BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PerspektifParadigma Kajian
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan- keyakinan dasar
basic beliefs atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip- prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia
world view yang menentukan bagi pengamat sifat dari “dunia” sebagai tempat individu
dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya Sunarto dan Hermawan, 2011: 4. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam
pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir.
Paradigma adalah basis kepercayaan atau metafisika utama dari sistem bepikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodelogi. Paradigama dalam
pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma
membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan terhadap masalah Salim, 2006: 96.
Macam paradigma itu sendiri tertnyata bervariasi. Guba dan Lincoln 1994 menyebutkan empat macam paradigma, yaitu positivisme, post positivisme,
konstruktivisme dan kritis. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme kritis
critical constructivism. Paradigma ini adalah penggabungan dari pandangan konstruktivis
dengan pandangan kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School. Menurut Ardianto dan Q-Anees 2007 paradigma konstruktivis memandang
bahwa semesta secara epistemologi sebagai hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan
interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan.
Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptualkognitif merupakan hasil dari
lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus-menerus. Bagi
Universitas Sumatera Utara
kaum konstruktivisis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara
sosial, dan karenanya plural. Konsekuensinya, kaum kontruktivis menganggap bahwa tidak ada makna
yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi
oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan selalu
termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi
atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu. Sedangkan paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan
pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya Eriyanto, 2001: 6.
Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut: 1 teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu
dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi; 2 dalam praksis penelitian dari pemilihan masalah untuk penelitian, instrumen dan metode analisis yang
digunakan, interpretasi, kesimpulan dan rekomenasi dibuat sangat bergantung pada nilai-nilai peneliti; 3 standar penilaian ilmuwan bukan ditentukan oleh
prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan.
Konstruktivis kritis mengkombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial
konstruktivis atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi
oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia kritis. Istilah konstrutivis kritis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang
pendidikan dan kemudian di bidang psikologi LittleJohn Foss, 2009: 216.
Universitas Sumatera Utara
Istilah konstruktivisme kritis—yang juga bisa disebut kontruksionisme kritis— pertama kali dipublikasikan dalam studi komunikasi tahun 1999 di buku
Questioning Technology karangan filsuf teknologi Amerika Andrew Feenberg. Kemudian, Maria Bakardijieva memunculkan istilah tersebut secara independen
di disertasi doktoral komunikasinya tahun 2002 dia juga meraih gelar PhD di Sosiologi, yang lalu menjadi awal diterbitkannya buku terkenal
The Internet in Everyday Life, yang terbit tahun 2005. Kini, Feenberg dan Bakardjieva adalah
tokoh-tokoh terpenting dalam tradisi ini LittleJohn Foss, 2009: 216. Keduanya sepaham dengan pendekatan kontruktivis kritis pendidikan yang
dikembangkan oleh sekolah berpikir kritis dalam pandangan terhadap perubahan dan berfokus pada gagasan konstruksi untuk menjelaskan proses pemahaman.
Namun, para sarjana ini berangkat dari landasan bersama ini dalam pendekatan mereka terhadap kritik. Dari perspektif mereka, konstruktivisme kritis mengacu
pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis, yaitu, kontribusi filsuf
Jerman, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas LittleJohn Foss, 2009: 216. Menurut Feenberg, pendekatan kontruktivis kritis mengkritisi pandangan
deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan.
Feenberg membuat tiga dalil: 1 teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruhi berbagai kriteria kontekstual; 2 proses
sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan teknologi; dan 3 definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan
masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat LittleJohn Foss,
2009:216.
2.2 Kajian Pustaka