182
4. Pola Iringan Jathilan
Pola iringan jathilan secara umum yang selalu disertakan dalam mengiringi kesenian jathilan adalah bendhé.
Bendhé adalah instrumen yang memberikan kekuatan dan warna khas jathilan dalam setiap penampilannya. Sungguhpun
iringan jathilan telah dikembangkan, namun roh jathilan akan tetap nampak ketika bendhé itu menjadi bagian dari iringan
jathilan.
Seperti yang terjadi di empat wilayah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, pola iringan yang tidak bisa ditinggalkan
adalah bendhé yang berbunyi mung jir, sungguhpun instrumen pendukung lain berbeda-beda. Bendhé dalam iringan kesenian
jathilan memiliki peran penting sebagai pengatur irama sekaligus menjadi dasar melodi bagi penembang vokal.
183
Gambar 63 Bendhé, instrumen yang menjadi ciri jathilan
Foto : Kuswarsantyo, 2012
Ada beberapa variasi iringan yang muncul di dalam pertunjukan jathilan di DIY. Di Bantul hanya mengandalkan tiga
buah angklung, kecèr, bendhé dan kendhang.
Gambar 64 Iringan jathilan tradisional Bantul terdiri atas kendhang,
kecèr, angklung dan bendhé Foto : Kuswarsantyo, 2012
184
Di Kulon Progo ada beberapa jenis iringan yang digunakan untuk mengiringi jathilan. Di samping iringan yang baku seperti
di wilayah lain dengan bendhé, kecèr, angklung, dan kendhang, namun ada satu jenis musik khas Kulon Progo untuk iringan
jathilan yakni krumpyung. Musik krumpyung yang terbuat dari bambu dapat digunakan untuk mengiringi sajian jathilan.
Gambar 65 Instrumen krumpyung pengiring incling Kulon Progo
Foto : Kuswarsantyo, 2011
Semua jenis musik tersebut merupakan ciri bagi kelompok jathilan yang disesuaikan dengankebutuhan masyarakat
sekitarnya. Pola garap iringan yang berkembang saat ini lebih banyak karena tuntutan pasar, karena pada akhirnya seni tidak
untuk seni, tetapi seni untuk pasar atau dalam istilah Timbul Haryono art for art dan art for mart.
184
184
Periksa Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi Surakarta : ISI Solo Press, 2008, 21.
185
Secara umum, awam mengetahui bahwa yang menjadi ciri utama iringan jathilan adalah adanya unsur bendhé mung-jir
yang berfungsi sebagai penuntun melodi lagu yang dibawakan. Dua nada yang berbunyi mung jir itu menggunakan nada 6 dan 5.
Melodi ini berbunyi sepanjang pertunjukan jathilan itu berlangsung mengiringi penari. Sungguhpun lagu-lagu yang
disajikan adalah lagu campursari, namun dominasi bunyi bendhé mung jir ini tidak akan pernah hilang. Dan inilah sebagai ciri
utama
kesenian jathilan,
meskipun telah
mengalami perkembangan.
Iringan jathilan di Kabupaten Kulon Progo hingga saat ini masih setia dengan pola lama yang mempertahankan angklung
sebagai bagian dari instrumen jathilan, di samping bendhé. Pola iringan jathilan di beberapa wilayah di Kulon Progo seperti di
Kokap, Samigaluh, Girimulyo, dan Sentolo, masih dengan pola garap sederhana. Bahkan khusus untuk incling dan jothil yang
ada di Kulon Progo iringan yang dipakai adalah krumpyung yang terbuat dari bambu. Jathilan dengan iringan krumpyung ini biasa
disebut dengan jathilan krumpyung. Jenis sajian jathilan krumpyungini mampu memberi warna tersendiri bagi khasanah
seni jathilan di Yogyakarta, khususnya kabupaten Kulon Progo.
Berkembangnya iringan jathilan ini tidak dapat lepas dari pengaruh budaya luar yang masuk ke wilayah kabupaten Sleman.
Pengaruh perkembangan seni tradisional muncul sebagai akibat maraknya teknologi informasi yang semakin pesat, sehingga
berdampak pada perkembangan seni pertunjukan. Di wilayah pedesaan tertentu kadang sudah mulai sulit ditemui jenis seni
pertunjukan yang semula merupakan ekspresi impian partisipatif-kolektif, karena terdesak jenis-jenis seni pertunjukan
186
kemasan yang bersifat individual, kadang-kadang sudah luntur bahkan lepas dari konteks sosial desa. Lingkungan masyarakat
pedesaan mulai menggemari perpaduan musik diatonis dengan karawitan Jawa dalam kemasan campursari. Munculnya
perkembangan seni pertunjukan jathilan dengan iringan dangdut dan campursari seperti juga yang terjadi dalam kesenian Angguk
Putri dari Kulon Progo, walaupun dengan dalih ‘retradisional’, tetapi kesenian itu nampaknya
semakin lepas dari sifat teks dan konteksnya yang konon berasal dari jenis kesenian slawatan.
185
Kondisi demikian memang mengkhawatirkan eksistensi seni tradisi yang masih asli. Namun demikian dalam perkembangan
iringan jathilan saat ini, sungguhpun telah banyak dimasuki unsur musik diatonis, namun nuansa tradisi itu masih nampak di dalam
ciri iringan jathilan tradisi yang terdengar dari suara bende dengan nada 6nem 5 ma. Selain itu juga dominasi kendang dan kecèr di
samping kempul gong masih memberikan ciri tradisional meski sudah berbaur dengan instrumen diatonis.
Secara tradisional unsur instrumen inilah yang selalu disertakan dalam mengiringi kesenian jathilan. Satu instrumen lagi
yang tidak semua grup menyertakan adalah angklung. Nuansa tradisional dalam iringan jathilan ini memberikan suasana magis,
sakral, lebih lebih jika jathilan itu dipentaskan sebagai rangkaian upacara tertentu. Relevansi nada monoton ajeg dengan nada 6 dan
5 dari instrumen bendhé itu memberikan kekuatan pada kesenian rakyat jathilan. Kenyataan itu dapat kita analogikan dengan iringan
wayang wong ketika pada bagian klimaks setelah ènjèran tokoh,
185
Sutiyono, Puspowarna Seni Tradisi dalam Perubahan Sosial Budaya Yogyakarta : Kanwa Publisher, 2009, 143.
187
maka diakhiri dengan irama gangsaran dengan nada 2 secara terus menerus, atau dengan irama ganjur dengan nada 3 2 3 2 hingga
selesai. Efek dari nada yang monoton dalam durasi yang relatif lama ini akan membawa suasana jiwa jenuh. Akibat yang dimunculkan
dari adanya iringan monoton adalah pikiran menjadi kosong. Dengan dilakukan berulang, maka keadaan inilah yang membuat kondisi
psikis dan biologis penari menurun, sehingga menjadi terbawa pada irama dan selanjutnya penari akan mengalami trance atau ndadi.
Dari keadaan inilah, awal terjadinya trance dalam kesenian jathilan itu muncul. Dengan lain kata peran iringan dalam mengantarkan
penari menuju ke satu fokus untuk menuju keadaan trance sangat menentukan sekali.
Konsep nada minimalis ini dapat pula dijumpai dalam gamelan monggang dengan nada 5 3 5 1, Kodok Ngorek dengan nada . 7 6
7,yang kesemuanya adalah iringan yang digunakan untuk acara- acara ritual. Dengan model minimalis melodi itulah justru mampu
memunculkan kekuatan dalam sebuah suasana yang diinginkan.
Di samping melodi minimalis yang digunakan dalam iringan jathilan, sisipan instrumen tradisional lain yang sering menjadi
bagian iringan jathilan adalah angklung. Dengan tambahan instrumen angklung ini nuansa tradisional kesenian jathilansemakin
kental. Komposisi instrumen minimalis dalam kesenian jathilan itu dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
188
Gambar 66 Instrumen pengiring jathilan tradisional
Foto : Kuswarsantyo, 2011
Selain iringan tradisional yang masih dipertahankan oleh beberapa grup di Kabupaten Sleman dan wilayah lain di
DIY, kini iringan jathilan mulai berkembang pesat dengan berbagai variasinya. Iantara beberapa variasi iringan jathilan,
yang paling menonjol adalah iringan campursari, di mana unsur keyboard dan drum masuk menjadi bagian dari iringan
jathilan. Fenomena masuknya instrumen barat ke dalam iringan jathilan ini adalah sebuah tantangan yang harus
dihadapi. Tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi yang tetap harus dilestarikan, keberadaan iringan garap baru dalam
jathilan perlu diapresiasi. Hal ini terkait dengan tuntutan pasar dan keinginan masyarakat yang menginginkan adanya
perubahan atau pengembangan. Oleh sebab itu terjadilah bentuk pengembangan iringan yang mengkombinasikan unsur
pentatonis dengan diatonis seperti terlihat pada gambar beriktu ini.
189
Gambar 67 Iringan jathilan memasukkan drum dan keyboard dalam
penyajiannya Foto : Kuswarsantyo, 2010
Penggarapan iringan jathilan antara wilayah satu dan lain, bervariasi. Hal ini terkait dengan selera estetik masing-
masing musisi yang bertugas membuat iringan jathilan. Namun demikian secara baku, iringan jathilan sebenarnya
telah ada sejak nenek moyang mereka ada. Pola tradisi dengan talu, diikuti slepeg, dan akhirnya masuk dengan pola bendhé
mung jir, adalah formula baku yang ada dalam iringan jathilan tradisional. Khusus di wilayah Gunung Kidul ada dua jenis
iringan jathilan. Mereka menamakan iringan klasik dan yang satu adalah kreasi. Untuk iringan klasik belum ada
penggarapan khusus, artinya apa adanya seperti para pendahulu mereka. Adapun untuk kreasi, kini berkembang
pesat dengan memasukkan beberapa instrumen dari musik etnis lain seperti kendhang jaipong, dan juga dengan
190
masuknya drum dan keyboard. Untuk jenis iringan jathilan klasik terdapat sisipan instrumen angklung di sela-sela irama
mung jir dari suara bendhé. Angklung di sini memberikan nuansa tenang namun pasti.
Di samping gending baku yang ada, dalam bagian lain pertunjukan jathilan juga terdapat gendhing jejalukan.
Gendhing jejalukan ini disebutkan akan membantu dalam proses keluarnya roh suci dari tubuh penari setelah sekian
lama mengalami kondisi ndadi. Penggarapan gendhing jejalukan ini menggunakan pola kendhangan sesekan atau
tempo cepat, hingga pada akhirnya roh suci dapat dikeluarkan dari tubuh penari oleh pawang jathilan.
186
Peran iringan yang cenderung ajeg atau monoton inilah disinyalir menjadi faktor paling dominan dalam rangka untuk
menuju trance dari seorang penari. Pola iringan baku jathilan sebenarnya sudah ada dan telah lama dipakai oleh grup grup
kesenian jathilan di DIY secara umum, dan Kabupaten Bantul khususnya. Pola gending diawali dengan talu berupa tabuhan soran
instrumental, kemudian diikuti dengan slepeg untuk mengantar pada pembuka adegan yang biasanya dengan tembang Pangkur yang
dibawakan oleh tokoh punokawan Penthul dan Tembem. Selanjutnya selesai tembang Pangkur memasuki slepeg yang digunakan untuk
masuknya pasukan berkuda dengan gerak nyongklang.
Setelah semua penari masuk arena, gendhing akan berubah menggunakan pola Lompong keli, dengan ritme yang monoton
dengan lagu menurut selera grup yang pentas. Ciri utama yang dihadirkan dalam iringan jathilan adalah pola bendhe pung jir yang
186
Penuturan Subadri , sesepuh jathilan desa Tanjungsari, Ngemplak Sleman, 12 Oktober 2011
191
stagnan mampu memberikan tekanan pada irama iringan kesenian jathilan.
5. Pola Lantai