233
dengan komunikasi di dalam kehidupan sehari hari, karena keduanya menyampaikan pesan.
198
Hal ini diperkuat dengan pendapat de Marinis yang menyatakan bahwa proses komunikasi terjadi bukan karena
pengirim dan penerima menggunakan “ saluran “ yang sama dalam dan untuk menyampaikan maupun menerima pesan, namun yang
paling penting adalah, bahwa ketika satu pihak mengirim sebuah signal yang membuat pihak lain bereaksi, maka proses komunikasi
itu telah terjadi.
199
3. Tingkat Heterogenitas dan Pendidikan Masyarakat
Komposisi penduduk di suatu wilayah saat ini dapat dikatakan sangat heterogen. Mereka mempunyai latar belakang
budaya, ras, pendidikan, dan ideologi yang berbeda dan akan mudah memicu pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan
sosial. Terlebih lagi arus pendatang ke suatu wilayah semakin meningkat. Keadaan demikian merupakan salah satu pendorong
terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial. Kondisi tersebut
tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin interaksi dengan masyarakat setempat. Hal ini membuka kesempatan kepada
para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya dengan bekal pendidikan yang mereka miliki.
198
Santosa, “Aspek Kuminikatif Pertunjukan Gamelan”, dalam Waridi, Seni Pertunjukan Indonesia Surakarta : STSI Press, 2005, 44.
199
Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terjemahan Aine O’Healy Bloomington and Indianapolis : Indiana University Press, 1993,
140.
234
Variasi tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat baik warga asli maupun pendatang, memberikan nilai-nilai tertentu bagi
wilayah setempat, terutama membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir rasional dan objektif. Hal ini akan memberikan
kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya dapat memenuhi perkembangan zaman atau tidak.
Dalam beberapa kasus perkembangan seni tradisional yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya seni
tradisional kerakyatan,
telah banyak
perubahan dalam
penyajiannya.Hal ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat untuk membuat sesuatu karya yang lebih baik dari karya
sebelumnya sangat tinggi.Seni jathilan salah satu contoh yang merupakan bagian dari kesenian tradisional kerakyatan telah
mengalami berbagai perkembangan baik dari sisi bentuk, durasi penyajian, kostum, hingga iringannya.
Bentuk seni jathilan yang dikenal selama ini terkesan monoton, dengan iringan ala kadarnya, kini mulai berkembang
pesat dengan masuknya beberapa instrumen baru seperti keyboard, drum dan perkusi lain. Penghadiran perangkat baru dalam
instrumen
jathilan itu menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan adanya perubahan selera estetik. Peningkatan selera
estetik ini banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang lebih maju dan berkembang. Keberadaan seniman yang mengenyam
pendidikan formal di bidang seni yang berada di wilayah kabupaten maupun kota, sangat menentukan proses percepatan perkembangan
seni tradisional. Secara internal dalam satu komunitas kesenian tradisional apabila memiliki potensi seniman yang berasal dari
lembaga kesenian formal akan makin kuat dalam menghadirkan gagasan atau ide pembaruan bentuk sajian seni tradisional yang
235
mereka miliki. Sebaliknya, wilayah yang tidak memiliki potensi warga yang menempuh pendidikan formal kesenian akan lebih
lambat dalam menghadirkan inovasi sajian seni tradisional. Dalam kasus kesenian jathilan yang terjadi di wilayah penelitian
membuktikan bahwa intervensi dari alumni mahasiswa Jurusan Tari Institut Seni Indonesia maupun Universitas Negeri Yogyakarta
mampu memberikan warna tersendiri perkembangan seni tradisional jathilan, sehingga akan nampak lebih dinamis. Hal ini diakui oleh
Ristu Raharjo, salah satu Pembina seni tradisional Kabupaten Gunung Kidul yang mengakui bahwa keberadaan alumni mahasiswa
ISI Institut Seni Indonesia maupun UNY Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Tari, sangat membantu proses pembinaan dan
pengembangan seni tradisional di daerah. Sungguhpun Gunung Kidul merupakan wilayah yang paling minim alumni dari lembaga
formal kesenian itu, dibanding dati II lainnya, tetapi hasil itu bisa dirasakan.
200
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, kehadiran lembaga formal kesenian seperti ISI, SMKI, dan UNY Jurusan Tari, banyak
memberikan andil bagi pengembangan seni pertunjukan tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui program pengabdian kepada
masyarakat, kegiatan pembinaan kesenian dapat dilakukan untuk memberikan alternatif sajian seni tradisional yang lebih variatif.
Sejalan dengan adanya lembaga formal yang peduli dengan upaya pengembangan kesenian tradisional di daerah dan didukung dengan
potensi masyarakat yang secara intelektual lebih maju dibanding kondisi masyarakat ketika kesenian itu lahir, maka lahirlah bentuk-
bentuk pertunjukan baru yang lebih dinamis.
200
Wawancara dengan Ristu Raharjo usia 52 tahun Pembina kesenian tradisional Kabupaten Gunung Kidul, 2 Juni 2012.
236
4. Sarana Transportasi yang mendukung