Suara-Suara di Balik Kekerasan

kekerasan. “Saat kami balik kesini, kejadian lagi bulan Februari tahun 2006. Ini bisa dikatakan kejadian terbesar yang terjadi di Ketapang. Secara ekonomi dan mental kami drop saat itu. Daripada nyusahin orang tua, saya dan 3 teman balik lagi ke Jawa Barat melanjutkan SMA”, ungkapnya. Di Jawa Barat, tepatnya di Tasikmalaya, mereka bersekolah di bawah Yayasan Jemaat Ahmadiyah. Yayasan Ahmadiyah merupakan sekolah umum karena ada juga yang non-Ahmadi bersekolah disana. Hanya saja, berbeda dengan sekolah umum lainnya, sekolah ini memiliki tambahan mata pelajaran, yaitu bahasa Urdu. Saat mengungsi ke Jawa Barat dan terpisah dari orang tua, Malik dan teman-temannya merasa sangat sedih. Apalagi di sana, Malik melihat banyak anak yang tinggal dengan orang tuanya. Akan tetapi, dia menganggap hal tersebut sebagai pengorbanan. Ketika ditanyakan sisi historis dan pengalaman menjadi Ahmadi, Malik menjawab awalnya ikut orang tua. Meskipun begitu, orang tuanya tidak pernah memaksakan aliran tersebut pada Malik. Dia mengakui setelah beranjak remaja, Malik bisa benar-benar meyakini kebenaran dari ajarannya yaitu Ahmadiyah. Hal ini sesuai dengan penuturannya sebagai berikut : “Saya mulai meyakini Ahmadiyah sejak SMP, banyak bukti-bukti yang mendukung. Salah satunya kalau aliran nya tidak benar, mungkin tidak akan bertahan lama. Ajaran yang benar selalu mendapat tantangan dari orang lain. Saya benar-benar yakin dengan Ahmadiyah”. Setelah menamatkan SMA, Malik dan seorang temannya bertekad pulang lagi ke Lombok untuk mencari pekerjaan. Hanya saja, mereka harus mendapat kenyataan pahit lagi, dengan penyerangan 26 November 2010 silam. Mereka akhirnya ikut mengungsi di Asrama Transito. Kesulitan yang dihadapi lagi adalah terhambatnya mendapat pekerjaan karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP Lombok, di daerahnya sendiri, dan tak kunjung dilayani. Untungnya, dia dan temannya sudah membuat KTP daerah Tasikmalaya. Walaupun tinggal di Transito, dia dan temannya memiliki segudang harapan. Katanya : “Supaya kita hidup layak seperti warga lain. Yang kami khawatirkan adik-adik kami, takut terkena mentalnya, kalau kami kan sudah besar, bisa berpikir sendiri. Untuk pemerintah, kami minta ditegakkan lah hukum itu. Jangan tidur lah hukum di Indonesia ini. Bagi masyarakat, kami tidak minta dikasihani, hadapi kami selayaknya masyarakat lain yang bukan Ahmadiyah, karena masalah keyakinan itu personal.” Kekhawatiran itu bukan tak beralasan. Menurutnya, pernah ada anak Ahmadiyah di Sekolah Dasar, yang dipukuli oleh teman-temannya, karena dia seorang Ahmadi. Di tengah kegalauan menemukan identitasnya, anak-anak remaja ini tetap terlihat teguh dengan keyakinannya. Meskipun sudah beberapa kali rumah mereka dirusak. Mereka diusir dan diungsikan ke tempat yang kurang layak. Saat ini, Malik sedang menempuh kuliah di Bogor. Mardianah 76 , seorang remaja putri yang juga pernah mengungsi ke Tasikmalaya, Jawa Barat, mengakui keteguhan itu. “Ya, Zaman Rasulullah kan banyak ditentang, dibilang kafir, tapi kan pada akhirnya berkembang juga. Kalau ini sih kita anggap sebagai ujian, ini bukan azab, tapi sedang diuji iman kita”, begitu ungkapnya. Keteguhan atas keyakinan tersebut ibarat oase di tengah keadaan pengungsian Asrama Transito yang kumuh dan tak layak bagi mereka. Mardianah juga menginsyafi jika masa muda biasanya harus dinikmati, tapi dia menyadari tidak selamanya akan hidup di dunia ini. Dia merasa harus memiliki bekal untuk hidup di akhirat nanti, yang lebih abadi. Jika harus ditempuh dengan hidup di pengungsian, dia merasa itu fase yang harus dijalani. 76 Berdasarkan wawancara dengan Mardianah, salah satu pemudi Jamaah Ahmadiyah yang mengungsi, di Lombok pada tanggal 14 Maret 2012. Warga Ahmadiyah juga mengaku minimnya bantuan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Kamaruddin dan Fauziyah 77 misalnya, mengatakan jika selama 8-9 bulan awal mereka tinggal di Transito, tersedia pelayanan kesehatan dari puskesmas. Hanya saja, setelah itu tidak ada lagi bentuk pelayanan. Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas listrik yang memadai layaknya sebuah tempat tinggal. Kamaruddin dan Fauziyah, pasangan pengungsi yang bercerita bahwa mereka sudah tidak berani pulang ke rumah di Ketapang. Fauziyah juga menceritakan kisahnya saat terusir dari perkampungannya di Lombok Timur pada tahun 2002 silam. Menurutnya : “Kejadian Lotim, saya hamil muda, lari lewat belakang kuburan, tidak pakai sandal. Udah lama baru ingat kalo saya hamil, untung saya tidak keguguran. Kita tidak sempat ambil barang-barang, tidak ada yang diselamatkan. Pas 2002, setiap malam digilir kampung yang diserang. Sebelumnya warga diungsikan ke Mapolres, selama 5 malam kejadian Lotim. 78 Selain karena tidak harta lagi yang tertinggal, mereka masih takut dengan ancaman serangan lagi dari massa. Akhirnya, mereka harus tinggal di pengungsian dengan kondisi memprihatinkan, dengan bilik-bilik buatan yang dibatasi kain-kain, dan tidak adanya listrik. Kesulitan utama menurut ibu-ibu pengungsi di Transito adalah masalah ruangan. Dalam hukum Islam, anak umur 8 tahun sudah harus terpisah tidur dari orang tua. Namun, karena keadaan akhirnya mereka harus bercampur, dan berdesakan. Sedangkan untuk laki-laki dewasa tidur di Mushola. Minimnya fasilitas tersebut juga dibarengi dengan penanganan yang lemah dari pemerintah. Menurut JAI, mulai tahun 2006, penyelesaian dari Departemen 77 Berdasarkan wawancara dengan bapak ibu pengungsi di Transito pada 15 Desember 2010. 78 Wawancara dengan salah satu pengungsi, Bu Fauziyah , 16 Desember 2010 di Asrama Transito. Sosial untuk membantu pengungsi sudah tidak ada. “Kepercayaan kami sudah luntur kepada aparat. Beberapa kali saya sudah ingin bertatap muka dengan gubernur yang dulu dan sekarang. Tidak pernah diberikan peluang. Yang disayangkan pula jika penyerangan itu selalu yang disalahkan kami. Makanya terbalik hukum sekarang”, ujar Syahidin. Untuk membuat Kartu Tanda Penduduk KTP pun mereka tidak dilayani. Prosesnya dipersulit karena JAI dianggap bukan warga Mataram. Akibatnya, para pengungsi tersebut tidak memiliki status kependudukan yang jelas. Namun, warga JAI masih berharap agar pemerintah memberikan kebebasan seperti kepada warga negara lainnya. Selain itu agar tidak ada diskriminasi kepada warga JAI terutama dalam memberikan status kependudukan. Warga Ahmadiyah juga bersedia ditindak secara hukum apabila terbukti bersalah atau melanggar pasal yang terdapat di undang-undang. Syahidin misalnya, mengaku siap dan rela dipenjara bila terbukti bersalah. Toh, dia berjuang bersama kelompoknya untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah. Sebenarnya mereka sangat berharap para pelaku atau massa ditindak oleh aparat. Akan tetapi, hal tersebut seolah-olah menjadi utopia bagi warga JAI. Warga yang ada di pengungsian akan selalu mengikuti keputusan pemerintah tentang penghidupan mereka. Namun, mereka hanya berharap agar pemerintah dan elemen yang ada dalam masyarakat tidak ikut campur urusan keyakinan JAI. Harapan mereka yang lain adalah untuk tidak dikeluarkan dari Islam, apalagi dihimbau untuk membuat agama baru. Bagi mereka, tidak ada satu manusiapun yang berhak membuat agamanya. Hal ini juga diungkapkan Basyiruddin 79 , yang menuntut agar pemerintah tidak ikut campur keyakinan seseorang, apalagi menyuruhnya keluar dari Islam. “Kan selama ini yang digembor gemborkan adalah bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam. Bahwa Ahmadiyah harus bikin agama baru. Tidak ada manusia yang berhak membuat agama. Semua agama yang terdahulu dari Allah SWT, kan ga bisa manusia buat agama baru. Mungkin nanti dikutuk oleh Allah SWT. Marilah kita berjalan, sesuai dengan koridornya”, jelasnya. Menurut mereka, begitu banyak fitnah yang dilontarkan membuat identitas JAI secara tidak langsung dibentuk oleh masyarakat. Setelah mereka mengklarifikasi tentang kenabian dan kitab suci, isu tentang perbedaan syahadat mulai gencar disebar oleh elemen yang kontra dengan Ahmadiyah. Atas hal tersebut, Jemaat Ahmadiyah menguraikan bahwa mereka pun akan marah jika ada yang membuat syahadat berbeda dan mengaku sebagai umat Islam. Sayangnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi hal tersebut. Jika saja masyarakat bertanya, warga Ahmadiyah sangat ingin menjelaskannya secara baik- baik. JAI juga dituding ekskusif karena memiliki masjid sendiri dan tidak beribadah bersama umat Islam lainnya. Akan hal itu, Syahidin mengatakan penamaan masjid “Ahmadiyah” atau “Non-Ahmadiyah” sebenarnya tidak ada. Hanya saja, Ahmadiyah memiliki tempat bernaung basecamp, sama halnya seperti Muhammadiyah atau NU. Jadi, pada dasarnya, warga JAI bukan bermaksud eksklusif. Kecuali untuk masalah mencari jodoh, mereka memang 79 Berdasarkan wawancara dengan Mubalig JAI, Baasyir, di Asrama Transito, Mataram pada tanggal 15 Desember 2010. mengupayakan jodohnya sesama Ahmadi agar memiliki visi atau misi yang sama secara agama dalam menjalankan biduk rumah tangga. Sebenarnya mereka ingin beribadah bersama umat Islam lainnya, karena semua masjid adalah tempat ibadah. Hanya saja kekerasan yang dialami dalam 1 dekade belakangan telah membuat kelompok ini tersingkir. Warga Ahmadiyah merasa kurang nyaman sholat di “Masjid Non-Ahmadiyah”, karena apabila ada ceramah atau khutbah selalu menyudutkan Ahmadiyah dengan pelabelan kafir atau “sesat”. Warga JAI tidak mau mendengar semua itu. Akhirnya mereka sholat di tempat sendiri. Saat ini, rumah ibadah yang tersedia hanya mushola kecil di tempat pengungsian. Akan tetapi, mereka merasa cukup tenang dalam beribadah. Hal ini ditambahkan oleh Basyiruddin, bahwa pada hakikatnya, orang yang menjalankan ibadah ingin mendapat ketenangan. “Sebenarnya kita rindu, serindu-rindunya untuk berkumpul bersama umat muslim lainnya, tapi apa boleh dikata, pertama begini, rindu sholat bersama orang lain, tapi kenyataannya apakah kita mau menjadi makmum dari imam yang menghujat dan memfitnah Ahmadiyah, kita tidak rela. Kan beribadah mencari ketenangan. Tapi kalau kita diterima, kita siap kok jadi makmum”, paparnya pula. Atas segala realita ini Basyiruddin mengingatkan Sabda Rasulullah, yaitu pada suatu saat sejahat-jahat makhluk di bawah kolong langit adalah ulama. Saat sekali dia bicara, maka akan didengarkan. Warga JAI menyayangkan banyaknya Tuan Guru yang ada di daerah Lombok, tapi mereka hanya berkoar-koar didepan umat Islam bahwa Ahmadiyah sesat. Ketika melabeli Ahmadiyah “sesat”, mereka bukannya berusaha untuk mengarahkan dan membimbing Jemaat Ahmadiyah ke jalan yang lurus, tapi malah menyerukan agar massa menyerang kelompok ini. Hal ini misalnya terjadi ketika Tuan Guru Izzy berceramah dan kemudian terjadilah penyerangan tahun 2006 di Ketapang. Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai pengungsi paling lama di seluruh Indonesia karena sudah terjadi selama 7 tahun. Lebih-lebih mereka mengungsi di tanah kelahiran sendiri, karena semua JAI dari suku Sasak. Hanya mubalig dan penasehat JAI saja yang dari Jawa. Bahkan sempat ada wacana pemindahan warga Ahmadiyah ke suatu pulau terpencil di Gili, atau mencari suaka ke Australia. Namun, saat ini wacana tentang evakuasi atau pemindahan sudah tidak ada lagi. Ketika ditanyakan pada Pimpinan Wilayah JAI di Lombok, Jauzi, tentang hak-hak warga Ahmadiyah secara organisasi, dia melihatnya dari dua hal. Pertama, organisasi hanya bisa ikut campur dalam hal dukungan kerohanian melalui mubalig, dan sebagai fasilitator dalam upaya advokasi dan negosiasi dengan pemerintah atau pihak lain. Kedua, selain hal-hal pertama tadi, organisasi tidak memiliki hak untuk intervensi baik berkaitan dengan masalah relokasi, transmigrasi, dan pemulihan aset. “Itu adalah hak warga, silahkan pemerintah berdialog dengan mereka. mau dijual atau tidak hak mereka. itu kan kekayaan mereka, bukan organisasi”, jelasnya. 80 Terkait dengan kekerasan yang terjadi pada jemaatnya, Jauzi pun menyayangkan sikap pemerintah yang selaiknya harus melindungi warga masyarakatnya. Menurutnya, orang-orang yang berwatak benar, berperilaku lurus, menjadi potensi suatu negara. Hal yang menggelitik ketika orang yang benar, 80 Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat. lurus, dan baik kemudian disingkirkan. Sementara itu, masyarakat yang anarkis, tukang fitnah, dan pembohong dipelihara tanpa adanya penindakan. Jauzi juga melihat bahwa Jemaat Ahmadiyah memiliki konsep “bertahan” bila dilihat dari sisi untuk memperjuangkan kemanusiaan. Bagi mereka, semua itu bagian dari perjuangan. Pada prinsipnya, orang Ahmadiyah secara pribadi tidak bisa dibantu orang lain. Apabila mereka terlihat kuat, itu semata-mata karena kemauan diri sendiri dan keyakinan. “Kita sering mendengar fitnah, bahwa Ahmadiyah dibantu dana dari luar. Padahal kekuatan orang yang dibantu dana tidak itu bisa dilihat. Kalau orang dibantu, itu tidak akan bisa bertahan. Dia ketergantungan”, tambah Jauzi. Dia pun mengakui walaupun nasib warga Ahmadiyah seperti ini, masing-masing dari mereka selalu mengeluarkan “uang pengorbanan” tiap bulannya. Pangkal dari semua ajaran Ahmadiyah adalah berdasarkan pada ajaran Al- Quran dan Hadis. Itulah inti kehidupan bagi JAI, yaitu beragama dengan mencontoh teladan. Di situlah letak kenikmatannya. Bagi mereka, penderitaan adalah kenikmatan yang terselubung. Konsep bertahan Ahmadiyah juga tidak lepas dari salah satu pembinaan akhlak, sehingga muncul tingkat kesabaran yang tidak ada batasnya. Bagi kalangan Ahmadiyah, kesabaran tidak punya batas. Hal itu merupakan indikator bahwa tarbiyah, pendidikan ta’lim, atau dakwah berhasil. Kesabaran yang mereka peroleh tidak lepas dari pembinaan dan penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. 81 Fenomena pengungsian warga JAI ini telah menarik perhatian pihak-pihak luar seperti kalangan wartawan, mahasiswa, peneliti, dan LSM baik dari dalam 81 Ibid…Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat. maupun luar negeri. Sebagian dari mereka mendatangi Transito untuk berdialog. Ada pula yang memberikan sumbangan kebutuhan sehari-hari bagi warga JAI. Yang cukup aktif untuk berkunjung dan membantu advokasi JAI adalah Lembaga Studi Kemanusiaan Lensa.

2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan

Selain pihak yang kontra terhadap Ahmadiyah, ada beberapa elemen yang turut berada di belakang JAI baik secara langsung maupun tidak. Sejak JAI menempati Asrama Transito pada 2006 silam, banyak media yang datang untuk meminta klarifikasi atas isu yang berkembang. Ada pula beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, seperti Lensa Lembaga Studi Kemanusiaan, LARD Lembaga Advokasi Rakyat Demokrasi, Jarik Jaringan Islam Kampus, dan Lembaga Bantuan Hukum LBH Apik, yang melakukan advokasi dan pemberitaan. Berdasarkan keterangan dari para pengungsi JAI, belum ada yang mengatasnamakan diri dari partai politik mendatangi mereka. Pada tahun pertama, dari pemerintah melalui Departemen Sosial cukup rutin untuk datang dan memberikan bantuan. Salah satu lembaga yang cukup aktif memantau perkembangan JAI di Transito adalah Lembaga Studi Kemanusiaan Lensa. Lensa, yang saat itu diwakili oleh Yusuf 82 , menjelaskan keterlibatan mereka dalam mendampingi para pengungsi terutama di ranah sosial dan hukum. Menurut Yusuf, tidak ada LSM yang mau mendampingi JAI yang ada di pengungsian. Para pengacara pun memasang tarif tinggi untuk mau melakukan advokasi. 82 Wawancara dengan Yusuf, salah satu pegiat dan aktivis Pegiat Lembaga Studi Kemanusiaan Lensa pada14 Desember 2010 di kantor Lensa di Mataram. Yang Lensa ketahui saat itu bahwa pemerintah berjanji akan membuat posko di kampung Ketapang, tempat JAI telah terusir akibat penyerangan pada 2006 dan 2010. Akan tetapi, lembaga ini tidak mengetahui pasti untuk apa posko tersebut karena ketika JAI mencoba balik ke Ketapang, mereka tetap saja diserang massa. Isu mereka akan dipindahkan pun bermacam-macam, kadang diisukan ke Pulau Sekotong, sebuah pulau terpencil di Lombok, bahkan hingga Australia. Hal itu disampaikan saat audiensi pada 2006, namun hasilnya nihil. Yusuf memaparkan : “Kami menganggap pemerintah terkesan hanya menyikapi, tapi tidak berpikir menyelesaikan masalah. Katanya mereka mau dipindah ke Sekotong, pulau terpencil. Asetnya mau dibeli, tapi harga yang ditawarkan belum sesuai. Setelah disana, mereka berharap bisa dibuatkan sekolah, tempat yang layak, sehingga tidak dianggap makhluk asing di NTB. Orang Ahmadiyah dianggap penyakit, harus dibuang, ga peduli mau dilempar, mau seperti apa. Itu yang kami tangkap. Katanya sempat disuruh ngungsi ke Australia.” Penanganan 5 tahun pertama di pengungsian Transito tidak berjalan dengan baik. Setidaknya itulah yang dilihat oleh aktivis Lensa. Asrama Transito yang berdekatan lokasinya dengan kantor gubernur tak cukup membuat para pejabat, termasuk gubernur untuk mendatangi pengungsi Ahmadiyah. Hanya saja, gubernur pernah membentuk tim penyelaras yang bertugas untuk mendatangi dan mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut. Namun, hasilnya masih saja nihil. Sebaliknya, tim ini datang dengan mendakwahi para pengungsi yang di mata mereka sudah terlanjur sesat. “Mereka kan aparat, harusnya memperlakukan orang Ahmadiyah setara dengan warga negara lainnya, bukan dilihat dari yang dianut”, sesal Yusuf. Yusuf juga melihat ada keganjilan dalam penyerangan di perumahan BTN Ketapang. Warga JAI memiliki hubungan yang cukup baik dengan warga lainnya di desa Ketapang. Bahkan, pada waktu pembangunan masjid desa, para Ahmadi ikut bergotong royong untuk membangunnya. Saat pengajian bersama, warga JAI kerap membaur dengan warga Desa Ketapang. Akan hal ini, Lensa menduga massa yang merusak rumah-rumah warga Ahmadiyah tahun 2006 dan 2010 silam adalah kelompok yang dikoordinir dari luar desa tersebut. Polisi lagi-lagi melakukan pembiaran akan hal tersebut, bahkan massa semakin berani ketika ada aparat kepolisian. Ketimpangan lain yang dilihat Lensa adalah tidak seimbangnya pemberitaan di media massa yang cenderung menyesatkan Ahmadiyah. Salah satu contohnya adalah berita yang muncul di media dengan tajuk “Warga Ahmadiyah Bersyahadat Ulang”. Asumsinya syahadat Jemaat Ahmadiyah selama ini tidak sama dengan umat Islam lainnya. Sumber yang diambil sebagian besar hanyalah dari pemerintah daerah saja, tanpa melakukan cek ulang kepada sumber-sumber lain. Pemberitaan semacam ini yang turut menambah masalah. Sebuah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh media massa di sana. Produk hukum seperti Surat Keputusan Bersama SKB Tiga Menteri juga dipandang sering menjadi acuan pemerintah daerah dalam memperlakukan Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya, tapi tidak seharusnya mereka juga dilarang untuk tinggal. Artinya SKB tidak mencabut hak warga Ahmadiyah untuk tinggal di Provinsi NTB. Akan tetapi, hingga saat ini status kewarganegaraan mereka bermasalah, karena tidak memiliki KTP. Apabila mereka tidak memiliki KTP maka susah bagi warga JAI untuk mengakses fasilitas lainnya semisal akte kelahiran atau Jamkesmas. Jemaat Ahmadiyah juga kesulitan mendapatkan kepastian hukum. Selain kasus kekerasan yang terjadi sejak 1998 yang seolah diendapkan, penyerangan juga terjadi di Kota Bima, Provinsi NTB. Di sana, rumah perwakilan JAI yang sudah selesai direnovasi diserang lagi. Saat warga JAI melapor ke Polda setempat, keterangan Jemaat Ahmadiyah tidak diterima. Hal ini memperlihatkan bahwa sangat sulit bagi warga Ahmadiyah untuk membuat laporan atas kasus penyerangan tersebut. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut atas kasus tersebut. Atas kesulitan tersebut, Lensa tetap mendampingi warga JAI dan berencana mendorong pemerintah daerah agar memberikan status kewarganegaraan yang jelas bagi warga Ahmadiyah, terlepas dari keyakinan dan ajarannya. Selain itu, mereka juga mendorong upaya hukum atas kekerasan yang ada, agar pelaku ditangkap, dan tidak terjadi pembiaran. Ketika wartawan misalnya menanyakan ke Polda tentang kelanjutan kasus ini, pihak Polda hanya menjawab sedang diselidiki. “Misalnya wartawan tanya pada polda, mereka hanya menjawab sedang diselidiki. Padahal, mungkin pelaku dan polisi saling kenal”, ungkap Yusuf lagi. Dalam melaksanakan misinya, Lensa juga berjejaring dengan lembaga lain, di antaranya The Wahid Institute di Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial LKIS di Yogyakarta. Setelah bergaul dengan pengungsi, para aktivis Lensa melihat keteguhan JAI dalam menghadapi permasalahannya. Kejenuhan dan stress pasti muncul, akan tetapi sikap mereka menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Mereka malah semakin kuat dengan ajarannya di balik cobaan yang ada. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang dikagumi oleh aktivis Lensa karena tidak semua kelompok korban kekerasan memperlihatkan hal yang sama. Meskipun sudah tinggal di Asrama Transito selama 7 tahun terakhir, Jemaat Ahmadiyah di Lombok ternyata tak cukup akrab dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan, nyaris tak bergaul. Padahal Asrama Transito letaknya di tengah pemukiman penduduk Kampung Majeluk, Kota Mataram. Hal ini diungkapkan oleh beberapa penduduk sekitar termasuk penilaian pribadi mereka tentang pengungsi Jemaat Ahmadiyah. Salah satunya adalah Safni. 83 Ia menuturkan bahwa selama 5 tahun pengungsi JAI tinggal di Transito, Safni tidak pernah masuk ke asrama tersebut. Dia juga melihat JAI di Transito—sebagai warga yang menumpang di sana— tidak melakukan sosialisasi dengan warga sekitar. Meskipun begitu, kesan yang dilihat terhadap para pengungsi umumnya baik. Safni menyadari kemungkinan bahwa warga JAI yang mengungsi tersebut minder sehingga tidak pernah mendatangi warga sekitarnya. Apalagi pernah ada kejadian yang membuat mereka tersudut. Begini papar Safni : “Tidak pernah ada acara bersama. Walaupun kegiatan dia, kita tidak pernah dilibatkan. Berapa orang yang meninggal di sana, besok pagi sudah tidak ada, kita tidak tahu kapan acara pemakaman atau penguburannya. Terus waktu itu ada yang mau melaksanakan acara akad nikah di Mushola Asrama Transito, kebetulan anak penjaga malam di Asrama Transito. Namun, Kepala Lingkungan tidak mengizinkan karena tidak mau terjadi sesuatu jika mengadakan acara di sana.” Istri Safni juga berkomentar perihal keberadaan warga JAI di Transito. “Saya tidak pernah bergaul dengan mereka karena lain jalurnya, bukan karena kesibukan. Mereka juga tidak pernah ke masjid atau musholla di sekitar sini. Mereka hanya di gedung itu saja. Mereka juga tidak pernah menghubungi saya tentang kebutuhannya. Makanya saya tidak tahu persis”, ujarnya. Terkait 83 Berdasarkan wawancara dengan Pak Safni, Ketua RT sekaligus warga asli di Majeluk, pada tanggal 22 Juli 2011 di kediamannya.