Penanda dan Petanda Denotasi dan Konotasi

5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Di samping penanda teks leksia dan lima kode pembacaan yang telah dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah:

1. Penanda dan Petanda

Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu penanda signifier dan petanda signified. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda signifier dengan sebuah ide atau petanda signified. Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca . Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa Bertens, 2001: 180. Menurut Sausurre, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Sausurre Sign Composed of signification Signifier plus signified external reality of meaning Sumber: Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada pada dasarnya menyatukan sebuah konsep concept dan suatu citra suara sound image, bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda signifier sedangkan konsepnya adalah petanda signified. Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap Sobur, 2004: 70. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Universitas Sumatera Utara Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu. Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, menjadi tanda dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisahberbeda dengan kata dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Lyons, dalam Pateda, 2001: 98. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda Berger, 2000b: 55. Harimurti Kridalaksana 2001: 40 mendefinisikan denotasi denotation sebagai makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif. Sedangkan konotasi connotation, evertone, evocatory diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara penulis dan pendengar pembaca. Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal + X Sobur, 2004: 263. Makna denotatif denotative meaning disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional Keraf, 1994: 28. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk denote kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus dari pihak pembicara dan respons dari pihak pendengar menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra kesadaran dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian Universitas Sumatera Utara dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata Sobur, 2004: 265. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif Keraf, 1994: 29. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama Sobur, 2004: 266. Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya Sumardjo Saini, 1994: 126. Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda Sobur, 2004: 266. Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman, 1999: 22 dalam Sobur, 2004: 71.

3. Paradigmatik dan Sintagmatik