dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang
paling dasar pada suatu kata Sobur, 2004: 265. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif Keraf, 1994: 29. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional.
Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di
pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama Sobur, 2004: 266.
Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya Sumardjo Saini,
1994: 126. Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh
lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda Sobur, 2004: 266.
Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai
reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah
konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”
merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1999: 22 dalam Sobur, 2004: 71.
3. Paradigmatik dan Sintagmatik
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda
lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini kalimat, buku, kitab melibatkan apa yang disebut aturan
Universitas Sumatera Utara
pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode
tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam
mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan main bahasa
grammar, sintaks jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang bermakna.
Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Sausurre adalah: bahwa di dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan
keharusan antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan
antara topi, tapi, tepi, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan. Jadi, yang pertama-tama
dilihat di dalam strukturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat tanda itu sendiri.
Perbedaan dalam bahasa, menurut Sausurre, hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis
sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah
kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna Piliang, 2012: 302-303.
Gambar 2.3
Poros Paradigma dan Sintagma
Sintagma
Paradigma
Sumber: Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna 2012, hlm. 303
Universitas Sumatera Utara
Menurut semiotika Sausurrean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil
dan pasti Sobur, 2004: 278.
4. Mitos