Teori dan Konsep Kebijakan Cukai

Sesuai dengan pasal 7 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 diatur mengenai pelunasan cukai, dimana proses pelunasan cukai dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu: dengan cara pembayaran dan dengan cara pelekatan pita cukai. Dalam peraturan pelaksaan undang-undang tersebut, ditetapkan bahwa terhadap barang kena cukai berupa hasil tembakau yang akan dikonsumsi di dalam negeri maka pelunasan cukainya dilakukan dengan pelekatan pita cukai. Untuk memperoleh pita cukai maka produsen rokok harus melakukan pemesanan pita cukai kepada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai KPBC setempat. Jika produsen mendapat fasilitas penundaan pembayaran, maka pemesanan pita cukai dilakukan secara kredit, namun jika tidak mendapatkan fasilitas penundaan, maka pemesanan pita cukai dilakukan secara tunai.

2.3. Teori dan Konsep Kebijakan Cukai

Kebijakan cukai merupakan salah satu bagian dari kebijakan fiskal pemerintah disisi pendapatan. Secara teoritis kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengeluaran dan pendapatan pemerintah . Menurut Boediono 2002 kebijakan fiskal pemerintah Indonesia dilaksanakan melalui kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, dalam bentuk : 1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan ; 2. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja. Konsep kebijakan di bidang cukai pada hakekatnya adalah suatu langkah- langkah untuk memenuhi berbagai maksud dan tujuan yang mendasar dari pengenaan cukai terhadap obyek-obyek cukai tertentu. Adanya trade off antara kepentingan cukai Surono : Pengaruh Kebijakan Cukai, Failitas Penundaan Dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai…, 2007 USU e-Repository © 2008 sebagai salah satu instrumen revenue collector dengan kepentingan lainnya sebagai comunity protector haruslah secara bijak diakomodasi oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Disamping kedua kepentingan tersebut, khusus di Indonesia ada satu isu lain yang tak kalah pentingnya untuk menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan cukai yaitu kepentingan penciptaan kesempatan kerja. Sebagaimana telah disampaikan dalam latar belakang penelitian diawal, bahwa peran cukai hasil tembakau di Indonesia memiliki kontribusi yang sangat dominan yakni rata-rata sekitar 95 dari seluruh penerimaan cukai yang dipungut setiap tahunnya. Marks 2003 dalam kajiannya mengenai analisis ekonomi terhadap pengenaan cukai rokok di Indonesia, mengemukakan beberapa tujuan mendasar yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun formula kebijakan cukai rokok di Indonesia yaitu : 1. Tax Revenue Acquisition. Ketika permintaan terhadap hasil tembakau diestimasikan bersifat relatif inelastis, hal ini akan menunjukan bahwa pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi seharusnya secara umum akan meningkatkan penerimaan cukai. Dalam kondisi ini pemerintah Indonesia dituntut untuk mendapatkan tambahan atas penerimaan cukai guna menjaga stabilitas fiskal dan pengembangan pengeluaran. 2. Enhancement of public health. Kebiasaan merokok berdasarkan penelitian memiliki efek negatif yang serius terhadap kesehatan. Kerangka kerja terbaru dari Framework Convention on Tobacco Control FCTC dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang meratifikasinya, menyarankan agar pemerintah memasukan isu kesehatan dalam setiap pengambilan kebijakan cukai atas rokok. 3. Employment generation. Pabrikan rokok kretek SKT merupakan perusahaan yang proses produksinya berorientasi pada pekerja labour intensive yang memperkerjakan ratusan ribu buruh, terutama wanita dan kebanyakan berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertimbangan atas kondisi ini telah menjadi dasar bagi pengenaan tarif yang lebih rendah terhadap produk rokok kretek tangan SKT dibanding dengan produk rokok yang dikerjakan dengan tenaga mesin. 4. Promotion of small enterprise. Untuk memberikan peningkatan bagi perusahaan kecil maka terhadap perusahaan rokok golongan kecil ini dikenakan tarif cukai Surono : Pengaruh Kebijakan Cukai, Failitas Penundaan Dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai…, 2007 USU e-Repository © 2008 yang lebih rendah, namun adanya perbedaan tarif cukai antara perusahaan rokok ini telah memberikan perhatian yang serius terhadap masalah efisiensi dan transfaransi . 5. Avoidance of regressivity in the tax system. Sistem pungutan cukai yang bersifat regresif akan mendorong konsumsi atas obyek cukai relatif lebih besar terutama terhadap penduduk berpendapatan rendah. Hal ini terutama sekali terjadi pada konsumsi atas produk rokok yang mana permintaannya relatif inelastis terhadap harga. Oleh karena itu pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menghindari sistem pajak yang bersifat regresif tersebut. Data statistik penerimaan cukai Sumatera Utara selama lima tahun terakhir yang menunjukan trend yang berbeda dengan penerimaan cukai nasional, mengindikasikan adanya efek yang berbeda dari varibel yang mempengaruhi pungutan cukai untuk lingkup Sumatera Utara. Menurut Marks 2003 ada beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan atas cukai rokok yaitu : pertumbuhan pangsa produksi rokok, peningkatan tarif dan HJE rokok. Faktor tarif cukai dan harga jual eceran adalah dua besaran yang dapat dikontrol pemerintah sehingga kedua besaran tersebut menjadi instrumen utama dalama hal kebijakan di bidang cukai. Sedangkan Faktor kuantitas produksi adalah berkaitan dengan sifat pungutan cukai yang mana subyek cukai yang harus menanggung pertama kali pungutan cukai adalah pihak produsen rokok, sehingga nilai cukai yang harus dibayar harus dikaitkan dengan tingkat produksi rokok dan bukan pada tingkat penjualannya. Undang-undang Cukai nomor 11 tahun 1995, sesuai pasal 5 memberikan batasan maksimal mengenai tarif cukai terhadap barang kena cukai yang diproduksi di dalam negeri sebagai berikut: Surono : Pengaruh Kebijakan Cukai, Failitas Penundaan Dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai…, 2007 USU e-Repository © 2008 a. Dua ratus lima puluh persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau b. Lima puluh lima persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. Berkaitan dengan kebijakan harga jual eceran, adalah penting untuk melihat perbedaan antara harga jual ditingkat produsen dengan harga jual di tingkat konsumen. Secara teoritis hubungan antara harga penawaran di tingkat produsen supply price atau dengan harga permintaan ditingkat konsumen demand price atau , adalah sebagai berikut Marks, 2003 : s P D P S D P =P -T Menurut aturan pengenaan cukai di Indonesia, perhitungan cukai per unit dikalkulasikan dengan mengalikan tarif cukai dengan harga jual eceran yang ditetapkan oleh pemerintah official price sebagai berikut : o T = t x P dimana, S P : adalah harga penawaran ditingkat produsen supply price D P : adalah harga permintaan di tingkat konsumen demand price o P : adalah harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah official price t : tarif cukai prosentase T : pungutan cukai per unit Dengan demikian hubungan antara supply price dan demand Price menjadi sebagai berikut : s D o P P - t x P = Jika official price adalah sama dengan demand price , maka tarif pajak o P D P Surono : Pengaruh Kebijakan Cukai, Failitas Penundaan Dan Tingkat Produksi Terhadap Pungutan Cukai…, 2007 USU e-Repository © 2008 t akan menunjukan proporsi dari harga yang dibayar oleh konsumen . Jika tarif pajak t atau official price berubah, maka besarnya nilai cukai per unit T akan berubah pula. Secara umum, besarnya perubahan terhadap tarif pajak atau official price, tidak akan ditransfer dalam jumlah yang sama terhadap nilai suply price, karena hal tersebut akan tergantung kepada kekuatan permintaan oleh konsumen yang akan membentuk demand price. o P Dalam prakteknya, kecenderungan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa harga jual pada tingkat konsumen demand prices adalah lebih rendah dibanding dengan harga jual yang ditetapkan oleh pemerintah official price. Hasil survey di tingkat konsumen oleh Isdijoso 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen membeli rokok dengan harga di bawah HJE minimum yang ditetapkan pemerintah. Sebagai contoh, untuk kondisi tahun 2003 harga beli konsumen 11 di bawah HJE. Pabrikan rokok tentunya akan mengeluh terhadap perbedaan ini karena akibat dari kondisi ini secara riil beban tarif efektif yang harus dibayar menjadi lebih tinggi dari beban tarif yang ditetapkan pemerintah.

2.4. Konsep Fasilitas Penundaan