsi JAI Lombok di Asrama Transito, yakni bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibahasakan karena mereka terepresi oleh penyerangan yang dilakukan dalam kurun waktu satu dekade. Bisa jadi, memang ada yang disembunyikan untuk melindungi dirinya sendiri—yang oleh MUI atau kelompok penuding—disebut dengan istilah takiyah. Meskipun secara tersurat agen sosial seperti Jemaat Ahmadiyah bisa mengungkapkan segala hal yang direpresi oleh Liyan dengan berbagai wadah, akan tetapi tak menutup kemungkinan ada hal-hal tersirat yang tak terjelaskan. Jemaat Ahmadiyah Indonesia menggunakan simtom untuk melampaui demand yang tidak tercapai. Jika meminjam bahasa Jemaat Ahmadiyah Indonesia, simtom yang muncul adalah perlawanan secara santun. Mereka selalu menyebut diri mereka taat terhadap Ulil Amri dan berdialog dengan menggunakan kata-kata yang hikmah. Misalnya dalam penutup setiap surat yang ditulis mereka selalu menggunakan kata-kata : “Wassalam, hamba yang lemah”. Sementara itu, di awal surat, mereka selalu menggunakan kata pembuka yang santun dan mendoakan. Hal itu agaknya meniru pemimpin Jemaat Ahmadiyah atau mujaddid-nya yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang selalu menutup surat dengan kata-kata “yang lemah” dan doa-doa kebaikan. Lih. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad : 2008. Misalnya : “Semoga Allah SWT selalu memberikan kepada Bapak nikmat kesehatan, kekuatan dan kelancaran dalam mengabdi, melayani, mengayomi masyarakat, bangsa dan negara…” 100 Doktrin yang ditanamkan Ahmadiyah pada jemaatnya pun terbilang kuat dan cenderung seia-sekata. Hal ini bisa dilihat dari segi pendapat, analogi-analogi yang diucapkan, harapan, serta pandangan mereka tentang kekerasan yang dialami. Banyak persamaan kata-kata yang diucapkan warga JAI, koordinator pengungsi, mubalig, ataupun pengurus organisasi. Meskipun kekerasan menimpa mereka dengan beruntun, tetapi ke- Ahmadiyah-an mereka semakin kuat. Gejala ini tak hanya terjadi pada warga JAI yang sudah dewasa, melainkan juga termasuk para remaja dan anak-anak yang merasakan kepedihan mengungsi. Ini semacam adanya interpelasi dari ideologi mereka terhadap kehidupannya. Hal ini cukup mencengangkan apabila melihat kehidupan remaja pada umumnya yang biasanya sarat dengan ke-labil-an karena sibuk mencari Liyan untuk memenuhi need-nya. Ada sebuah kalimat yang 100 Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito. dilontarkan seorang remaja Ahmadiyah tentang teror yang mereka hadapi, “Pak, kalau kami masih disuruh keluar dari Ahmadiyah, gini aja suruh kami baris semua, tembak kami satu-satu. Itu kalau bapak tidak mengizinkan kami jadi Ahmadiyah”. 101 JAI khususnya di Lombok sebagai subjek sangat butuh berdialog dan untuk didengar oleh Liyan. Mereka masih memiliki keinginan untuk diakui oleh Liyan dalam hal ini entitas Islam dan bangsa Indonesia. Mereka bahkan tidak takut identitasnya ditulis dalam penelitian. Warga JAI memiliki hasrat untuk diketahui oleh masyarakat luas tentang omongan mereka yang belum bisa diartikulasikan. Selain untuk pengakuan, hasrat berdialog tersebut dibutuhkan untuk menangkis bentuk-bentuk kekeliruan masyarakat memandang JAI serta menghindari diri sebagai sasaran kekerasan lagi. Selain itu, mereka juga berharap bisa hidup merdeka tanpa intervensi dan intimidasi dari siapapun, karena mereka yakin bahwa masalah keyakinan merupakan hak privat seseorang dengan Tuhan-nya. Bagi mereka, asalkan keyakinan tersebut tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, tidak memperburuk citra Islam di mata agama lain, serta tidak merongrong kewibawaan pemerintah yang sah, maka tak ada salahnya menjadi JAI. Selain itu, mereka juga sangat berharap agar segera mendapatkan kepastian hukum dan jaminan keamanan di manapun mereka akan tinggal. Terbentuknya kelompok pengungsi JAI di Lombok sebagai hasil dari praktik artikulatoris juga dipengaruhi oleh wacana di luar dirinya. Satuan wacana tersebut membentuk identitas mereka secara kolektif. Adanya Ahmadiyah versi 101 Kutipan kata kata seorang remaja JAI berdasarkan wawancara dengan para pengungsi remaja Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito. MUI, NU, Muhammadiyah, atau elemen lain baik yang pro maupun kontra dengan Ahmadiyah merupakan bagian dari wacana tersebut. Yang menjadi bahan perdebatan adalah Apakah JAI termasuk Islam atau tidak? Tak sedikit dari kelompok Islam yang menginginkan Ahmadiyah keluar dari entitas bernama Islam. Namun, JAI menanggapi hal tersebut dengan tenang dan santun, seolah tidak mengalami lack secara internal. Walaupun pada dasarnya, warga JAI sangat ingin diakui. Mereka menyadari sulitnya hidup di tengah bangunan besar superstruktur yang turut membentuk identitas sekaligus menentukan kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini, JAI melakukan konformitas dengan bersikap damai, sabar, dan taat terhadap Ulil Amri. Pada tataran simbolik, JAI memiliki need pada Liyan. Akan tetapi, JAI mengaku sudah melampaui kebutuhan tersebut, karena sudah memiliki fantasi yang diperjuangkan. Fantasi ini kemudian bermuara pada desire yang mendorong mereka untuk melampaui yang legal formal, dan mencapai jouissance. Hal ini untuk menjaga apabila demand atau tuntutan di dunia verbal tidak didapatkan oleh JAI, maka mereka memiliki fantasi, yaitu berpasrah dengan menyerahkan sepenuhnya pada mahkamah Ilahi. Dalam konteks keimanan, Tuhan lagi-lagi dihadirkan, karena diyakini sebagai zat yang bisa memenuhi desire mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ketua JAI NTB : “Walaupun penjelasan kami sudah final, maka bagi siapa saja yang masih menyangsikan, ragu-ragu, muncul syak wasangka dan belum paham, maka kami masih membuka diri untuk diskusi bil-hikmah, selebihnya kami serahkan sepenuhnya kepada keputusan MI Mahkamah Ilahi. 102 Inilah ciri khas yang muncul dari JAI, sebuah entitas yang disatukan oleh prinsip tunggal gerakan keagamaan. Reaksi tersebut menunjukkan JAI sudah melampaui need atau kebutuhan dalam tataran verbal, dan sedang menuju desire atau hasrat. Mereka merasa tuntutan pada dunia simbolik hukum dan masyarakat tidak bisa memenuhi hasratnya. Saat ini, mereka tengah memelihara fantasi, untuk menemukan gairah kembali pada kediriannya yang utuh. Akan tetapi, di sisi lain mereka tengah menggunakan strategi untuk melawan hegemoni tersebut. Jemaat Ahmadiyah melakukan counter hegemony dengan caranya sendiri, damai, yaitu jihad dengan pena.

C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya”

Persoalan JAI di atas telah dibaca melalui pisau analisis hegemoni dan pembentukan identitas. Perdebatan sekaligus pertarungan identitas dan hegemoni terlihat pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, adanya beberapa kelompok dalam entitas Islam menginginkan agar Ahmadiyah keluar dari Islam dengan alasan- alasan yang sudah dijelaskan. Kelompok masyarakat muslim yang awam kemudian mendengar kata-kata ulama dan mengikuti kelompok muslim yang hegemonik tersebut. Di sisi lain, Ahmadiyah dengan segala argumennya mati- matian mempertahankan dirinya bagian dari Islam. Pertentangan yang belum ada 102 Dalam kutipan surat Ketua DPW JAI NTB yang dialamatkan ke Gubernur NTB dengan menyertakan tulisan seputar penjelasan JAI tentang Eksistensi Hukum dan teologi JAI Wilayah NTB, pada tanggal 20 Oktober 2011. titik temunya ini terus-menerus menjadi wacana, yaitu sesuatu yang diartikulasikan. Selain perdebatan tersebut, satu hal yang tak bisa dilupakan adalah JAI khususnya di Lombok merupakan masyarakat sebagai praktik artikulatoris. Kelompok ini menjadi subjek yang berada dalam struktur dan masyarakat yang selalu belum selesai, sehingga secara terus menerus menyuarakan kepentingannya. Hal ini untuk menunjukkan identitas ke-Ahmadiyah-annya, yang bagi sisi Liyan merupakan suatu identitas yang bermasalah. Identitas bisa terbentuk sebagai akibat dari proses identifikasi dengan ideologi. Jemaat ini pun terbentuk karena ideologi yang ditanamkan oleh organisasi atau alirannya. Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari subjek politik. Meskipun menjadi kelas subordinasi dan korban kekerasan, JAI juga merupakan subjek yang memiliki artikulasi. Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga menyadari sebagai bagian dari struktur harus mengikuti hukum yang berlaku di dalamnya. Dengan mengikuti hal tersebut, JAI telah menjadi subjek politik. Dalam praktik diskursif, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Lombok mati-matian membentuk identitasnya sebagai bagian dari Islam. Perjuangan ini terasa begitu sulit bagi JAI, karena mereka berhadapan dengan bangunan besar, yaitu entitas Islam di Indonesia. Oleh karena itu, mereka memerlukan strategi, yang dalam bahasa-nya Gramsci adalah untuk melakukan counter hegemony. Kekerasan biasanya memunculkan kebungkaman, yakni diam atas segala peristiwa yang dialami. Tidak demikian halnya dengan para pengungsi JAI. Mereka bersama dengan para pemimpinnya dan mubalig aktif menyuarakan hasrat atau kebutuhan mereka. Kelompok warga JAI ini berjuang untuk mendapatkan setidaknya dua hal, yaitu legalitas identitas dan ketenangan dalam menjalankan ajarannya. Untuk hal yang pertama, pengakuan itu akan berhasil jika adanya titik kompromi yang mempersempit jurang perbedaan dari setiap entitas. Inilah yang menurut JAI perlu sebuah dialog khidmat tanpa adanya kebencian. Bagi Jemaat Ahmadiyah, pengertian jihad saat ini adalah dengan tulisan atau pena. Jihad menggunakan kekerasan atau pedang hanya ada di zaman Nabi Muhammad SAW Rasulullah SAW. Menurut Jemaat Ahmadiyah, jihad menggunakan tulisan berdasarkan argumen tertentu akan menjadikan prosesnya lebih menarik. Untuk mencapai kebenaranpun berdialog melalui tulisan tidak sampai menjatuhkan korban. Hal inilah yang cukup disayangkan oleh JAI atas fenomena kekerasan yang terjadi. Mengapa tidak mengulang sejarah yang dulu, berdialog, dan debat terbuka? Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, yaitu ada semacam keengganan dari pihak Liyan untuk mengakrabi Ahmadiyah lebih jauh. Dalam sejarahnya, penyebaran ajaran Ahmadiyah memang melalui tulisan. Dapat dilihat, terdapat 84 buah buku dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat oleh pendiri Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Buku dan tulisan itulah yang menjadikan jemaatnya memiliki banyak pengetahuan tentang Islam dan ajarannya, baik yang terkait hal-hal duniawi maupun surgawi. Bacaan-bacaan itu pula yang menjadikan mereka gemar berdialog atau berargumen dengan nalar. Menurut mereka, perbedaan pendapat itu merupakan hal yang biasa. Itulah guna bertemu dan berdialog, yakni untuk menemukan titik kompromi. Perjuangan dengan jihad pena dilakukan oleh Ahmadiyah termasuk pengurus JAI di Lombok melalui majalah, koran, dokumen, dan buku-buku berisi klarifikasi tentang sangkaan dari kelompok yang kontra dengannya. Selain itu, seperti dikatakan di depan, Ahmadiyah juga memiliki TV Internasional, Muslim Television Ahmadiyya MTA, di London, yang mengudara selama 24 jam tanpa iklan. Semuanya memberitakan tentang agama Islam. Televisi inilah yang ditonton oleh semua Jemaat Ahmadiyah termasuk oleh para pengungsi. JAI di Lombok juga memiliki koleksi VCD yang berisi tentang perjalanan Ahmadiyah di berbagai negara Barat. Inilah yang sering dibagi-bagikan jika ada orang non- Ahmadi yang ingin melihat perkembangan Ahmadiyah di berbagai negara. Pada tataran ini Jemaat Ahmadiyah sedang melawan arus hegemonisasi hubungan sosial yang terjadi, karena moda baru dalam penyebaran budaya lewat media massa. Dalam lingkup nasional, JAI juga memiliki sekolah mubalig nasional di Parung, Bogor yang berbahasa Urdu, Jerman, dan Perancis untuk mempelajari agama Islam. Akan tetapi, sudah beberapa tahun ini sekolah itu tidak diberikan izin beroperasi oleh pemerintah seiring dengan keluarnya SKB Tiga Menteri, karena dianggap sebagai upaya penyebaran ajaran Ahmadiyah. Sejak awal kedatangannya di Indonesia, Jemaat Ahmadiyah mendapat kecaman keras lewat tulisan di Tapaktuan. Hal ini ditanggapi dengan tulisan pula oleh JAI. Hanya saja, di era Reformasi yang katanya mengagung-agungkan kebebasan, ternyata tak membuat pikiran masyarakat Indonesia menjadi lebih bebas. Yang lebih menonjol adalah justru seruan untuk membenci dengan bertindak di luar batas, serta menjadikan JAI sebagai “musuh bersama” umat Islam. Oleh karena itu, jadilah JAI di Lombok sebagai salah satu sasaran kekerasan yang berlangsung selama satu dasawarsa. JAI dapat digambarkan dalam sebuah adagium, berdaya dalam ketidakberdayaan. Seperti itulah situasi yang dialami oleh JAI khususnya pengungsi di Asrama Transito. Kekuatan mereka adalah pada strategi untuk menulis dan berdialog. Tentunya ini dilakukan JAI bersama para pemimpin dan mubalignya di barisan depan. Inilah yang disebut Gramsci dengan strategi dengan menonjolkan kepemimpinan intelektual dan moral. Mereka seolah-olah tak melawan dan menerima takdir yang diberikan. Dalam bahasanya Lacan, JAI seolah-olah berkompromi dengan Liyan neurosis, yaitu melindungi dirinya dari hasrat yang tak sadar sekaligus diam- diam mengekspresikannya. Kaitan dengan melindungi diri, takiyah yang dituduhkan kepada mereka bisa dibaca seperti itu. Sebagai korban, mereka bukanlah sekelompok orang yang lemah dan tak berdaya, melainkan subjek yang melakukan strategi tertentu untuk lepas dari belenggu kekerasan. Hal yang tidak bisa diabaikan pula dalam konteks Ahmadiyah adalah dibutuhkannya peran pemerintah untuk melindungi JAI yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. JAI merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak asasi dan membutuhkan perlindungan. Sangat disayangkan apabila negara justru menjadi pemicu keresahan masyarakat dan menjadi salah satu agen penyebar wacana yang mendorong kekerasan. Hal ini sejalan dengan konsep Laclau-Mouffe yang mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah “mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada, melainkan memainkan peran penting dalam pembentukan subjek-subjek politik”. Yang paling penting untuk diamati adalah bentuk-bentuk hubungan eksploitatif yang ada. Harapan JAI bertumpu besar pada pemerintah untuk tidak menjadikan hubungan eksploitatif