Makna Kuda dalam Kesenian Jathilan

47 Terkait dengan simbol warna kuda képang ini, dalam pertunjukan jathilan yang mengambil cerita Aryo Penangsang, Danang Sutowijoyo yang berpihak pada kebaikan menggunakan kuda berwarna putih. Musuh Sutawijaya adalah Penangsang menunggang kuda hitam bernama Gagak Rimang. Dalam peperangan tersebut Penangsang dapat ditundukkan Danang Sutawijaya. Gambar 4 Warna kuda kepang putih , hitam, dan merah, dominan digunakan Foto : Kuswarsantyo, 2011

B. Makna Kuda dalam Kesenian Jathilan

Terkait dengan jathilan, secara spesifik Pigeaud dalam buku Javaanse Volksvertoningen 1938 memberikan klasifikasi berbagai jenis tari kuda yang ada di Jawa dan Bali. Pigeaud mengklasifikasi 48 jenis tari kuda-kudaan dan kuda képang di berbagai wilayah seperti Ponorogo, Cirebon, Sunda, Kedu, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. 74 Oleh sebab itu Pigeaud memberikan kronologi dari arah wilayah geografis dari sisi barat yang menceritakan jenis kesenian kuda lumping. Lumping itu sendiri merupakan istilah Sunda yang berarti kulit. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahan untuk membuat kuda-kudaan tidak saja dari anyaman bambu, melainkan juga kulit, yang dipasang atau tidak dipasang pada bambu yang dianyam atau ditata melintang sebagai kerangka. 75 Dari hasil kajian Pigeaud dengan jelas dapat dipahami bahwa orientasi penyajian jathilan adalah pada aspek fungsi, persebaran, dan klasifikasi jenis kesenian kuda képang di berbagai wilayah. Untuk memahami secara mendalam tentang mengapa dan bagaimana proses ndadi dalam kesenian Jathilan perlu kiranya diungkapkan terlebih dahulu tentang makna kuda yang menjadi properti utama dalam kesenian jathilan. Hubungan antara kuda dengan kekuatan fisik memberikan kepercayaan bagi sebagian masyarakat Jawa, tentang makna simbolis kuda. Brandts Buys dalam Pigeaud menjelaskan bahwa apabila kuda disebutkan dengan makna demikian, maka yang dibicarakan seringkali mengenai gambaran atau bayangan yang bersifat erotik yakni mantra yang mampu membangkitkan nafsu asmara dan 74 Periksa Th. Pigeaud, dalam Javaanse Volksvertoningen Batavia : Volkslectuur, 1938, 215. Bahwa yang disebut dengan tari kuda adalah tarian menunggang kuda yang secara khusus tidak dapat diterangkan dengan istilah tari yang mengempit anyaman bambu berbentuk kuda. Keterangan ini bisa dimengerti di satu wilayah, namun di wilayah lain mungkin tidak dipahami. Oleh sebab itu Pigeaud lebih suka menyebut kuda lumping dengan tari kuda. 75 Pigeaud, 1938, 215 49 lainnya. Dalam hubungan ini Pigeaud memberi pemahaman bahwa dalam alam pikiran orang Jawa antara kuda dengan nafsu erotik selain terdapat kekuatan dan keberanian yang berlebihan, juga terdapat sedikit kekhusukan yang berakibat pada hilangnya kesadaran, sehingga menjadi trance ndadi. 76 Pigeaud memberikan contoh tentang kehidupan para raja dan para kepala daerah inti di tanah perbukitan dan tanah pegunungan di pedalaman Kedu, Mataram, Pajang, dan Sukowati. Sejak dulu mereka menaruh perhatian besar pada kuda dan ilmu katuranggan. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana mereka masyarakat kuno memelihara dan menggunakan kuda sudah dikaitkan dengan kekuatan gaib. Orang orang pada masa itu beranggapan bahwa di dalam tubuh kuda terutama bagian kepala, terdapat roh nenek moyang pendahulunya. Di dalam tulisan Bosch berjudul ”God met de Paardekop” atau dewa berkepala kuda, ditunjukkan banyak hal terkait dengan mitos dan gambaran mitis di mana kuda memainkan peran yang sangat penting. 77 Oleh karena itu, kepala kuda dijadikan sebagai simbol kekuatan yang diyakini dapat memberikan kekuatan luar biasa kepada siapa saja yang mempercayainya. Analogi dengan sejarah tentang kuda pada masa lalu, kini kepala kuda dijadikan simbol dalam sebuah tari rakyat yang bernama jathilan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa maksud kepala kuda digunakan sebagai simbol untuk properti kuda képang dalam kesenian jathilan adalah bertujuan untuk memberikan kekuatan lahir batin pada kelompok tertentu yang sedang melakukan rangkaian upacara dan atau pertunjukan. 76 Th. Pigeaud, 1938, 347. 77 Bosch, dalam Pigeaud 1938, 124 50

C. Fungsi Kesenian Jathilan