Metode Ijtihad Hakim PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG NAFKAH ANAK PASCA
53
kualitas pertengkaran pemohon dan termohon telah sampai pada perselisihan dan pertengkaran yang tidak mungkin didamaikan kembali. Oleh karena itu, pembuktian
dan saksi-saksi yang diajukan sebagai bukti atas peristiwa yang sebenarnya terjadi memiliki kekuatan penting di depan hakim pengadilan, khususnya pengadilan agama
sebagai ketentuan formil yang berlaku dalam Hukum Acara Peradilan Agama. Perihal pembebanan nafkah yang dituangkan dalam perkara Nomor
0386Pdt.G2014PA.JU, karena berdasarkan hal-hal yang dituangkan dalam isi gugatan maka hakim mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lain suami, baik
untuk biaya kontrakan rumah, angsuran motor, kebutuhan sandang pangan, sehingga dikabulkannya sebesar Rp 1.500.000,- yang pada awal mulanya pihak istri meminta
sebesar Rp. 2.140.000,- sehingga tidak dikabulkan dengan melihat berbagai macam pertimbangan. Suami yang menyanggupi pemberian nafkah anak sebesar Rp.
1.000.000,- memiliki sebab karena atas dasar suami yang bekerja sebagai karyawan pabrik dengan jabatan operator maka digunakan untuk kontrakan, kebutuhan sandang
pangan, dan uang nafkah.
24
Perihal yang diminta dalam gugatan pihak istri berdasarkan perincian dengan meminta uang les, uang transport, karena mereka tidak
ada kesepakatan, sementara Penggugat rekonpensi menjelaskan perincian tersebut dalam isi jawaban dan rekonpensinya, sehingga dalam Hukum Acara Perdata
mengatakan siapa yang mendalilkan maka dia yang membuktikan.
25
Oleh karena itu, dalam pemberian keputusan oleh majelis hakim hanya mengabulkan pemohon
24
Lihat Salinan Putusan Nomor 0386Pdt.G2014PA.JU.
25
Harmala Harahap, Wawancara pribadi. Jakarta, 7 Mei 2015.
54
sebesar Rp. 1.500.000,- karena beberapa alasan yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan pembebanan nafkah anak kepada Pemohon suami dengan
melihat kondisi, situasi dan perkembangan zaman serta yang paling prinsip ialah perpaduan dari kemampuan, kepatutan dan kelayakan. Untuk menuju prinsip keadilan
bagi para pihak.
26
Hal ini, secara metode yang dilakukan oleh majelis hakim dapat digolongkan sebagai metode penemuan hukum secara intpretasi teologis atau
sosiologis yang dalam pembentukan hukumnya ditinjau dari perkembangan masyarakat sehingga dalam perkara ini majelis memberikan pembebanan nafkah anak
hanya sebesar Rp. 1.500.000,-. Kemudian terkait dalam hal ini bahwa aspek sosiologis memadang hukum
sebagai kenyataan sosial bukan sebagai kaidah.
27
Putusan sebagaimana dikemukakan di atas, menjadi pertimbangan Hakim karena melihat kondisi Pemohon yang tetap
pada pendiriannya untuk bercerai dikhawatirkan justru menjadi pertengkaran yang berkepanjangan oleh kedua belah pihak apabila hubungan mereka tetap berlangsung.
Hal ini terlihat dari mediasi yang telah dilakukan beberapa kali oleh pihak keluarga, tetangga maupun oleh hakim pengadilan sehingga kekhawatiran dengan pertengkaran
yang sering dilakukan maka dapat membuat psikologis anak terganggu karena melihat kondisi orang tuanya. Adapun selain aspek yuridis, filosofis serta sosiologis
majelis hakim berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka
26
Harmala Harahap, Wawancara pribadi. Jakarta, 7 Mei 2015.
27
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011, h. 61.
55
sebagaimana kaidah fikih dalam kitab Al Asybah Wa Annazair, halaman 59 mengatakan:
28
حاصما بلج نم ىوأ دسافما ءرد
Artinya: “Menolak kemudharatan keburukan lebih diprioritaskan dari pada meraih kemaslahatan
kebaikan”. Penggunaan kaidah di atas yang digunakan oleh majelis hakim mengenai
perselisihan yang terus menerus dan percekcokan sehingga mengakibatkan pisah rumah antara Pemohon dan Termohon merupakan dasar yang tepat dalam perkara
perceraian yang berkepanjangan. Kaidah yang menjadi makna implisit dari kaidah di atas yaitu pada konteks kemudharatan. Makna dari kaidah yang menunjukkan bahwa
kemudharatan itu lebih diprioritaskan dari pada meraih kemaslahan sejalan dengan makna kaidah keempat dalam ushul fikih yaitu
ُلاَزُـيُرَرـَضلا kemudharatan itu harus
dihilangkan dan menunjukkan kemudharatan disini terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan.
29
Atas dasar inlah perceraian didahulukan demi terjadinya kemudharatan yang akan terjadi.
Kewajiban hukum sebagai tanggung jawab pasca perceraian menjadi pertimbangan majelis hakim bahwa pengadilan mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bekas suami
30
sebagimana diterangkan tebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 huruf a jo. pasal 149 huruf a dan b serta firman Allah surat al-Baqarah [2]:
28
Lihat Salinan Putusan Nomor 0386Pdt.G2014PA.JU.
29
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al- qowa’idul Fiqhiyyah Jakarta: Kalam
Mulia, 2001, h. 34.
30
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 41 huruf c.
56
241.
31
Dalil-dalil kaidah yang majelis hakim tuangkan dalam putusan Nomor 0386Pdt.G2014PA.JU menjadi pondasi yang kuat sebagai pertimbangan dalam
memutuskan perkara yang berhubungan dengan permasalahan yang diselesaikan majelis hakim. Kitab-kitab yang menjadi rujukan oleh majelis hakim berdasarkan
kutipan yang dirujuk melalui kitab asli pada pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan perkara yang majelis hakim selesaikan dan memang sudah termuat dalam
kumpulan dalil-dalil fikih yang menjadi rujukan majelis hakim.
32
Kemudian beberapa ketentuan pasal yang menjadi dasar dalam pertimbangan majelis hakim sebagaimana di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 huruf a jo.
pasal 149 huruf a dan b. Sesuai dengan penghasilannya maka suami menanggung: nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
33
Kemudian bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a memberikan mut`ah yang layak
kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
34
Pasal 80 KHI jo. pasal 149, ini ialah landasan yang digunakan untuk pemberian nafkah iddah,
mut’ah hanya saja karena dalam perkara ini suami yang mangajukan permohonan cerai maka majelis secara ex officio, boleh menghukum
31
Lihat Salinan Putusan Nomor 0386Pdt.G2014PA.JU.
32
Harmala Harahap, Wawancara pribadi. Jakarta, 7 Mei 2015.
33
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80 huruf a.
34
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 huruf a dan b.
57
suami selagi istrinya tidak nusyuz untuk memberikan nafkah, sebagaimana pada pasal 41 huruf c, yang dikaitkan dengan ada pembebanan pada pasal 149 huruf d, huruf a
dan b di kompilasi hukum Islam tentang mut ’ahnya, dan untuk pembebanan nafkah
anak dalam perkara ini, mestinya landasan yuridis pada pasal 105 huruf c dan 156 huruf d itu ada dan sebaiknya memang ada. Akan tetapi disini hakim bukan tidak
mencantumkannya akan tetapi lebih baiknya mencantumkan.
35
Dengan demikian maka, pasal-pasal yang menjadi pertimbangan hakim di dalam perkara perceraian atas
perkara Nomor 0386Pdt.G2014PA.JU ini penulis berpandangan bahwa majelis hakim lebih mengarah kepada pemberian nafkah iddah, maskan, dan kiswah yang
diperuntukkan kepada seorang istri Termohon, sehingga terdapat kealpaan kelalaian dalam memberikan dasar hukum atau pasal-pasal yang berkaitan dengan
nafkah anak sebagaimana apa yang diminta oleh istri. Majelis hakim dengan memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
diterimanya terlebih dahulu mempelajari kasus berdasarkan landasan hukum yang berlaku sehingga pembebanan nafkah anak dalam konteks ini hanya melihat faktor
yang terjadi dalam masyarakat tanpa memberikan landasan ijtihad dari Undang- Undang yang menjadi ketentuan pembebanan nafkah anak kepada seorang suami.
Oleh karena itu, prinsip ketelitian dalam memberikan dasar hukum kepada para pencari keadilan merupakan prinsip yang sebaiknya menjadi pegangan majelis hakim
dalam memberikan landasan hukum.
35
Harmala Harahap, Wawancara pribadi. Jakarta, 7 Mei 2015.
58