Pemaknaan Dalam Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project: Analisis Semiotika Terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project

(1)

PEMAKNAAN DALAM VIDEO “TAKOTAK MISKUMIS”

KARYA CAMEO PROJECT

(Analisis Semiotika terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis”

Karya Cameo Project)

SKRIPSI

SHEILA SULTHANA TASWIN

090904037

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN


(2)

PEMAKNAAN DALAM VIDEO “TAKOTAK MISKUMIS”

KARYA CAMEO PROJECT

(Analisis Semiotika terhadap Pesan Video “Takotak Miskumis”

Karya Cameo Project)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

SHEILA SULTHANA TASWIN

090904037

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Sheila Sulthana NIM : 090904037 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Pemaknaan dalam Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project (Analisis Semiotika terhadap Video “Takotak Miskumis” Karya Cameo Project)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ... ( ... ) Penguji : ... ( ... ) Penguji Utama : ... ( ... )

Ditetapkan di : ... Tanggal : ...


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT, karena berkat rahmatNya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.Si selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3) Bapak Syafruddin Pohan, M. Si, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk pengertian dan kebebasan yang Bapak berikan sehingga saya bisa mengeksplorasi materi skripsi dengan leluasa.

4) Bapak/Ibu dosen dan staf pegawai Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah berperan besar dalam terlaksananya perkuliahan selama ini.

5) Ibunda tercinta, Ir. Cut Nasmiati, untuk cinta dan doa yang tak pernah putus. Untuk adik-adik: Imam Syauqani, Nardhini Shadiqa dan Nabila Shabira, yang selalu mengingatkan saya agar tidak mudah stres. Untuk Cut Nismaita dan Cut Nurmailida, bibi yang kehadirannya menentramkan.

6) Keempat sahabat terbaik sekaligus keluarga kedua: Dana Alfi Anjani, Nelly F. Kembaren, Novia Sabrina Ginting, dan Juliawaty. Terima kasih karena membuat saya belajar peduli pada banyak hal.


(5)

7) Sahabat-sahabat di Komunikasi 2009: Atiqa Khaneef Harahap, Khairani Harahap, Suryadi, Tri Ayu Videlia Sari, Efira Novia Kamil, Asri Naufal Pane, Rouli Afrilya Gultom. Terima kasih untuk waktu yang dibagi dan cerita-cerita yang kalian percayakan. 8) Kawan-kawan seperjuangan di Pers Mahasiswa PIJAR. Saya

bersyukur kita belajar dan berkembang bersama sebagai satu tim. 9) Kakanda Jovita Sabarina Sitepu, atas kesediaan dan kesabarannya

dalam mengoreksi dan memberikan masukan berharga untuk skripsi saya. Terima kasih sebesar-besarnya karena telah mendudukkan pola pikir saya.

10) Kakanda Emilia Ramadahi selaku Ketua P2KM periode 2012-2013. Terima kasih untuk bimbingan serta bantuannya selama saya berorganisasi di PIJAR. Kehadiran Kakak selalu menjadi penyejuk yang dinanti.

11) Kawan-kawan yang luar biasa di Sapulidi. Senang dilibatkan dalam hidup dan mimpi-mimpi kalian.

12)Saudara-saudara di dunia virtual: Ismi Pradnya Safeya, Monica Suprantio, Rizka Maulida, Retty Tania, Sanich Iyonni, Wardahtul Jannah, Rina Setiawati. Terima kasih telah menjadi pembaca yang antusias serta sahabat yang suportif.

13) Sahabat-sahabat sedari SMA : Arlia Fachreny, Ade Sandria, Dwi Uthami Putri, Hanny Rizki Erwanda, Shoffa Malini, Hamid Al Khair, Rohim Edy Yuniarto. Kalian selalu istimewa.

14) Rekan-rekan di CEC (Creative English Club) : Abangda Iman Pasu Purba, kak Ade, kak Nidya. Bob Turton dan Louise Turton,

thank you so much for being there.

15) Kakanda Siti Nuraini, untuk pinjaman buku dan terutama, untuk nasihat-nasihatnya yang sangat berharga.

16) Abangda M. Iqbal Damanik, untuk sesi brainstorming dan buku-buku referensinya.


(6)

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang signifikan bagi dunia keilmuan, khususnya Ilmu Komunikasi.

Medan, 30 Januari 2014


(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

_________________________________________________________________

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sheila Sulthana Taswin NIM : 090904037

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP) Universitas : Universitas Sumatera Utara (USU) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

... ... ... ... ... beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : ... Pada Tanggal : ... Yang Menyatakan


(8)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai pemaknaan terhadap video Takotak Miskumis. Takotak Miskumis adalah video karya Cameo Project, sebuah grup pecinta fotografi dan sinematografi yang berbasis di Jakarta. Skripsi ini meneliti konstruksi makna serta mitos yang ditampilkan di sepanjang video. Demi mengungkap kedua hal tersebut, peneliti menggunakan semiotika signifikasi Roland Barthes sebagai instrumen analisa data. 27 scene dibagi menjadi 83 gambar kemudian dianalisis menggunakan analisis leksia dan lima kode pembacaan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan aplikasi paradigma konstruktivis kritis. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “bagaimanakah pemaknaan dan apa mitos yang dapat diungkap dari video Takotak Miskumis”, terungkap bahwa Cameo Project berpihak pada Joko Widodo, menggambarkannya sebagai kandidat yang bijak dan pantas dipilih. Sebaliknya, Fauzi Bowo digambarkan sebagai pemimpin yang korup sehingga tidak pantas dipilih. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kombinasi penggunaan Youtube dan persuasi yang efektif berpengaruh dalam menentukan ketokohan serta mengkonstruksi wacana terhadap tokoh-tokoh politik.

Kata kunci :

Video, Semiotika, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Cameo Project, Youtube.

ABSTRACT

This thesis examines the signification of Joko Widodo and Fauzi Bowo in Takotak Miskumis video. Takotak Miskumis is made by Cameo Project, a group based in Jakarta, which formed by photography and cinematography enthusiasts. This thesis investigates the construction of meaning and myths portrayed throughout the video. In order to arrive at said objectives, I utilize signification framework of Roland Barthes’s semiotics as data analysizing instrument. 27 scenes are divided into 83 shots then analyzed using lexia analysis and five codes of reading. This thesis applies critical constructivism paradigm, thus categorized as qualitative research in nature. In accordance with designated inquiry, namely “how do signification work and what kind of myths revealed in Takotak Miskumis video?” I conclude that Cameo Project’s established portrayal results in Joko Widodo’s favor, depicting him as the wise candidate worthy of Jakarta’s citizen approval. In stark contrast, Fauzi Bowo warrants the image of deceitful, unworthy candidate for governor election. Conclusively, combined usage of Youtube as user-generated content site and effective persuation are influencial on determining mass perception as well as constructing discourse about political figures.

Keywords:


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... . 1

1.2 Fokus Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian ... 8

2.2 Kajian Pustaka ... 10

2.3 Model Teoritis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 29

3.2 Objek Penelitian ... 29

3.3 Subjek Penelitian ... 30

3.4 Kerangka Analisis ... 30

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.6 Teknik Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 34


(10)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 249

5.2 Saran ... 250

5.3 Implikasi Teoritis ... 251

5.4 Praktis ... 251 DAFTAR REFERENSI


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Peta Tanda Roland Barthes 15 2.2 Elemen-Elemen Makna Sausurre 18 2.3 Poros Paradigma dan Sintagma 21 2.4 Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna 28

dalam Video Takotak Miskumis Karya Cameo Project

4.1 Gambar 1 36

4.2 Gambar 2 39

4.3 Gambar 3 41

4.4 Gambar 4 45

4.5 Gambar 5 48

4.6 Gambar 6 53

4.7 Gambar 7 56

4.8 Gambar 8 59

4.9 Gambar 9 61

4.10 Gambar 10 63

4.11 Gambar 11 65

4.12 Gambar 12 67

4.13 Gambar 13 70

4.14 Gambar 14 70

4.15 Gambar 15 73

4.16 Gambar 16 79

4.17 Gambar 17 85

4.18 Gambar 18 86

4.19 Gambar 19 89

4.20 Gambar 20 92

4.21 Gambar 21 96

4.22 Gambar 22 99

4.23 Gambar 23 102

4.24 Gambar 24 102

4.25 Gambar 25 103

4.26 Gambar 26 103

4.27 Gambar 27 106

4.28 Gambar 28 106

4.29 Gambar 29 108

4.30 Gambar 30 108

4.31 Gambar 31 110

4.32 Gambar 32 111

4.33 Gambar 33 111

4.34 Gambar 34 112

4.35 Gambar 35 115

4.36 Gambar 36 115

4.37 Gambar 37 123


(12)

4.39 Gambar 39 130

4.40 Gambar 40 134

4.41 Gambar 41 135

4.42 Gambar 42 141

4.43 Gambar 43 145

4.44 Gambar 44 148

4.45 Gambar 45 152

4.46 Gambar 46 154

4.47 Gambar 47 155

4.48 Gambar 48 158

4.49 Gambar 49 158

4.50 Gambar 50 159

4.51 Gambar 51 162

4.52 Gambar 52 164

4.53 Gambar 53 168

4.54 Gambar 54 171

4.55 Gambar 55 171

4.56 Gambar 56 174

4.57 Gambar 57 176

4.58 Gambar 58 180

4.59 Gambar 59 180

4.60 Gambar 60 183

4.61 Gambar 61 186

4.62 Gambar 62 190

4.63 Gambar 63 192

4.64 Gambar 64 195

4.65 Gambar 65 198

4.66 Gambar 66 203

4.67 Gambar 67 207 4.68 Gambar 68 210

4.69 Gambar 69 212

4.70 Gambar 70 214

4.71 Gambar 71 214

4.72 Gambar 72 216

4.73 Gambar 73 219

4.74 Gambar 74 219

4.75 Gambar 75 223

4.76 Gambar 76 226

4.77 Gambar 77 226

4.78 Gambar 78 238

4.79 Gambar 79 231

4.80 Gambar 80 234

4.81 Gambar 81 234

4.82 Gambar 82 237

4.83 Gambar 83 240


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Teknik Pengambilan Gambar 26-27 4.1 Prestasi Kepemimpinan Foke dan Jokowi 170


(14)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai pemaknaan terhadap video Takotak Miskumis. Takotak Miskumis adalah video karya Cameo Project, sebuah grup pecinta fotografi dan sinematografi yang berbasis di Jakarta. Skripsi ini meneliti konstruksi makna serta mitos yang ditampilkan di sepanjang video. Demi mengungkap kedua hal tersebut, peneliti menggunakan semiotika signifikasi Roland Barthes sebagai instrumen analisa data. 27 scene dibagi menjadi 83 gambar kemudian dianalisis menggunakan analisis leksia dan lima kode pembacaan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan aplikasi paradigma konstruktivis kritis. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “bagaimanakah pemaknaan dan apa mitos yang dapat diungkap dari video Takotak Miskumis”, terungkap bahwa Cameo Project berpihak pada Joko Widodo, menggambarkannya sebagai kandidat yang bijak dan pantas dipilih. Sebaliknya, Fauzi Bowo digambarkan sebagai pemimpin yang korup sehingga tidak pantas dipilih. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kombinasi penggunaan Youtube dan persuasi yang efektif berpengaruh dalam menentukan ketokohan serta mengkonstruksi wacana terhadap tokoh-tokoh politik.

Kata kunci :

Video, Semiotika, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Cameo Project, Youtube.

ABSTRACT

This thesis examines the signification of Joko Widodo and Fauzi Bowo in Takotak Miskumis video. Takotak Miskumis is made by Cameo Project, a group based in Jakarta, which formed by photography and cinematography enthusiasts. This thesis investigates the construction of meaning and myths portrayed throughout the video. In order to arrive at said objectives, I utilize signification framework of Roland Barthes’s semiotics as data analysizing instrument. 27 scenes are divided into 83 shots then analyzed using lexia analysis and five codes of reading. This thesis applies critical constructivism paradigm, thus categorized as qualitative research in nature. In accordance with designated inquiry, namely “how do signification work and what kind of myths revealed in Takotak Miskumis video?” I conclude that Cameo Project’s established portrayal results in Joko Widodo’s favor, depicting him as the wise candidate worthy of Jakarta’s citizen approval. In stark contrast, Fauzi Bowo warrants the image of deceitful, unworthy candidate for governor election. Conclusively, combined usage of Youtube as user-generated content site and effective persuation are influencial on determining mass perception as well as constructing discourse about political figures.

Keywords:


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

“Broadcast Yourself” adalah slogan yang digunakan Youtube dalam menjalankan fungsinya. Situs yang didirikan oleh Stev Chen, Chad Hurley, dan Jared Karim pada 14 Februari 2005 ini berbasis di San Bruno, California. Youtube bisa diakses dalam lima puluh empat versi bahasa dari seluruh dunia. Youtube adalah situs berkarakter user generated content. Artinya, isi dari situs itu sendiri disediakan oleh para anggotanya. Lewat Youtube, pengguna internet dari seluruh dunia bisa mengakses, mengunggah, mengunduh berbagai macam video, dari mulai produksi rumahan, iklan, klip musik, tayangan televisi, sampai film. Penggunaannya yang praktis membuat Youtube populer di semua lapisan pengguna, dari mulai individu, kelompok masyarakat, hingga institusi. Sejak dibeli oleh Google pada November 2006, Youtube beroperasi sebagai subsider Google.

Selama beberapa tahun terakhir, perkembangan jangkauan internet dan konvergensi teknologi begitu pesat. Akses yang intens terhadap media sosial menjadi kebutuhan sekaligus gaya hidup. Akibatnya, tidak sedikit pihak yang memanfaatkan Youtube sebagai media untuk mempropagandakan ide-ide mereka. Selain karena mudah dan murah, aksesibilitas Youtube semakin meningkat.

Streaming video kini tak hanya bisa dinikmati lewat komputer pribadi saja, melainkan juga lewat komputer jinjing (laptop), ponsel pintar (smartphone), dan

tablet. Komunikator berkesempatan memiliki khalayak sasaran yang lebih besar. Kampanye politik melalui media pun menjadi opsi yang krusial bagi tokoh-tokoh politik yang hendak membidik suara calon pemilih.

Beberapa pihak pun mulai berspekulasi dan mempelajari kemungkinan Youtube mengubah diskursus politik dan praktik politik pemilu. Heldman (2007) menyebutkan beberapa dampak potensial Youtube terhadap politik pemilu. Pertama, dia berspekulasi bahwa Youtube memungkinkan kandidat yang kurang kuat—dengan sumber daya ekonomi dan sosial yang relatif lebih kecil—mampu bersaing dengan kandidat yang disokong oleh pendanaan yang lebih besar. Internet, dan Youtube khususnya, memungkinkan peserta kampanye untuk


(16)

menyebarkan pesan dalam bentuk iklan politik secara gratis (Ridout, Fowler, & Branstetter, 2010: 4).

Heldman menyatakan bahwa berkampanye di Youtube dapat menarik perhatian segmen dari populasi yang biasanya tidak terlibat di dalam politik, khususnya kaum muda, yang tertarik kepada format online (Ridout, Fowler, & Branstetter, 2010: 4).

Salah satu bukti kesuksesan Youtube dalam kampanye politik adalah video musik “Yes We Can” karya personil grup Black Eyed Peas, will.i.am. “Yes We Can” adalah bentuk kolaborasi musisi, penyanyi, dan aktor-aktor tenar Amerika untuk mendukung naiknya Obama sebagai presiden. Uniknya, walaupun liriknya murni petikan dari pidato konsensi kepresidenan Obama di New Hampshire, tim kampanye Obama sendiri tidak terlibat dalam proyek ini. Dirilis perdana pada 2 Februari 2008, video musik ini dilihat lebih dari sepuluh juta kali pada bulan pertama. Pada 22 Juli 2008, “Yes We Can” sudah dilihat lebih dari dua puluh satu juta kali. Prestasi itu membuat video ini dianugrahi penghargaan Daytime Emmy Award.

Prinsip dasar dari politik Youtube adalah memberi jalan pada orang-orang baru untuk memasuki proses politis. Secara ringkas, Klotz berkata, “Warga diberdayakan oleh demokratisasi dari pengeditan video, produksi, dan distribusi” (2010: 146). Agar warga menjadi berpengaruh, video-video ini harus “tersebar denga pesat”, yang berarti mereka “menjadi amat populer saat mereka disebarkan dari satu orang ke orang lainnya lewat email, pesan instan, dan situs berbagi media (Wallsten, 2010: 164) (Ridout, Fowler, & Branstetter, 2010: 5).

Kampanye lewat media sosial seperti Youtube tidak hanya terjadi di luar negeri. Indonesia menjadi saksi suksesnya kampanye demikian pada pemilihan umum gubernur DKI Jakarta. Tahun 2012, animo masyarakat terhadap pesta demokrasi di ibukota mencapai puncaknya. Terdapat enam calon orang nomor satu DKI yang bersaing meraup suara. Mereka adalah Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli, Hendardji Sopenadji – Ahmad Riza Patria, Joko Widodo – Basuki Tjahja Purnama, Hidayat Nur Wahid – Didik J. Rachbini, Faisal Batubara – Biem Benjamin, dan Alex Noerdin – Nono Sampono.


(17)

Perhitungan cepat (quick count) Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pemilihan gubernur putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 lalu menghasilkan Foke-Nara (34,42%), Hendardji-Riza (1,85%), Jokowi-Basuki (42,85%), Hidayat-Didik (11,80%), Faisal-Biem (4,75%), dan Alex-Nono (4,41%). Mengingat tak ada pasangan kandidat yang mencapai hasil suara lebih dari lima puluh persen, maka pemilihan putaran kedua pun diadakan pada 20 September 2012. Hasil tersebut menyisakan dua kubu yang nyata bersaing sengit dalam memperebutkan suara warga. Rivalitas kubu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama pun berlanjut. Ranah dunia siber menawarkan banyak opsi demi menarik simpati publik. Pada momentum inilah, Youtube memainkan perannya.

Di Youtube, ada beberapa video relawan Jokowi-Basuki yang cukup terkenal, seperti video “Jokowi-Basuki Parodi Curahan Hati” milik akun Andre Winardi dan “Film Dokumenter Jakarta Baru” milik akun Sekilas Info. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa akun relawan Jokowi-Basuki yang paling fenomenal adalah Cameo Project.

Cameo Project adalah sebuah grup di Jakarta yang berminat di bidang fotografi dan sinematografi. Anggotanya terdiri kaum muda dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam. Cameo Project bergabung di Youtube pada tanggal 12 Agustus 2012. Proyek mereka terbagi atas empat kategori: Cameo TV, Cameo Music, Shortmovies (film pendek), dan Clips. Sampai saat ini, akun Cameo Project sudah mengunggah dua puluh dua video di Youtube. Tema video yang mereka buat beragam, mulai dari parodi, politik, hingga fenomena sosial.

Gebrakan mereka di dunia siber ditandai dengan diunggahnya video "Jokowi dan Basuki - What Makes You Beautiful by One Direction [Parody]" pada 26 Agustus 2012. Video ini menyoroti masalah-masalah yang kronis di Jakarta, seperti kemacetan, birokrasi, kemiskinan, suap, dan korupsi anggaran pembangunan. Empat tokoh utama dalam video ini menyerukan bahwa mereka membutuhkan Jokowi dan Basuki untuk memimpin Jakarta. Berkat kepekaan mereka dalam menangkap fenomena sosial, video ini sudah dilihat lebih dari 1,7 juta kali.


(18)

Ada cerita tersendiri di balik video parodi satu ini. Lee, salah satu anggota Cameo Project, mengaku bahwa Jokowi dan Basuki tak tahu soal pembuatan dua video itu. Namun, mereka telah meminta izin terlebih dulu kepada salah satu tim sukses pasangan tersebut. Cameo Project tak mau karya mereka dianggap kampanye terselubung. Setelah mendapat izin, barulah video tersebut diunggah ke Youtube.

Sepak terjang Cameo Project tidak berhenti sampai di situ. Selesai dengan video pertama, mereka kembali dengan video berjudul “Takotak Miskumis”. Video berkategori nonprofits dan activism ini diunggah pada 11 September 2012 dan telah dilihat lebih dari 750 ribu kali. Dua puluh tujuh pemain terlibat di video ini, termasuk empat pemain utama yang telah lebih dahulu tampil di video parodi berlatar lagu What Makes You Beautiful milik One Direction. Berbeda dengan video pendahulunya, “Takotak Miskumis” memiliki lagu orisinal yang diaransir oleh Ronald Steven. Liriknya ditangani oleh Yosi Mokalu dari Project Pop, yang hadir sebagai special appearance.

Takotak Miskumis menampilkan sekelompok orang yang akan berpartisipasi pada Pilkada Jakarta putaran kedua. Saat mereka tengah menyiapkan TPS dan kotak suara, muncullah Yosi Mokalu dari salah satu kotak suara. Mulailah personel Project Pop ini bernyanyi bahwa ia tidak ingin salah memilih calon gubernur. Warga di sekitar TPS pun turut bernyanyi: Sebentar lagi kita harus memilih, Foke atau Jokowi jadi gubernur DKI. Tak kotak kotak kotak, miskumis kumis kumis. Pilih pemimpin yang bijak, jangan yang tukang bokis sembari bergaya dengan atribut kedua calon, yaitu kemeja kotak-kotak dan kumis.

Kubu Jokowi-Basuki dan Foke-Nara memang memiliki janji politik yang mereka representasikan lewat atribut fisik masing-masing. Namun, Cameo Project berkata bahwa “Takotak Miskumis” bukanlah video kampanye. Video ini dibuat agar Pemilukada DKI tahap dua berjalan dengan jujur, demokratis, dan efektif. Lewat karya ini, Cameo Project mengajak warga Jakarta untuk memilih pemimpin terbaik untuk lima tahun ke depan. Mereka berharap bahwa siapa pun gubernur yang terpilih, warga Jakarta akan selalu bersama.

Toto yang merupakan personil Cameo Project berkata bahwa ide untuk video ini muncul setelah melihat statistik golput di Pemilukada DKI Jakarta tahap satu


(19)

yang lebih dari tiga puluh persen. Dia ingin mengemas pesan-pesan politik dalam bentuk hiburan, agar penontonnya tidak bosan. Martin, salah satu talent dalam video "Jokowi dan Basuki" dan “Takotak Miskumis” menambahkan bahwa tujuan Cameo Project adalah ‘mendukung Pemilukada’. Mereka bermaksud membuat Pemilukada yang tadinya kelihatan serius dan tegang menjadi lebih santai. Rekannya sesama talent, Moreno, berkata bahwa ‘mereka ingin ada perubahan di Jakarta, juga untuk Indonesia. Perubahan itu seharusnya dimulai dari kaum muda. Karya-karya mereka diharapkan membuat kaum muda lebih sadar terhadap dunia politik’.

Fiksi dan simbol, terlepas dari nilai-nilai mereka terhadap keberadaan golongan masyarakat, adalah sangat penting terhadap komunikasi manusia. Hampir setiap indivdu berhubungan dengan suatu kejadian yang jauh dari penglihatan dan sulit untuk digenggam. Lippmann (1992) mengamati, ‘“Satu-satunya perasaan yang dapat dimiliki oleh seseorang tentang suatu even yang belum pernah dia alami adalah perasaan yang ditimbulkan oleh kesan mental dari peristiwa tersebut.”’

Hasil Pemilukada DKI Jakarta putaran dua diumumkan pada Sabtu, 29 September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi-Basuki meraih 2.472.130 (53,82%) suara, sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara, Ketua KPUD DKI Jakarta Dahliah Umar menyatakan pasangan nomor urut 3 meraih suara terbanyak dalam putaran kedua.

Youtube ternyata merupakan channel yang sangat potensial untuk berkampanye kreatif. Kampanye tak hanya tentang mobilisasi massa, orasi di tempat terbuka, lalu memaparkan visi-misi. Kampanye kreatif di zaman modern— terlepas dari apa pun kontennya—adalah tentang memanfaatkan media massa untuk pengenalan, pembentukan, dan penanaman citra. Komunikator yang baik mampu menggunakan media sosial untuk menarik simpati khalayak yang kini lebih canggih, kritis, dinamis, dan mobile.

Elaborasi tersebut tepat untuk menggambarkan efek video “Takotak Miskumis”. Pertama, video tersebut diunggah di Youtube, situs berbagi video


(20)

terpopuler di dunia sekaligus salah satu situs yang paling banyak diakses di Indonesia. Kedua, penempatan tersebut mengakibatkan terbukanya akses ke segala lapisan masyarakat. Komentar-komentar yang masuk menunjukkan bahwa penontonnya terdiri atas pelajar, mahasiswa, pekerja; orang-orang dengan latar belakang, etnis, serta profesi yang beragam—dan domisili mereka tidak hanya dari Jakarta. Ketiga, “Takotak Miskumis” mengangkat isu Pemilukada yang aktual, relevan, serta menarik bagi warga Jakarta saat itu. Keempat, “Takotak Miskumis” sudah didahului oleh video parodi yang sukses membangkitkan antusiasme khalayak terhadap Pemilukada DKI Jakarta.

Nama Cameo Project melambung sehingga karya mereka tentang isu yang sama ditunggu publik. Kelima, berkat gaung Cameo Project di dunia siber, media-media online dan beberapa stasiun televisi turut meliput mereka. Tentu saja hal ini membuka ekspos yang lebih besar terhadap video “Takotak Miskumis” sendiri, terutama menjelang Pemilukada DKI Jakarta putaran dua.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti video “Takotak Miskumis” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual (Piliang, 2012: 337).

Video “Takotak Miskumis” merupakan satu produk komunikasi visual. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009: xi).

Cameo Project merangkai fragmen demi fragmen isu maupun berita tentang Jokowi-Basuki dan Foke-Nara hingga menjadi serangkaian cerita di dalam video. Cerita inilah yang berfungsi sebagai ‘realita’ bagi para penontonnya. Realita yang


(21)

dihadirkan di video “Takotak Miskumis” tentunya memiliki konstruksi makna tersendiri. Pemaknaan terhadap pesan video “Takotak Miskumis” itulah yang menjadi fokus dalam penelitian ini.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut:

1. “Bagaimanakah konstruksi pemaknaan yang ada di dalam video Takotak Miskumis karya Cameo Project?

2. “Mitos seperti apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam video Takotak Miskumis karya Cameo Project?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis konstruksi makna demi menemukan pesan di dalam video “Takotak Miskumis” karya Cameo Project di Youtube.

2. Memetakan dan mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam video “Takotak Miskumis”.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika—khususnya semiotika signifikasi Roland Barthes—dengan paradigma konstruktivis kritis. Integrasi kajian semiotika dan paradigma konstruktivis kritis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu Komunikasi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami pemaknaan di dalam kampanye kreatif, khususnya melalui video “Takotak Miskumis”, agar konten bisa dimaknai tidak hanya dari muatan pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tersembunyi (latent content).

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam perkembangan kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya


(22)

semiotika. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan refrerensi bila ada penelitian sejenis di kemudian hari.


(23)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (world view) yang menentukan bagi pengamat sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4). Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir.

Paradigma adalah basis kepercayaan atau metafisika utama dari sistem bepikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodelogi. Paradigama dalam pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah (Salim, 2006: 96).

Macam paradigma itu sendiri tertnyata bervariasi. Guba dan Lincoln (1994) menyebutkan empat macam paradigma, yaitu positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme kritis (critical constructivism). Paradigma ini adalah penggabungan dari pandangan konstruktivis dengan pandangan kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School.

Menurut Ardianto dan Q-Anees (2007) paradigma konstruktivis memandang bahwa semesta secara epistemologi sebagai hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Bagi


(24)

kaum konstruktivisis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.

Konsekuensinya, kaum kontruktivis menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu.

Sedangkan paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001: 6).

Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut: (1) teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi; (2) dalam praksis penelitian (dari pemilihan masalah untuk penelitian, instrumen dan metode analisis yang digunakan, interpretasi, kesimpulan dan rekomenasi) dibuat sangat bergantung pada nilai-nilai peneliti; (3) standar penilaian ilmuwan bukan ditentukan oleh prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan.

Konstruktivis kritis mengkombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstrutivis kritis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216).


(25)

Istilah konstruktivisme kritis—yang juga bisa disebut kontruksionisme kritis— pertama kali dipublikasikan dalam studi komunikasi tahun 1999 di buku

Questioning Technology karangan filsuf teknologi Amerika Andrew Feenberg. Kemudian, Maria Bakardijieva memunculkan istilah tersebut secara independen di disertasi doktoral komunikasinya tahun 2002 (dia juga meraih gelar PhD di Sosiologi), yang lalu menjadi awal diterbitkannya buku terkenal The Internet in Everyday Life, yang terbit tahun 2005. Kini, Feenberg dan Bakardjieva adalah tokoh-tokoh terpenting dalam tradisi ini (LittleJohn & Foss, 2009: 216).

Keduanya sepaham dengan pendekatan kontruktivis kritis pendidikan yang dikembangkan oleh sekolah berpikir kritis dalam pandangan terhadap perubahan dan berfokus pada gagasan konstruksi untuk menjelaskan proses pemahaman. Namun, para sarjana ini berangkat dari landasan bersama ini dalam pendekatan mereka terhadap kritik. Dari perspektif mereka, konstruktivisme kritis mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis, yaitu, kontribusi filsuf Jerman, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas (LittleJohn & Foss, 2009: 216).

Menurut Feenberg, pendekatan kontruktivis kritis mengkritisi pandangan deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruhi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009:216).

2.2Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

Secara etimologis, kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion


(26)

“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni, logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001: 49).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu dan metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).

Umberto Eco (1979: 4-5) mengatakan bahwa semiotika adalah “ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh.” Lebih lanjut lagi, menurutnya “semiotika menaruh perhatian apa pun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran...” (Berger, 200a: 11-12).

Fiske (dalam Bungin, 2005: 67) mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu:

a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.


(27)

Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda di lihat sebagai bagaian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut dengan kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30). Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasa menjadi rujukan para ahli (Berger, 2000b: 11-22). Pertama, adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Sausurre (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan (Sobur, 2004: 31).

Bagi Sausurre, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer

(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Sausurre, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sausurre, 1996, dalam Berger 2000b:11).

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Perce (1839-1914). Pierce (dalam Berger, 2000b: 14) menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional


(28)

dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya,

indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. Menurut Pierce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebagai simbol (Sobur, 2004: 35).

Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi tebal” (thick descriptions) yang berstruktur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisional—peneliti lain yang mempelajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda (Stokes, 2006: 78).

Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987; 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi makna (Stokes, 2006: 78).

2.2.1.1 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual.

Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem


(29)

semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata (vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni.

Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai muatan signifikasi, yaitu muatan makna.

Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual. Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web design, cd interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser,

copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).

Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media, pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi menekankan aspek produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media, ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.

2.2.1.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Sausurrean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

Karakteristik semiotika Barthes adalah adanya dua tataran sistem pemaknaan. Dalam Mythologies, sistem pemaknaan tataran pertama disebut denotatif, sedangkan sistem pemaknaan tataran kedua disebut konotatif.

Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara


(30)

penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ‘konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

1. signifier (Penanda)

2. signified (Petanda) 3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz, Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York: Totem Books, hlm. 51

Dari peta tanda Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda denotatif menjadi penanda konotatif (4). Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu


(31)

(Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.

Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001: 28). Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66) :

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan—baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan.

4. Kode kultural atau gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu.


(32)

5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah:

1. Penanda dan Petanda

Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca . Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Sausurre, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:


(33)

Gambar 2.2

Elemen-Elemen Makna Sausurre

Sign

Composed of

signification

Signifier plus signified

external

reality of meaning

Sumber: Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier) sedangkan konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap (Sobur, 2004: 70).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.


(34)

Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu.

Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, "menjadi tanda" dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. (Lyons, dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda (Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridalaksana (2001: 40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai "makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif."

Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai "aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)". Dengan kata lain, "makna konotatif merupakan makna leksikal + X" (Sobur, 2004: 263).

Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional (Keraf, 1994: 28). Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian


(35)

dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata (Sobur, 2004: 265).

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994: 29). Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266).

Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini, 1994: 126). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).

Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999: 22 dalam Sobur, 2004: 71).

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aturan


(36)

pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan main bahasa (grammar, sintaks) jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang bermakna.

Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Sausurre adalah: bahwa di dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan keharusan antara kata topi dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup kepala kita: apa yang memungkinkan terjadinya hubungan adalah perbedaan antara topi, tapi, tepi, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan mereka berada di dalam relasi perbedaan. Jadi, yang pertama-tama dilihat di dalam strukturalisme bahasa adalah relasi, bukan hakikat tanda itu sendiri.

Perbedaan dalam bahasa, menurut Sausurre, hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigma dan aksis sintagma. Paradigma adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu unit dari pilihan tersebut dapat dipilih. Sintagma adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Piliang, 2012: 302-303).

Gambar 2.3

Poros Paradigma dan Sintagma

Sintagma

Paradigma

Sumber: Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna (2012), hlm. 303


(37)

Menurut semiotika Sausurrean, apa pun bentuk pertukaran tanda, ia harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti (Sobur, 2004: 278).

4. Mitos

Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari "perlindungan dalam dunia khayal". Sebaliknya dalam dunia politik, mitos kerap dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, yaitu membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan "melegalisasikan" sikap dan jalan anti-sosial. Tujuan dari suatu mitos politi adalah selalu kekuasaan dalam negara, karena dianggap bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220). Demikianlah mitos mudah menjadi "alat kekuasaan" yang sukar dibuktikan kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa "lebih ke depan" lagi (Sobur, 2004: 223-224).

Mitos dalam pandangan Lappe & Collins (Rahardjo, 1996: 192) dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan dengan fakta," sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe & Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada umumnya. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu adalah jenis "mitos modern". Dalam bukunya Mythology (1991, dikutip Rahardjo, 1996: 192), Fernand Comte memang membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olah raga, sinema, televisi dan pers.

Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang hampir mirip dengan sesuatu yang hampir mirip dengan "representasi kolektif" di dalam sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Barthes mengartikan mitos sebagai "cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan" (Sudibyo, 2001: 245). Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka, mitos bukanlah


(38)

objek. Mitos bukan pula konsep atau suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun suatu gagasan, melainkan cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan fotografi, iklan, dan komik (Sobur, 2004:224).

2.2.2 Video

Video sebenarnya berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk., 1969: 926). Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 1119) mengartikan video dengan: 1) bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar hidup untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Senada dengan itu, Peter Salim dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary (1996: 2230) memaknainya dengan sesuatu yang berkenaan dengan penerimaan dan pemancaran gambar. Tidak jauh berbeda dengan dua definisi tersebut, Smaldino (2008: 374) mengartikannya dengan “the storage of visuals and their display on television-type screen” (penyimpanan/perekaman gambar dan penayangannya pada layar televisi) (Amien & Lamere, 2010).

Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media audio-visual atau media pandang-dengar (Setyosari & Sihkabuden, 2005: 117). Media audio-visual dapat dibagi menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua, media audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan peralatan visual lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua (Munadi, 2008: 113).

Perkembangan video sebagai media komunikasi tak lepas dari eksistensi fotografi. 'Foto bergerak' pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadward Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Mubridge mengambil serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang tersambung pada kamera shutter. Prosedur Mubridge mempengaruhi para penemu


(39)

di pelbagai negara dalam mengembangkan perekam citra bergerak. Salah satu dari mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennua ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas Lumiere (1864-1948) memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris.

Dengan demikian lahirlah teknologi dan seni gambar bergerak (motion picture) yang mungkin merupakan sebentuk seni paling berpengaruh dalam abad yang lalu. Jika saat ini kita hidup dalam dunia yang 'termediasi-secara-visual'— sebuah dunia tempat citra visual membentuk gaya hidup dan mengajarkan pelbagai nilai perilaku, kebiasaan dan gaya hidup—kita berhutang pertama-tama dan yang terutama pada film. Media berbasis penglihatan dan yang diperkuat oleh penglihatan menjadi begitu umum dan kita hampir tidak menyadari betapa mereka menjadi demikian intrinsik di dalam tatanan signifikasi modern (Danesi, 2010: 133).

Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasa yang berbeda (Sardar & Loon, 2001: 156). Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya.

Berbeda dari permasalahan “tanda” bahasa di mana hubungan bersifat arbitrer (semena) antara tanda (demikian pun antara significant dan signifie) dan benda (choses), penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan “motivasi” atau “beralasan” (motivation) dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan


(40)

penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih, kata Christian Metz, “beralasan” dan tidak pernah semena. Hubungan motovasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif/auditif antara penanda/petanda dan referen. Perlu diketahui bahwa analogi ini hanyalah salah satu bentuk dari motivasi karena konotasi sinematografis juga termasuk di dalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif bukanlah prasyarat keberadaannya, Metz menggarisbawahi tesis tentang polisemi motivasi dari Eric Buyyens dengan mengatakan bahwa konotasi sinematografis bersifat simbolis: petanda memotivasi penanda, tetapi melampauinya (Masak, 2000: 283 dalam Sobur, 2004: 13).

2.2.2.1 Teknik dalam Pengambilan Gambar

Tabel 2.1

Teknik Pengambilan Gambar

Pengambilan Gambar

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas


(41)

Tabel 2.1 (sambungan)

Low Didominasi, dikuasai, dan kurang otoritas

Fokus

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

Soft focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting

Pencahayaan

High Key Riang, cerah

Low Key Suram, muram

High Contrast Dramatikal, teatrikal

Low Contrast Realistik dan terkesan dokumenter


(42)

2.3 Model Teoritik

Gambar 2.4

Bagan Model Teoritik Konstruksi Makna dalam Video Takotak Miskumis Karya Cameo Project

Objek Penelitian

Scene dan lirik lagu pada Video Takotak Miskumis karya Cameo Project

Semiotika Roland Barthes -Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan -Denotasi dan Konotasi

-Mitos

Level Analisis -Teks (gambar/scene, lirik lagu) -Konteks (sosial, budaya, sejarah, politik)

-Pemaknaan dalam video -Mitos


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu. Metode ini dianggap berdasarkan interpretatif (Stokes, 2006:15). Lebih spesifik lagi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif berparadigma kontruktivis kritis. Ini berarti penelitian ini bermaksud melihat bagaimana sebenarnya ‘penafsiran’ terhadap realita dikonstruksikan oleh subjek, yang kemudian menghasilkan ‘kebenaran’ yang plural dan multi-tafsir. Sisi kritis membongkar ideologi apa yang ditanamkan dalam suatu mitos, serta bagaimana mitos itu dibangun sehingga seakan penerima pesan menerimanya sebagai kebenaran yang ‘apa adanya’.

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika sebagai alatnya. Sebab semiotika merupakan “suatu pendekatan teoritis yang sekaligus berorientasi kepada kode (sistem) dan pesan (tanda-tanda dan maknanya), tanpa mengabaikan konteks dan pihak pembaca (audiens)” (Budiman, 2003:12). Adapun spesifikasi semiotika yang digunakan adalah semiotika signifikasi Roland Barthes. Kerangka analisis Roland Barthes memiliki dua patokan, yaitu two order of signification dan lima kode pembacaan.

Barthes melihat sebuah teks dalam dimensi sosial di mana teks itu berada. Artinya, Barthes menghubungkan sebuah teks dengan struktur makro (mitos, ideologi) sebuah masyarakat untuk melihat “relasi antara sebuah teks (desain) dengan struktur sosiopolitik yang lebih luas (mitos, tabu, ideologi, moralitas) (Wardani, 2006:13). Pada penelitian ini “pembacaan” terhadap video “Takotak Miskumis” oleh peneliti akan dihubungkan dengan konteks sosialnya, seperti konteks sosial bahasa verbal maupun visualnya.

Itulah cara untuk mencari mitos dan ideologi apa dan pemaknaan terhadap pluralisme seperti apa yang hidup di dalamnya.


(44)

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah video “Takotak Miskumis” karya Cameo Project. Terdapat berbagai scene yang diputar beserta lagu Takotak Miskumis. Lirik lagu disertakan di bagian bawah frame video. Scene demi scene silih berganti menampilkan empat orang anggota Cameo Project mengenakan kemeja kotak-kotak dan kumis. Tampak Yosi Mokalu menjadi pemimpin dari grup kecil tersebut. Terdapat juga scene parodi Jokowi-Ahok dan Foke-Nara yang berasal dari foto yang telah dimodifikasi. Di video, tampak bibir Jokowi dan Basuki bergerak-gerak mengucapkan “Jokowi, Ahok-Ahok” yang diikuti oleh scene Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli yang mengucapkan “Fokelah kalau begitu”. Slogan yang sekilas terlihat santai itu sebenarnya mengandung makna yang kuat—seolah-olah kubu Fauzi Bowo pun, secara implisit—mendukung kemenangan pasangan Jokowi-Basuki.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah Cameo Project sebagai kreator video “Takotak Miskumis”. Cameo Project adalah sebuah grup di Jakarta yang berminat di bidang fotografi dan sinematografi. Anggotanya terdiri kaum muda dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam. Cameo Project bergabung di Youtube pada tanggal 12 Agustus 2012. Proyek mereka terbagi atas tiga kategori: Cameo TV,

Shortmovies (film pendek), dan Clips. Sampai saat ini, akun Cameo Project sudah mengunggah dua puluh satu video di Youtube. Tema video yang mereka buat beragam, mulai dari parodi, politik, hingga fenomena sosial. Pada penelitian ini, Cameo Project berada dalam posisi pengkonstruksi makna.

3.4 Kerangka Analisis

Penelitian ini menggunakan kerangka analisis semiologi Roland Barthes. Peta tanda Roland Barthes mencakup dua tatanan sistem pemaknaan, yaitu sistem signifikasi tatanan pertama (detonasi) dan sistem signifikasi tatanan kedua (konotasi).

Dalam konteks Barthes, tahapan denotasi, konotasi, dan mitos dilakukan menggunakan analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan. Barthes


(45)

mendefinisikan leksia sebagai satuan-satuan bacaan dengan panjang pendek yang bervariasi yang membangun dan mengorganisasikan suatu narasi. Melalui analisis leksia, pembacaan teks akan dikaji lebih dalam lagi. Kode-kode pembacaan sebagai perekat untuk memaknai suatu teks, menurut Barthes (Sobur, 2004:65) beroperasi lima kode pokok (five major code), yang di dalamnya semua penanda tekstual (leksia) dapat dikelompokkan. Kelima kode tersebut adalah kode hermeneutika, kode proairetik, kode simbolik, kode kultural, dan kode semik.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

1. Studi dokumen (document review), yaitu mencari, menyimpan, dan meneliti dokumen yang relevan dengan objek penelitian. Dokumen resmi eksternal menurut Maleong adalah dokumen yang berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosisal yang disiarkan kepada media massa. Peneliti juga mengumpulkan dokumen berupa artikel dari media yang mengulas sepak terjang Jokowi-Basuki dan Foke-Nara dalam Pemilukada DKI Jakarta, khususnya tentang penggunaan atribut mereka yaitu kemeja kotak-kotak dan kumis.

2. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari literatur dan sumber bacaan yang relevan dengan topik penelitian.

3.6 Teknik Analisis Data

Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna.

3.6.1 Analisis Leksia

Leksia dipilih dan ditentukan berdasarkan pada kebutuhan pemaknaan yang akan dilakukan. Leksia dalam narasi bahasa bisa didasarkan pada: kata, frasa,


(46)

klausa, ataupun kalimat. Sedangkan pada gambar, leksia biasanya didasarkan pada satuan tanda-tanda (gambar) yang dianggap penting dalam pemaknaan.

3.6.2 Kode Pembacaan

Menurut Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu:

1. Kode hermeneutika, atau sering disebut dengan kode teka-teki. Kode ini melihat tanda-tanda dalam suatu teks yang menimbulkan pertanyaan. Fungsi kode ini adalah mengartikulasikan persoalan yang terdapat dalam teks.

Misalnya: Mengapa akun @triomacan2000 yang dipilih sebagai sumber informasi latar belakang Foke-Nara dan Jokowi-Basuki pada pilkada Jakarta putaran kedua?

2. Kode proairetik, yaitu kode tindakan yang membaca akibat atau dampak dari suatu tindakan dalam teks. Analisis pada kode ini menghasilkan makna denotasi I yaitu pada level teks.

Misalnya: Empat talent video Takotak Miskumis mengenakan kemeja kotak-kotak dan kumis palsu. Hal ini berarti video Takotak-kotak Miskumis menyoroti dua calon gubernur yang memakai kedua atribut itu, yaitu Joko Widodo dan Fauzi Bowo.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengodean yang gampang dikenali karena berulang-ulang muncul dalam teks. Kode pembacaan ini menghasilkan makna konotasi I yang terdapat dalam teks.

Misalnya: Empat talent utama video Takotak Miskumis yang juga anggota Cameo Project, berkali-kali menunjuk atau menyentuh kemeja kotak-kotak saat lirik “... pilih pemimpin yang bijak” ditampilkan, dan sebaliknya, mereka menunjuk atau memainkan kumis ketika lirik “... jangan yang tukang bokis” terdengar. Secara tidak langsung, bahasa tubuh mereka merujuk bahwa ‘pemimpin yang bijak’ adalah kandidat yang mengenakan ‘kemeja kotak-kotak’, sedangkan pemimpin yang ‘tukang bokis’ atau pembohong adalah kandidat yang memiliki atribut fisik ‘kumis’.


(47)

4. Kode kultural, yaitu kode yang telah dikenali bersumber pada pengalaman-pengalaman manusia. Kode ini menghasilkan makna denotasi II. Analisis bekerja pada level konteks.

Misalnya: Dalam scene yang berbeda-beda, tampak bahwa Jokowi mengenakan blankon, yang menandakan bahwa ia adalah orang Jawa. Di sisi lain, Ahok mengenakan topi khas Cina, menunjukkan garis keturunannya. Sedangkan Fauzi Bowo dan Nachrowi Rambli mengenakan kopiah hitam dan baju khas Betawi dengan warna senada. Itu mengingatkan kita pada gaya kampanye mereka yang bernuansa Betawi.

5. Kode semik, yaitu kode yang berasal dari isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu. Kode ini menghasilkan makna konotasi II, yaitu pada level konteks.

Misalnya: Ada bagian dalam lirik lagu Takotak Miskumis yang terus-menerus diulang. Itu adalah “... tak kotak-kotak kotak, mis kumis-kumis kumis. Pilih pemimpin yang bijak, jangan yang tukang bokis”. Ini menarik mengingat kalimat (kemeja) kotak-kotak, yang identik dengan pasangan Jokowi-Basuki, serima dengan kata bijak. Sementara kata kumis yang identik dengan sosok Fauzi Bowo, serima dengan ungkapan tukang bokis atau pembohong.


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada bab ini peneliti menjelaskan kronologi penelitian data, yang terdiri dari proses analisis dan pembahasan hasil penelitian untuk judul “Pemaknaan dalam Video Takotak Miskumis Karya Cameo Project (Analisis Semiotika terhadap Pesan Video Takotak Miskumis Karya Cameo Project)”.

Unit analisis data penelitian ini adalah 27 scene dalam video Takotak Miskumis karya Cameo Project. Takotak Miskumis terdiri dari 44 scene. Analisis dilakukan dengan memenggal tiap scene menjadi satu atau beberapa shot

(potongan gambar). Tindakan ini dilakukan karena tiap shot memiliki disertai oleh sebaris lirik khusus. Dengan demikian, data yang diolah berupa gabungan antara data visual dan data verbal.

Adapun dari 44 scene tersebut terdapat 17 scene yang mengalami repetisi. Rinciannya adalah sebagai berikut: scene 5-7, 16-18, 19-21, dan 28-30 mengulangi scene 2-4; scene 31 dan 34 mengulangi scene 1; scene 35 mengulangi scene 32; scene 37-38 mengulangi scene 34-35.

Demi menghindari kombinasi lirik dan visualisasi yang repetitif, maka peneliti pun memfokuskan analisis pada 27 scene yang terdiri dari 83 shot (potongan gambar).

Peneliti menggunakan metode analisis semiotika. Secara spesifik, video ini dianalisis menggunakan sistem signifikasi dua tahap dan lima kode pembacaan Roland Barthes. Tujuan penelitian adalah mengetahui dan menganalisis konstruksi makna, serta memetakan dan mengungkap mitos yang ada pada video. Transferabilitas data dibangun berdasarkan dokumentasi video yang bersangkutan dan studi dokumen publik yang relevan dengan topik penelitian, seperti berita seputar Pilkada DKI Jakarta dan para sosok kandidat berlaga di dalamnya.

Cameo Project adalah sebuah grup di Jakarta yang berminat di bidang fotografi dan sinematografi. Anggotanya terdiri dari kaum urban muda dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam. Cameo Project bergabung di Youtube pada 12 Agustus 2012. Video yang mereka tampilkan terdiri atas empat


(49)

kategori: Cameo TV, Cameo music, short movies (film pendek), dan clips. Cameo Project sudah mengunggah dua puluh dua video di Youtube. Tema yang mereka angkat beragam, mulai dari parodi, politik, hingga fenomena sosial.

Video pertama mereka berjudul Banci Cong. Titel video ini merupakan parodi dari lagu Lazy Song milik Bruno Mars. Pemenang lomba video parodi tersebut lalu diumumkan saat konser Jak FM tanggal 15 Maret 2012 di Jakarta Convention Center. Video anyar mereka berhasil menyabet peringkat runner up

dalam perlombaan ini.

Namun, momentum ketenaran mereka di dunia maya dimulai pada masa Pilkada Jakarta tahap pertama. Mereka mengunggah video "Jokowi dan Basuki - What Makes You Beautiful by One Direction [Parody]" pada 26 Agustus 2012. Video ini menyoroti masalah-masalah yang kronis di Jakarta, seperti kemacetan, birokrasi, kemiskinan, suap, dan korupsi anggaran pembangunan. Empat tokoh utama dalam video ini menyerukan bahwa mereka membutuhkan Jokowi dan Basuki untuk memimpin Jakarta. Berkat kepekaan mereka dalam menangkap fenomena sosial, video ini sudah dilihat lebih dari 1,7 juta kali.

Setelah sukses dengan video tersebut, Cameo Project meluncurkan video lain tentang Pilkada, yaitu Takotak Miskumis. Video berkategori nonprofits dan

activism ini diunggah pada 11 September 2012 dan telah dilihat lebih dari 750 ribu kali. Dua puluh tujuh pemain terlibat di video ini, termasuk empat pemain utama yang telah lebih dahulu tampil di video parodi berlatar lagu What Makes You Beautiful milik One Direction.

Berbeda dengan video pendahulunya, “Takotak Miskumis” memiliki lagu orisinal yang diaransemen oleh Ronald Steven. Liriknya ditangani oleh Yosi Mokalu dari Project Pop, yang hadir sebagai bintang tamu. Video ini diunggah sebagai persuasi bagi warga Jakarta untuk tetap memilih calon gubernur yang tepat pada Pilkada Jakarta putaran kedua.


(50)

4.1.1 Analisis Scene 1

Gambar 4.1

A. Analisis Leksia

Latar belakang video adalah lapangan di sebuah kompleks perumahan. Cuaca cerah tak berawan. Dahan pepohonan menjulur di sisi kanan layar. Tampak sepuluh orang mengangkat dan memindahkan setumpuk kursi plastik merah, meja berlapis taplak putih, dan dua bilik suara putih. Di belakang mereka berderet rumah besar bertingkat. Mobil-mobil pribadi diparkir di depan rumah-rumah tersebut. Tak jauh dari aktivitas yang tengah berjalan itu, terdapat tenda biru yang dibentangkan. Tenda tersebut memayungi orang-orang yang berada di bawahnya.

Satu demi satu aktivitas tersebut disorot kamera. Pertama-tama adalah langkah kaki empat orang yang sedang menggotong sebuah meja kayu. Lalu tampaklah papan bilik suara berwarna putih yang diangkat oleh tiga orang. Orang pertama adalah lelaki Tionghoa berkacamata, berkaus merah, dan bercelana hitam. Turut membantunya adalah lelaki berkaus ungu. Bagian depan bajunya memuat tulisan "change your mind". Di belakang mereka tampak seorang perempuan berbaju merah muda dan bercelana hitam juga mengangkat papan bilik suara. Beberapa langkah dari sisi kirinya, tampak seorang perempuan berkacamata


(51)

yang memakai rompi putih dan celana hijau toska sedang mengangkat tiga kursi yang ditumpuk menjadi satu. Kursi-kursi itu berwarna hijau muda, oranye, dan hijau toska. Perempuan itu mengangkatnya sambil tersenyum lebar.

Berikutnya, kamera menyorot tangan seseorang yang sedang membawa senampan minuman. Nampan yang dibawanya berwarna merah muda. Ada enam gelas minuman dengan warna yang bervariasi: merah, kuning, dan putih. Pembawa minuman itu memakai kaus biru dan celana panjang abu-abu. Di belakangnya tampak seorang lagi sedang membawa kotak suara. Kamera lalu menyorot si pembawa kotak suara dengan lebih dekat. Dia adalah seorang lelaki beraus biru gelap dan celana panjang krim dengan sendal jepit. Kacamatanya agak miring karena wajahnya beradu dengan kotak suara yang sedang dibawanya. Orang-orang itu menurunkan meja, kursi, papan bilik suara, serta kotak suara.

Scene ini menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot. Angle

yang digunakan adalah eye level angle. Fokus scene termasuk dalam selective focus, yang bekerja dengan mengaburkan latar belakang dan fokus pada Yosi serta lelaki berkaus ungu tersebut. Segi pencahayaan tergolong dalam kategori high key

yang bernuansa riang dan cerah. Warna yang digunakan adalah kategori warm

yang berkesan riang.

B. Lima Kode Pembacaan

1. Kode Hermeneutika

Mengapa ada empat orang yang menggotong meja kayu? Mengapa seseorang mengangkat sebuah bilik suara berwarna putih? Mengapa beberapa perempuan tampak mengatur kursi? Mengapa ada pula yang membawa senampan minuman? Mengapa seorang lelaki yang mengangkat kotak suara?

2. Kode Proaretik

Meja kayu, bilik suara, kursi, kotak suara adalah perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan mencoblos. Mencoblos bukan kegiatan yang dilakukan oleh satu-dua orang. Karena itulah, senampan minuman disediakan untuk melepas dahaga mereka yang mempersiapkannya.


(1)

Gambar 78

Gambar 79


(2)

Gambar 81


(3)

(4)

Lirik Lagu Takotak Miskumis

*

Jokowi Ahok Ahok Fokelah kalo begitu Jokowi Ahok Ahok Fokelah kalo begitu

Yeah, this song is about DKI Check it out

Oh My God

OMG

Gue gak mau salah pilih

Nanti harus nunggu lima tahun lagi Makanya gue harus hati-hati

Twitter-nya TrioMacan2000 Data-datanya banyak membantu Pada akhirnya gue setuju

Tidak ada calon yang sempurna tuh

Reff:

Sebentar lagi Kita harus memilih Foke atau Jokowi Jadi gubernur DKI

Takotak kotak kotak kotak Miskumis kumis kumis Pilih pemimpin yang bijak Jangan yang tukang bokis

Kembali ke *

Isu SARA jadi senjata Katanya pilih dari agama Padahal kalau kita lihat sejarah Di tahun 60 ini gak masalah

So demi cintaku pada Jakarta Sebelum semua tambah parah Nyak babe cak encing mari kita sepakat

Siapapun gubernurnya Kita s’lalu bersama

Kembali ke Reff dan *

Jokowi Nara Nara

Loh, Nara kan temen gue Jokowi Nara Nara

Eh, Nara itu wakil gue, lu Ahok! Jokowi Nara-Nara

Eh, jangan ngambil wakil orang seenaknya, ya!


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI NAMA : Sheila Sulthana NIM : 090904037

PEMBIMBING : Syafruddin Pohan, M. Si, Ph.D

NO. TANGGAL PERTEMUAN

PEMBAHASAN PARAF PEMBIMBING 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

6 Maret 2013

20 Maret 2013

11 April 2013

27 April 2013

24 Oktober 2013

18 Januari 2014

23 Januari 2014 30 Januari 2014

Mendiskusikan perbaikan latar belakang (Bab I) dan pemilihan paradigma (Bab 2) Menyerahkan draf Bab 1-3. Pengarahan format skripsi Konsultasi tentang pengerjaan bab 4

Menyerahkan revisi bab 1-3

Konsultasi perkembangan bab 4-5

Menyerahkan revisi bab 1-3 dan bab 4-5

Konsultasi dan revisi bab 1-5 Menyerahkan revisi bab 1-5 dan ACC sidang skripsi


(6)

BIODATA PENELITI

Nama : Sheila Sulthana

NIM : 090904037

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 28 Juni 1991

Alamat : Jl. Karya Wisata Komplek Johor Katelia Indah no 86, Medan

Email : eilazureila@gmail.com

Orangtua

Ayah : Ir. Taswin Kiflan Ibu : Ir. Cut Nasmiati

Anak ke : 1 dari 4 bersaudara

Nama Saudara Kandung : Imam Syauqani (adik), Nardini Shadiqa (adik), dan Nabila Shabira (adik)

Pendidikan

2009 – 2014 : Universitas Sumatera Utara – Ilmu Komunikasi 2006 – 2009 : SMA Negeri 1 Medan

2003 – 2006 : SMP Harapan 2 Medan 1997 – 2003 : SD Harapan 2 Medan

Organisasi