Analisis Hukum Kebijakan Tarif Cukai Terhadap Industri Hasil Tembakau Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

NASKAH PUBLIKASI

TESIS

OLEH

AGUNG YURIANDI 087005039/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

(NASKAH PUBLIKASI)

JUDUL : ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI

TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

NAMA MAHASISWA : Agung Yuriandi NOMOR POKOK : 087005039 PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., M.Li) K e t u a

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum) A n g g o t a

(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum) A n g g o t a

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan


(3)

ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

Agung Yuriandi *) Ningrum Natasya Sirait **)

Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)

ABSTRAK

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara. Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau di seluruh dunia. Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja juga sebagai salah satu objek yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Namun, ada tekanan dari luar untuk meratifikasi Framework Convention on

Tobacco Control yang tidak lain adalah untuk mengendalikan dampak negatif dari

rokok ditinjau dari segi kesehatannya. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 dengan visi untuk mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan tidak mengenyampingkan aspek kesehatan. Disamping Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk cukai.

Kebijakan pemerintah tersebut dinamakan kebijakan tarif tunggal (single tariff

policy) yang memberatkan industri hasil tembakau sedangkan penerimaan negara

dapat ditingkatkan. Kebijakan single tariff tersebut menyulitkan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara karena merupakan industri skala kecil dan menengah. Sudah pasti tidak adil bagi daerah Sumatera Utara yang industrinya merupakan skala kecil dan menengah yang rentan terhadap perubahan harga. Dengan adanya perubahan harga maka konsumen rokok pada industri kecil dan menengah akan mencari substitusi produk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : perlu adanya kajian terhadap penerapan single tariff dan kebijakan yang berdasarkan pada pendapatan negara. Dengan cara mengimbangi antara tujuan meningkatkan pendapatan negara dengan kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri; sebaiknya pemerintah daerah melakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk memperbaiki iklim usaha dengan cara mengurangi transaction cost yang ditimbulkan

*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

oleh peraturan daerah dan memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara; dan melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang diterima oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan dampak yang diterima oleh lingkungan daerah Industri Hasil Tembakau itu berdiri, juga diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran atau porsi yang baik dalam menentukan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang lebih adil bagi daerah Sumatera Utara.

Kata Kunci : - Kebijakan Tarif Tunggal - Industri Hasil Tembakau


(5)

LEGAL ANALYSIS OF INDUSTRIAL POLICY RATES EXCISE OF TOBACCO PRODUCTS INDUSTRY IN NORTH SUMATRA

Agung Yuriandi *) Ningrum Natasya Sirait **)

Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)

ABSTRACT

Tobacco is the kind of commodities subject to excise duty by the government. The application of excise duty on tobacco has been conducted in the days of empire in Indonesia. Indonesia accounted for 2,1% of the woldwide supply of tobacco. The tobacco industry is contribute to the government revenue through excise. In terms of state revenue in the form of foreign exchange, export value of tobacco and tobacco result also holds an important role. The tobacco has a large contribution to labor absorption also as one of the objects that can be used as source of Revenue for Regional Real Income associated with the Fund For The Tobacco Excise Results.

However, there is pressure from outside to ratify the Framework Convention on Tobacco Control which is none other than to control the negative impacts of smoking in terms of health. Therefore, the government issued a Tobacco Product Industries Roadmap 2007-2020 with the vision to realize the Tobacco Industry, strong and competitive in the domestic and global markets with no waive the health aspects. Besides Roadmap 2007-2020 of Tobacco Product Industries Government also issued a Regulation of the Minister of Finance No. 181/PMK.011/2009 about Tobacco Excise Tariff to Boost Government Revenues In The Form of Excise Duty.

The government policy is called single tariff policy that hold the tobacco industry can be enhanced while government take the revenue. Single Tariff Policy is complicated for Tobacco Product Industries in North Sumatra due to the Small and medium scale of industries. It is certainly not fair to the industrial region of North Sumatra is a small scale and medium enterprises that are vulnerable of price changes. With the change in the consumer price of cigarettes in small and medium industries will find the substitution products.

The results showed that : the need for study of a single application of tariff rates and policies based on government revenue. By the way of balance between the goal of increasing government revenues with the interests of the community, local government, and the tobacco industriy itself; local government should make efforts that aim to improve the business climate by reducing the transaction costs incurred by the local regulations and improving infrastructure investments in North Sumatra; and conduct a review of the allocation of Profit Sharing Fund Tobacco Excise results received by the Local Government to consider the environmental impact received by the region’s standing Tobacco Industry Results, further studies are also required to

*) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra


(6)

obtain quantity or a good portion in determining the Sharing Fund Tobacco Excise a fairer results for the region of North Sumatra.

Key Words : - Single Tariff Policy - Tobacco Product Industry


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur yang penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.

Penulisan tesis ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Magister Humaniora di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan tesis ini, penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan mengenai sejarah hukum dalam penyelesaian tesis ini.


(8)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan semangat pantang menyerah kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan dukungan moral dan sistem pengajaran yang sangat baik sehingga penulis mengerti apa maksud dan tujuan dari menulis.

7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah memberikan masukan dalam hal pengajaran di dalam kelas.

8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I dan sebagai Penguji II yang telah memberikan kemudahan dalam urusan birokrasi, juga masukan dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menjelaskan proses administrasi di bagian keuangan.

10.Bapak Ir. Yusuf Husni, sebagai Pembantu Rektor V yang telah banyak memberikan nasihat-nasihat positif dan pandangan hidup serta cara berusaha kepada penulis.


(9)

11.Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., sebagai Dosen pada saat penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.

12.Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Buk Ganti, Buk Niar, Bang Udin, Bang Hendra, Bang Herman, yang telah memberikan informasi dan membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Juga saya ucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua penulis yang telah sabar dan mencurahkan segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya serta doanya sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan tinggi ini, kepada orang tua Ayahanda Yuri Subandi dan Ibunda Dewi Lastina, BA., dengan doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

14.Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk adik penulis, Wenny Subandi, SE., yang telah memberikan dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.

15.Terima kasih penulis ucapkan kepada Kelvina Sefialora, SH., yang telah memberikan perhatian dan semangat serta doa kepada penulis ketika mengalami kejenuhan dan penat selama menyelesaikan studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

16.Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku Radian Alfin, SH., M. Fadli Habibie, SH., M.Hum., Sudirman Simamora, SH, M.Hum., Ya’ti


(10)

Syahri, SH., Tri Murti Lubis, SH., Muhammad Suhandi, SH., Muhammad Hanafi Matondang, Dyah Ayunda Utami Putri, S.Kom., Subandi, Amd., Eko Neilamzulsyah, Amd., Dolly Tirta, Amd., Riadi, Syaiful Bahri, Asnan, Melfa, yang sangat membantu selama penyelesaian tesis, yang selama ini bersama-sama dalam suka maupun duka dan teman-teman tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr. wb. Medan, September 2010

Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Agung Yuriandi

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 07 Juli 1985 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pendidikan :

- Lulusan SD Percobaan Negeri Medan, tahun 1997; - Lulusan SLTP Negeri 3 Medan, tahun 2000; - Lulusan SMU Negeri 6 Medan, tahun 2003;

- Lulusan S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007;

- Lulusan S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2010.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan ii

Abstrak iii

Kata Pengantar vii

Daftar Riwayat Hidup xi

Daftar Isi xii

Daftar Tabel xv

Daftar Gambar xvi

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 19

C. Tujuan Penelitian 19

D. Manfaat Penelitian 20

E. Keaslian Penelitian 20

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi 21

G. Metode Penelitian 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian 30

2. Sumber Bahan Hukum 31

3. Teknik Pengumpulan Data 33


(13)

BAB II : KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA 37

A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 37

1. Masa Sebelum Kemerdekaan 42

2. Masa Sesudah Kemerdekaan 43

3. Masa Orde Baru & Reformasi 46

4. Masa Pasca Reformasi 47

B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 49

1. Departemen Keuangan 51

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan 59

3. Departemen Pertanian 62

C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Peruntukannya

64

BAB III : PENGARUH KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

71

A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 71

1. Industri Rokok 71

a. Perusahaan Besar Tembakau 72

b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera Utara

74

2. Masyarakat 78

3. Pendapatan Negara 82


(14)

1. Peredaran Rokok Illegal dan Pita Cukai Palsu 83

2. Kebijakan yang Kurang Mendukung 85

3. Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok 91

C. Pengaruh Eksternal 93

1. Liberalisasi Perdagangan Dunia 93

2. Framework Convention on Tobacco Control 102 3. Trend Akuisisi Perusahaan Rokok Nasional oleh Investor Asing 117

BAB IV : KETENTUAN PEMBAGIAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN BAGI SUMATERA UTARA SEBAGAI DAERAH PENGHASIL TEMBAKAU DAN LOKASI

INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DALAM KERANGKA

KEBIJAKAN TARIF

119

A. Cukai Tembakau dan Retribusi Daerah 119

B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff 124 C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 127

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 134

A. Kesimpulan 134

B. Saran 137


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 41

Tabel 2 Golongan Pengusaha Hasil Tembakau 52

Tabel 3 Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan PMK No.

181/PMK.011/2009 53

Tabel 4 Target dan Realisasi Penerimaan Cukai APBN 2005 – 2010 59 Tabel 5 Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009 61

Tabel 6 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau Tahun Anggaran 2009 65

Tabel 7 Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999 73

Tabel 8 Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Provinsi Sumatera


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008 40


(17)

ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA

Agung Yuriandi *) Ningrum Natasya Sirait **)

Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)

ABSTRAK

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara. Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau di seluruh dunia. Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja juga sebagai salah satu objek yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Namun, ada tekanan dari luar untuk meratifikasi Framework Convention on

Tobacco Control yang tidak lain adalah untuk mengendalikan dampak negatif dari

rokok ditinjau dari segi kesehatannya. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 dengan visi untuk mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan tidak mengenyampingkan aspek kesehatan. Disamping Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk cukai.

Kebijakan pemerintah tersebut dinamakan kebijakan tarif tunggal (single tariff

policy) yang memberatkan industri hasil tembakau sedangkan penerimaan negara

dapat ditingkatkan. Kebijakan single tariff tersebut menyulitkan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara karena merupakan industri skala kecil dan menengah. Sudah pasti tidak adil bagi daerah Sumatera Utara yang industrinya merupakan skala kecil dan menengah yang rentan terhadap perubahan harga. Dengan adanya perubahan harga maka konsumen rokok pada industri kecil dan menengah akan mencari substitusi produk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : perlu adanya kajian terhadap penerapan single tariff dan kebijakan yang berdasarkan pada pendapatan negara. Dengan cara mengimbangi antara tujuan meningkatkan pendapatan negara dengan kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri; sebaiknya pemerintah daerah melakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk memperbaiki iklim usaha dengan cara mengurangi transaction cost yang ditimbulkan

*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(18)

oleh peraturan daerah dan memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara; dan melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang diterima oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan dampak yang diterima oleh lingkungan daerah Industri Hasil Tembakau itu berdiri, juga diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran atau porsi yang baik dalam menentukan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang lebih adil bagi daerah Sumatera Utara.

Kata Kunci : - Kebijakan Tarif Tunggal - Industri Hasil Tembakau


(19)

LEGAL ANALYSIS OF INDUSTRIAL POLICY RATES EXCISE OF TOBACCO PRODUCTS INDUSTRY IN NORTH SUMATRA

Agung Yuriandi *) Ningrum Natasya Sirait **)

Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)

ABSTRACT

Tobacco is the kind of commodities subject to excise duty by the government. The application of excise duty on tobacco has been conducted in the days of empire in Indonesia. Indonesia accounted for 2,1% of the woldwide supply of tobacco. The tobacco industry is contribute to the government revenue through excise. In terms of state revenue in the form of foreign exchange, export value of tobacco and tobacco result also holds an important role. The tobacco has a large contribution to labor absorption also as one of the objects that can be used as source of Revenue for Regional Real Income associated with the Fund For The Tobacco Excise Results.

However, there is pressure from outside to ratify the Framework Convention on Tobacco Control which is none other than to control the negative impacts of smoking in terms of health. Therefore, the government issued a Tobacco Product Industries Roadmap 2007-2020 with the vision to realize the Tobacco Industry, strong and competitive in the domestic and global markets with no waive the health aspects. Besides Roadmap 2007-2020 of Tobacco Product Industries Government also issued a Regulation of the Minister of Finance No. 181/PMK.011/2009 about Tobacco Excise Tariff to Boost Government Revenues In The Form of Excise Duty.

The government policy is called single tariff policy that hold the tobacco industry can be enhanced while government take the revenue. Single Tariff Policy is complicated for Tobacco Product Industries in North Sumatra due to the Small and medium scale of industries. It is certainly not fair to the industrial region of North Sumatra is a small scale and medium enterprises that are vulnerable of price changes. With the change in the consumer price of cigarettes in small and medium industries will find the substitution products.

The results showed that : the need for study of a single application of tariff rates and policies based on government revenue. By the way of balance between the goal of increasing government revenues with the interests of the community, local government, and the tobacco industriy itself; local government should make efforts that aim to improve the business climate by reducing the transaction costs incurred by the local regulations and improving infrastructure investments in North Sumatra; and conduct a review of the allocation of Profit Sharing Fund Tobacco Excise results received by the Local Government to consider the environmental impact received by the region’s standing Tobacco Industry Results, further studies are also required to

*) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra


(20)

obtain quantity or a good portion in determining the Sharing Fund Tobacco Excise a fairer results for the region of North Sumatra.

Key Words : - Single Tariff Policy - Tobacco Product Industry


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok).1

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara. Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya (barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai

1 Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan

Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2.

2 Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara

menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).


(22)

barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan. Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan, dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah, termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu).3

Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008.4 Pengutipan cukai tembakau tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-undangan.

Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6

3

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.

4

Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.

5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”,

http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.


(23)

Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia. Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya.7 Penerimaan negara melalui Industri Hasil Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau yang dihasilkan setiap perusahaan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jember (LPM UNEJ) pada tahun 2008 menggambarkan peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai berikut :

“Dibanding sektor-sektor pertanian yang lain baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan, sektor tembakau memiliki nilai keterkaitan ke belakang untuk output tertinggi setelah sektor unggas dan hasilnya. Sumbangan untuk sektor tembakau (Sektor 11) dan industri rokok (Sektor 34) terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Nilai ini adalah didasarkan dari data I-O Indonesia tahun 2005. Namun, berdasarkan data Dirjenbun, sumbangan sektor tembakau berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2005 bernilai Rp. 17,72544 triliun.

Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong industri yang memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang tidak terlalu tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan sektor industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun.

Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp. 46,195 triliun”.8

7 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com

/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei 2010.

8 LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku

Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember : LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.


(24)

Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9 Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.

Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan

9

Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83.

10 Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,

31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

11 Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04

November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

12 “Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19

November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.


(25)

rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004 – tahun 2008.13

Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang, petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang, pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan, periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.14

Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

13 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68.

14 “Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,


(26)

Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau dialokasikan 2% kepada daerah penghasil tembakau.15

Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, diperkirakan sebanyak Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Utara.16

Dengan demikian, dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap Pendapatan Daerah Sumatera Utara adalah meningkatkan pendapatan daerah selama Industri Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang berbanding terbalik dengan pengembangan Industri Hasil Tembakau. Semakin tinggi tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri Hasil Tembakau.17

Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan. Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang

15 Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,

(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat

dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”,

http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.

16 Loc.cit., hal. 86. 17 Ibid., hal. 86-87.


(27)

mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau telah menyebabkan kondisi industri ini berada dalam kesulitan yang sangat nyata.18

Meskipun Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi positif bagi ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi sejumlah masalah (termasuk Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara), yaitu : ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau masih sangat kecil; semakin tingginya kampanye anti merokok; Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC) mengenai pengendalian dampak tembakau;

iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.

Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti dengan meningkatnya produksi perkebunan tembakau di Indonesia dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006, 164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai 172.701 ton. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan lahan

18 Ibid., hal. 87.


(28)

perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun 2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19

Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp. 3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008 mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20

Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan tembakau terjadi pengurangan lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut

19 “Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,

http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.


(29)

mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270 bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770 bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun 2009.21

Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara

sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis”.22

Dalam lingkungan internasional, Industri Hasil Tembakau dihambat oleh

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di

Genewa. Diberlakukan tanggal 27 Februari 2005 serta sudah ditandatangani dan diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention

21 “Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com

/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.

22 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal


(30)

on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut

sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut.23

Hal-hal pokok yang diatur dalam Framework Convention on Tobacco Control antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan, pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi terhadap produk tembakau akan berdampak terhadap penurunan produksi dan konsumsi tembakau disamping itu akan mendorong peningkatan produksi dan peredaran rokok tanpa cukai (rokok ilegal).24

Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on

Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai

infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal, semakin banyak peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu.

Mengenai infrastruktur yang menjadi penghambat dalam perkembangan Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah

23 “Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net

/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.


(31)

keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil Tembakau untuk berkembang.

Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga

retribusi-retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat.

Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Menurut Thomas Sugijata sebagai Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa :

“...fatwa haram terhadap rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, akan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Mengenai seberapa besar pengaruhnya, baru bisa dihitung satu atau dua bulan setelah fatwa tersebut diberlakukan”.25

Biaya lainnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau yang dikutip sebelum rokok dipasarkan (dibayar didepan). Dengan peraturan inilah pemerintah menetapkan harga setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan


(32)

terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan dan pasokan barang. Apabila penjualan mengalami penurunan, maka pendapatan perusahaan rokok akan menurun pula.26

Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila dibandingkan dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan Republik Indonesia mengatakan bahwa :

”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran. Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar


(33)

Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27

Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.

Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007.

Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.28

27 Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan

Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).

28 Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang


(34)

Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia (menjabat pada waktu itu) menyatakan bahwa :

“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin. Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29

Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok putih, muncul dugaan adanya keterlibatan perusahaan multinasional dalam regulasi Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau nasional dengan menggunakan instrumen regulasi cukai dan Framework Convention

on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak

dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat. Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil

29 Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik

Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05 Juni 2010.


(35)

Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar, seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain. Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT. British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30

Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding

Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan

perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek. Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama 2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek. Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,

30 Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.

Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.


(36)

seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang harus hidup diantara para raksasa rokok.31

Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup dan tidak beroperasi lagi.

Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.32

Kebijakan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau cenderung terus meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau untuk menetapkan penerimaan negara. Jadi, konsumsi rokok diperkecil dengan

31 “Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya

Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100.

32 ”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,


(37)

penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat naik.

Setelah cukai dipungut dari Industri Hasil Tembakau, pemerintah berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai illegal khususnya di Sumatera Utara yang kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut disalurkan.

Menurut Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan digunakan sebagai pengendalian dampak tembakau, seperti pembangunan sarana dan prasarana kesehatan berupa perlengkapan alat-alat kesehatan, pembangunan tempat-tempat merokok di daerah umum, dan lain sebagainya.

Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Kedua atas

33 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan

Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.


(38)

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri Hasil Tembakau skala menengah-bawah dan Industri Hasil Tembakau skala menengah-atas. Beberapa tarif yang dibebankan berdasarkan jenis dan golongan justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34

Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar.

Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau, yakni : peningkatan pendapatan negara melalui cukai tembakau, pengendalian dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada perekonomian nasional seperti penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan rakyat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan Industri Hasil Tembakau.35

34 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53. 35 Ibid., hal. 100.


(39)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara?

3. Bagaimana ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara terkait dengan Industri Hasil Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara lain :

1. Untuk menganalisis kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.

3. Untuk menganalisis ketentuan pembagian cukai hasil tembakau yang ditinjau dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif.


(40)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : 1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan. 2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Industri Hasil Tembakau dalam mengambil langkah yang ditempuh untuk membela industri menengah-kecil agar menghindari kerugian perusahaan akibat kebijakan single tariff.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) agar terbentuk peraturan atau kebijakan yang mampu menciptakan kestabilan, keterprediksian, dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait, et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian


(41)

yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi. Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi, permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

Penelitian tesis ini menggunakan teori hukum mengenai “peranan hukum dalam kegiatan ekonomi“ (rule of law in economic development), teori analisis ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).

Dalam analisis hukum mengenai peranan hukum dalam kegiatan ekonomi digunakan teori Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa :

”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability,

predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim

ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan”.36

36 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 106-107.


(42)

Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi, apabila peraturan hukum yang dihasilkan memenuhi unsur stabilitas (stability), keterprediksian (predictability) dan berkeadilan (fairness).

Peraturan hukum dapat menciptakan stabilitas jika peraturan hukum tersebut memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan kebijakan tarif cukai.

Prediktabilitas dari peraturan hukum akan membantu para pelaku ekonomi dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasi kegiatan ekonomi yang lebih efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial, dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat memprediksi seluruh ketentuan yang berlaku.

Keadilan hukum akan memberikan hak dan kewajiban secara berimbang kepada setiap orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, akomodatif terhadap berbagai kepentingan dan melindungi pihak-pihak yang kurang beruntung. Peraturan berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya mementingkan penerimaan negara tetapi juga harus memperhatikan dampak kesehatan dan lebih berpihak kepada Industri Hasil Tembakau.

Mengenai keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai


(43)

kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya. Hukum di bidang ekonomi dengan demikian harus berimbang dalam mengatur kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.37

Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang menyatakan bahwa :

”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.38

Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat, contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun tidak terlepas dari pengendalian kesehatan masyarakat oleh pemerintah.

37 Ibid., hal. 108.

38 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :


(44)

Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39

Hukum ekonomi di Indonesia menjamin kepastian hak setiap orang untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi, peluang-peluang ekonomi yang ada untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya. Oleh karena itu, hukum di Indonesia tidak menghendaki adanya konsentrasi penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi. Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi kepentingan nasional tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil Tembakau.

Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan Pemerintah. Banyak pandangan yang mengisyaratkan bahwa kebijakan cukai yang ditetapkan oleh pemerintah tidak konsisten dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara


(45)

seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek penerimaan negara. Kebijakan yang demikian sangat dikhawatirkan akan menekan Industri Hasil Tembakau Indonesia, khususnya Industri Hasil Tembakau yang berskala kecil dan menengah. Kebijakan yang demikian diprediksikan akan menimbulkan kecenderungan semakin menyempitnya ruang kesempatan berusaha bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil Menengah. Produktifitas Industri Hasil Tembakau akan menurun, rasionalisasi tenaga kerja, kehilangan pendapatan dan penurunan tingkat kesejahteraan adalah peluang-peluang yang sangat mungkin terjadi.40

Keadaan ini akan diperburuk oleh sejumlah permasalahan domestik yang dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang kurang kondusif, infrastruktur yang kurang mendukung, masalah bahan baku, ekonomi biaya tinggi dan semakin maraknya produk rokok ilegal.41

Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing, dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan perusahaannya melalui restrukturisasi perusahaan, baik dengan menggunakan metode

merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) atau menyerahkan perusahaan untuk

diakuisisi (pengambilalihan) oleh perusahaan-perusahaan yang lebih kuat. Praktik monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena keadaan-keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, akan menyisakan beberapa

40 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109. 41 Ibid., hal. 110.


(46)

pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat, tidak tertutup kemungkinan adalah Industri Hasil Tembakau asing.42

Tidak disangkal bahwa hasil Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok, memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Tidak dikehendaki adanya kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan secara proporsional dampak yang mungkin timbul dari regulasi yang dikeluarkan.43

Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak. Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi, untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :

42 Ibid.


(47)

1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan dari pengolahan tembakau.44

2. Manfaat ekonomi adalah berkaitan dengan penerimaan negara untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cukai yang digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pemerintah.

3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil tembakau, Framework Convention on Tobacco Control, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, peraturan daerah yang melarang merokok pada tempat-tempat tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak mendukung, dan ketersediaan bahan baku.

4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009 atau penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang diterapkan di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil tembakau sebesar 2%.

6. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang.45 Dalam tulisan ini adalah cukai hasil tembakau.

44 Ibid.


(48)

7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain sebagainya.

8. Hukum adalah setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang terkait dengan pengaturan industri hasil tembakau.46

9. Industri Rokok adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau memasarkan atau menjual hasil olahan tembakau berupa rokok.47

10.Roadmap Industri Hasil Tembakau adalah program pemerintah yang dicanangkan sejak tahun 2007 – 2020 untuk mengembangkan Industri Hasil Tembakau.

11.Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan tembakau/produk keluaran dikenakan cukai dengan tarif yang sama.

12.Transaction Cost adalah biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung

oleh Industri Hasil Tembakau untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.48

G. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan

46 Loc.cit., hal. 112. 47 Ibid.

48 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.


(49)

penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah. Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49

Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :

1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;

2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat;

3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan;

4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan penghubung dengan pembaca;

5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan sebagainya;

6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting;

7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak menutupi kelemahan diri;

8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;

9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 51

49 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan

Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2.

50 Ibid.

51 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah


(50)

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan juridis normatif.52 Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi

Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.

52 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum

dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.


(1)

Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).

Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.

Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”, http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task= view&id=303&Itemid=62., diakses pada 30 Agustus 2010.

Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id/perpustakaan/.../Munandir%20 (kode% 20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.

Gatra, “Tembakau Deli Manikam nan Nyaris Pudar”, Tanggal 22 Agustus 2007.

“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id /index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.

Gibbons, Zeynita., ”Bursa Tembakau Bremen, Apa Perlu Dipertahankan”, http://www.antara.co.id/berita/1246836766/bursa-tembakau-bremen-apa-perlu-dipertahankan., diakses pada 13 November 2009.

“Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”, http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.


(2)

Hasibuan, Hisar., “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian

Medan Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008,

http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211., diakses pada 31 Agustus 2010.

Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010.

Junaidy. Ronny K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”,

http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.

“Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com /industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.

”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”, www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.

”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www. antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.

“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Jakarta : Suara Pembaruan, tanggal 17 Maret 2010.

“Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net /nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.

“Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”,

http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses pada 01 September 2010.


(3)

Rahmadi, Anton., ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com content& task= view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.

Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”, http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010.

Riyanto, S., “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus 2010.

Sigit, Darmawan., “Sejarah Bea Cukai”, http://sipetualang.com/?p=8., diakses pada 07 September 2010.

Simanjuntak, Eva., “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global,

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri -rokok-sumut-terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.

“Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/Ekonomic

TobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 10 April 2010.

Susanto, Heri., “Dari Kudus Jadi Bos Superblok Grand Indonesia”, http://bisnis.vivanews.com/news/read/136634-dari_kudus_jadi_bos_

superblok_grand_indonesia., diakses pada 10 April 2010.

“Tanah Apanage di Jawa”, http://fms.ormawa.uns.ac.id/2008/10/20/tanah-apanage-di-jawa/., diakses pada 11 November 2009.

“Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”, http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-terancam-jadi-pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.


(4)

Wijaya, Agoeng., “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04 November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis /2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

Wikipedia, ”Kretek”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek., diakses pada 13 November 2009.

Wikipedia, “Sejarah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek#Sejarah., diakses pada 13 November 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 dan Lampiran tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009.

Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.


(5)

Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 437.

Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 343.

Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 142.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1951 tentang Perubahan Tabaks-Accijns-Verordening (Staatsblad 1932 No. 560), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3629.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Baranag Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3630.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3651.

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4917.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen.

Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara


(6)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3274.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.

Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4866.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4755.