Pengaruh Kebijakan Cukai, Fasilitas Penundaan Dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai Pada Industri Rokok Sumatera Utara

(1)

PENGARUH KEBIJAKAN CUKAI, FASILITAS PENUNDAAN

DAN TINGKAT PRODUKSI TERHADAP PUNGUTAN CUKAI

PADA INDUSTRI ROKOK SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

S U R O N O 067019066/IM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PENGARUH KEBIJAKAN CUKAI, FASILITAS PENUNDAAN

DAN TINGKAT PRODUKSI TERHADAP PUNGUTAN CUKAI

PADA INDUSTRI ROKOK SUMATERA UTARA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Manajemen

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

S U R O N O 067019066/IM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis : PENGARUH KEBIJAKAN CUKAI, FASILITAS PENUNDAAN DAN TINGKAT PRODUKSI TERHADAP PUNGUTAN CUKAI PADA INDUSTRI ROKOK SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : S U R O N O Nomor Pokok : 067019066 Program Studi : Ilmu Manajemen

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Ketua

Drs. Rahim Siregar, MA Anggota

Ketua Program Studi Direktur Magister Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana,

Dr. Rismayani, SE, MS Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B., M.Sc


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 11 Desember 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Anggota : 1. Drs. Rahim Siregar, MA

2. Dr. Rismayani, SE, MS 3. Drs. Syahyunan, M.Si 4. Drs. H.B. Tarmizi, SU


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

“PENGARUH KEBIJAKAN CUKAI, FASILITAS PENUNDAAN DAN TINGKAT PRODUKSI TERHADAP PUNGUTAN CUKAI PADA INDUSTRI ROKOK SUMATERA UTARA”

Adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya.

Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, 11 Desember 2007

Yang Membuat Pernyataan,

S U R O N O


(6)

ABSTRAK

Surono, 2007, Pengaruh Kebijakan Cukai, Fasilitas Penundaan dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai Pada Industri Rokok Sumatera Utara, dibawah bimbingan : A. Rahim Matondang (Ketua), Rahim Siregar (Anggota).

Fenomena utama yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya gap antara trend penerimaan cukai nasional dengan trend penerimaan cukai Sumatera Utara. Dimana angka penerimaan cukai nasional menunjukan trend peningkatan yang positif, sedangkan penerimaan cukai Sumatera Utara cenderung tidak beraturan (irregular variation). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi rokok terhadap pungutan cukai Sumatera Utara.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah expost facto, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Adapun jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder yang disusun secara panel, yaitu penggabungan data cross sectional dari 9 pabrikan rokok dengan data time series berupa data periodik semester tahunan selama 5 tahun pengamatan, mulai tahun 2002 sampai 2006.

Hasil estimasi dengan metode Ordinary Least Square yang menggunakan model efek tetap (MET), menemukan bahwa pada tingkat kepercayaan 99%, secara simultan variabel kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pungutan cukai. Secara parsial, kebijakan cukai berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99% terhadap pungutan cukai Sumatera Utara. Variabel fasilitas penundaan berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95% terhadap pungutan cukai Sumatera Utara. Variabel tingkat produksi berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99% terhadap penerimaan cukai Sumatera utara.

Saran yang disampaikan untuk meningkatkan penerimaan Cukai Sumatera Utara adalah : pertama, menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan faktor kebijakan cukai, pemberian fasilitas penundaan, dan kebijakan yang berkaitan dengan tingkat produksi rokok secara kombinatif dan bersamaan. Kedua, berkaitan dengan penerapan kebijakan cukai hendaknya harus diperhatikan pula aspek kepentingan pengusaha, yaitu agar beban pengusaha tidak terlalu berat terhadap dampak kenaikan harga jual eceran minimum ataupun tarif cukai yang diterapkan oleh pemerintah. Ketiga, hendaknya pemerintah memberikan bentuk-bentuk fasilitas penundaan pembayaran yang lebih besar dari sisi pagu, maupun jangka waktu yang lebih fleksibel. Terakhir, berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan tingkat produksi rokok hendaknya kebijakan pemerintah tidak diarahkan kepada upaya yang semata-mata hanya berkaitan dengan peningkatan jumlah produksi rokok. Hal ini mengingat dampak negatif yang ditimbulkan rokok akan menimbulkan biaya eksternalitas yang tidak sedikit bagi kesehatan masyarakat.


(7)

ABSTRACT

Surono, 2007, Influence of Policy of Excise, Postponement Facility and Production Rate to Revenues of Excise at Industrial of North Sumatera Cigarette, with the Consultant of A. Rahim Matondang (Chairman), Rahim Siregar (Member).

Main phenomenon which the research background is existence of gap between trend revenues of national excise with trend revenues of North Sumateras excise. Where revenues of national excise tending to increase of which are positive, while trend revenues of North Sumatra excise tending to irregular variation. The aim of research is analysing influence of policy of excise, cigarette production rate and postponement facility to collection of North Sumatera excise.

This research type is expost facto which research method applied is quantitative descriptive. As for data type utilizing is secondary data wich compiled panelly, that is amalgamation of cross sectional data out of 9 manufacturer of cigarette with time series data in the form of periodical data of annual semester during 5 year observation, start year 2002 until year 2006.

Estimation earnings yield with Ordinary Least Square method using fixed effect model (FEM), find that at degree of trust of 99%, in simultan variable of policy of excise, production rate and postponement facility have an effect on positive and signifikan to revenues of excise. Parsially, policy of excise have an effect on positive and signifikan at degree of trust of 99% to revenues of North Sumatera excise. Postponement facility variable have an effect on positive and signifikan at degree of trust of 95% to revenues of North Sumatera excise. Production rate variable have an effect on positive and signifikan at degree of trust of 99% to revenues of north Sumatera duty.

Suggestion which submitted to increase revenues of North Sumatera excise is : firstly, apply policy related to factor of policy of excise, vesting of postponement facility, and policy related to cigarette production rate in combined and simultaneous. Second, relate to applying of policy of excise shall have to pay attention to benefit aspect of producer, that is so that too heavy not entrepreneur load to impact of increase of official price and or excise rate applied by government. Third, shall be governmental give form of postponement of larger oneses from sides plafond, and also more flexible duration. Last, relate to policy of cigarette production rate shall policy of government is not pointed to effort which solely only relating to improvement of amount of cigarettes productions. This thing remember generated by negativity impact is cigarette will generate cost of not a few eksternalitity for health of public.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan tesis ini, antara lain :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU yang telah memberikan perhatian dan fasilitas perkuliahan yang baik kepada Program Studi Ilmu Manajemen .

2. Ibu Dr. Rismayani, SE, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Manajemen dan juga selaku dosen pembanding yang telah banyak membantu, memberikan masukan dan arahan agar tesis ini mengikuti standar penulisan tesis yang baik. 3. Bapak Prof. Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Ketua Komisi Pembimbing

yang banyak membantu memberikan bimbingan dan dukungan moril bagi penulis. 4. Bapak Drs. Rahim Siregar, MA, selaku dosen pembimbing yang banyak

mengarahkan penulis dalam menyesaikan tesis ini.

5. Bapak Drs. Syahyunan, M.Si dan bapak Drs. H. B. Tarmidzi, SU, selaku dosen pembanding yang juga banyak memberikan masukan dan arahan yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini.


(9)

6. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai pada Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana USU yang banyak membantu penulis sewaktu perkuliahan.

7. Bapak Heryanto Budi Santoso SH, MM, selaku Kepala Kantor Wilayah DJBC dan seluruh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Kantor Wilayah Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan penelitian dengan baik.

8. Bapak dan Ibunda tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya dan doa yang tulus kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang strata 2 ini dengan baik.

9. Isteriku tercinta Halimatussadiyah dan putra-putri kami tercinta, Haris, Naufal dan Putri, yang telah memberikan dorongan semangat dan sumber inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana USU ini.

10.Seluruh Mahasiswa khususnya kelas regular angkatan sepuluh yang sangat membantu memberikan semangat dan dorongan penulis untuk menyelesaikan pendidikan dengan sukses.

Akhirnya penulis berharap kiranya tesis yang sederhana ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit masukan untuk semua pihak yang berkepentingan. Semoga Allah senantiasa memberikan tuntunan dan hidayah ilmu bagi kita semua.

Medan, 11 Desember 2007


(10)

RIWAYAT HIDUP

SURONO lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1972, menganut agama Islam, merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan bapak Muhayar dan ibu Masnun. Menikah dengan Halimatussadiyah pada tahun 1997, dikaruniai 2 orang putra dan 1 orang putri : Muhamad Haris Surya, Naufal Rahman Surya dan Yasmin Putri Surya. Menyelesaikan pendidikan di : SD Negeri Bidaracina 02 Jakarta, lulus tahun 1985, SMP Negeri 62 Jakarta, lulus tahun 1988, SMA Negeri 54 Jakarta, lulus tahun 1991, Program Diploma Keuangan (STAN) jurusan Bea dan Cukai, lulus tahun 1994, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN) jurusan Manajemen Perekonomian Negara, lulus tahun 2000. Bekerja di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mulai tahun 1994 hingga sekarang .


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

ABSTRACT………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP……… v

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR TABEL ………...…. ix

DAFTAR GAMBAR ……….... x

DAFTAR LAMPIRAN ………..……….. xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………... 4

1.3 Tujuan Penelitian……… 5

1.4 Manfaat Penelitian ……… 5

1.5 Kerangka Pemikiran ………. 6

1.6 Hipotesis Penelitian……….. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 9

2.2 Teori dan Konsep Cukai ……….….….. 11

2.3 Teori dan Konsep Kebijakan Cukai ……….…. 16

2.4 Konsep Fasilitas Penundaan ……….…. 20

2.5 Teori dan Konsep Produksi ………...……… 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25


(12)

3.2 Metode Penelitian ……...……… 25

3.3 Populasi dan Sampel ………. 26

3.3.1 Populasi ... 26

3.3.2 Sampel Penelitian ... 27

3.4 Teknik Pengumpulan Data …..…..……… 28

3.4.1 Studi Dokumentasi ………. 28

3.4.2 Wawancara ……… 28

3.5 Jenis dan Sumber Data………... 29

3.5.1 Jenis Data ……….... 29

3.5.2 Sumber Data ……… 29

3.6 Identifikasi Variabel ………..……… 30

3.7 Definisi Operasional Variabel ………... 31

3.8 Model Analisis data ...…………..………. 33

3.8.1 Model Pool Data ………. 33

3.8.2 Model Efek Tetap ……….. 34

3.8.3 Model Efek Random ………. 34

3.8.4 Pemilihan Model Analisis ……… 35

3.9 Pengujian Asumsi Klasik………... 36

3.9.1 Uji Multikolinearitas ……….. 36

3.9.2 Uji Heteroskedastisitas ……….. 38

3.9.3 Uji Autokorelasi ……… 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 42

4.1.1 Gambaran Umum Industri Rokok... 42

4.1.2 Penerimaan Cukai ...……… 43

4.1.2 Kebijakan Cukai Rokok …………....………... 45

4.1.3 Fasilitas Penundaan ... 50


(13)

4.2 Pengujian Hipotesis ……….………. 53

4.2.1 Pengujian Secara Simultan ………. 53

4.2.2 Pengujian Secara Parsial ……… 58

4.2.3 Uji Variabel yang Paling Dominan ….……… 60

4.3 Pembahasan ………. 62

4.3.1 Pengaruh Kebijakan Cukai terhadap Pungutan Cukai Rokok ……… 62

4.3.2 Pengaruh Fasilitas Penundaan terhadap Pungutan Cukai Rokok ……… 63

4.3.3 Pengaruh Tingkat Produksi terhadap Pungutan Cukai Rokok ………. 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………..…. 68

5.2 Saran ………. 69

DAFTAR PUSTAKA ………. 71


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Penerimaan Cukai Sumatera Utara dan

Kontribusinya….. ...………....

2

2.1 Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau……… 24

3.1 Pabrikan Rokok Sumatera Utara ……… 26

3.2 Perbandingan Nilai Koefisien Determinasi …….…… 38

3.3 Hasil MET Setelah Residual Dikonstankan …..…….. 39

4.1 Pabrikan Rokok Berdasarkan Letak Geografis……… 43

4.2 Data Komparasi Pungutan Cukai ……...………. 44

4.3 Perkembangan Tarif Cukai ………...…... 46

4.4 Kebijakan Kenaikan Harga Jual Eceran ………. 49

4.5 Hasil Estimasi OLS menggunakan MET………. 56

4.6 Estimasi Persamaan Regresi ……….…….. 58


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Pemikiran ……… 7

3.1 Aturan Pengambilan Keputusan ……….. 41 4.1 Perkembangan Penerimaan Cukai Rokok

Sumatera Utara ……….………. 45

4.2 Perkembangan HJE Rokok…..……… 50 4.3 Perkembangan Nilai Pagu Penundaan ……… 52 4.4 Perkembangan Produksi Rokok…………. …………. 53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jenis Obyek Cukai di Berbagai Negara ………... 74 2. Kebijakan Tarif dan Harga Jual Eceran Hasil

Tembakau ……… 75

3. Data Penelitian ……… 76

4. Hasil Estimasi OLS dengan Model MET …………... 79 5. Hasil Estimasi OLS dengan Model Pool Data ……… 80 6. Hasil Estimasi OLS dengan Model MER …………... 81 7. Hasil Estimasi OLS dengan Model MET Setelah

Residual Dikonstankan ……… 82 8. Uji Asumsi Klasik ……….. 83 9. Penerimaan Cukai Rokok Sumatera Utara …………. 85 10. Perkembangan Harga Jual Eceran ……….. 86 11. Perkembangan Nilai Pagu Penundaan ……… 87 12. Perkembangan Tingkat Produksi Rokok ……… 88 13. Hasil Uji Variabel Yang Paling Dominan Untuk


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pungutan cukai merupakan salah satu komponen penerimaan pajak dalam negeri yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan pungutan pajak lainnya yang dilakukan oleh negara. Ciri khusus tersebut adalah adanya sifat atau karakteristik tertentu pada obyek yang dikenakan cukai dengan tujuan untuk membatasi peredaran komoditi tertentu di masyarakat, atau lebih dikenal sebagai fungsi regulerend. Fungsi lain dari pungutan cukai oleh pemerintah adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi fiskal.

Pungutan cukai khususnya cukai rokok mempunyai peranan yang cukup penting sebagai salah satu sumber penerimaan negara, yang mana selama kurun waktu 5 tahun terakhir potensinya menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan data laporan tahunan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada tahun 2002 angka peneriman cukai nasional baru mencapai Rp. 23,34 trilyun, kemudian tahun 2003 terjadi peningkatan sebesar 13,08% hingga mencapai angka Rp. 26,39 trilyun. Pada tahun 2004 angka penerimaan cukai nasional kembali meningkat sebesar 10,51% menjadi Rp. 29,17 trilyun. Tahun 2005 angka penerimaan cukai nasional sudah mencapai angka Rp. 33,25 trilyun, dan pada tahun 2006 yang lalu angka penerimaan cukai nasional adalah sebesar Rp. 37,71 trilyun. Berdasarkan data peneriman cukai selama lima tahun tersebut, proporsi penerimaan cukai nasional terbesar berasal dari penerimaan cukai rokok yang mencapai angka rata-rata sekitar 95%.


(18)

Khusus untuk wilayah Sumatera Utara, walaupun kontribusinya relatif kecil terhadap penerimaan cukai nasional (rata-rata dibawah angka 1%) namun kecenderungan yang ada memperlihatkan trend yang berbeda dengan penerimaan cukai nasional. Berdasarkan data laporan tahunan Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara, pada tahun 2002 penerimaan cukai yang berhasil dikumpulkan oleh Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara mencapai angka Rp. 244,92 milyar atau 1,05% dari penerimaan cukai nasional, kemudian pada tahun 2003 penerimaan cukai Sumatera Utara menurun menjadi sebesar Rp. 200,55 milyar atau mengalami penurunan sebesar 18,12 %. Pada tahun 2004 angka penerimaan cukai Sumatera Utara mengalami peningkatan kembali menjadi sebesar Rp. 238,39 milyar, atau meningkat 18,87% dari tahun sebelumnya. Tahun 2005 angka penerimaan cukai Sumatera Utara mengalami penurunan kembali sebesar 5,67% menjadi Rp. 224,88 milyar. Pada tahun 2006 angka penerimaan cukai Sumatera Utara kembali meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 17,63% menjadi Rp. 264,53 milyar. Kondisi ini memperlihatkan adanya kecenderungan yang tidak tetap (irregular variation) terhadap angka penerimaan cukai Sumatera Utara.

Data pada Tabel 1.1 berikut ini memperlihatkan penerimaan cukai Sumatera Utara dan kontribusinya terhadap penerimaan cukai nasional yang cenderung tidak tetap. Data tersebut memperlihatkan adanya gap antara trend penerimaan cukai Sumatera Utara dengan trend penerimaan cukai nasionanl. Adanya fenomena perbedaan tersebut menjadi hal utama yang melatarbelakangi penelitian ini. Dalam penelitian ini secara khusus peneliti akan menganalisis karakteristik dari


(19)

variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan cukai Sumatera Utara serta faktor dominan yang mempengaruhi penerimaan cukai Sumatera Utara tersebut.

Tabel 1.1

Penerimaan Cukai Sumatera Utara dan Kontribusinya terhadap Penerimaan Cukai Nasional (Dalam Milyar Rupiah)

Penerimaan Cukai Sumatera Utara

Penerimaan Cukai Nasional Tahun Realisasi

Rp. Perubahan (%) Realisasi Rp. Perubahan (%) Kontribusi Terhadap Penerimaan Cukai Nasional (%)

2002 244,92 23.341,43 1,05

2003 200,55 - 18,12 26.396,42 + 13,08 0,76 2004 238,39 + 18,87 29.172,45 + 10,51 0,82 2005 224,88 - 5,67 33.256,28 + 13,99 0,68 2006 264,53 + 17,63 37.712,75 + 13,40 0,70

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Berdasarkan hasil studi mengenai penerimaan cukai dan tarif cukai rokok untuk skala nasional oleh Isdijoso (2004) salah satu variabel utama yang mempengaruhi penerimaan cukai rokok adalah kebijakan cukai, yang diterapkan dalam bentuk kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) dan tarif cukai rokok. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada periode tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 penerimaan cukai rokok naik hingga 4,7 kali lipat dan kenaikan tersebut terutama dipicu oleh kenaikan HJE minimum yang ditetapkan pemerintah sehingga angka rata-ratanya melonjak dari Rp. 73 per batang menjadi Rp. 331 per batang. Dalam penelitian ini akan dianalisis pengaruh faktor kebijakan cukai terhadap penerimaan cukai rokok Sumatera Utara.


(20)

Faktor berikutnya yang juga memungkinkan untuk mempengaruhi besarnya penerimaan cukai adalah pemberian insentif oleh pemerintah terhadap industri rokok, antara lain berupa fasilitas penundaan pembayaran dan pembagian strata pabrikan yaitu kecil, menengah, dan besar dengan maksud untuk penciptaan persaingan yang sehat. Aturan ini telah diakomodasikan dalam Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai. Dalam penelitian ini secara khusus akan dianalisis faktor insentif berupa pemberian fasilitas penundaan pembayaran kepada pabrikan rokok yang ada di Sumatera Utara.

Faktor lain yang juga sangat penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan perubahan pungutan cukai adalah mengenai jumlah produksi rokok. Oleh karena pengenaan cukai dikaitkan dengan obyek berupa komoditi tertentu, maka perubahan terhadap besaran produksi rokok berpotensi mempengaruhi pungutan cukai. Oleh karena itu penelitian ini juga akan menganalisis dampak perubahan besaran produksi rokok di Sumatera Utara terhadap pungutan cukai Sumatera Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian fenomena yang disampaikan dalam latar belakang penelitian, rumusan permasalahan penelitian ini disusun sebagai berikut : “Sejauhmana pengaruh faktor kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi rokok terhadap pungutan cukai rokok di Sumatera Utara, secara simultan maupun secara parsial ?”


(21)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan cukai, fasilitas penundaan, dan tingkat produksi terhadap pungutan cukai rokok, pada industri rokok di Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis faktor mana yang paling dominan mempengaruhi pungutan

cukai rokok di Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Perusahaan

Sebagai bahan masukan bagi industri rokok khususnya di Sumatera Utara untuk lebih memahami pengaruh aspek kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi terhadap penerimaan cukai rokok.

2. Pemerintah

Sebagai bahan masukan bagi para penyusun kebijakan fiskal, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan cukai dan fasilitas penundaan.

3. Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana USU

Untuk menambah studi kepustakaan mengenai kajian di bidang fiskal dan manajemen produksi, khususnya mengenai produksi rokok.

4. Peneliti khususnya dan peneliti selanjutnya Sebagai bahan kajian dan referensi bagi peneliti khususnya dan para peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengkaji masalah kebijakan fiskal, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan cukai rokok.


(22)

1.5. Kerangka Pemikiran

Pungutan cukai merupakan salah satu instrumen pajak tidak langsung yang dibebankan atas konsumsi terhadap komoditi-komoditi tertentu yang peredarannya harus dibatasi oleh pemerintah dengan alasan tertentu. Menurut Cnossen (2005) ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengenaan cukai oleh pemerintah, yaitu :

”untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mendukung program-program umum pemerintah; sebagai cerminan dari biaya eksternalitas; untuk membatasi konsumsi terhadap produk-produk tertentu ; dan sebagai bentuk kompensasi publik atas pelayanan yang disediakan pemerintah”.

Menurut hasil kajian Marks (2003) ada beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan atas cukai rokok yaitu : pertumbuhan produksi rokok, peningkatan tarif, dan HJE rokok. Pertumbuhan produksi rokok akan sangat tergantung kepada kondisi internal masing-masing pabrikan rokok, dimana pabrikan yang sehat akan dapat berproduksi dengan baik dan akan mencapai tingkat pertumbuhan produksi yang tinggi dibandingkan dengan pabrikan yang kondisinya kurang baik. Kemudian untuk tarif cukai dan harga jual eceran rokok, adalah kondisi yang bisa dikontrol oleh pemerintah. Untuk mencapai tingkat penerimaan cukai rokok yang ditargetkan, pemerintah dapat menggunakan kedua instrumen ini dalam bentuk kebijakan cukai.

Sejalan dengan analisis Mark, teori kurva Laffer (Agung, 2000) menjelaskan mengenai hubungan tarif dengan penerimaan, sebagai berikut :

Pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi tidak selalu berarti akan menghasilkan penerimaan yang semakin tinggi pula. Pada tingkat tertentu yaitu pada saat mencapai area prohibitive Range for Goverment, maka penerimaan cukai justru akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi oleh


(23)

karena ketidakmampuan pasar menerima kenaikan tarif tersebut dan imbasnya sebagian produsen tidak lagi mampu mempertahankan tingkat produksi ataupun tingkat penjualan rokok.

Berkaitan dengan pemberian insentif non fiskal kepada sektor industri rokok, Marks (2003) dalam kajian analisisnya juga menyimpulkan bahwa pemerintah berkepentingan terhadap dua tujuan khusus yang berkaitan dengan industri rokok, yaitu : Employment generation dan Promotion of small enterprise. Dalam hal pencapaian tujuan Employment generation, pemerintah berkepentingan terhadap kelangsungan dan pertumbuhan terhadap industri rokok khususnya terhadap industri rokok yang berorientasi pada tenaga kerja (labour intensif). Kelangsungan hidup industri rokok terutama yang menggunakan tenaga kerja dalam jumlah yang besar akan berpengaruh terhadap tingkat produksi rokok nasional, yang kesemuanya tersebut akan bermuara kepada peningkatan penerimaan cukai rokok bagi pemerintah.

Kemudian, tujuan yang kedua, Promotion of small enterprise, adalah dalam rangka melindungi dan mengembangkan pabrikan rokok berskala kecil agar tetap dapat bersaing dengan pabrikan rokok berskala besar. Salah satu bentuk komitmen pemerintah terhadap perkembangan industri rokok adalah dengan memberikan insentif non fiskal berupa pemberian fasilitas penundaan pembayaran tanpa bunga kepada perusahaan industri rokok yang memenuhi persyaratan. Tujuan utama dari pemberian insentif dalam bentuk fasilitas penundaan pembayaran tersebut adalah agar sektor industri rokok dapat terus berkembang dan menyumbangkan pemasukan cukai kepada pemerintah. Dengan asumsi bahwa pemberian fasilitas penundaan pembayaran akan


(24)

dapat mengembangkan sektor industri rokok, maka fasilitas penundaan pembayaran ini juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pungutan cukai rokok.

Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teori yang penulis ajukan tersebut, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran yang mencakup keterkaitan antara pungutan cukai rokok sebagai variabel dependent dengan tiga variabel independen yang mempengaruhinya, yaitu : kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi. Secara visual kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Kebijakan Cukai Fasilitas Penundaan

Tingkat Produksi

Pungutan Cukai Sumatera Utara

Gambar 1.1

Kerangka Pemikiran Penelitian

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang dijabarkan dalam latar belakang, rumusan masalah, dan kerangka pemikiran maka hipotesis penelitian ini disusun sebagai berikut :

“kebijakan cukai, fasilitas penundaan dan tingkat produksi, secara simultan maupun secara parsial berpengaruh terhadap pungutan cukai rokok di Sumatera Utara”.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian oleh Marks (2003) mengenai analisis ekonomi terhadap pengenaan cukai rokok di Indonesia menjelaskan bahwa ada beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan atas cukai rokok yaitu : pertumbuhan produksi rokok, peningkatan tarif dan HJE rokok. Kesimpulan yang dihasilkan dari analisis Marks tersebut adalah bahwa tarif efektif untuk cukai rokok terutama untuk jenis SKT yang akan memaksimalkan pendapatan cukai adalah sekitar 21,8%, sedangkan untuk keseluruhan produk rokok adalah sekitar 36,6%.

Dalam upaya untuk memaksimalkan pendapatan cukai kedepan, beberapa skenario yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut :

a. Dengan berdasar terhadap elastisitas harga sendiri yang dihitung berdasarkan data pasar selama tahun 1999 s/d 2002, prediksi peningkatan terhadap penerimaan cukai rokok riil akan berada pada rentang 73,5% s.d. 91,1%, dimana besaran tarif efektif terendah untuk SKT yang akan memaksimalkan pendapatan adalah sebesar 51,9%, sedangkan untuk keseluruhan tarif cukai rokok adalah sekitar 55% .

b. Dengan berdasar pada elastisitas harga sendiri dari kalkulasi permintaan selama tahun 2001 s.d. 2002, prediksi peningkatan terhadap penerimaan cukai rokok riil akan berada pada rentang 40,3% s.d. 47,5%, dimana tarif efektif terendah untuk SKT adalah sekitar 37,7% sedangkan tarif efektif untuk keseluruhan jenis rokok adalah sekitar 45%”.

Sejalan dengan pendapat Mark, teori kurva Laffer (Agung, 2000) menjelaskan mengenai pengaruh tarif cukai terhadap penerimaan cukai rokok, sebagai berikut :


(26)

Pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi tidak selalu berarti akan menghasilkan penerimaan yang semakin tinggi pula. Pada tingkat tertentu yaitu pada saat mencapai area prohibitive Range for Goverment, maka penerimaan cukai justru akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi oleh karena ketidakmampuan pasar menerima kenaikan tarif tersebut dan imbasnya sebagaian produsen tidak lagi mampu mempertahankan tingkat produksi ataupun tingkat penjualan rokok.

Hasil studi mengenai penerimaan cukai dan tarif cukai oleh Isdijoso (2004) menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan cukai rokok antara lain dipengaruhi oleh kebijakan cukai rokok, yaitu kebijakan HJE dan tarif cukai rokok. Dimana selama periode tahun 1997 sampai 2002, penerimaan cukai rokok naik hingga 4,7 kali lipat dan kenaikan tersebut terutama dipicu oleh kenaikan HJE yang ditetapkan pemerintah sehingga angka rata-ratanya melonjak dari Rp. 73 per batang menjadi Rp. 331 per batang. Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar konsumen membeli rokok dengan harga di bawah HJE minimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk kondisi tahun 2003, harga beli konsumen 11% di bawah HJE, dan kondisi semacam ini telah berlangsung sejak tahun 2000. Sebagai akibat dari HJE yang ditetapkan pemerintah (official price) lebih tinggi dari harga transaksi pasar, maka hal tersebut menimbulkan distorsi dan memperbesar beban cukai yang digeser ke belakang (backward shifting) oleh pengusaha pabrik.

Penelitian oleh Yerison (2006) mengenai pengaruh kebijakan tarif cukai, jumlah cukai tembakau dan jumlah cukai palsu terhadap penerimaan dalam negeri dengan menggunakan metode Ordinary Least Square, menyimpulkan bahwa ketiga variabel bebas tersebut secara bersama-sama berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 99% terhadap penerimaan dalam negeri. Berdasarkan nilai koefisien determinan yang


(27)

dihasilkan dari estimasi model regresi dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel bebas tersebut mampu menjelaskan variasi dari penerimaan dalam negeri sebesar 98,15%. Secara parsial, tarif cukai rokok berpengaruh positif terhadap penerimaan dalam negeri pada tingkat kepercayaan 95%, sedangkan jumlah cukai rokok berpengaruh positif pada tingkat kepercayaan 90%. Untuk variabel jumlah cukai palsu berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penerimaan dalam negeri.

2.2. Teori dan Konsep Cukai

Pungutan cukai adalah salah satu jenis pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah terhadap obyek pajak berupa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan oleh pemerintah . Dalam penetapan suatu jenis pajak oleh pemerintah dapat dibedakan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung . Pengertian pajak langsung adalah pungutan pajak yang secara ekonomis bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Kemudian yang kedua, mengenai pengertian pajak tidak langsung adalah pajak yang mana beban ekonomisnya dapat dialihkan kepada pihak lain. Lebih lanjut, Barata dan Zul (1989) menentukan cara mengkategorikan suatu pajak, apakah termasuk jenis pajak langsung atau tidak langsung, yaitu dengan memperhatikan tiga unsur pajak sebagai berikut :

1. Penanggung jawab pajak (wajib pajak), yaitu orang-orang yang secara formal yuridis harus membayar pajak.

2. Penanggung pajak, yaitu orang yang secara riil (nyata) memikul dahulu beban pajak yang harus dibayar.


(28)

3. Pemikul pajak, yaitu orang-orang yang menurut undang-undang harus dibebani pajak.

Apabila ketiga unsur tersebut ada pada diri seseorang, maka pajak yang dibayarkan tersebut dikategorikan sebagai pajak langsung, namun bila salah satu unsur tadi terpisah pada lebih satu orang, maka pajak yang dibayarkan dikategorikan sebagai pajak tidak langsung.

Pungutan cukai yang dipungut oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai termasuk dalam kategori pajak tidak langsung, karena unsur subyek pajak sebagaimana uraian pengkategorian diatas berada lebih dari satu orang. Posisi penanggung jawab pajak dan penanggung pajak riil adalah pengusaha yang memproduksi barang-barang kena cukai, sedangkan pemikul pajak akhir adalah konsumen sebagai end user dari barang-barang kena cukai tersebut.

Menurut historis pemungutan cukai, adalah Inggris sebagai negara yang pertama kali memberlakukan pungutan cukai pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintahnya. Kemudian pemerintah di USA memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman keras dari alkohol sulingan) pada tahun 1791 (Encarta, 2006). Sejarah pungutan cukai di Indonesia dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda dengan pemberlakuan ordonansi cukai. Adapun obyek cukai yang dikenakan pada saat itu meliputi : minyak tanah (ordonansi tahun 1886), alkohol sulingan (ordonansi tahun 1898), bir (ordonansi tahun 1931), hasil tembakau (ordonansi tahun 1932), gula (ordonansi tahun 1933), dan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya beberapa produk tersebut tidak lagi


(29)

dikenakan pungutan cukai. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai, maka saat ini pemerintah Indonesia hanya menetapkan tiga komoditi yang dikenakan pungutan cukai yaitu : hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol.

Di negara-negara lain seperti Japan, pungutan cukai diterapkan terhadap 24 jenis komoditi tertentu seperti : produk alkohol, produk tembakau, kosmetika, etil ethanol, dan sebagainya. Kemudian di USA, cukai secara umum oleh pemerintah pusat dikenakan terhadap 3 jenis komoditi yaitu : gasoline, cigarettes, dan alcoholic beverages. Di Malaysia yang relatif memiliki kesamaan etnis dan budaya dengan Indonesia, pungutan cukai diberlakukan terhadap 14 jenis komoditi antara lain : minuman beralkohol, tembakau, meubel, keramik, video caset, parfume, dan sebagainya. Dalam Lampiran 1 penelitian ini diperlihatkan lebih rinci mengenai penerapan pungutan cukai terhadap berbagai jenis komoditi di berbagai negara.

Dari uraian perbandingan mengenai obyek pengenaan cukai tersebut, kita dapat menyimpulkan dua hal penting yang perlu diekspose dalam tinjauan pustaka ini. Yang pertama, bila dilihat dari banyaknya obyek cukai yang dikenakan oleh suatu negara maka Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang mengenakan obyek cukai secara terbatas atau dikenal sebagai kelompok extremely narrow. Selain Indonesia negara-negara yang mengenakan cukai secara terbatas terhadap tiga jenis komoditi adalah sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang beranggotakan 30 negara seperti : USA, Canada, Japan, Australia, Germany, United Kingdom, Korea Selatan,


(30)

dan sebagainya. Point penting yang kedua adalah kesamaan obyek cukai di setiap negara terhadap komoditi rokok dan minuman beralkohol. Pada umumnya pemerintah di setiap negara sepakat bahwa konsumsi terhadap produk rokok dan minuman beralkohol haruslah dibatasi dengan pengenaan cukai, alasan utamanya adalah bahwa dampak eksternal yang ditimbulkan oleh hasil tembakau dan minuman beralkohol terhadap kesehatan dan lingkungan cukup potensial. Dengan kata lain, cukai dikenakan terhadap produk rokok dan minuman beralkohol sebagai kompensasi dari biaya-biaya eksternalitas yang ditimbulkannya.

Pungutan cukai adalah salah satu instrumen yang penting untuk mengumpulkan penerimaan negara. Berbeda dengan instrumen pajak lainnya, pengenaan cukai dikaitkan dengan konsumsi terhadap komoditi-komoditi tertentu yang peredarannya harus dibatasi oleh pemerintah dengan alasan-alasan tertentu. Cnossen (2005) menjelaskan beberapa sasaran utama dalam pengenaan cukai oleh pemerintah, antara lain adalah :

”untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mendukung program-program umum pemerintah; sebagai cerminan dari biaya eksternalitas; untuk membatasi konsumsi terhadap produk-produk tertentu ; dan sebagai bentuk kompensasi publik atas pelayanan yang disediakan pemerintah”.

Adapun isu-isu aktual yang berkaitan dengan sistem pengenaan pungutan cukai dewasa ini adalah pilihan antara sistem pembebanan tarip spesifik atau sistem pembebanan tarif advaloreum. Kemudian isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya trade-off antara kepentingan cukai sebagai salah satu sumber pendapatan negara, kepentingan masyarakat terhadap pembatasan peredaran komoditi tertentu dan


(31)

juga kepentingan pemerintah terutama dalam hal menciptakan kesempatan kerja. Ketiga isu tersebut harus bisa diakomodasikan oleh pemerintah dalam penyusunan setiap regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pungutan cukai.

Undang-undang Cukai Nomor 11 Tahun 1995, sebagai dasar yuridis pengenaan cukai secara khusus mencantumkan konsep pungutan cukai pada bab ketentuan umum pasal 1, sebagai berikut :

“Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Ada dua poin penting yang dapat dimaknai terhadap penjelasan ayat dalam pasal ini, yaitu :

1. Penegasan mengenai pengertian barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini, adalah barang-barang yang dalam pemakaiannya perlu dibatasi dan diawasi.

2. Secara khusus Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 menetapakan tiga jenis barang kena cukai yang terdiri dari :

a.etil alkohol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;

b.minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapapun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;

c.hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.


(32)

Sesuai dengan pasal 7 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 diatur mengenai pelunasan cukai, dimana proses pelunasan cukai dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu: dengan cara pembayaran dan dengan cara pelekatan pita cukai. Dalam peraturan pelaksaan undang-undang tersebut, ditetapkan bahwa terhadap barang kena cukai berupa hasil tembakau yang akan dikonsumsi di dalam negeri maka pelunasan cukainya dilakukan dengan pelekatan pita cukai. Untuk memperoleh pita cukai maka produsen rokok harus melakukan pemesanan pita cukai kepada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) setempat. Jika produsen mendapat fasilitas penundaan pembayaran, maka pemesanan pita cukai dilakukan secara kredit, namun jika tidak mendapatkan fasilitas penundaan, maka pemesanan pita cukai dilakukan secara tunai.

2.3. Teori dan Konsep Kebijakan Cukai

Kebijakan cukai merupakan salah satu bagian dari kebijakan fiskal pemerintah disisi pendapatan. Secara teoritis kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengeluaran dan pendapatan pemerintah . Menurut Boediono (2002) kebijakan fiskal pemerintah Indonesia dilaksanakan melalui kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam bentuk :

1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan ; 2. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja.

Konsep kebijakan di bidang cukai pada hakekatnya adalah suatu langkah-langkah untuk memenuhi berbagai maksud dan tujuan yang mendasar dari pengenaan cukai terhadap obyek-obyek cukai tertentu. Adanya trade off antara kepentingan cukai


(33)

sebagai salah satu instrumen revenue collector dengan kepentingan lainnya sebagai comunity protector haruslah secara bijak diakomodasi oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Disamping kedua kepentingan tersebut, khusus di Indonesia ada satu isu lain yang tak kalah pentingnya untuk menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan cukai yaitu kepentingan penciptaan kesempatan kerja.

Sebagaimana telah disampaikan dalam latar belakang penelitian diawal, bahwa peran cukai hasil tembakau di Indonesia memiliki kontribusi yang sangat dominan yakni rata-rata sekitar 95% dari seluruh penerimaan cukai yang dipungut setiap tahunnya. Marks (2003) dalam kajiannya mengenai analisis ekonomi terhadap pengenaan cukai rokok di Indonesia, mengemukakan beberapa tujuan mendasar yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun formula kebijakan cukai rokok di Indonesia yaitu :

1. Tax Revenue Acquisition. Ketika permintaan terhadap hasil tembakau diestimasikan bersifat relatif inelastis, hal ini akan menunjukan bahwa pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi seharusnya secara umum akan meningkatkan penerimaan cukai. Dalam kondisi ini pemerintah Indonesia dituntut untuk mendapatkan tambahan atas penerimaan cukai guna menjaga stabilitas fiskal dan pengembangan pengeluaran.

2. Enhancement of public health. Kebiasaan merokok berdasarkan penelitian memiliki efek negatif yang serius terhadap kesehatan. Kerangka kerja terbaru dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasinya, menyarankan agar pemerintah memasukan isu kesehatan dalam setiap pengambilan kebijakan cukai atas rokok. 3. Employment generation. Pabrikan rokok kretek (SKT) merupakan perusahaan

yang proses produksinya berorientasi pada pekerja (labour intensive) yang memperkerjakan ratusan ribu buruh, terutama wanita dan kebanyakan berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertimbangan atas kondisi ini telah menjadi dasar bagi pengenaan tarif yang lebih rendah terhadap produk rokok kretek tangan (SKT) dibanding dengan produk rokok yang dikerjakan dengan tenaga mesin.

4. Promotion of small enterprise. Untuk memberikan peningkatan bagi perusahaan kecil maka terhadap perusahaan rokok golongan kecil ini dikenakan tarif cukai


(34)

yang lebih rendah, namun adanya perbedaan tarif cukai antara perusahaan rokok ini telah memberikan perhatian yang serius terhadap masalah efisiensi dan transfaransi .

5. Avoidance of regressivity in the tax system. Sistem pungutan cukai yang bersifat regresif akan mendorong konsumsi atas obyek cukai relatif lebih besar terutama terhadap penduduk berpendapatan rendah. Hal ini terutama sekali terjadi pada konsumsi atas produk rokok yang mana permintaannya relatif inelastis terhadap harga. Oleh karena itu pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menghindari sistem pajak yang bersifat regresif tersebut.

Data statistik penerimaan cukai Sumatera Utara selama lima tahun terakhir yang menunjukan trend yang berbeda dengan penerimaan cukai nasional, mengindikasikan adanya efek yang berbeda dari varibel yang mempengaruhi pungutan cukai untuk lingkup Sumatera Utara. Menurut Marks (2003) ada beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan atas cukai rokok yaitu : pertumbuhan pangsa produksi rokok, peningkatan tarif dan HJE rokok.

Faktor tarif cukai dan harga jual eceran adalah dua besaran yang dapat dikontrol pemerintah sehingga kedua besaran tersebut menjadi instrumen utama dalama hal kebijakan di bidang cukai. Sedangkan Faktor kuantitas produksi adalah berkaitan dengan sifat pungutan cukai yang mana subyek cukai yang harus menanggung pertama kali pungutan cukai adalah pihak produsen rokok, sehingga nilai cukai yang harus dibayar harus dikaitkan dengan tingkat produksi rokok dan bukan pada tingkat penjualannya.

Undang-undang Cukai nomor 11 tahun 1995, sesuai pasal 5 memberikan batasan maksimal mengenai tarif cukai terhadap barang kena cukai yang diproduksi di dalam negeri sebagai berikut:


(35)

a.Dua ratus lima puluh persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau

b.Lima puluh lima persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Berkaitan dengan kebijakan harga jual eceran, adalah penting untuk melihat perbedaan antara harga jual ditingkat produsen dengan harga jual di tingkat konsumen. Secara teoritis hubungan antara harga penawaran di tingkat produsen (supply price) atau dengan harga permintaan ditingkat konsumen (demand price) atau , adalah sebagai berikut (Marks, 2003) :

s

P

D

P

S D

P =P -T

Menurut aturan pengenaan cukai di Indonesia, perhitungan cukai per unit dikalkulasikan dengan mengalikan tarif cukai dengan harga jual eceran yang ditetapkan oleh pemerintah (official price) sebagai berikut :

o

T = t x P dimana,

S

P

: adalah harga penawaran ditingkat produsen (supply price)

D

P

: adalah harga permintaan di tingkat konsumen (demand price)

o

P : adalah harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah (official price) t : tarif cukai (prosentase)

T : pungutan cukai per unit

Dengan demikian hubungan antara supply price dan demand Price menjadi sebagai berikut :

s D o

P

=

P - (t x P

)


(36)

(t) akan menunjukan proporsi dari harga yang dibayar oleh konsumen . Jika tarif pajak (t) atau official price ( ) berubah, maka besarnya nilai cukai per unit (T) akan berubah pula. Secara umum, besarnya perubahan terhadap tarif pajak atau official price, tidak akan ditransfer dalam jumlah yang sama terhadap nilai suply price, karena hal tersebut akan tergantung kepada kekuatan permintaan oleh konsumen yang akan membentuk demand price.

o

P

Dalam prakteknya, kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa harga jual pada tingkat konsumen (demand prices) adalah lebih rendah dibanding dengan harga jual yang ditetapkan oleh pemerintah (official price). Hasil survey di tingkat konsumen oleh Isdijoso (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen membeli rokok dengan harga di bawah HJE minimum yang ditetapkan pemerintah. Sebagai contoh, untuk kondisi tahun 2003 harga beli konsumen 11% di bawah HJE. Pabrikan rokok tentunya akan mengeluh terhadap perbedaan ini karena akibat dari kondisi ini secara riil beban tarif efektif yang harus dibayar menjadi lebih tinggi dari beban tarif yang ditetapkan pemerintah.

2.4. Konsep Fasilitas Penundaan

Menurut kajian Marks (2003) seperti dijelaskan sebelumnya, salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan cukai adalah dalam rangka meningkatkan Employment generation dan Promotion of small enterprise. Pemerintah berkepentingan terhadap kelangsungan dan pertumbuhan terhadap industri rokok khususnya terhadap industri yang berorientasi pada tenaga kerja (labour intensif).


(37)

Salah satu bentuk komitmen pemerintah terhadap perkembangan industri rokok adalah dengan memberikan insentif non fiskal berupa pemberian penundaan pembayaran tanpa bunga kepada perusahaan industri tertentu yang memenuhi persyaratan.

Aturan hukum yang mengatur pemberian fasilitas penundaan kepada pabrikan hasil tembakau telah diakomodasikan dalam Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai khususnya pada pasal 7 ayat 6. Lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya, diatur batasan waktu penundaan pembayaran cukai sebagai berikut :

1.Untuk pabrikan dan importir rokok yang termasuk pengusaha kena pajak atau importir rokok, yang memproduksi atau mengimpor rokok jenis SPM dan SKM diberikan fasilitas penundaan pembayaran atas pita cukai yang dipesannya selama-lamanya 2 (dua) bulan;

2.Untuk pabrikan dan importir rokok yang termasuk pengusaha kena pajak atau importir rokok, yang memproduksi atau mengimpor hasil tembakau selain jenis SPM dan SKM (dengan kata lain produksi rokok yang dikerjakan dengan tangan) diberikan fasilitas penundaan pembayaran atas pita cukai yang dipesannya selama-lamanya 3 (tiga) bulan;

3.Khusus kepada importir rokok yang mendapatkan fasilitas penundaan pembayaran cukai, harus menyerahkan jaminan bank atau jaminan asuransi .

Bila dianalisis lebih lanjut mengenai bentuk perbedaan fasilitas penundaan yang diberikan kepada pabrikan rokok tersebut, jelas sekali bahwa pemerintah memberikan insentif yang lebih besar kepada industri rokok dalam negeri yang berkategori labour intensive. Diharapkan dengan pemberian fasilitas penundaan yang lebih besar, industri rokok SPM dan sejenisnya dapat lebih berkembang dan dapat menyerap lebih banyak pekerja.

Adanya fasilitas penundaan pembayaran tanpa bunga kepada produsen rokok sangat membantu sekali apabila dikaitkan dengan kebutuhan untuk menjaga agar persediaan pita-pita cukai tersedia dalam jumlah yang cukup. Produsen rokok otomatis


(38)

tidak perlu mencadangkan dana ekstra untuk pembelian pita-pita cukai yang akan disimpan sebagai persediaan. Dengan demikian produsen akan memperoleh keuntungan implisit secara finansil, yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional lainnya. Semakin besar nilai pagu penundaan yang diperoleh maka produsen rokok akan lebih leluasa mengelola keuangannya dan keuntungan implisit yang diperoleh menjadi lebih besar. Dengan asumsi tersebut, maka besarnya nilai pagu penundaan akan mendorong kemajuan perusahaan rokok dan pada akhirnya akan memperbesar jumlah cukai rokok yang akan dibayar oleh produsen.

2.5. Teori Dan Konsep Produksi

Konsep produksi menurut Salvatore (2005) merujuk kepada proses perubahan bentuk berbagai input atau sumber-sumber daya menjadi output berupa barang dan jasa. Lebih lanjut Salvatore menjelaskan mengenai pengertian proses diatas adalah mencakup kepada seluruh aktivitas yang terlibat dalam memproduksi barang dan jasa, mulai dari membangun fasilitas produksi, merekrut tenaga kerja, membeli bahan mentah, menjalankan pengendalian mutu, akuntansi biaya dan kegiatan lainnya.

Dalam kaitannya dengan proses produksi yang diterapkan dalam industri rokok, secara umum jenis aliran proses yang digunakan adalah Line Flow (aliran proses lini), terutama untuk produk rokok yang diproduksi dengan mesin (capital intensive). Karakteristik dari line flow ini menurut Schroeder (2007) adalah terletak pada urutan operasi yang linear dalam membuat produk, dimana produk harus distandarkan dengan baik dan harus berpindah dari satu operasi (work station) ke operasi berikutnya dalam urutan yang telah ditentukan. Untuk produksi SPM dan SKM proses produksi


(39)

dilakukan secara integrated dan tidak terputus-putus dalam satu lini hingga menghasilkan suatu output (rokok). Konsekuensi dari aliran proses ini, dibutuhkan bahan baku yang cukup dan tersedia secara tepat waktu (just in time), termasuk di dalamnya adalah kebutuhan terhadap pita-pita cukai. Untuk mendukung proses produksi dapat berjalan dengan baik, maka pabrikan rokok harus memiliki persediaan pita-pita cukai dalam jumlah yang cukup.

Berbeda halnya dengan proses produksi SPM dan SKM, proses produksi SKT dilakukan secara manual dengan menitikberatkan peran manusia yang lebih besar daripada penggunaan mesin (labour intensif). Konsekuensi yang timbul dari proses produksi semacam ini adalah penggunaan tenaga buruh yang jauh lebih banyak daripada proses produksi SKM atau SPM.

Berdasarkan kajian Wibowo (2003) menunjukan bahwa potret industri rokok Indonesia setelah tahun 2000 relatif stabil, dimana jumlah perusahaan yang ada berkisar antara 244 sampai dengan 247 perusahaan saja. Dari jumlah tersebut terdiri dari perusahaan rokok kretek (SKT) sebanyak 84,6%, perusahaan rokok putih (SPM) sebanyak 4,1% dan perusahaan rokok lainnya sebanyak 11,3 % (SKM, Cerutu, dan sebagainya).

Adapun penggolongan pabrikan rokok jenis produksi SKM, SPM dan SKT dengan tingkat tarif yang harus dibebankan, ditentukan berdasarkan jumlah produksi rokok yang dilekati pita cukai selama satu tahun takwim. Tabel berikut ini memperlihatkan penggolongan pabrikan rokok sebagaimana diatur oleh Menteri


(40)

Keuangan, terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.04/2005 tanggal 8 Juni 2005.

Tabel 2.1

Golongan Pengusaha Pabrik Rokok yang didasarkan atas Jumlah Produksi Rokok Selama Satu Tahun Takwim

Jenis Rokok Golongan

Pengusaha Pabrik

Batasan Produksi Rokok

I Lebih dari dua milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang

SKM

III Tidak lebih dari 500 juta batang I Lebih dari dua milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang

SPM

III Tidak lebih dari 500 juta batang I Lebih dari dua milyar batang

II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang

A. Lebih dari 6 juta batang tetapi tidak lebih 500 juta batang

SKT

III

B. Tidak lebih dari 6 juta batang


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Obyek penelitian difokuskan terhadap industri rokok di Sumatera Utara yang mana ruang lingkup pengawasan dan pemungutan cukai dilakukan oleh Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di Kantor-Kantor Bea dan Cukai dalam lingkup Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara. Waktu Penelitian dilakukan mulai bulan April 2007 sampai dengan bulan Desembar 2007.

3.2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian expost facto, yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa yang telah terjadi dan kemudian merunut ke belakang melalui data tersebut untuk menemukan faktor-faktor yang mendahului atau menentukan sebab-sebab yang mungkin atas peristiwa yang diteliti (Sugiyono, 2001). Obyek penelitian akan difokuskan terhadap laporan berkala mengenai penerimaan cukai rokok, kebijakan cukai, fasilitas penundaan pembayaran dan tingkat produksi rokok Sumatera Utara.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diamati dengan menggunakan data penelitian yang bersifat kuantitatif dan juga menggunakan alat uji statistik dalam proses pengambilan kesimpulan.


(42)

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kausal komparatif, yaitu mengukur kekuatan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dan sekaligus menunjukan arah hubungan. Dengan kata lain, pendekatan kausal komparatif menganalisis masalah sebab akibat.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1.Populasi

Dalam penelitian ini obyek pembahasan adalah karekteristik mengenai industri rokok di wilayah Sumatera Utara, sehingga yang menjadi populasi adalah pabrikan rokok yang ada di Sumatera Utara. Untuk wilayah Sumatera Utara terdapat 13 pabrikan rokok yang termasuk dalam wilayah pengawasan Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara.

Tabel 3.1

Pabrikan Rokok di Wilayah Sumatera Utara

No. Nama Pabrik Jenis Produksi Lokasi Fasilitas

Penundaan

1 PT. STTC SPM Pematang Siantar Menerima

2 PT. STTC SPM Tanjung Morawa Menerima

3 PT. Wongso Pawiro SPM dan SKM Pematang Siantar Menerima

4 PT. Pagi Tobacco SPM Medan Menerima

5 PT. Kisaran SPM Kisaran Menerima

6 PT. Permona SPM dan SKM Pematang Siantar Menerima

7 PR. Senang Jaya SPM dan SKM Pematang Siantar Menerima

8 PT. Putra Stabat SPM dan SKM Medan Menerima

9 PR. Adenan Ayu SKT dan SKM Kisaran Menerima

10 PT. Surya Agam SKT dan SKM Pematang Siantar Sejak tahun

2006, tidak menerima

11 PT. Mega Prima SKT Pematang Siantar Tidak

12 PT. Cengkeh Jaya SKT Pematang Siantar Tidak

13 PR. Salam SKT Padang Sidempuan Tidak


(43)

3.3.2.Sampel Penelitian

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana dari 13 individu yang menjadi populasi dipilih sebanyak 9 sampel atau sekitar 69% dari total populasi. Pemilihan sampel ini didasarkan atas pertimbangan kelengkapan data, artinya bahwa setiap sampel memenuhi seluruh karakteristik data variabel yang menjadi obyek penelitian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka terdapat 4 pabrikan rokok yang tidak dapat diambil menjadi sampel, yaitu : PT. Surya Agam, PT. Mega Prima, PT. Cengkeh Jaya dan PR. Salam. Karakteristik data yang tidak lengkap khususnya adalah mengenai tidak diterimanya fasilitas penundaan pembayaran . Khusus untuk PT. Surya Agam dari tahun 2002 sampai 2005 menerima fasilitas penundaan pembayaran, namun sejak tahun 2006 tidak lagi menerima fasilitas tersebut.

Adapun kesembilan sampel penelitian yang terpilih adalah sebagai berikut : 1. PR. Adenan Ayu di Kisaran

2. PT. Kisaran di Kisaran 3. PT. Pagi Tobacco di Medan 4. PT. Permona di Pematang Siantar 5. PT. Putra Stabat di Medan

6. PR. Senang Jaya di Pematang Siantar 7. PT. STTC di Pematang Siantar 8. PT. STTC di Tanjung Morawa


(44)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang mendukung analisis dan pembahasan penelitian, maka peneliti menerapkan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :

3.4.1.Studi Dokumentasi

Sumber data utama yang menjadi obyek penelitian adalah data sekunder berupa dokumentasi dalam bentuk laporan-laporan maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya. Oleh karena itu teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumentasi, baik yang dikumpulkan secara manual maupun dengan bantuan komputer.

3.4.2.Wawancara

Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer sebagai tambahan untuk lebih mendukung data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi. Wawancara dilakukan secara selektif kepada narasumber maupun pihak-pihak yang berkompeten dengan data penelitian. Beberapa narasumber yang telah diwawancarai guna mendapatkan data tambahan maupun konfirmasi atas data penelitian, antara lain :

1. Kepala Kantor Bea dan Cukai Medan,

2. Kepala Kantor Bea dan Cukai Pematang Siantar, 3. Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPBC Medan,


(45)

5. Kepala Seksi Perbendaharaan KPBC Teluk Nibung, 6. Para Pengusaha Pabrikan Rokok.

3.5. Jenis dan Sumber Data 3.5.1. Jenis Data

Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat panel, yaitu penggabungan data cross sectional dengan data time series. Kemudian untuk lebih mendukung keabsahan data sekunder tersebut, digunakan pula data primer yang diperoleh melalui proses wawancara. Tujuan utama penulis menggunakan jenis data panel adalah untuk menganalisis karakteristik variabel penelitian secara individual untuk masing-masing pabrikan rokok yang ada di Sumatera Utara. Dengan cara tersebut dapat diketahui dengan jelas pabrikan rokok mana yang memberikan kontribusi terbesar bagi penerimaan cukai rokok Sumatera Utara. Data yang bersifat cross sectional adalah data individual dari 9 pabrikan rokok yang terpilih sebagai sampel penelitian, sedangkan data time series merupakan data periodik semester tahunan selama 5 tahun pengamatan, mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Dengan demikian keseluruhan data pengamatan yang menjadi obyek penelitian akan berjumlah sebanyak 9 x 10 = 90 pengamatan (n = 90).

3.5.2. Sumber Data

Data sekunder yang diambil sebagai data penelitian antara lain diperoleh dari: 1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berupa : laporan tahunan penerimaan dan


(46)

2. Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara, berupa : laporan tahunan penerimaan dan data pabrikan rokok Sumatera Utara.

3. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Medan, berupa : laporan bulanan dan tahunan penerimaan, laporan bulanan produksi rokok, data pemesanan pita cukai berdasarkan buku daftar cukai nomor 3 (BDCK3), dan data pemberian fasilitas penundaan rokok.

4. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Pematang Siantar, berupa : laporan bulanan dan tahunan penerimaan, laporan bulanan produksi rokok, data pemesanan pita cukai berdasarkan buku daftar cukai nomor 3 (BDCK3), dan data pemberian fasilitas penundaan rokok.

5. Kantor pelayanan Bea dan Cukai Teluk Nibung, berupa : laporan bulanan dan tahunan penerimaan, laporan bulanan produksi rokok, data pemesanan pita cukai berdasarkan buku daftar cukai nomor 3 (BDCK3), dan data pemberian fasilitas penundaan rokok.

3.6. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini identifikasi variabel terdiri dari :

1. Variabel bebas (independen variable) adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan cukai rokok Sumatera Utara, terdiri atas : kebijakan cukai (X1), fasilitas penundaan (X2), dan tingkat produksi (X3).

2. Variabel terikat (dependen variable) adalah pungutan cukai rokok di Sumatera Utara (Y).


(47)

3.7. Definisi Operasional Variabel

Untuk memberikan persepsi yang sama terhadap definisi operasional dari variabel penelitian, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu operasionalisasi untuk masing-masing variabel yang diteliti :

1. Kebijakan Cukai, dalam model persamaan digunakan simbol (X1) adalah salah satu bentuk kebijakan fiskal pemerintah yang berkaitan dengan fungsi penerimaan negara dalam kerangka pelaksanaan APBN. Kebijakan di bidang cukai diterapkan melalui penetapan tarif cukai dan penetapan HJE rokok oleh pemerintah. Data yang dipakai sebagai indikator dari variabel kebijakan cukai tersebut adalah nilai koefisien harga jual eceran rokok perbatang, artinya adalah bahwa nilai koefisien HJE tersebut merupakan nilai HJE yang telah dikonversikan dalam satuan batang dan dikalikan dengan besarnya pembebanan tarif untuk masing-masing pabrikan rokok. Nilai Koefsien HJE rokok diukur dengan menggunakan skala pengukuran rasio yaitu dalam satuan Rupiah per batang.

2. Fasilitas penundaan, dalam model persamaan digunakan simbol (X2), adalah insentif yang diberikan kepada produsen rokok berupa penundaan pembayaran atas pemesanan pita cukai selama jangka waktu tertentu dan tanpa dikenakan bunga. Fasilitas Penundaan ini diberikan kepada produsen rokok yang terdaftar sebagai pengusaha kena pajak dengan melampirkan beberapa persyaratan tertentu yang diatur oleh DJBC . Indikator yang diteliti dari variabel X2 ini adalah nilai pagu penundaan yang telah dikonversi untuk jangka waktu satu semester berjalan untuk


(48)

masing-masing pabrikan rokok. Variabel fasilitas penundaan diukur dengan skala pengukuran rasio dalam satuan Rupiah.

3. Tingkat produksi, dalam model persamaan digunakan simbol (X3), adalah besarnya angka volume produksi rokok yang dinyatakan dalam satuan batang untuk tiap-tiap produsen. Untuk representasi variabel tingkat produksi tersebut, akan digunakan indikator berupa tingkat produksi khusus untuk pemasaran dalam negeri. Perlu diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tentang Cukai, diatur bahwa cukai hanya dipungut terhadap barang kena cukai (BKC) yang dikonsumsi di dalam negeri baik untuk produk lokal maupun impor. Untuk produk barang kena cukai buatan dalam negeri yang diekspor, maka pungutan cukai dibebaskan atau apabila pungutan cukai telah dilunasi maka dapat dimintakan restitusi. Dengan demikian agar variabel tingkat produksi ini dapat lebih mencerminkan relevansinya dengan variabel dependen (pungutan cukai) maka indikator yang akan digunakan adalah tingkat produksi rokok khusus untuk pemasaran dalam negeri. Adapun skala pengukuran yang dipergunakan untuk varibel X3 ini menggunakan ukuran rasio yaitu dalam satuan jumlah batang rokok. 4. Pungutan Cukai, dalam model persamaan digunakan simbol (Y ), adalah besarnya

nilai cukai yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh produsen rokok untuk setiap bungkus rokok yang diproduksi, sebelum dikonsumsi oleh konsumen terakhir. Karakteristik pungutan cukai adalah sebagai pajak komoditi, artinya pengenaan pungutan pajak dikaitkan dengan obyek berupa komoditi tertentu. Berbeda dengan cara pengenaan pajak komoditi pada umumnya, pungutan cukai rokok harus


(49)

dilunasi pada saat pengambilan pita cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga yang harus menanggung cukai pertama kali adalah produsen rokok. Variabel pungutan cukai diukur dengan skala pengukuran rasio dalam satuan Rupiah.

3.8. Model Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda sedangkan metode analisis yang dilakukan adalah dengan Ordinary Least Square (OLS). Nachrowi dan Usman (2006) mengemukakan tiga alternatif model regresi yang dapat digunakan untuk mengestimasi data penelitian yang bersifat data panel, yaitu : Model Pool Data, Model Efek Tetap (MET) dan Model Efek Random (MER). Adapun instrumen analisis yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data penelitian ini adalah Paket Program Statistik Eviews versi 4.1 dan SPSS versi 14.0 .

3.8.1. Model Pool Data

Metode estimasi dengan OLS menggunakan model pool data pada data panel dilakukan dengan cara menggabungkan data cross-sectional dengan data time series menjadi suatu pool data. Dengan menggabungkan data ini maka perbedaan baik antar individu maupun antar waktu dari pool data tersebut tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan awal dari penggunaan data panel tersebut, yaitu untuk melihat perbedaan antar waktu dan antar individu. Dengan demikian kemungkinan adanya bias dan inkonsisten dari hasil estimasi sangatlah besar. Adapun


(50)

model analisis untuk persamaan Regresi berganda dengan Model pool data adalah berbentuk sebagai berikut :

Y = a + bit 1X1it+ b X2 + b X3 + e2 it 3 it it

3.8.2. Model Efek Tetap (MET)

Adapun dasar pemikiran pembentukan model MET ini adalah bahwa adanya variabel-variabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept (a) yang tidak konstan, dengan kata lain intercept mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu. Secara matematis model MET dispesifikasi ke dalam persamaan berikut :

Yit= a + b X1 + b X2 + b X31 it 2 it 3 it+ g1W1t+ g W2 2 t+ ...+ g W + dn nt 1Z +d Z +...+di1 2 i 2 tZ + eit it

3.8.3. Model Efek Random (MER)

Bila pada model MET perbedaan antar individu dan atau waktu dicerminkan lewat intercept, maka pada MER perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik ini memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. Adapun dasar pemikiran pembentukan model ini adalah adanya dua faktor yang berkontribusi terhadap error, yaitu individu dan waktu sehingga random error pada MER juga perlu diurai menjadi error untuk komponen individu, waktu dan error gabungan. Maka persamaan untuk MER diformulasikan sebagai berikut :

Y = a + bit 1X1it+ b X2 + b X3 + e2 it 3 it it dimana,

e = u + v + w

it it it it


(51)

Dimana,

i : 1,2,3,...,n (banyaknya observasi cross sectional) t : 1,2,3,...,t (banyaknya periode waktu pengamatan)

Y : Pungutan cukai rokok untuk setiap semester tahunan (dalam satuan rupiah) X1 : Kebijakan Cukai untuk setiap semester tahunan (dalam satuan rupiah per batang)

X2 : Fasilitas penundaan untuk setiap semester tahunan (dalam satuan Rupiah) X3 : Tingkat Produksi rokok untuk setiap semester tahunan (dalam satuan Batang) a : Koefisien intercept dari persamaan regresi

b : Koefisien slope dari masing-masing variabel independen e : Faktor gangguan (error) yang stokhastik

W, Z : variabel dummy yang didefinisikan sebagai berikut : Wit = 1 ; untuk individu i, i = 1,2,...n

= 0 ; untuk lainnya

Zit = 1 ; untuk periode t, t = 1,2,...n = 0 ; untuk lainnya

g : Koefisien slope dari variabel dummy W d : Koefisien slope dari variabel dummy Z

i

u : Komponen error dari cross section t

v : Komponen error dari time series it

w : Komponen error gabungan

3.8.4. Pemilihan Model Analisis

Pemilihan model regresi berganda yang paling tepat diantara ketiga model analisis diatas, didasarkan atas 3 kriteria sebagai berikut :

1. Nilai koefisien determinasi (R²) yang paling besar , dari alternatif model estimasi. 2. Tujuan penggunaan data panel, dalam hal ini dimaksudkan untuk menganalisis

karakteristik variabel baik dari sisi croos sectional maupun dari sisi time series. Untuk keperluan ini maka model estimasi yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah model regresi MET dan model regresi MER.

3. Berdasarkan pendapat beberapa ahli ekonometrika, apabila dalam suatu data panel terdapat jumlah periode waktu (time series) yang lebih besar dibanding jumlah


(52)

individu (cross sectional), maka disarankan menggunakan MET, dan sebaliknya apabila jumlah periode waktu (time series) yang lebih kecil dibanding jumlah individu (cross sectional), maka disarankan menggunakan MER.

Berdasarkan ketiga kriteria diatas, maka model yang terpilih untuk menganalisis data penelitian adalah model regresi MET. Hasil lengkap output program Eviews 4.1 yang diujicobakan terhadap masing-masing model estimasi ditampilkan pada bagian lampiran. Model regresi MET memberikan output nilai koefisien determinasi (R²) yang tertinggi yaitu sebesar 0,95. Kemudian berdasarkan analisis terhadap data penelitian, jumlah periode pengamatan (time series) lebih banyak dibanding jumlah data inidividu (cross sectional).

3.9. Pengujian Asumsi Klasik

Sebelum melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan model regresi MET, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik dimaksudkan untuk memastikan bahwa estimasi model regresi berganda yang digunakan bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), sehingga model regresi layak untuk dipergunakan. Dalam uji asumsi klasik ini dilakukan 3 tahapan pengujian, yaitu : uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.

3.9.1. Uji Multikolinearitas

Uji formal yang digunakan untuk mendeteksi adanya masalah multikolinearitas adalah dengan membandingkan antara nilai koefisien determinasi dari persamaan regresi penelitian R2y.x terhadap nilai koefisien determinasi dari persamaan korelasi


(53)

parsial antar variabel independen . Aturan pengambilan keputusan untuk uji multikolinearitas adalah sebagai berikut :

2 x.x

R

1. Jika nilai R2y.x< R2x.x, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat masalah kolinearitas pada model regresi yang digunakan (H ), diterima. 0

2. Jika nilai R2y.x> R2x.x, maka hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat masalah kolinearitas pada model regresi yang digunakan(H ), ditolak . 0

Hasil lengkap output program eviews 4.1 untuk uji multikolinearitas ditampilkan dalam Lampiran 8. Tabel berikut ini adalah ringkasan dari hasil uji multikolinearitas tersebut.

Tabel 3.2

Perbandingan Nilai Koefisien determinasi 2 dengan

y.x

R R2x.x

Persamaan Regresi Hubungan

2

R

Nilai

2 R

it 1 it 2 it 3 t

Y = a+ b X 1 + b X 2 + b X3 + e it i 2 y.x

R 0,95

it 1 it 2 it

X 1 = a+ b X 2 + b X 3 + eit 2

x.x

R 0,39

it 1 it 2 it it

X 2 = a+ b X 1 + b X 3 + e 2

x.x

R 0,82

it 1 it 2 it it

X 3 = a+ b X 1 + b X 2 + e 2

x.x

R 0,81

Sumber : Lampiran 8 penelitian

Berdasarkan perbandingan nilai koefisien determinasi pada Tabel 3.2 diatas, ternyata nilai (0,95) lebih besar dibanding ketiga nilai sehingga dapat disimpulkan bahwa ditolak, dengan kata lain dapat disebutkan bahwa pada model persamaan regresi penelitian tidak terdapat masalah multikolinearitas.

2 y.x

R R2x.x

0


(54)

3.9.2.Uji Heteroskedastisitas

Uji ini bertujuan untuk melihat apakah didalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu residual pengamatan ke pengamatan lain. Bila Varian dari residual atau errors ( ) = j2 (konstan), atau dengan kata lain semua residual mempunyai varian yang sama, maka kondisi ini disebut homoscedasticity. Uji Formal yang dilakukan untuk mendeteksi masalah heteroskedastisitas dalam penelitian ini adalah menggunakan uji White (White’s General Heteroscedasticity Test) yang secara langsung sudah disediakan oleh Program Eviews 4.1.

i

e

Prinsip pengujian dalam uji White ini adalah mengkonstankan nilai varian residual dan meregresnya terhadap variabel independen. Khusus untuk model persamaan regresi dengan MET, uji formal dapat diamati dengan menganalisis hasil output program eviews yang telah mengeliminasi unsur heteroskedastisitas pada model. Untuk keperluan tersebut, pilihan untuk mengkonstankan residual pada program Eviews 4.1 harus diaktifkan. Hasil lengkap output estimasi persamaan regresi dengan MET yang telah mengeliminasi masalah heteroskedastisitas ditampilkan dalam Lampiran 7 . Tabel 3.3. berikut ini adalah ringkasan dari output program eviews dimana model regresi MET telah mengeliminasikan unsur heteroskedastisitas.


(55)

Tabel 3.3

Hasil MET Setelah Residual Dikonstankan

(White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance) Y_Pabrikan = a_Pabrikan + 227.342.150 X1 + 0,5518 X2 + 52,8340 X3

Fixed Effects Variabel Std. Error t-statistik Probabilitas

STTC Siantar, a = -1,10 x1010 X1 73.663.675 3,086218 0,0028 STTC Tamora, a = -1,60x1010 X2 0,391173 1,410752 0,1623 Pagi Tobacco, a = -1,39x1010 X3 11,38561 4,640416 0,0000 Wongso Pawiro, a = -1,29x1010

Permona, a = -1,31x1010 Putra Stabat, a = -1,42x1010 Senang Jaya, a = -1,22x1010 Kisaran, a =-1,13x1010 Adenan Ayu, a =-0,34x1010

2

R 0.951311 F-statistik 138,5455

Adjusted R 2 0.944444 Prob(F-statistik) 0,.000000 S.E. of regression 3,79E+09 Durbin-Watson statistik 2,026268

Hasil MET setelah residual dikonstankan menunjukan bahwa koefisien regresi dan intercept antar individu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan hasil MET sebelum residual dikonstankan (ditampilkan pada tabel Lampiran 4). Korelasi parsial antara variabel fasilitas penundaan (X2) dengan pungutan cukai (Y) setelah residual dikonstankan menjadi tidak signifikan, dan bahkan nilai standar error koefisiennya menjadi lebih besar. Sebelumnya, korelasi parsial antara variabel X2 dengan Y adalah sebesar 0,0161 (signifikan pada tingkat signifikansi 5%). Berdasarkan analisis ini dapat disimpulkan bahwa pada data awal observasi tidak terjadi masalah


(56)

heteroskedastisitas. Oleh sebab itu model regresi MET untuk mengestimasi persamaan regresi layak untuk digunakan.

3.9.3.Uji Autokorelasi

Uji ini bertujuan untuk melihat apakah didalam model regresi linier terjadi korelasi antara error pada periode t dengan error pada periode t-1 (sebelumnya). Metode OLS mengasumsikan bahwa error merupakan variabel random yang independen agar penduga bersifat BLUE. Mengingat sifat data penelitian ini juga memuat unsur time series, maka uji autokorelasi pada model regresi perlu dilakukan. Uji Formal yang akan dilakukan untuk mendeteksi auto korelasi adalah dengan Uji Durbin Watson (DW Test).DW test mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel Lag diantara variabel independen.

Adapun kriteria hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut :

0

H

= Tidak ada autokorelasi pada model regresi ( = 0)

1

H

= Terdapat autokorelasi pada model regresi ( ≠ 0)

Aturan membandingkan nilai uji DW-test terhadap tabel D-W ditunjukan dalam Gambar berikut (Nachrowi, 2006) :

Korelasi Negatif Tidak

Tahu Tidak ada Korelasi

Tidak Tahu Korelasi Positif

0 dL dU 4-dU 4-dL 4

Gambar 3.1


(1)

Lampiran 11.

Perkembangan Nilai Pagu Penundaan

Untuk Setiap Pabrikan Rokok Sumatera Utara

(Dalam Juta Rupiah)

Tahun

STTC

Siantar

STTC

Tamora

Pagi

Tobacco

Wongso

Pawiro

Permona

Putra

Stabat

Senang

Jaya

Kisaran

Adenan

Ayu

2002-1

9.000,00 2.236,13 3.484,45 16.000,00 2.000,00 2.471,86 1.000,00 540,05

261,45

2002-2

9.168,98 3.391,19 6.167,06 15.984,35 2.000,00 4.714,13 1.000,00 509,36

231,40

2003-1

9.321,48 3.543,75 6.409,44 15.110,38 1.950,00 4.659,82 1.000,00 564,44

256,50

2003-2

9.931,49 1.917,58 5.759,33 13.600,80 1.000,00 3.084,90 1.000,00 550,00

191,50

2004-1 10.823,91 1.702,80 3.656,81 12.165,33 1.051,36 3.064,88 1.000,00 401,96 210,50

2004-2 12.329,04 1.823,20 3.022,63 9.625,66 1.620,35 2.484,30 1.639,59 232,50 195,20

2005-1 12.095,26 1.831,80 2.026,05 8.824,77 1.666,40 2.453,30 1.500,07 200,50 235,87

2005-2 11.945,51 4.729,57 2.057,60 7.407,83 840,18 1.864,20 1.009,42 168,48 101,09

2006-1 21.156,71 2.451,00 2.107,18 7.617,27 924,71 1.914,12 979,47 190,50 191,30

2006-2 16.343,29 1.982,62 2.526,19 6.316,00 864,63 2.862,60 930,15 219,96 286,96


(2)

Lampiran 12.

Perkembangan Tingkat Produksi Rokok

Untuk Setiap Pabrikan Rokok Sumatera Utara,

(Dalam Juta Batang)

STTC

STTC

Kisaran Adenan

Tahun

Siantar Tamora

Pagi

Tobacco

Wongso

Pawiro

Permona

Putra

Stabat

Senang

Jaya

Ayu

2002-1 688,08 195,00 333,09 630,18 121,56 252,54 79,65 4,94 3,60

2002-2 556,19 84,00 225,00 367,53 57,30 126,95 30,90 4,89 2,98

2003-1 506,58 72,37 198,39 405,92 69,31 157,41 37,93 4,34 3,42

2003-2 516,64 106,52 168,53 451,74 50,21 124,30 33,44 4,56 2,55

2004-1 633,91 111,97 175,68 438,54 78,67 153,48 70,07 3,60 2,75

2004-2 617,43 141,73 145,12 364,91 127,99 123,63 88,74 4,38 4,12

2005-1 683,35 116,56 146,86 499,14 49,23 130,29 48,54 3,98 2,60

2005-2 692,00 85,50 141,38 480,56 41,05 132,50 42,30 4,29 2,68

2006-1 579,43 64,42 160,85 451,38 121,28 138,90 53,89 6,18 4,89

2006-2 668,96 45,26 127,06 331,77 40,82 121,22 58,90 5,70 4,43


(3)

Lampiran 13.

Hasil Uji Variabel Yang Paling Dominan

Untuk Setiap Model Regresi Pabrikan Rokok Menggunakan SPSS 14.1

Model estimasi 1, untuk pabrikan PT. STTC Pematang Siantar:

Y =

-52.347.682.667 + 957.192.867X1 - 0,91X2 + 60,90X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -52347682666.898 30370733581.931 -1.724 .136

X1 957192867.381 388528292.968 .901 2.464 .049

X2 -.913 1.245 -.267 -.733 .491

X3 60.903 42.534 .330 1.432 .202

a Dependent Variable: Y

Model estimasi 2, untuk pabrikan PT. STTC Tanjung Morawa :

Y = -5.049.556.757 + 73.076.144X1 + 0,41X2 + 54,67X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

2 (Constant)

-5049556757.441 2382280263.064 -2.120 .078

X1 73076143.679 23322017.220 .454 3.133 .020

X2 .406 .208 .221 1.955 .098

X3 54.672 6.536 1.279 8.365 .000

a Dependent Variable: Y


(4)

Y = -15.275.513.242+ 282.658.433X1 - 0,33X2 + 60,60X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

3 (Constant) -15275513241.618 5278979235.613 -2.894 .028

X1 282658433.086 84732189.904 .670 3.336 .016

X2 -.330 .414 -.164 -.799 .455

X3 60.598 10.556 1.037 5.741 .001

a Dependent Variable: Y

Model estimasi 4, untuk pabrikan PT. Wongso Pawiro :

Y = -16.648.109.326 + 331.907.655X1 +0,39X2 + 46,67X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

4 (Constant) -16648109325.830 14864208440.792 -1.120 .306

X1 331907654.829 114254731.694 .753 2.905 .027

X2 .385 .393 .242 .979 .365

X3 46.674 18.358 .664 2.542 .044

a Dependent Variable: Y

Model estimasi 5, untuk pabrikan PT. Permona :

Y = -3.373.528.799 + 49.316.629X1 + 1,46X2 + 29,89X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

5 (Constant) -3373528798.911 6029552777.365 -.559 .596

X1 49316629.080 99673949.734 .145 .495 .638

X2 1.464 1.048 .424 1.396 .212

X3 29.895 12.684 .607 2.357 .057

a Dependent Variable: Y


(5)

Y = -8.615.359.265+ 158.814.891X1 + 0,35X2 + 45,49X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

6 (Constant) -8615359265.270 4612165381.540 -1.868 .111

X1 158814891.252 55343181.284 .636 2.870 .028

X2 .354 .329 .214 1.078 .322

X3 45.494 8.322 1.080 5.467 .002

a Dependent Variable: Y

Model estimasi 7, untuk pabrikan PR. Senang Jaya :

Y = -5.580.908.664 + 62.501.486X1 + 1,92X2 + 58,17X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

7 (Constant) -5580908663.724 1349609627.432 -4.135 .006

X1 62501485.589 21530149.578 .314 2.903 .027

X2 1.916 .772 .290 2.482 .048

X3 58.174 9.873 .703 5.892 .001

a Dependent Variable: Y

Model estimasi 8, untuk pabrikan PT. Kisaran :

Y = -476.270.930 + 7.233.596X1 + 0,14X2 + 69,66X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

8 (Constant) -476270930.030 297453884.920 -1.601 .160

X1 7233595.704 5983034.029 .490 1.209 .272

X2 .139 .207 .235 .669 .528

X3 69.663 38.144 .539 1.826 .118


(6)

Model estimasi 9, untuk pabrikan PR. Adenan Ayu :

Y = -39.036.136 + 3.130.228X1 + 0,20X2 + 0,02X3

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

9 (Constant) -39036135.857 12630967.894 -3.091 .021

X1 3130228.328 280350.738 .884 11.165 .000

X2 .204 .043 .264 4.777 .003

X3 .019 3.800 .000 .005 .996

a Dependent Variable: Y

Catatan

: 9 model estimasi ini tidak digunakan sebagai model penelitian, akan tetapi

dipakai hanya untuk memperlihatkan variabel yang paling dominan pengaruhnya

terhadap pungutan cukai untuk setiap model estimasi.