Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia

Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa Ulil Amri di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri. Kelompok ini juga mengenal istilah Bai’at untuk masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Sebagian syarat-syaratnya antara lain: Tiap-tiap orang yang hendak bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah harus berjanji dengan ikhlas hatinya bahwa dia akan berjanji menjauhi syirik sampai meninggal dunia; akan menjauhi diri dari zina, berdusta, memandang wanita yang bukan muhrim, menjauhi segala macam kedurhakaan dan kemaksiatan, penganiayan dan pengkhianatan; tidak akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan hawa nafsunya, betapapun kuat dan hebatnya. Jemaat Ahmadiyah juga tidak akan menyakiti seorangpun daripada makhluk Allah pada umumnya, dan kaum muslimin pada khususnya, baik dengan tangannya maupun dengan lidahnya, ataupun dengan jalan lain. Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini Masih Mau’ud a.s semata-mata karena mencari mencari keridhaan Allah Taala. 28 Sepeninggal ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis artikel yang dimuat di surat kabar. Tak cuma artikel di surat kabar, ketika lawan-lawannya semakin gencar menyerang Islam, ia mulai menulis buku tentang kebenaran agama Islam. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Menurut klaim Ahmadiyah, bagian pertama buku itu saja, berupa seruan dan pengumuman, mampu mengguncangkan dan menggemparkan seluruh negeri. 28 Diambil dari sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Selain itu, ada amalan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dan kadang tidak semua umat muslim lakukan yaitu perintah Sholat Jumat untuk laki laki dan perempuan kecuali perempuan yang berhalangan. Hal ini berdasarkan pada perintah Al-Quran yang menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, ….”, dari ayat ini bisa dikatakan bahwa perintah Sholat Jumat bukan hanya untuk laki-laki muslim saja, tapi juga untuk perempuan berdasarkan wawancara dengan mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin di Asrama Transito pada 14 Desember 2011. Berkat buku itu, ia diakui sebagai seorang yang cakap. Lebih dari itu, Ghulam Ahmad dianggap sebagai seorang mujaddid, sang pembaharu. 29 Pada tahun-tahun berikutnya dakwah yang dilakukan Ghulam Ahmad adalah untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam beragama. Ketika menyaksikan banyak kepercayaan ditumpahkan ke pundaknya oleh umat, yakinlah dia bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai orang yang dipilih oleh Allah, sebagai Al-Masih yang dijanjikan untuk menegakkan kembali keagungan Islam. Mulailah bermunculan kontroversi yang tiada henti sampai kini. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Dusun Qadian, India ini mengumandangkan pengakuan sebagai Imam Mahdi dan Masih Yang dijanjikan atas perintah Tuhan. Selain itu, dalam versi Ghulam Ahmad, Nabi Isa AS telah wafat sekaligus dia menunjukkan makamnya di Kashmir, dan oleh karena itu tidak akan turun lagi ke dunia. Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan dinyatakan secara eksplisit melalui karya Ghulam Ahmad yaitu Fateh islam, Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891. Sejak itu sebagian orang yang semula membelanya mulai menolak. Namun, sebagian tetap mengikuti bahkan menjadi pengikut setia. Ajarannya waktu itu berpusat di Qadian dan di situ mulailah dibangun Sekolah Dasar. Ghulam Ahmad kemudian mencanangkan dakwah Islam ke Eropa melalui majalah The Review of Religions. Lewat media ini, pembaca bisa memahami pembahasan ajaran agama dan melihat keunggulan Islam. 29 Bagian pertama buku ini dicetak pada 1880, kedua pada 1881, ketiga 1880, dan bagian keempat pada 1884. Tulisan-tulisannya berisi penjelasan tentang Islam untuk melawan serangan dari para misionaris Kristen dan Hindu Ariya. Namanya pun mulai dikenal di masyarakat umum. Pada 1908 Ghulam Ahmad meninggal dikarenakan sakit diare yang parah serta migrain. Sepanjang hidupnya, ia telah menuliskan dan mewariskan 84 judul buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab, Parsi, dan Urdu. Pada 1896, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad juga menulis karangan yang terkenal dan menjadi masterpiece nya, yaitu buku berjudul Islami Ushul Ki Filasafi dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Filsafat Ajaran Islam”. 30 Sebagai organisasi yang berkiprah dalam bidang kerohanian dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik, Jemaat Ahmadiyah telah berhasil menyebarluaskan dakwah Islam di daratan Eropa, Australia, dan Amerika dengan mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kota-kota penting ketiga benua tersebut. Bahkan pusat Jemaat itu kini berada di London, Inggris. Perpindahan itu dikarenakan Jemaat Ahmadiyah di Qadian atau Pakistan dicerca dan dianggap kontroversial. Hal itu terjadi pada masa Khalifah keempat, Hazrat Mirza Tahir Ahmad, yang kemudian hijrah ke London. Pada waktu itu, di zaman pemerintahan Ali Bhuto, disusun rencana untuk membunuh khalifah Ahmadiyah tersebut. Tahir Ahmad bisa lolos karena petugas salah informasi dan menyangka khalifah Ahmadiyah saat itu masih Nasir Ahmad. 31 30 Dalam buku Filsafat Ajaran Islam 2008 yang diterjemahkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia nama lengkap Ghulam Ahmad ditulis dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, bukan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. 31 Saat itu, kekhalifahan sudah berganti dari Nasir Ahmad ke Tahir Ahmad dan ini tidak diketahui oleh petugas pemerintahan. Bagi orang Ahmadiyah, selamatnya khalifah mereka merupakan pertolongan dari Allah, seperti halnya yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW saat menyelamatkan diri dari musuh. Jauh sebelum pusat Ahmadiyah aliran Qadian berpindah dari Pakistan ke Inggris pada 1913, Ahmadiyah sudah mengirim mubalig-nya, Khwaja Kamaluddin ke sana guna mendirikan “Working Moslem Mission”. Bahkan ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, ia pernah menulis surat dakwah kepada Ratu Inggris agar mau memeluk Islam. Meskipun ratu tidak sempat masuk Islam, sejumlah keluarga menjadi pemeluk Islam, salah satunya Lord Headley yang naik haji bersama Khawaja Kamaluddin pada 1923. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa pada suatu saat matahari akan terbit dari Barat, tapi bukan berarti dhahirnya, melainkan sinar Islam yang muncul dari sana. Sedangkan di daratan Benua Afrika, Jemaat Ahmadiyah mencatat selain berhasil mengembangkan dakwah Islamnya, mereka juga telah berhasil mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan sekolah- sekolah dan rumah-sakit hampir di semua negara di Afrika. Demikian juga di Asia, dakwah terus berkembang di daratan India dan Timur Tengah hingga ke Jepang, China, dan Korea, belahan negeri yang sebelumnya dakwah Islam mengalami hambatan dan kesulitan untuk berkembang. Dalam literatur Jemaat Ahmadiyah disebutkan bahwa pengikut Jemaat Ahmadiyah ini terus-menerus memperoleh kemajuan. Saat Mirza Ghulam Ahmad wafat, pemeluknya telah berjumlah lebih dari 300.000 orang. Setelah pendiri Jemaat Ahmadiyah wafat, terpilihlah Hazrat Maulana Al- Haj Nuruddin sebagai Khalifatul Masih I pada tanggal 27 Mei 1908. Maulana AL- Haj Nuruddin lahir di Behra, Distrik Shahpur, Punjab, India. Dia menduduki urutan ketiga puluh tiga dalam silsilah keturunan Sayyidina Umar bin Khattab r.a. Dalam masa kepemimpinannya, jemaat diarahkan kepada pembangunan akhlak yang tinggi. Khalifah pertama ini wafat pada tanggal 13 Maret 1914. Khalifah kedua yang terpilih adalah Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang lahir pada tanggal 12 Januari 1889. Selepas kematian khalifah pertama, Mahmud Ahmad terpilih untuk menggantikan pada 14 Maret 1914. Dalam tahun 1947 dia memindahkan pusat Jemaat Ahmadiyah dari Qadian India ke Rabwah Pakistan. Menurut catatan jemaat Ahmadiyah, di bawah kepemimpinan Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah mendapat kemajuan yang pesat hingga mulai tersebar di seluruh dunia. Setelah membina jemaat selama 51 tahun, Mahmud Ahmad wafat pada 8 November 1965 dan meninggalkan 225 karya tulis. Khalifatul Masih III adalah Hazrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad yang lahir di Qadian pada tanggal 15 November 1909. Khalifah ini menyelesaikan pendidikan di Baliol college, Oxford. Pada tanggal 9 November 1965, Nasir Ahmad terpilih menjadi Imam Jemaat sebagai Khalifatul Masih III. Pada tanggal 9 Oktober 1980, dia meletakkan batu pertama masjid di Pedro Abad, Cordova, Spanyol. Masa khilafatnya berlangsung lebih dari 17 tahun dengan membimbing jemaat menanggulangi berbagai cobaan dan ujian. Nasir Ahmad wafat pada 9 Juni 1982. Imam Jemaat Khalifatul Masih IV adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad yang lahir pada 18 Desember 1928 di Qadian, India. Tahir Ahmad adalah putra Hazrat Khalifatul Masih II, yang menempuh pendidikan di Government College, Lahore dan University of London. Dia terpilih menjadi Khalifahtul Masih IV pada tanggal 10 Juni 1982. Saat ini, Jemaat Ahmadiyah dipimpin oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad atba, yaitu Khalifah ke-5 penerus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Sejak mulai didirikannya hingga tahun 2008, Jemaat Ahmadiyah telah berkembang dan tersebar di 185 negara di seluruh benua di dunia. Mereka yang menjadi Jemaat Ahmadiyah harus benar-benar mengerti tentang Ahmadiyah dan Islam, bukan sekedar ikut-ikutan. Para pengikut atau Jemaat Ahmadiyah dikenal dengan sebutan Ahmadi.

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu

Masuknya ajaran Ahmadiyah yang lahir di India semasa kolonial ke Indonesia telah melalui proses panjang. Ajaran Ahmadiyah bisa dirunut dalam sejarah dan pelbagai peristiwa di Sumatra Ahmadiyah Qadian. Adalah perguruan Sumatra Thawalib yang pada waktu itu dipimpin oleh H. Abdul Karim Amrullah dan tak hentinya mengirimkan para pelajarnya untuk mencari pengetahuan baru tentang agama Islam. Perguruan ini merupakan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal gencar mencari pengetahuan untuk memperkaya modernisme Islam pada tahun 1920-an. Hal ini terkait dengan kultur masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang selalu ingin mencari ilmu pengetahuan baru. Pencarian pengetahuan baru tentang dunia Islam sudah berlangsung sejak abad sebelumnya. Ambil contoh Imam Bonjol yang berlayar ke jazirah Arab pada abad ke-19. Kegairahan untuk belajar Islam kembali terjadi pada 1922, dua anak muda Perguruan Tinggi Sumatra Thawalib, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin. Namun, mereka bukannya pergi ke Mekkah, melainkan ke India, atas anjuran Zainuddin Labai El Yunusyiyah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, dua ulama besar dari Minangkabau. Dua anak muda itu menuju Kota Lucknow, India. Di sana mereka bertemu dengan ulama bernama Abdul Bari Al-Anshari. Di kota Lucknow, mereka kedatangan teman yang menyusul dari Padang Panjang, yaitu Zaini Dahlan. Setelah tinggal di Lucknow selama dua setengah bulan, mereka bertiga hengkang menuju Lahore karena guru mereka ternyata seorang penyembah kuburan. Di Kota Lahore, 3 orang pemuda tersebut berkenalan dengan ajaran Ahmadiyah aliran Lahore melalui didikan Maulana Abdus Sattar. Akan tetapi, mereka tidak puas. Pada suatu hari, ada 3 ulama Ahmadiyah aliran Qadian yang datang ke Kota Lahore untuk berdebat dengan pemimpin Ahmadiyah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Dari mereka, ketiga pemuda Sumatra itu mengetahui kalau pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad disebut-sebut sebagai Imam Mahdi dan Al Masih yang kedatangannya dijanjikan Rasulullah SAW. Setelah enam bulan menetap di Lahore, 3 pemuda Sumatra itu melanjutkan perjalanan ke kota Qadian. Disana, mereka bertemu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah II yang juga putra Mirza Ghulam Ahmad. Ketiganya lalu masuk ke Madrasah Ahmadiyah, selanjutnya Jami’ah Ahmadiyah, dan akhirnya menjadi Jemaat Ahmadiyah. Mereka pun mengirim kabar ke Sumatra tentang ajaran Ahmadiyah dan biaya hidup di Kota Qadian yang sangat murah. Bahkan ada biaya dari wakaf sekolah bagi para pelajar yang tidak mampu. Informasi ini menarik para pelajar di Sumatra sehingga mereka berdatangan ke Kota Qadian. Selain banyak memberikan kontribusi dalam penyebaran ajaran Islam di Eropa atau Barat, Ahmadiyah juga turut membiayai orang-orang Indonesia yang saat itu berasal dari organisasi Muhammadiyah untuk belajar ke Barat. Pada 1924, terjadi sebuah pertemuan antara Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dengan mahasiswa Indonesia di Qadian. Dalam pertemuan tersebut, tercatat 19 orang mahasiswa Ahmadi asal Indonesia. Para mahasiswa Indonesia meminta sang khalifah berkunjung ke Indonesia. Menyikapi permintaan tersebut, khalifah Ahmadiyah menunjuk Maulana Rahmat Ali, sang guru “Ta’limul Islam High School” di Kota Qadian sebagai Mubalig Ahmadiyah pertama yang akan menyebarkan ajaran Ahmadiyah di Indonesia, khususnya untuk daerah Sumatra dan Jawa. Maulana Rahmat Ali dikenal sebagai salah seorang murid generasi pertama Madrasah Ahmadiyah di Kota Qadian. Pria yang lahir pada 1893 ini lulus pada 1917 dan ditugaskan sebagai guru bahasa Arab dan agama di “Ta’limul Islam High School Qadian”. Pada 1924, ia dipindahkan ke Departemen Tablig. Tahun berikutnya, pada Juli 1925, ia ditugaskan sebagai Mubalig di Indonesia. Akhirnya, berlayarlah Maulana Rahmat menuju Indonesia pada bulan Juli 1925. Ia berlayar melalui Penang, Medan, dan Sabang. Di Sabang, ia mendapat kesulitan dan sempat ditahan selama 15 hari oleh polisi kolonial. Namun, ia bisa lepas dan masuk ke Aceh. Kapalnya mendarat di Tapaktuan, sebuah kota kecil di pesisir Barat Aceh yang menghadap Samudera India secara langsung. Pendaratan itu terjadi pada 2 Oktober 1925. Di kota inilah untuk pertama kalinya Maulana Rahmat Ali, penebar benih Ahmadiyah di Indonesia, menyebarkan ajaran-ajaran Islam versi Mirza Ghulam Ahmad. Pada awalnya, kedatangan mubalig Maulana Rahmat Ali diterima dengan baik oleh masyarakat muslim Tapaktuan. Namun, ketika Maulana Rahmat Ali berbicara dan muridnya menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, keterangan mubalig tersebut dinilai bertentangan dengan keyakinan Islam secara umum. Sebagai contoh keterangan dari mubalig tersebut jika Nabi Isa telah meninggal, dan akan turun kembali dunia. Ternyata yang turun bukan Nabi Isa, melainkan Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim diri sebagai seorang Al-Masih, Al-Mahdi, penjelmaan Krisna, dan seorang mujaddid pembaharu. Di tengah kemelut yang ada, wilayah Tapaktuan dikenal sebagai ladang pertama tumbuhnya ajaran Ahmadiyah Qadian di Indonesia. Di antara mereka ada tiga belas orang yang menyatakan diri masuk Ahmadiyah pada bulan Desember 1925. Adapun tokoh yang menentang dengan keras antara lain alumnus Sumatra Tawalib yang menjadi guru di Tapaktuan, yaitu Muhammad Isa dan Ahmad Sjukur . Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pengikut Ahmadiyah di Tapaktuan tidak menunjukkan kemajuan berarti, apalagi setelah kepergian Maulana Rahmat Ali untuk melanjutkan misi penyebaran ajaran Ahmadiyah ke wilayah lainnya. Bahkan, pada pertengahan 1926, pemerintah Tapaktuan menjalankan strategi menghambat pertumbuhan Ahmadiyah. Usaha yang dilakukan antara lain melarang kaum Ahmadiyah melakukan salat Jumat di tempat mereka sendiri. Mereka diharuskan untuk melakukan salat Jumat di masjid umum sebagaimana sebagian besar kaum muslim di kota itu. Penentangan keras ini dilakukan oleh tokoh-tokoh agama setempat dengan alasan ajaran Ahmadiyah berbeda dengan ajaran agama Islam yang diyakini masyarakat setempat. Setelah menyebarkan ajaran Ahmadiyah di Tapaktuan selama 3 bulan, Maulana Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Padang. Penyebaran ajaran Ahmadiyah di Sumatra Barat mendapat tantangan yang jauh lebih hebat dibandingkan ketika pertama kali masuk melalui Tapaktuan. Meski penentangan terhadap Ahmadiyah lebih keras di Sumatra Barat, Maulana Rahmat Ali terbantu dengan kedatangan mubalig-mubalig asal Sumatra yang telah pulang dari sekolah di Kota Qadian. Saat Republik Indonesia mulai berdiri dan tatanan pemerintahan serta Undang-Undang mulai terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada di negara Republik Indonesia. Pada akhir 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat permohonan pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AD-ART nya Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai badan hukum. Pada tanggal 13 Maret 1953, Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No.JA.52313 menetapkan bahwa