Makna kesurupan bagi penari jathilan dalam kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh.

(1)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI

MANUNGGAL DI DUSUN KEPUH

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Caecilia Intan Anggraheni

NIM : 089114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI

MANUNGGAL DI DUSUN KEPUH

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Caecilia Intan Anggraheni

NIM : 089114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013


(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Aku memang hanya satu, tetapi aku adalah satu.

Aku tidak bisa melakukan segala-galanya, tetapi aku bisa melakukan sesuatu.

Dan apa yang dapat kulakukan, aku akan melakukannya. Dan apa yang akan

kulakukan, dengan berkat Tuhan, maka akan kulakukan.”

(Edward Everett Hale, 1822-1909)

“Jadilah kuat dan berani; jangan takut, atau kuatir; karena Tuhanmu selalu

bersamamu ke mana pun engkau pergi.”

(Joshua 1:9)


(6)

“Sukses tidak diukur dengan apa yang berhasil dicapai seseorang,

tetapi rintangan yang telah dijumpainya, dan keberanian yang membuatnya

mampu menjalani perjuangan melawan rintangan-rintangan yang sangat banyak.”.

(Orison Swett Marden, 1850-1924)

“Aku selalu percaya bahwa siapapun yang memiliki sedikit keberanian dan

keinginan untuk mencoba maka dia akan berhasil, dan dapat melakukan

hal-hal yang ingin dilakukannya.”

(William Lee, 1931-2003)

“Cintailah perjuangan, karena perjuangan mendekatkan kita

kepada tercapainya cita-cita.”

(Soedirman)


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan Rasa Syukur yang Mendalam Skripsi ini Penulis Persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan keajaiban-Mu dalam setiap

langkahku.

2. Kedua orang tuaku Bp. Heribertus Robert Sarno dan Ibu Christina Sri

Winarni yang telah memberiku kasih sayang, dukungan serta doa yang

begitu berlimpah kepadaku.

3. Kedua adikku Bonifasius Dian Dwi Kurniawan dan Maria Jevia Tri

Handayani yang telah memberiku motivasi dan semangat tiada henti.

4. Malaikat penjagaku Damascus Aquarista Desy Kusumarwanto, yang

selalu ada disampingku, memberi penguatan dan inspirasi kepadaku.

5. Teman-teman angkatan 2008 Fakultas Psikologi yang kusayangi.


(8)

(9)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI MANUNGGAL DI DUSUN KEPUH

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRAK

Jathilan merupakan salah satu warisan budaya Jawa. Jathilan pada jaman dahulu melibatkan unsur kesurupan sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Seiring perkembangan jaman, pemaknaan tersebut mulai bergeser. Penelitian ini akan mengungkap makna kesurupan yang dihayati para penari jathilan sehingga mereka tetap mau njathil hingga kesurupan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini sebanyak tiga orang penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh. Subjek penelitian diperoleh dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam. Verifikasi data dilakukan dengan mengkonfirmasikan kembali data dan analisisnya kepada subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1) Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2) Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3) Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri. Ketiga makna yang dihayati para penari jathilan tersebut membuat mereka tulus dan senang hati tetap njathil hingga kesurupan.

Kata kunci: kesurupan, jathilan, penari jathilan, budaya Jawa.


(10)

THE MEANING OF TRANCE FOR JATHILAN DANCERS

IN THE GROUP OF TURONGGO JATI MANUNGGAL

AT KEPUH VILLAGE

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRACT

Jathilan is one of Javanese cultural heritages. Jathilan was formerly involving a trance as an inseparable unity. Over the times, its meaning has begun to shift. This research would reveal the meaning of trance that has been internalized by the dancers so that they still want to do the jathilan dance until they get trance. This research was done using a phenomenological qualitative approach. The research subjects were three jathilan dancers from the jathilan group of Turonggo Jati Manunggal in Kepuh Village. The research subjects were gathered by purposive sampling technique. The data gathering was obtained by a deep interview. The data verification was done by reconfirming the data and its analysis toward the research subjects. The research result showed that the three subjects have positive meaning to the trance phenomenon in jathilan. There were three positive meanings of the trance phenomenon: 1) Trance as something important and precious, 2) Trance is a value that can increase the quality of life; 3) Trance is done sincerely and as their wish. Those three meanings that were internalized by the dancers have made they remain sincere and happy to do the jathilan dance until the get trance.

Keywords: trance, jathilan, jathilan dancers, Javanese culture


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas

berkat dan bimbinganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah Skripsi

yang berjudul “MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN DALAM

KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI MANUNGGAL DI DUSUN

KEPUH” dengan baik.

Hal yang begitu menggerakkan penulis untuk melakukan penelitian ini

karena adanya rasa kagum dan rasa keingintahuan akan pemaknaan para penari

pada fenomena kesurupan serta sebuah harapan akan manfaat hasil penelitian

terutama bagi disiplin ilmu Psikologi dan secara khusus bagi pemerhati

kebudayaan tradisional Jawa, disamping itu skripsi ini merupakan matakuliah

wajib yang harus ditempuh bagi mahasiswa sebagai prasyarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Psikologi pada program studi Psikologi di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Penyusunan naskah skripsi ini tentunya tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Dengan segenap ketulusan hati, penulis secara pribadi

mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Bp. C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan banyak bimbingan

berupa saran, ide, dan kritik, serta membagi pengalamannya yang berharga

dengan setulus hati untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.


(13)

2. Ibu Dr. Tjipto Susana dan Bp. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku dosen

penguji yang telah memberikan arahan dan kritik serta saran yang

berharga kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan naskah skripsi

ini.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi atas

teladan dan bimbingan yang berharga.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi yang telah

banyak memberikan bimbingan dan arahan dengan sabar.

5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan motivasi

selama masa studi.

6. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

dengan tulus hati dan penuh kesabaran membagikan ilmu dan

pengalaman-pengalaman berharganya.

7. Seluruh Staf Sekretariat Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Mas Muji, Mas

Doni, Pak Giek, dan Bu Nanik yang selama ini telah banyak membantu

kelancaran proses belajar selama saya menuntut ilmu di Fakultas Psikologi

Sanata Dharma tercinta ini.

8. Kedua orang tuaku Bp. Heribertus Robert Sarno dan Ibu Christina Sri

Winarni yang selalu mendampingi dan memberikan cinta kasih, semangat,

dan doanya sehingga penulisan naskah skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik.


(14)

9. Kedua adikku Bonifasius Dian Dwi Kurniawan dan Maria Jevia Tri

Handayani yang selalu memberi semangat untuk menjadi lebih baik.

10.Malaikat penjagaku Damascus Aquarista Desy Kusumarwanto yang selalu

ada disampingku, memberi penguatan dan inspirasi kepadaku.

Terimakasih untuk semua waktu dan arahan dalam penyelesaian naskah

skripsiku dengan penuh kesabaran, tanpa semua itu penelitianku tidak

akan berjalan selancar ini. Lv u.

11.Teman-teman bimbingan skripsi Nindi, Meili, Ica, Nana, Rio, Kak Jina,

dan Kak Komeng serta sahabatku Vina, terimakasih untuk rasa “senasib

sepenaggungan” dan segala perjuangan kita yang indah ini.

12.Teman-temanku tersayang khususnya angkatan 2008 dan teman-teman

KKN “5Lontrot 060711-050811” terimakasih atas kebersamaan kita, suka

duka dan segala pengalaman-pengalaman berharga, serta proses

pendewasaan yang luar biasa bersama kalian semua. Lv u all.

13.Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal atas pengalaman

berharganya. Mas Fandy, Mas Pete, Mas Agus, Mas Antok, Mas Erwin,

Mas Fendry, Anjar, Pepy, Mbah Sarno, Pak Kentung, Mas Manto dan

masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan satu persatu. Terimakasih

boleh menjadi bagian dari kalian, merasakan “dag-dig-dug nya” menjadi

penari jathilan dan belajar mencintai jathilan sebagai kebudayaan asli

Jawa. Salam hakeee…hokyaaa...asololeyyy!!.

14.Warga Kepuh atas sapaan hangatnya. Pak Dukuh, Bu Dukuh, Mbak Reni,

Mbak Parjiyem, Bu Sirup, Bu Surani, Mbak Atip, Dik Wahyu, Dik Wulan,


(15)

dan masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan satu persatu.

Terimakasih boleh menjadi bagian dari kalian selama satu bulan. Dari

kalian saya banyak belajar tentang makna hidup yang sesungguhnya.

Kesederhanaan dan hal bersyukur dalam segala hal. Lv u all.

15.Makhluk-makhluk tak kasat mata dan para leluhur yang bersemayam di

Gunung Merapi dan Kali Gendol atas sapaan selama penulis mengikuti

kegiatan jathilan di Dusun Kepuh. Maaf bila ada perkataan dan perbuatan

yang kurang berkenan, semoga mendapat tempat terindah dan ketentraman

di Surga sana. Amin.

16.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan naskah

skripsi ini. Terimakasih untuk segala dukungan, doa, dan partisipasinya

sehingga penelitian ini bisa terselesaikan dengan baik.

Akhir kata sebagaimana karya manusia, penulis menyadari bahwa naskah

skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya saran

dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan naskah skripsi ini. Semoga

naskah skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 27 Februari 2013

Penulis

Caecilia Intan Anggraheni


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACT ……….. ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …….. x

KATA PENGANTAR ……….. xi

DAFTAR ISI ……….. xv

DAFTAR TABEL ……….. xviii

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ……….. 7

1. Manfaat Teoritis ………. 7

2. Manfaat Praktis ………. 7


(17)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

A. Makna ……….. 9

B. Jathilan ……….. 11

1. Definisi Jathilan ……….. 11

2. Sejarah Jathilan ……….. 11

3. Lakon-lakon dalam Tarian Jathilan ……….. 14

4. Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh ..……… 16

C. Kesurupan ……….. 19

1. Kesurupan Secara Umum ……….. 19

2. Kesurupan Menurut Perspektif Psikologi …….. 20

3. Gejala-gejala Kesurupan ……….. 22

D. Dinamika Penelitian ………. 24

1. Batasan-batasan Penelitian ………. 24

2. Alur Berpikir ………. 25

BAB III. METODE PENELITIAN ………. 27

A. Jenis Penelitian ……….… 27

B. Fokus Penelitian ………. 28

C. Subjek Penelitian ………. 34

D. Metode Pengambilan Data ………. 35

E. Analisis Data ………. 37

1. Organisasi Data ……… 37

2. Pengkodean Data ……… 37


(18)

3. Interpretasi ……… 38

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ………. 39

1. Kredibilitas ……… 39

2. Konfirmabilitas ……… 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 41

A. Prosedur Pengambilan Data ………. 41

B. Subjek Penelitian ………. 44

C. Hasil Analisis Data Penelitian ………. 45

D. Pembahasan ………. 72

BAB V. PENUTUP ………. 79

A. Kesimpulan ………. 79

B. Saran ………. 79

DAFTAR PUSTAKA ………. 81

LAMPIRAN ………. 83


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aspek-aspek Penelitian ……….. 29

Tabel 2. Pedoman Wawancara ……….. 30

Tabel 3. Analisis Subjek 1 ……….. 45

Tabel 4. Analisis Subjek 2 ……….. 52

Tabel 5. Analisis Subjek 3 ……….. 58


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan tiap-tiap suku

memiliki kebudayaan dan tradisi yang beraneka ragam. Kebudayaan dan

tradisi dalam suatu masyarakat diwariskan secara turun temurun dalam

lingkup keluarga dan dalam lingkungan masyarakat. Tiap-tiap anggota yang

mewarisi kebudayaan tersebut memiliki pandangan dan penilaian tersendiri

dalam memaknai warisan budaya. Salah satu kebudayaan yang telah

diwariskan secara turun temurun dimasyarakat Jawa adalah pertunjukan

kesenian jathilan.

Jathilan adalah salah satu dari banyak tari tradisional, yang

dipertunjukkan di banyak tempat di Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).

Jathilan sering dikenal juga dengan sebutan kuda lumping, kuda kepang atau

jaran kepang. Kesenian ini dapat dimainkan oleh laki-laki maupun

perempuan dan didampingi oleh beberapa pawang yang di dalam

pertunjukannya ada unsur seni dan religi yang ditandai dengan adanya

peristiwa kesurupan pada para penari jathilan. Kesenian ini juga

menggunakan peralatan kuda-kudaan dari anyaman bambu sebagai media

utama penari dalam mengekspresikan makna simbolik tari dan salah satu

unsur dari munculnya fenomena kesurupan (Masyarakat seni pertunjukan

Indonesia, 1999, 37).


(21)

Jathilan pada jaman dahulu melibatkan unsur kesurupan sebagai

kesatuan yang tidak terpisahkan. Seiring berkembangnya jaman, pemaknaan

tersebut mulai bergeser. Kesurupan dalam kesenian jathilan tak jarang hanya

sebagai tontonan dan hiburan semata, dengan kata lain kesurupan pura-pura

atau kesurupan tidak sesungguhnya sudah biasa terjadi. Munculnya

pergeseran makna kesurupan dari masa ke masa sudah lazim terjadi, walau

sedikit tapi tentunya masih dijumpai beberapa kelompok jathilan yang tetap

mempertahankan unsur religi dalam kesenian jathilan yang ditandai dengan

masih adanya peristiwa kusurupan sesungguhnya (kemasukan roh halus) pada

para penari jathilan (Soedarsono, 1983). Pelly (1994) menjelaskan bahwa

kebudayaan itu bersifat dinamis, bagaimanapun juga cepat atau lambat

kebudayaan akan berubah. Perubahan-perubahan terjadi karena

manusia-manusia pendukung kebudayaan di berbagai daerah telah berubah karena

perubahan pola hidup dan pergantian generasi.

Dewasa ini mulai susah untuk mencari penari jathilan. Minat terhadap

kesenian jathilan mulai berkurang karena tergeser oleh teknologi, informasi,

dan hiburan yang lebih modern, seperti pertunjukan organ tunggal atau band

(Us, wawancara, 20 Maret, 2012). Sama halnya dengan kesenian jathilan,

seiring berjalannya waktu, esensi kesurupan dalam kesenian jathilan juga

mulai berubah. Dari beberapa penari jathilan di daerah Sleman Barat dan

Kulon Progo yang pernah peneliti wawancarai sehubungan dengan peristiwa


(22)

“Ya kalau menurut saya, udah jadi rahasia umum mbak kalau njathil itu gak perlu kesurupan. Sebatas bisa menghibur masyarakat itu dah cukup. Namanya jaman juga udah berubah, setau saya dulunya njathil emang seharusnya kudu kesurupan ya berhubung sekarang banyak penari yang gak kesurupan ya saya rasa kalau saya njathil dan gak kesurupan yah hal yang wajar. Banyak juga kok selain saya yang kesurupannya pas njathil cuma direkayasa” (Ar, wawancara, 21 Maret, 2012).

“Kalau saya sendiri sebenarnya takut untuk kesurupan, jadi ya saya pura-pura kesurupan aja biar jathilannya keliatan asyik kaya jathilan jaman dulu. Menurut saya ya biasa aja, gak ada hal istimewa yang saya dapat dari kesurupan, biasane ya malah jadi capek dan badan lebam-lebam. Sebenere kesurupan itu sakral tapi saya sendiri kadang takut berefek dikesehatan saya kalau makan yang aneh-aneh” (Bj, wawancara, 21 Maret, 2012).

“Emmm saya njathil itu memang gak mengharuskan diri untuk kesurupan mbak, ya pernah kesurupan tapi biasanya sewaktu pentas saya kesurupannya pura-pura. Jujur saja cari kerjaan sekarang susah mbak, saya bergabung dikelompok jathilan untuk menambah pendapatan saya. Ya walau hasilnya gak seberapa tapi ya lumayan lah jadi setiap pentas njathil saya berusaha totalitas biar terlihat seperti kesurupan beneran. Kalau banyak yang tau saya kesurupannya fenomenal kan nanti banyak yang nanggap saya untuk njathil diberbagai acara” (Tm, wawancara, 24 Maret, 2012).

“Saya njathil cukup lama, sekitar delapan tahunan. Kelompok jathilannya ya gonta-ganti gitu. Kadang kesurupan beneran, kadang kesurupan bohongan tapi biasanya saya pesen kepawang biar gak kesurupan. Jadinya pas njathil ya akting kesurupan mbak. Tujuan saya kesurupan ya biar gak malu-maluin dan biar jathilane jadi tambah seru mbak, biar masyarakat terhibur dengan pertunjukan yang saya lakukan kan mereka juga gak tau kalau kesurupan saya cuma pura-pura. Jujur aja mungkin saya tidak selalu bisa mempertahankan budaya jathilan di jaman dulu yang seharusnya kesurupan beneran” (Rd, wawancara, 25 Maret, 2012).

Penuturan dari beberapa penari jathilan dari berbagai kelompok jathilan

di atas cukup menjelaskan bahwa pemaknaan kesurupan dalam kesenian

jathilan di jaman sekarang memang sudah mulai bergeser dibandingkan

dengan pemaknaan kesurupan di jaman dahulu. Pergeseran makna tersebut

terlihat dari adanya asumsi bahwa kesurupan dalam kesenian jathian


(23)

lazim terjadi, adanya ketakutan mengalami gangguan kesehatan jika

mengalami kesurupan, dan tidak ada hal istimewa yang didapat dari kegiatan

njathil hingga kesurupan. Berbeda dengan para penari jathilan dalam

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, mereka tetap

mau njathil hingga kesurupan sekalipun tak luput dari dampak negatif seperti

cidera fisik dan sering tidak mendapatkan bayaran dari pentas njathil.

Berdasarkan pengalaman yang diperoleh peneliti, peneliti mengenal

penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal sewaktu

peneliti menjalani kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama kegiatan

KKN berlangsung, peneliti mempunyai kesempatan untuk pentas njathil dan

pernah mengalami kesurupan. Dalam kegiatan KKN, peneliti memanfaatkan

waktu untuk mengenal lebih jauh mengenai kesenian jathilan bersama warga

Dusun Kepuh. Peneliti bersama para penari jathilan di Dusun Kepuh berlatih

jathilan bersama selama dua kali dalam seminggu. Berawal dari pengalaman

itulah peneliti mulai merasa tertarik dengan kesenian jathilan dalam

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal. Peneliti mendapat kesempatan

untuk pentas bersama dalam acara perpisahan KKN. Pada saat itulah peneliti

juga sempat mengalami kesurupan. Bagi peneliti hal tersebut sungguh

merupakan suatu pengalaman baru yang tidak mungkin terlupakan. Peneliti

dapat menikmati setiap rangkaian tarian dan pada akhirnya mengalami

fenomena kesurupan seperti para penari jathilan yang lain. Sesudah pentas

kesenian jathilan berakhir dan peneliti kembali tersadar dari kesurupan, entah


(24)

kesurupan menjadi hilang dan peneliti menjadi semakin bangga terhadap para

penari jathilan Turonggo Jati Manunggal, dan hal tersebut dimanfaatkan

peneliti untuk menerima tawaran njathil untuk kedua kalinya bersama

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal dalam kegiatan pembukaan Dies

Natalis ke-56 Universitas Sanata Dharma.

Dari ulasan sebelumnya, peneliti mengetahui bahwa dewasa ini esensi

kesurupan dalam kesenian jathilan mulai bergeser, namun peneliti memiliki

ketertarikan tersendiri dengan fenomena kesurupan yang dialami peneliti

sendiri bersama para penari jathilan, khususnya para penari jathilan di Dusun

Kepuh. Dari keterangan yang didapat peneliti dari penari jathilan di Dusun

Kepuh, kesurupan dalam kesenian jathilan tetap mereka pertahankan sesuai

dengan warisan budaya Jawa yang memang sudah melekat kuat pada diri

mereka. Mereka tidak merasa keberatan untuk tetap menari dalam pentas

kesenian jathilan dan merasa bangga ketika mengalami fenomena kesurupan

dalam setiap pementasan kesenian jathilan. Bagi para penari jathilan di

Dusun Kepuh, jathilan dipandang sebagai suatu kesenian tradisional yang

sakral dan patut untuk dilestarikan. Selain bertujuan sebagai pertunjukan yang

menghibur, kesenian jathilan yang melibatkan kesurupan justru tetap mereka

jalani dengan keyakinan agar dapat terhindar dari gangguan-gangguan

makhluk halus.

Di dalam pentas kesenian jathilan, selain tari-tarian yang dinamis,

kesurupan merupakan suatu kesatuan serta rangkaian yang utuh dan tidak


(25)

untuk tetap mau terlibat dalam fenomena kesurupan tentunya para penari

jathilan menghayati suatu makna tertentu sehingga tidak merasa terbebani

untuk melakukan suatu hal yang seiring perkembangan jaman oleh beberapa

orang dan penari jathilan lainnya dipandang sebagai hiburan semata dan

kesurupan dalam kesenian jathilan tidak terlalu dianggap penting.

Peneliti bermaksud ingin menganalisa dan menggali informasi lebih

mendalam mengenai fenomena kesurupan yang terjadi dalam kesenian

jathilan dengan tujuan untuk mengetahui makna apa yang dihayati penari

jathilan terhadap kesenian jathilan sehingga tetap mau mempertahankan

kesurupan yang sesungguhnya sesuai dengan warisan budaya Jawa, walau

bagi sebagian penari jathilan kesurupan pura-pura sudah lazim terjadi. Ketika

mengalami kesurupan para penari jathilan Turonggo Jati Manunggal sering

bertingkah aneh seperti binatang dan dalam prosesi kesurupan juga terdapat

adegan-adegan berbahaya seperti memakan beling, memakan dupa, memakan

bunga, dan lain-lain. Apakah peristiwa kesurupan tersebut hanya sebatas

bertujuan untuk menghibur penonton sesuai dengan yang terjadi dalam

perkembangan jaman dewasa ini atau memang ada suatu hal yang dianggap

penting dan bermakna bagi keseharian para penari jathilan?

B. Rumusan Masalah

Bagaimana para penari jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun


(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisa makna

kesurupan dalam pentas kesenian jathilan bagi penari jathilan Turonggo Jati

Manunggal di Dusun Kepuh.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dalam lingkup psikologi

budaya mengenai gambaran makna kesurupan bagi penari jathilan dalam

pentas kesenian jathilan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penari jathilan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai makna yang dihayati para penari jathilan sehingga tetap

mau mempertahankan kesurupan yang sesungguhnya sesuai dengan

warisan budaya Jawa, walau bagi sebagian penari jathilan kesurupan


(27)

b. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

tentang kajian kesurupan dalam kesenian jathilan khususnya di

budaya Jawa. Selain memberikan gambaran mengenai pemaknaan

yang dihayati para penari jathilan terhadap fenomena kesurupan

dalam pentas kesenian jathilan, dari hasil penelitian ini juga

diharapkan agar masyarakat turut melestarikan warisan budaya yang


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Makna

Makna menurut Frankl (1984) adalah kesadaran akan adanya suatu

kesempatan atau kemungkinan yang ada dalam realitas. Makna adalah hal-hal

yang oleh seseorang dipandang penting dan dirasakan berharga. Makna juga

memberikan nilai khusus bagi seseorang.

Makna menurut Malik (2012) dalam artikelnya adalah pemahaman

yang membuat sesuatu berarti dalam hidup, yang serta merta merombak alam

berfikir dan menemukan nilai baru, kita tak mungkin hidup tanpa nilai.Nilai

ini menambah kualitas kita, sehingga dapat lebih mudah berkreasi dan

menjalani hidup.

Dari pemahaman tersebut maka peneliti mencoba menjelaskan bahwa

sebuah pemaknaan terhadap fenomena kesurupan meliputi aspek pikiran,

perasaan, dan perilaku. Dalam memaknai sesuatu tentunya tidak lepas dari

apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana dampak bagi

perilaku kita. Aspek pikiran, perasaan, dan perilaku akan menjadi satu

kesatuan yang membentuk ketiga subjek dalam memaknai fenomena

kesurupan yang mereka alami pada pentas kesenian jathilan dalam kelompok

Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh. Bagi sebagian penari jathilan,

kesurupan pura-pura sudah lazim terjadi, namun penari jathilan kelompok

Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh tetap mau mempertahankan


(29)

kesurupan yang sesungguhnya sesuai dengan warisan budaya Jawa. Untuk

tetap mau njathil hingga kesurupan pastilah para penari jathilan tersebut

menghayati suatu makna tertentu mengenai fenomena kesurupan itu sendiri.

Makna tak mungkin ada tanpa kehadiran tujuan dan keberadaan tujuan

meniscayakan tindakan. Kita melakukan sesuatu tak lain untuk memperoleh

makna dan limpahan makna ini pula yang membuat hidup kita bahagia

(Malik, 2012).

Jadi makna kesurupan dalam kesenian jathilan bagi penari yang

mengalami kesurupan adalah adanya pandangan terhadap fenomena

kesurupan sebagai suatu hal penting, dirasakan berharga, dan juga

memberikan nilai khusus yang terkait dengan kehidupannya sehari-hari.

Kesediaan untuk tetap njathil hingga kesurupan bisa jadi merupakan suatu

penghayatan terhadap tradisi lelulur untuk mengalami kesurupan sebagai

suatu kesatuan dalam kesenian jathilan yang utuh. Adapun jika mengingat

perkembangan budaya yang sangat pesat di jaman sekarang ini, tidak

menutup kemungkinan jika para penari tetap njathil hingga kesurupan hanya

sebagai hiburan semata dan tidak terlalu menghayati makna kesurupan

tersebut. Semua tergantung dari bagaimana para penari menghayati dan


(30)

B. Jathilan

1. Definisi Jathilan

Nama lain dari jathilan adalah jaran kepang, kuda kepang, kuda

lumping, dan ebeg. Jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang

menampilkan kegagahan sekelompok prajurit yang tengah menunggang

kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang

dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini

dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian jathilan biasanya

hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa

penampilan jathilan juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan,

dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh

terhadap deraan pecut. (“Kuda lumping”, 2012).

2. Sejarah Jathilan

Jathilan merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata

terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi

penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa jathilan

menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan

Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa,

tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang

dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi

pasukan Belanda. Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, jathilan


(31)

berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis,

dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan

gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan jathilan, juga menampilkan atraksi

yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti

atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri,

berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Atraksi ini merefleksikan

kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di

lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang

dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda. (“Sejarah kuda

lumping”, 2012).

Jathilan pada masa sekarang fungsinya hanya sebagai tontonan

atau hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi jathilan pada jaman dahulu

yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang

memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk

kepentingan pelepas nadzar atau midhang (ungkapan syukur atas

terwujudnya suatu hal yang diinginkan). Para pemain jathilan hanya

mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Tidak ada yang

mengetahui dan mendefinisikan kapan mulanya tari ini ada. Orang-orang

umumnya menyatakan bahwa jathilan sudah ada sejak dulu kala. Namun

yang pasti, jathilan berkembang dibeberapa wilayah seperti, Jawa Timur,

Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masing-masing wilayah tersebut


(32)

menampilkan lakon yang sama, seperti Panji, Ario Penangsang maupun

gambaran kehidupan prajurit pada masa kerajaan Majapahit. Tari ini

sifatnya fleksibel, bisa ditampilkan di mana saja, saat pesta pernikahan,

sunatan atau pada saat pesta maupun festival kesenian rakyat. (“Jathilan

sebuah tarian magis”, 2007).

Menurut opini dari seorang dosen Jurusan Tari Fakultas Seni

Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Gandung

Sudjatmiko, dalam sebuah artikel (“Jathilan sebuah tarian magis”, 2007),

seni ini bersumber dari rakyat jelata. Hal ini bisa dilihat dari penampilan

kesederhanaan pakaian yang digunakan para penari. Mereka mengenakan

celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaus lengan

panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu (srempeng),

selendang pinggang (sampur) dan kain ikat kepala (udheng) dan hiasan

telinga (sumping). Para penari berdandan mencolok dan mengenakan

kacamata hitam. Tentu sangat berbeda dengan pakaian sebuah pembesar

kerajaan yang menggunakan pakaian serba lengkap dan gemerlap. Tarian

yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan

komposisi musik yang sederhana, namun dengan penuh semangat.

Seiring perjalanan waktu, kini seni tari jathilan bisa divariasikan dengan

berbagai musik lain. Sebut saja dengan jathilan model baru. Mereka

sudah merambah ke wilayah dan nuansa modern dengan

mengolaborasikan musik yang ada pada jaman sekarang yang tidak


(33)

3. Lakon-lakon dalam Tarian Jathilan

Pertunjukan jathilan didukung oleh para anggota, terdiri dari

pawang (sebagai pimpinan pertunjukan dan pengendali pertunjukan),

pemain musik, penari, dan penonton. Pawang membawa perlengkapan

yang berupa sesaji yang terdiri dari bunga, minuman, minyak wangi, dan

kemenyan. Peralatan yang digunakan berupa seperangkat alat musik,

terdiri dari: kendhang, saron, demung, gong, dan kethuk kenong. Untuk

pertunjukan jathilan masa sekarang kadang ditemui keyboard dan drum

untuk penunjang iringan musik.

Bagi para penari jathilan, penari kuda mengambarkan para

prajurit Mataram yang sedang melakukan latihan perang. Penari ini

dibagi menjadi dua kelompok setiap kelompok mempunyai seorang

pemimpin. Adapun penari kuda ini berjumlah delapan orang dan

dilengkapi dengan kuda kepang dan sebuah pedang. Penari jathilan yang

menari berpasangan lurus, kemudian membentuk lingkaran dan kembali

lurus berpasangan selanjutnya perang-perangan. Perlengkapan penari,

terdiri dari seperangkat pakaian, kuda kepang, cambuk, dan topeng.

Topeng digunakan penari dalam pertunjukkan jathilan untuk melakonkan

karakter tertentu, seperti lucu dan seram. (Ardhi, 2009).

Rasers dalam (Dewi, 2007) menjelaskan pertunjukan seperti

lakon-lakon adalah peninggalan seremoni lengkap yang sudah punah.

Pertunjukan tersebut, dewasa ini dipakai dalam upacara perkawinan,


(34)

yang masih muncul atau masih bisa dilihat di dalamnya. Rias muka

realitis, serba tebal terutama merah pipi, ditambah kumis untuk semua

pemain kuda. Kostum yang dipakai berupa blangkon/iket dengan

cundhuk bulu, sumping, kalung bunga ronce, memakai baju (hem), kelat

bahu, gelang, sabuk, timang, sampur, kain dan celana panji. Saat menari,

posisi kaki dalam tarian ini adalah terbuka, untuk posisi lengan rata-rata

sedang. Tangan kiri selalu nekem menggambarkan orang naik kuda

memegang kendali pada pangkal leher kudanya. Sedangkan tangan kanan

memegang pedang yang dibuat dari bambu. Gerak tari pokok yang selalu

ada yaitu pacak gulu, siring dan ngiclik serta njondhil. Adapun bentuk-

bentuk tarian yang di mainkan oleh penari kuda yaitu :

1. Sembahan

2. Langkahan

3. Jogetan Pincangan

4. Perang ProTelon

5. Lilingan

6. Perang Individu

7. Ndadi

Lakon Buto, Barongan dan Anoman merupakan tokoh

pengganggu prajurit dalam latihan berperang. Buto dengan sosok

seramnya merupakan memedi atau setan, Barongan merupakan hewan


(35)

liar yang selalu menggangu para prajurit dan juga sering menganggu

Barongan.

4. Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh

Berawal pada tahun 2004 dari kegiatan di malam Suro,

masyarakat Kepuh setiap tahunnya rutin mengadakan kegiatan tirakatan.

Dalam acara tirakatan tersebut, masyarakat Kepuh gemar untuk memutar

musik-musik jathilan. Ketertarikan masyarakat Kepuh dengan

musik-musik jathilan beserta kesenian jathilan sangatlah besar. Melihat hal

tersebut, bapak Tukiyar yang merupakan warga Kepuh berinisiatif

membuat jaran kepang dari anyaman bambu. Jaran kepang yang

dihasilkan oleh bapak Tukiyar cukup bagus dan mendapat perhatian dari

warga Kepuh. Beberapa pemuda Kepuh yang melihat hal tersebut

menjadi tertarik berlatih njathil dengan diiringi musik-musik jathilan dari

kaset. Melihat ketertarikan para pemuda terhadap kesenian jathilan, para

sesepuh warga Kepuh bermaksud untuk membentuk suatu kelompok

kesenian jathilan di Dusun Kepuh. Untuk menanggapi kegemaran warga

Kepuh terhadap kesenian jathilan, diadakanlah rapat yang dihadiri warga

Kepuh. Dalam rapat tersebut membahas sehubungan dengan rencana

dibentukknya kelompok jathilan di Dusun Kepuh, usulan tersebut

disambut baik oleh warga Kepuh.

Pada tahun 2004 resmi terbentuk kelompok jathilan Turonggo


(36)

yang muncul, namun atas kesepakatan bersama dipilihlah nama

Turonggo Jati Manunggal. Dalam peresmian kelompok jathilan

Turonggo Jati Manunggal, terpilih Mbah Sarno sebagai ketua dan Pak

Oni sebagai wakil ketua.

Setelah peresmian Turonggo Jati Manunggal, para pemuda Kepuh

aktif berlatih njathil. Semangat untuk berlatih njathil membuahkan hasil

yang memuaskan, dalam acara pekan budaya, kelompok jathilan

Turonggo Jati Manunggal selalu mendapat kesempatan untuk pentas

dalam acara tersebut. Kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal juga

sering pentas njathil untuk acara-acara yang ada di Dusun Kepuh seperti

sunatan, pernikahan, peringatan hari raya, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, memasuki tahun 2007 kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal mengalami kemunduran. Hal tersebut

dikarenakan para pemuda mulai bosan dengan tarian yang monoton dan

musik yang kurang beragam. Awal tahun 2008 mulai ada tarian dan

musik jathilan kreasi baru. Semangat untuk njathil kembali muncul dan

semakin banyak pemuda di Dusun Kepuh yang tertarik untuk bergabung

dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal. Melihat kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal semakin berkembang pesat,

memunculkan beberapa pihak mulai tertarik untuk mengkomersilkan

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal melalui suatu label tertentu.

Dengan ada tawaran tersebut, kelompok jathilan Turonggo Jati


(37)

untuk mengeluarkan biaya untuk berbagai keperluan njathil. Namun

diluar dugaan, kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal mengalami

penipuan. Tawaran untuk dikomersilkan dalam suatu label tersebut tidak

pernah ada kelanjutannya hingga saat ini.

Tahun 2010 terjadi erupsi merapi yang sangat hebat, lantas sejak

saat itulah kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal menjadi vakum

total. Peralatan njathil seperti jaran kepang, kostum, dan gamelan semua

habis tak tersisa karena amukan wedhus gembel. Tahun 2011 peneliti

mendapat tempat di Dusun Kepuh untuk melaksanakan kegiatan KKN.

Kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal mendapat perhatian utama

untuk kegiatan KKN peneliti karena hal tersebut menjadi program utama

kegiatan KKN peneliti. Pengalaman kelompok jathilan Turonggo Jati

Manunggal yang pernah tertipu dan hilangnya semua arsip jathilan

membuat semangat para pemuda untuk njathil menjadi hilang. Dengan

adanya kerjasama yang baik antara kelompok KKN dan kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal membuat jathilan Kepuh kembali

menunjukkan keeksistensiannya walaupun ditengah berbagai

keterbatasan dan berbagai kendala. Semangat njathil tersebut membawa

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal meraih piala penghargaan

sebagai kelompok jathilan terfavorit dalam acara pekan kesenian

Kabupaten Sleman. Sejak saat itulah semangat untuk njathil kembali

muncul dan hingga saat ini kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal


(38)

C. Kesurupan

1. Kesurupan Secara Umum

Kesurupan adalah sebuah fenomena tentang makhluk halus yang

menguasai pikiran, perasaan, dan intelek (kesanggupan untuk membuat

keputusan) pada diri seseorang dengan menyatu pada kesadarannya

(Walker, 1973, 4). Dalam hal ini makhluk halus bisa menguasai tindakan

seseorang. Orang dapat mengalami kesurupan ketika badannya dimasuki

oleh makhluk halus yang menguasai jiwa raganya. Hampir pada setiap

kasus kesurupan, seseorang yang kesurupan tidak tahu atau tidak ingat

bahwa dia kesurupan karena jiwa raganya dikuasai oleh makhluk halus

(Wallance, 2001, 14).

Fenomena kesurupan telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu,

di seluruh penjuru dunia. Berbagai bentuk dan interpretasi kesurupan dari

kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain tidaklah sama dan

mengalami berbagai perubahan seiring berjalannya waktu. Kesurupan

adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam banyak agama dan

diberbagai masyarakat seluruh dunia. Dalam tradisi agama dan dongeng,

seseorang yang dikuasai oleh makhluk halus kelakuannya akan menjadi

tidak normal dan kepribadiannya akan berubah (Walker, 1973, 4).

Dalam hal ini, peneliti melakukan penelitian mengenai kesurupan

yang terjadi dalam kesenian jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo

Jati Manunggal yang berarti bahwa kesurupan tersebut merupakan


(39)

berperilaku seperti binatang dan kehilangan kontrol atas segala yang

mereka perbuat. Dalam kesurupan, para penari jathilan juga dapat

melakukan adegan-adegan berbahaya seperti memakan beling, memakan

dupa, memakan bunga, dan lain-lain.

2. Kesurupan Menurut Perspektif Psikologi

Kurniawan (2010) dalam artikelnya berpendapat, jika ditinjau dari

sudut pandang psikologi, fenomena kesurupan sebenarnya bisa dijelaskan

secara gamblang dan jelas tanpa membawa embel-embel makhluk gaib.

Jika dikaitkan dengan aspek psikologis manusia peristiwa kesurupan

sudah memasuki kawah alam bawah sadar. Itha (2007) dalam artikelnya

mengungkapkan bahwa fenomena kesurupan dikenal dengan istilah trans

dissosiatif yaitu perubahan dalam kesadaran yang bersifat temporer atau

hilangnya perasaan identitas diri tanpa kemunculan identitas baru.

Carl Gustav Jung (1875) mengatakan bahwa kepribadian

manusia secara total terdiri dari tiga sistem atau struktur yang saling

mempengaruhi satu sama lain. Sistem tersebut adalah ego,

ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif. Ego adalah jiwa

sadar yang terdiri dari persepsi-persepsi, ingatan-ingatan, pikiran-pikiran,

dan perasaan-perasaan sadar. Ego melahirkan perasaan identitas dan

kontinuitas seseorang dan dari segi pandangan sang pribadi ego

dipandang berada pada kesadaran. Sistem ini adalah kewaspadaan kita


(40)

sehari-hari. Ketidaksadaran pribadi adalah daerah yang berdekatan dengan ego.

Ketidaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman-pengalaman yang telah

kita jalani dan digeser ke alam bawah sadar baik sengaja maupun tidak

sengaja. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah segala macam

pengalaman-pengalaman yang telah diwariskan oleh generasi

sebelumnya sejak jaman nenek moyang dahulu. Jadi, pengalaman

pengalaman nenek moyang sejak beribu tahun yang lalu tersebut

diwariskan kepada diri kita melalui jalan genetik yaitu perkawinan, dan

pengalaman tersebut tidak dapat kita ingat secara biasa karena berada

dalam level ketidaksadaran yang terdalam.

Kunci dari fenomena kesurupan terletak pada level

ketidaksadaran kolektif. Di dalam ketidaksadaran kolektif tersimpan

materi-materi dari nenek moyang kita terdahulu. Untuk mengingat

kembali bahwa nenek moyang kita bangsa Indonesia ini terdahulu sangat

kental sekali dengan unsur-unsur mistisme seperti kepercayaan animisme

dan dinamisme. Hal ini juga yang menjadi jawaban kenapa di Indonesia

lebih sering terjadi peristiwa kesurupan daripada negara-negara barat

seperti Amerika yang notabene tidak terlalu percaya terhadap hal-hal

gaib. Motif-motif itulah yang tersimpan dan terwariskan ke anak-anak

cucunya termasuk generasi pada saat ini, maka jangan heran jika orang

yang mengalami peristiwa kesurupan bisa berperan sebagai kakek-kakek

yang hidup pada jaman dahulu. Hal ini makin diperparah dengan


(41)

bisa menjadi semacam stimulus yang sewaktu-waktu bisa

membangkitkan pengalaman masa lalu tersebut.

Faktor yang dominan yang bisa memicu terjadinya kesurupan

adalah faktor psikologis, stress, depresi atau semacamnya. Orang yang

mengalami stress mudah sekali tersugesti dengan berbagai hal

dikarenakan biasanya orang yang stress itu seringkali melamun yang

menandakan kosongnya pikiran sadar. Jika pikiran sadar kosong sudah

pasti pikiran bawah sadarlah yang mendominasi (Itha, 2007).

Jadi fenomena kesurupan menurut perspektif psikologi adalah

suatu fenomena dimana manusia berada di alam bawah sadar dan juga

berada dalam ketidaksadaran kolektif. Faktor yang dominan yang bisa

memicu terjadinya kesurupan dalam perspektif psikologi adalah pikiran

kosong, stress, depresi, atau semacamnya.

3. Gejala-gejala Kesurupan

Gejala-gejala beberapa waktu sebelum kesurupan antara lain

kepala terasa berat, badan, dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur,

badan terasa ringan, dan ngantuk. Perubahan ini biasanya masih disadari

oleh subjek, tetapi setelah itu ia tiba-tiba tidak mampu mengendalikan

dirinya. Melakukan sesuatu di luar kemampuan dan beberapa di

antaranya merasakan seperti ada kekuatan di luar yang mengendalikan

dirinya. Mereka yang mengalami kesurupan merasakan bahwa dirinya


(42)

luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang

menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali.

Dalam keadaan kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang

terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan

bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal

yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan

hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka

mendapat kepuasan hebat (Itha, 2007). Frigerio (2007) menyatakan, ada

tiga stadium yang dialami orang kesurupan, yaitu :

1. Pertama, irradiation, subjek tetap menyadari dirinya tetapi ada

perubahan yang dirasakan pada tubuhnya.

2. Kedua being diside, subjek berada dalam dua keadaan yang

berbeda, namun ada sebagian yang dialaminya disadarinya.

3. Ketiga disebut stadium incorporation, subjek sepenuhnya dikuasai

oleh yang memasukinya dan semua keadaan yang dialami tidak

diingatnya.

Dalam kesurupan yang dialami para penari jathilan dalam

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal, mencapai stadium

incorporation, yaitu subjek sepenuhnya dikuasai oleh yang memasukinya


(43)

D. Dinamika Penelitian

1. Batasan-batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian mengenai

fenomena kesurupan yang dialami oleh para penari jathilan yang

tentunya pernah mengalami kesurupan, karena peneliti mendapatkan

informasi dari para penari dan pawang bahwa tidak semua penari jathilan

mengalami kesurupan dalam setiap pentas kesenian jathilan.

Adapun penelitian ini hanya meneliti para penari jathilan yang

berada di Dusun Kepuh yaitu kelompok jathilan Turonggo Jati

Manunggal. Peneliti menganalisa makna apa yang dihayati para penari

jathilan sehingga mereka tetap mau njathil hingga kesurupan walau

dewasa ini esensi kesurupan dalam kesenian jathilan mulai bergeser

dengan ditandai munculnya kesurupan pura-pula sebagai sesuatu yang

lazim terjadi. Apakah kesurupan yang dialami penari jathilan Turonggo

Jati Manunggal sama seperti yang dilakukan para penari jathilan dari

kelompok jathilan yang lain, yakni hanya sebatas bertujuan untuk

menghibur penonton dan dilakukan untuk menambah pendapatan

(materi)? atau memang ada suatu hal yang dianggap penting dan


(44)

Seiring perkembangan jaman, esensi kesurupan mulai

bergeser/berubah 2. Alur Berpikir

Skema 1. Skema alur penelitian

Dewasa ini kesurupan pura-pura sudah lazim dilakukan

oleh penari jathilan

Jaman dahulu melibatkan kesurupan

sesungguhnya

Jathilan merupakan warisan budaya Jawa

Berbeda dengan penari

jathilan Kepuh, mereka tetap mempertahankan kesurupan

sesungguhnya

Bagaimana para penari

jathilan Kepuh memaknai fenomena kesurupan?


(45)

Dari berbagai pandangan mengenai fenomena kesurupan, dalam

penelitian ini peneliti membatasi kajian kesurupan yaitu hanya kesurupan

dalam kesenian jathilan di Dusun Kepuh. Seperti yang telah dibahas

sebelumnya, fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan merupakan

suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pentas kesenian

jathilan termasuk dengan tari-tarian yang dinamis. Para penari jathilan

yang mengalami kesurupan sewaktu pentas dalam kesenian jathilan

memang berada di alam bawah sadar dan juga berada dalam

ketidaksadaran kolektif, yang membuat mereka hilang kesadaran dan

dapat bertingkah aneh. Dari penggalian tiga aspek, yaitu pikiran,

perasaan, dan perilaku sehubungan dengan fenomena kesurupan yang

dialami penari jathilan diharapkan dapat menggali makna yang dihayati

para penari jathilan di Dusun Kepuh sehingga tetap mau njathil hingga

kesurupan walau dewasa ini esensi kesurupan dalam kesenian jathilan

mulai bergeser dengan ditandai munculnya kesurupan pura-pula sebagai


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang

pemaknaan para penari jathilan yang pernah mengalami kesurupan terhadap

fenomena kesurupan. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif.

Definisi penelitian kualitatif menurut (Anzwar, 1995) adalah penelitian yang

menekankan pada analisis dinamika hubungan antar fenomena yang diamati

dengan menggunakan logika ilmiah, cara-cara berpikir dan argumentatif.

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan paradigma

kualitatif fenomenologi. Metode fenomenologi merupakan suatu metode

berpikir tanpa prasangka dan tidak bertitik tolak dari suatu teori atau

gambaran tertentu dalam mengetahui isi dari suatu fenomena (Creswell,

1998). Menurut Bogdan dan Biklen (1982) peneliti dengan pendekatan

fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu peristiwa dan saling

pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu. Tujuan dari penelitian

fenomenologi adalah mengungkap pengalaman manusia dalam menghadapi

peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dengan cara pemaknaannya

(Husserl, dalam Hadiwijoyo, 1980).

Karakteristik pendekatan fenomenologis adalah: 1) Tidak berasumsi

mengetahui hal-hal apa yang berarti bagi manusia yang akan diteliti; 2)

Memulai penelitian dengan keheningan untuk menangkap apa yang sedang


(47)

diteliti; 3) Menekankan pada aspek subjektif perilaku manusia, dengan

berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subjek agar dapat memahami

bagaimana dan makna apa yang mereka konstruksi di sekitar peristiwa dalam

kehidupannya sehari-hari; 4) Mempercayai bahwa dalam kehidupan manusia

banyak cara yang dapat dipakai untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman

dari masing-masing kita melalui interaksi kita dengan orang lain, dan bahwa

hal ini merupakan makna dari pengalaman kita yang merupakan sebuah

realita; 5) Semua cabang penelitian kualitatif berpendirian bahwa untuk

memahami subjek adalah dengan melihatnya dari sudut pandang subjek

sendiri, artinya dalam melakukan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan

pendekatan dan mengkonstruksi penelitiannya berdasar pada pandangan

subjek yang diteliti.

B. Fokus Penelitian

Fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah makna

kesurupan dalam kesenian jathilan bagi penari jathilan dalam kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, Desa Kepuharjo,

Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Fokus dalam penelitian

ini untuk menggali suatu makna yang dihayati para penari jathilan sehingga

tetap mau njathil hingga kesurupan. Makna kesurupan bagi penari jathilan

dalam suatu kesenian jathilan tidak lepas dari aspek pikiran, perasaan, dan


(48)

beserta pedoman umum wawancara terhadap penari jathilan dalam kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh :

Aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini :

Tabel 1

Aspek-aspek Penelitian

Aspek Hal-hal yang Diungkap

1. Pikiran (PK)  Aneka ingatan atau pengetahuan tentang kesurupan dalam jathilan

2. Perasaan (PR)  Berbagai perasaan yang dirasakan penari jathilan berkenaan dengan fenomena

kesurupan, berbagai perasaan ketika

mengalami kesurupan, serta berbagai

pengaruh kesurupan terhadap perasaan

dalam kehidupan sehari-hari

3. Perilaku (PL)  Sejauh mana kejadian kesurupan mempengaruhi tindakan-tindakan dan

aktivitas kehidupan subjek baik selama

njathil maupun dalam kehidupan


(49)

Pedoman wawancara dalam penelitian ini:

Tabel 2

Pedoman Wawancara

Tema Target jawaban Pertanyaan

I. Kesurupan

secara umum

Untuk mendapatkan

informasi tentang

pandangan subjek terhadap

peristiwa kesurupan dalam

kesenian jathilan di Kepuh

PK= Bagaimana anda

memandang peristiwa

kesurupan dalam

kesenian jathilan di

Kepuh?

Untuk mendapatkan

informasi mengenai

berbagai hal yang subjek

rasakan sebelum, saat dan

sesudah mengalami

kesurupan

PR= Apa yang anda

rasakan sebelum, saat

dan sesudah mengalami

kesurupan?

Untuk mendapatkan

informasi mengenai dampak

kesurupan yang dialami

subjek dalam kehidupan

sehari-hari (dalam lingkup

diri sendiri, lingkup

keluarga maupun lingkup

kehidupan bermasyarakat)

PL= Apa dampak

kesurupan yang anda

alami dalam kehidupan


(50)

II.Kesurupan

yang tidak

sesungguhnya

(kesurupan

pura-pura)

Untuk mengkroscek apakah

subjek benar mengalami

kesurupan sesungguhnya

PK= Apakah anda

pernah melakukan

kesurupan pura-pura?

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

hal yang dirasakan subjek

ketika melakukan kesurupan

pura-pura.

PR= Bagaimana

perasaan anda ketika

njathil dan melakukan

kesurupan pura-pura?

Untuk mendapatkan

informasi mengenai dampak

kesurupan pura-pura dalam

perilaku keseharian subjek

(dalam lingkup diri sendiri,

lingkup keluarga maupun

lingkup kehidupan

bermasyarakat)

PL= Berdampak apakah

dalam perilaku

keseharian anda ketika

mengalami kesurupan

pura-pura? III. Kesurupan dalam kesatuan dalam kesenian jathilan

Untuk mendapatkan

informasi apakah kesurupan

dimaknai sama seperti

jaman dahulu yang

melibatkan kesurupan

sebagai suatu kesatuan

PK= Menurut anda,

fenomena kesurupan

dalam kesenian jathilan

merupakan suatu

kesatuan yang utuh atau


(51)

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

perasaan yang dirasakan

subjek ketika mengalami

kesurupan dan tidak

mengalami kesurupan

sewaktu njathil.

PR= Bagaimana

perasaan anda sewaktu

mengalami kesurupan

dan tidak mengalami

kesurupan sewaktu

njathil?

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

dampak dalam keseharian

subjek ketika mengalami

kesurupan dan tidak

mengalami kesurupan

sewaktu njathil. (dalam

lingkup diri sendiri, lingkup

keluarga maupun lingkup

kehidupan bermasyarakat)

PL= Apa dampak

dalam perilaku

keseharian anda terkait

dengan mengalami

kesurupan dan tidak

mengalami kesurupan

sewaktu njathil?

IV. Motivasi

yang

mendorong

penari

jathilan

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

hal yang membuat subjek

tetap mau njathil hingga

kesurupan.

PK= Apa yang

membuat anda tetap

mau njathil hingga


(52)

sehingga

tetap mau

njathil hingga

kesurupan

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

hal yang subjek rasakan

terkait dengan profesi

subjek yang tetap mau

njathil hingga kesurupan.

PR= Apa yang anda

rasakan ketika anda

tetap mau njathil

hingga kesurupan?

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

dampak dalam perilaku

keseharian subjek terkait

dengan kegiatan njathil

hingga kesurupan yang

subjek alami. (dalam

lingkup diri sendiri, lingkup

keluarga maupun lingkup

kehidupan bermasyarakat)

PL= Setelah anda

kesurupan, apakah hal

tersebut mempengaruhi

perilaku dalam

keseharian anda?

V.Dampak

kesehatan dari

kesurupan

Untuk mendapatkan

informasi tentang

bagaimana subjek

memaknai setiap dampak

kesehatan yang dialami saat

kesurupan

PK= Apa dampak bagi

kesehatan anda terkait

dengan peristiwa

kesurupan yang anda


(53)

Untuk mendapatkan

informasi tentang berbagai

hal yang subjek rasakan

ketika mengetahui dampak

bagi kesehatan subjek dari

peristiwa kesurupan yang

subjek alami.

PR= Apa yang anda

rasakan ketika

mengetahui dampak

bagi kesehatan anda

dari peristiwa

kesurupan yang anda

alami?

Untuk mendapatkan

informasi tentang pengaruh

bagi perilaku dalam

keseharian subjek, terkait

dengan dampak peristiwa

kesurupan bagi kesehatan.

PL= Terkait dengan

dampak peristiwa

kesurupan bagi

kesehatan, apa

pengaruh hal tersebut

bagi perilaku dalam

keseharian anda?

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah para penari jathilan dalam kelompok jathilan

Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, Desa Kepuharjo, Kecamatan

Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Pemilihan subjek dilakukan dengan

metode purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan pada kriteria

tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Sulistyo, 2006). Hal ini bertujuan agar


(54)

dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh dengan

kriteria:

1) Tidak dibatasi usia dan jenis kelamin

2) Waktu njathil cukup lama (lebih dari 5 tahun)

3) Mengalami kesurupan ketika njathil, dengan kriteria:

- Penari mengalami hilang kesadaran saat kesurupan dan mencapai

stadium incorporation yang tidak mengingat apa saja yang dialami

saat kesurupan.

- Mengalami gejala sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat,

badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan,

dan ngantuk; saat kesurupan tidak bisa mengendalikan diri dan hilang

kesadaran; dan setelah kesurupan penari kembali sadar dan dapat

merasakan efek dari kesurupan yang dilakukan seperti badan lemas,

kelelahan, dan cidera fisik (badan lebam, lecet), namun tidak bisa

mengingat apa saja yang terjadi saat kesurupan.

- Melakukan adegan-adegan ekstrim saat kesurupan dan memakan

makanan yang tidak lazim (bunga, dupa, beling, dll).

D. Metode Pengambilan Data

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah

dengan metode wawancara mendalam. Wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu. Moelong (2007) mengatakan bahwa wawancara


(55)

pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas

pertanyaan tersebut. Wawancara yang mendalam bertujuan untuk

mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya dan mendalam dalam

mengungkap pemaknaan para penari jathilan yang pernah mengalami

kesurupan terhadap fenomena kesurupan tersebut yang direfleksikan

dalam pengalaman-pengalaman mereka.

Adapun metode wawancara mendalam yang digunakan peneliti

dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara

tersebut dilakukan secara informal dan menggunakan pedoman umum

wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005), wawancara

informal merupakan wawancara yang didasarkan sepenuhnya pada

perkembangan pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi

ilmiah. Sedangkan wawancara dengan pedoman umum, yaitu proses

wawancara dimana peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang

bersifat umum dengan mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa

menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan

eksplisit. Dengan kata lain, penggunaan teknik wawancara ini sangat

tergantung pada kondisi saat melakukan pengambilan data dan

tergantung pada kebutuhan dalam pengambil data, oleh karena itu teknik

wawancara ini bersifat fleksibel. Pedoman wawancara digunakan untuk

mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas

sehubungan dengan fenomena yang diteliti, sekaligus menjadi daftar


(56)

dibahas atau diajukan sebagai pertanyaan. Proses pengambilan data yang

diperoleh peneliti berupa rekaman wawancara yang diubah dalam bentuk

verbatim, untuk itu peneliti menggunakan media alat perekam dengan

tujuan sebagi kroscek terhadap hasil wawancara kepada subjek.

E. Analisis Data

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menganalisa data

verbatim hasil wawancara adalah sebagai berikut:

1. Organisasi Data

Organisasi data merupakan tahap awal dari pengolahan dan analisis

data. Data yang akan diorganisasi adalah data mentah berupa verbatim

hasil wawancara yang pada awalnya berupa rekaman. Data-data yang

diorganisir juga termasuk data yang telah diberi kode spesifik, bagan, dan

catatan analisis. Data-data tersebut juga diorganisasikan sesuai dengan

subjek masing-masing, dan juga disesuaikan dengan urutan pengambilan

data di lapangan. Organisasi data tersebut dilakukan agar peneliti dapat

memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis

yang dilakuakan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan

dalam penyelesaian penelitian ini.

2. Pengkodean Data

Langkah selanjutnya setelah melakukan organisasi data adalah


(57)

dan mengkategorikan data secara sistematis, lengkap, dan mendetail

sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari,

serta diharapkan akan ditemukan aspek-aspek yang berkaitan dengan

pemaknaan subjek akan fenomena kesurupan dalam kelompok kesenian

jathilan Turonggo Jati Manunggal. Proses koding dan analisis ini diawali

dengan menyusun data verbatim kedalam kolom, dimana disamping kanan

kolom data diberi kolom kosong yang nantinya akan digunakan untuk

pengkodean dan untuk membubuhkan keterangan dari salinan verbatim.

Dari keterangan tersebut, diharapkan pemaknaan mengenai fenomena

kesurupan dalam kesenian jathilan dapat digambarkan dengan baik.

3. Interpretasi

Setelah data diorganisasikan dan dilakukan pengkodean, maka

langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi. Interpretasi dalam

penelitian ini dilakukan berdasarkan keterangan-keterangan yang muncul

dalam data verbatim hasil wawancara setelah diperkuat dengan data

observasi. Interpretasi dilakuakan agar didapatkan gambaran data yang

lebih mendalam. Klave (dalam Poerwandari, 2005) menjelaskan bahwa

interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif


(58)

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

1. Kredibilitas

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif digunakan untuk

menggantikan konsep validitas. Dalam hal ini, objektifitas penelitian

sangat diperlukan dimana peneliti harus menyadari, mengidentifikasi,

dan mendeskripsikan adanya pengaruh nilai-nilai dalam penelitiannya

(Danim, 2002). Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi

yang kompleks. (Poerwandari, 2005).

Menurut (Poerwandari, 2005), beberapa cara yang digunakan

peneliti untuk mencapai kredibilitas penelitian, yaitu dengan cara:

a)Validitas komunikatif

Validitas komunikatif dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan

kembali data dan analisisnya kepada subjek penelitian. Hal tersebut

dilakuakan agar data wawancara yang diperoleh peneliti yang sudah

diubah kedalam bentuk transkrip verbatim merupakan data yang

benar-benar mewakili jawaban subjek saat itu.

b)Validitas argumentatif

Validitas argumentatif dilakukan dengan mengkroscek data mentah


(59)

memeriksa deskripsi tersebut, sehingga subjek dapat memberikan

masukan ataupun pembetulan.

2. Konfirmabilitas

Konfirmabilitas dalam penelitian kualitatif digunakan untuk

menggantikan konsep objektivitas. Dalam hal ini menekankan bahwa

temuan penelitian dapat dikonfirmasi. Dalam penelitian kualitatif,

objektivitas dalam pengertian transparansi merupakan hal yang sangat

penting untuk dilakukan, yaitu dengan adanya kesediaan peneliti

mengungkap secara terbuka proses dan elemen-elemen penelitiannya,


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prosedur Pengambilan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam pengambilan data

penelitian antara lain:

1. Melakukan pendekatan dan membangun rapport jauh hari sebelum

penelitian dilaksanakan. Pendekatan awal dilakukan sewaktu

peneliti melangsungkan kegiatan KKN di Dusun Kepuh.

Pendekatan awal dilakukan melalui interaksi langsung saat ada

latihan njathil dan ikut terlibat menjadi penari saat pentas kesenian

jathilan berlangsung. Pendekatan selanjutnya adalah berbaur

langsung dengan aktivitas keseharian subjek. Pendekatan ini

bertujuan untuk mengakrabkan diri dengan subjek dan mencari

informasi sebanyak mungkin dari fenomena kesurupan dalam

kesenian jathilan di Dusun Kepuh serta sebagai sarana untuk

menyampaikan maksud dan tujuan dalam penelitian ini. Dari

hubungan positif yang terjalin, diharapkan dapat mempermudah

peneliti untuk mendapatkan pemaparan informasi secara mendalam

dan terbuka.

2. Melakukan pemilihan subjek dengan metode purposive sampling.

Peneliti meminta bantuan pawang jathilan untuk menentukan

subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan


(61)

sebelumnya dalam bahasan subjek penelitian, setelah terpilih

beberapa nominasi penari jathilan, kemudian peneliti mengkroscek

kriteria yang diinginkan peneliti terhadap beberapa nominasi penari

jathilan tersebut (apakah sesuai dengan kriteria yang peneliti

inginkan) dan terpilih tiga penari jathilan yang memenuhi kriteria

penelitian untuk dijadiakan subjek penelitian.

3. Meminta izin untuk melakukan wawancara awal terhadap subjek.

4. Melakukan wawancara awal. Wawancara awal dilakukan pada

tanggal 1 Mei 2012. Kegiatan dilakukan dengan tujuan

mendapatkan gambaran awal mengenai makna kesurupan bagi

penari jathilan di Kepuh.

5. Melakukan tahap persiapan penelitian dengan membuat pedoman

umum wawancara. Pedoman wawancara tersebut disesuaikan

dengan subjek dan hasil wawancara awal.

6. Melakukan uji coba wawancara terhadap subjek acak. Kegiatan

dilakukan untuk memastikan pertanyaan yang disusun peneliti

mampu ditangkap dan dipahami sama oleh subjek sesuai dengan

tujuan pembuatan pertanyaan.

7. Merevisi beberapa pertanyaan yang kurang sesuai.

8. Melakukan penelitian yang dimulai sejak tanggal 1 April 2012

sampai dengan 30 Agustus 2012. Peneliti melakukan dua tahap

wawancara. Wawancara kedua dilakukan untuk melengkapi data


(62)

wawancara pertama. Pada tanggal 22 September 2012, peneliti

melakukan wawancara terhadap subjek pertama. Kemudian, pada

tanggal 23 September 2012, peneliti melakukan wawancara

terhadap subjek kedua. Wawancara terhadap subjek ketiga

dilakukan pada tanggal 24 September 2012. Pada tanggal 29

September 2012, peneliti melakukan wawancara tahap kedua

terhadap subjek pertama. Kemudian, pada tanggal 30 September

2012, peneliti melakukan wawancara tahap kedua terhadap subjek

kedua dan ketiga. Setelah melakukan wawancara, peneliti segera

memindahkan hasil rekaman dalam bentuk verbatim atau transkrip

wawancara. Kemudian, peneliti menentukan coding serta membuat

kategori untuk keseluruhan verbatim subjek.

9. Setelah menentukan coding serta membuat kategori untuk

keseluruhan verbatim subjek, kemudian peneliti melakukan

konfirmasi data kepada subjek untuk memastikan data yang telah

diperoleh oleh peneliti sudah sesuai dengan keadaan subjek.

Peneliti mencapai validitas komunikatif dengan cara

mengkonfirmasikan kembali data dan analisis penelitian kepada

seluruh subjek penelitian.

10. Setelah menentukan coding dan kategori serta mengkonfirmasikan

kembali data dan analisisnya kepada seluruh subjek penelitian,

peneliti melakukan interpretasi data dan membuat kesimpulan


(63)

B. Subjek Penelitian

Peneliti melakukan wawancara terhadap tiga subjek. Berikut data subjek:

a. Subjek 1

Nama : Fn

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 24 tahun

Pekerjaan : Swasta

Lama njathil : 8 tahun

b. Subjek 2

Nama : Pt

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 35 tahun

Pekerjaan : Sopir/Penambang pasir

Lama njathil : 9 tahun

c. Subjek 3

Nama : As

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 30 tahun

Pekerjaan : Penambang pasir


(64)

C. Hasil Analisis Data Penelitian

Tabel 3

Tabel Analisa Subjek 1

I. Kesurupan secara umum

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan tujuan utama dalam jathilan I.PK (8-9)

 (+)Kesurupan tujuan utama (jathilan

menjadi unik karena kesurupan) I.PK (13-16)

 (+)Masyarakat tidak memandang buruk dari kesurupan yang dialami subjek  I.PK (339-344)

 (+)Sebelum dan sesudah kesurupan merasa senang, bisa

njathil dan kesurupan

merupakan suatu kebanggaan  I.PR (315-328)

 (+)Sewaktu

kesurupan tidak merasakan apapun karena saat kesurupan tidak sadar  I.PR (315-328)

 (+)Jika berbeban berat menjadi “plong” setelah kesurupan 

I.PR (352-360)

 (+)Kesurupan tidak berdampak buruk pada kehidupan harian  I.PL (50-58)

 (+)Sempat ditakuti oleh masyarakat namun perlahan kesurupan yang dialami subjek menjadi hal yang biasa dan tidak ditakuti lagi  I.PL (293-300)

 (+)Untuk melakukan berbagai hal menjadi lebih semangat  I.PL (352-360)


(1)

586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616

nyatanya gak kenapa-napa ki mbak.

Terkait dengan dampak

peristiwa kesurupan bagi kesehatan, apa sih pengaruh hal tersebut bagi perilaku dalam keseharian mas As? Ya mungkin kalo dari…otomatis itu kan dari penonton to mbak, itu dari penonton ya saya kurang kurang bisa nganu ya… bisa memahami. Karena kan penonton juga mungkin cuma merasakan liat aja kalo pas makan beling makan nganu

itu…mungkin cuma

merasa…merasa heran aja. Kalau dari mas As sendiri? bangga yang jelas bangga perasaan itu bangga, karena kan gak…gak setiap jongki itu bisa makan kaya gitu kan...tu cuma bangga kan kalau kita itu gak bener-bener kesurupan itu kalau makan beling itu kan juga gak masuk akal to mbak...itu ya itu bikin salah satu kebanggaan saya sebagai penari. Lalu…lalu pas waktu opo ya…makan beling pas kesurupan makan beling itu satu kebanggaan tersendiri

V.PR (604-613)

V.PR (614-618)

kesurupan yang dialami subjek tidak berdampak buruk untuk kesehatan subjek

Merasa bangga jika kesurupan makan beling

Makan beling saat kesurupan merupakan suatu kebanggan


(2)

617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 647 648

karena jongki lain jugak belum tentu kaya gitu…ya biasa aja mbak. Gak ada perasaan yang…apa ya...e yang menonjol…bikin saya lebih…lebih…atau apa lagi…bikin saya sombong itu gak ada. Karena itu yang melakukan bukan diri kita sendiri mbak, kita itu cuma buat apa ya...yang jelas raga kita itu kan cuma untuk dikunjung, jadi kita gak…gak tau to, gak tau bener-bener gak tau. Yang pelaku kesurupan itu gak tau. Jadi kan tetep gak ada perasaan yang sombong atau bikin gimana itu gak ada. Ya saya rasa ya kesurupan ga kesurupan tu capek mbak…itu wis tetep e…ya satu…sampe…bahkan bisa sampe satu minggu itu ya rasa capek kita itu belum hilang itu…itu tapi kalo gak...opo tambah penyemangat kerja atau gimana itu gak ada. Malah bikin males itu yang sering saya lakukan itu itu…asline gitu, itu tapi anehnya yang kalau dilogika emang bikin capek dan gak semangat itu faktanya yang

V.PR (619-624)

V.PR (634-657)

karena belum tentu semua penari dapat melakukan hal tersebut

Tidak ada perasaan yang menonjol, tidak membuat sombong

Merasa lelah dan jadi malas bekerja namun tetap menjadi lebih semangat karena kesurupan yang dialami subjek dilakukan dengan tulus


(3)

649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679

harusnya capek malah badan jadi tahan banting, yang harusnya gak semangat eh semangatnya malah nambah. Intinya ya tetep jadi dampak yang positif mbak, mungkin karna saya melakukan kesurupan itu dari niat dan ketulusan jadinya dampaknya itu dampak positif. Hal yang menyebabkan mas As tetep mau kesurupan? ya opo yo itu karena udah suatu tanggung jawab kita sebagai apa ya…kita mau bergabung di nganu itu suatu kelompok jathilan itu. Jadi cuma kita itu juga ingin menunjukknan nganu…rasa tanggung jawab, di saya sebagai nganu yo…sebagai anggota. Ya meskipun itu berat, meskipun itu capek. Kalo kita juga gak dapet apa-apa to mbak. Mungkin dari nganu…karena kan kalo ada…apa ya…ada istilahnya tanggapan dari luar, uang itu kan buat kas mbak, gak di bagikan lho. Mungkin cuma dari penari mungkin opo…penari sama yogo itu mungkinnya itu cuma rokok sebatas rokok, lainnya buat uang kas. Ho’o…gak ada

IV.PK (663-667)

Njathil hingga kesurupan karena ingin menunjukkan rasa tanggungjawab sebagai anggota kelompok jathilan di Kepuh


(4)

680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693

opo yo…lampiran itu gak ada. Lalu dampak untuk diri mas As sendiri dan masyarakat? Jadi ya boleh dibilang kalau dampak untuk diri saya sendiri kalau kesehatan saya fisik rasanya cuma capek ya mbak, kerja jadi kurang maksimal tapi ya tetep seneng, kalau untuk masyarakat sendiri tetap mendukung apa yang saya kerjakan mbak, emm...anu...apa bisa dibilang solodaritasnya nambah.

V.PK, V.PR,V.PL (683-693)

 Kondisi fisik menjadi lelah setelah kesurupan

 Walau fisik lelah namun tetap merasa senang

 Masyarakat

mendukung apa yang dilakukan subjek dan dapat menambah

solodaritas antar masyarakat


(5)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI MANUNGGAL

DI DUSUN KEPUH

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRAK

Jathilan merupakan salah satu warisan budaya Jawa. Jathilan pada jaman dahulu melibatkan unsur kesurupan sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Seiring perkembangan jaman, pemaknaan tersebut mulai bergeser. Penelitian ini akan mengungkap makna kesurupan yang dihayati para penari jathilan sehingga mereka tetap mau njathil hingga kesurupan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini sebanyak tiga orang penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh. Subjek penelitian diperoleh dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam. Verifikasi data dilakukan dengan mengkonfirmasikan kembali data dan analisisnya kepada subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1) Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2) Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3) Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri. Ketiga makna yang dihayati para penari jathilan tersebut membuat mereka tulus dan senang hati tetap njathil hingga kesurupan.

Kata kunci: kesurupan, jathilan, penari jathilan, budaya Jawa.


(6)

THE MEANING OF TRANCE FOR JATHILAN DANCERS

IN THE GROUP OF TURONGGO JATI MANUNGGAL

AT KEPUH VILLAGE

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRACT

Jathilan is one of Javanese cultural heritages. Jathilan was formerly involving a trance as an inseparable unity. Over the times, its meaning has begun to shift. This research would reveal the meaning of trance that has been internalized by the dancers so that they still want to do the jathilan dance until they get trance. This research was done using a phenomenological qualitative approach. The research subjects were three jathilan dancers from the jathilan group of Turonggo Jati Manunggal in Kepuh Village. The research subjects were gathered by purposive sampling technique. The data gathering was obtained by a deep interview. The data verification was done by reconfirming the data and its analysis toward the research subjects. The research result showed that the three subjects have positive meaning to the trance phenomenon in jathilan. There were three positive meanings of the trance phenomenon: 1) Trance as something important and precious, 2) Trance is a value that can increase the quality of life; 3) Trance is done sincerely and as their wish. Those three meanings that were internalized by the dancers have made they remain sincere and happy to do the jathilan dance until the get trance.

Keywords: trance, jathilan, jathilan dancers, Javanese culture