Studi Deskriptif Upacara Sacap Me Dan Penggunaan Musikpada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai Di Vihara Pekong Kelurahan Polonia Dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Agama Budha Kota Medan

(1)

STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAPME DAN PENGGUNAAN MUSIK PADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

EBEN EZER S NIM: 030707012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA


(2)

M E D A N

2009

STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAPME DAN PENGGUNAAN MUSIK PADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH :

EBEN EZER S NIM: 030707012

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D

NIP.19651221 199103 1 001 NIP.19601118

198803 2 001

Dra.Frida Deliana,M.Si

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat untuk Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI M E D A N

2009

Pengesahan

Diterima oleh :

Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang

Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada

Hari : Tanggal :

FAKULTAS SASTRA USU Dekan,

NIP.19650909 199403 1 004 Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D.

Panitia Ujian

No. Nama Tanda tangan

1. 2. 3. 4.


(4)

Disetujui oleh :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

NIP.19601118 198803 2 001 Dra.Frida Deliana,M.Si


(5)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI………..…i KATA PENGANTAR………..……….…..iv BAB I PENDAHULUAN……….1

1.1. Latar Belakang Masalah………...……….1

1.2. Pokok Masalah………...9

1.3. Tujuan dan manfaat ………...9

1.3.1. Tujuan...9

1.3.2. Manfaat ………10

1.4. Konsep dan Teori………...………..10

1.4.1. Konsep………..10

1.4.2. Teori………...13

1.5. Metode Penelitian...20

1.5.1 Kerja Lapangan………....21

1.51.1 Studi Kepustakaan...21

1.5.1.2 Observasi………...………..21

1.5.1.3 Wawancara………...22

1.5.1.4 Perekaman………22

1.5.1.5 Kerja Laboratorium………..23

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian Dan Informan……….23

BAB II ORANG TIONGHOA DI KOTA MEDAN DALAM KONTEKS INDONESIA...25

2.1. Sejarah Migrasi ……….………....25

2.1.1 Populasi Di Indonesia…...27

2.1.2 Suku-Suku Tionghoa Di Indonesia………...29

2.2. Kebudayaan...33

2.3 Sistem Kekerabatan………34

2.3.1 Perkawinan………...34

2.3.2 Pantang Pemilihan Jodoh……….35

2.3.3 Mas Kawin………...37

2.3.4 Adat Menetap Sesudah Menikah……….38

2.3.5 Perceraian……….39

2.3.6 Poligami………39

2.3.7 Kedudukan Wanita………...40

2.3.8 Kelompok Kekerabatan………41


(6)

2.6 Hari Raya Orang Tionghoa di Indonesia………..43

2.7 Adaptasi………43

2.8 Organisasi Sosial………..45

2.9 Di Medan dan Sumatera Utara………47

BAB III LATAR BELAKANG BUDAYA SACAPME SERTA GUNA DAN FUNGSINYA...51

3.1. Sejarah Gong xi Fat Cai ………...51

3.1.1. Tahun Baru Imlek………...51

3.1.2. Penanggalan Imlek………...56

3.1.3. Cap Go Meh ………...59

3.4 Kelenteng………63

3.5 Fungsi Upacara Sacapme Dalam Masyarakat Tionghoa………68

3.5.1 Sacapme Sebagai Upacara………..68

3.5.1.1 Fungsi Ritual………68

3.5.1.2 Fungsi Komunikasi………..69

3.5.1.3 Fungsi Perlambangan………...69

3.5.1.4 Fungsi Norma-Norma Sosial………70

3.5.1.5 Fungsi Reaksi Jasmani……….70

3.5.2 Sacapme Sebagai Sarana Hiburan………..70

3.5.2.1 Fungsi Penghayatan Estetis……….71

3.5.2.2 Fungsi Pengungkapan Emosional…………71

3.5.2.3 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial………71

3.5.2.4 Fungsi Kesinambungan Budaya…………..72

3.5.2.5 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat……….72

BAB IV DESKRIPSI UPACARA SACAPME SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI ………..73

4.1. Upacara Sacapme Pada Masyarakat Tionghoa………...73

4.2 Pendukung Pelaksanaan Upacara Sacapme………...76

4.2.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara…………..76

4.2.2. Pemusik ………...79

4.2.3. Perantara …………..………...79

4.2.4 Umat Yang Sembahyang………80

4.2.5 Penonton……….80

4.3 Jalannya Upacara………...81

BAB V PENUTUP……….106

5.1. Kesimpulan ……….106


(7)

DAFTAR


(8)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME. Karena hanya berkat dan rahmat dan karuniaNya lah penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAP ME DAN PENGGUNAAN MUSIKPADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Departemen Etnomusikologi pada Program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang tua penulis Bapak Pdt.Antoni Silaban M.Th, Ibu tersayang Roeslan Br.Samosir, Adikku Herwinka Silaban, Jefri Silaban, Philip Silaban, dan Joice Shania Silaban. Yang telah membesarkan dan memberikan dukungan moral yang terbesar dengan sepenuh hati, pikiran, dan tenaga dalam memilih pilihan hidup yang terbaik. Semoga pilihan ini akan semakin teguh


(9)

tergenggam dan dapak membanggakan bapak, ibu, dan adik-adikku sekalian disatu hari nanti. Terima kasih atas segalanya.

2. Sumber inspirasiku Phoebe DeHoe. Terima kasih buat dukungan moral yang tak mungkin bisa kubalas. Buat pikiran-pikiran baru dan semangat yang selalu ada disaat pikiran buntu.

3. Prof.Drs.Syaiffuddin, M.A, Ph.D. Sebagai Dekan Fakultas Sastra yang memiliki tanggung jawab untuk memimpin segala sesuatu baik manajemen pendidikan maupun tanggung jawab keberhasilan mahasiswa/I dalam menyelesaikan pendidikan maupun lapangan pekerjaan selepas menuntaskan kewajiban sebagai mahasiswa/i.

4. Drs.M.Takari,M.Hum. Selaku dosen pembimbing satu, bahkan sebagai dosen wali yang telah setulus hati memberikan pemikiran-pemikiran cemerlang sehingga dapat membuka pemikiran penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tidak hanya berperan sebagai dosen dan pembimbing yang baik, namun dapat memposisikan diri sebagai kawan yang baik karena senantiasa membukakan pintu sewaktu penulis membutuhkan pemecahan masalah baik skripsi maupun kehidupan sehari-hari. Tidak akan terlupa, dan semoga tetap terjalin dikemudian hari.Maafkan saya karena tidak banyak bertukar pikiran dengan bapak.

5. Dra.Frida Deliana, M.Si. Selaku dosen pembimbing dua dan juga merupakan Ketua Departemen Etnomusikologi USU yang senantiasa


(10)

memberikan masukan dan diskusi-diskusi untuk dapat mensistemasikan penyusunan skripsi ini.

6. Drs.Torang Naiborhu M.Hum sebagai dosen harian yang selalu memberikan masukan dan memiliki jiwa menghargai karya mahasiswa terlepas dari kekurangan yang sangat banyak.

7. Dra.Heristina Dewi, M.Pd. Sebagai Dosen dan juga sekretaris Departemen Etnomusikologi. Tidak banyak mata kuliah yang menpertemukan penulis dengan ibu. Namun banyak peran yang sangat membantu dalam hal birokrasi, namun kritik, saran dan pikiran-pikiran yang bersifat membangun selalu disampaikan kepada penulis dengan senyuman khasnya.

8. Kawan-kawan di komunitas BREAKTHRU, B-ONE, ROCK Medan Mall, GSJA yang mungkin tidak dapat saya sebutkan satu persatu.Terima kasih atas dorongan moral yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan seperjuangan Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi. Kita telah berbuat, kita mau belajar, jaga semangat. Jadikan ilmu kita, pikiran dan tenaga untuk berguna bagi masyarakat mayoritas.

10. Kawan-kawan seperjuangan generasi 2003, maafkan saya jika saya tidak dapat menjadi kawan yang terbaik. Namun hari-hari yang telah kita jalani bersama, dimana kita membentuk diri bersama dan menjalani suka maupun duka bersama . Tetap semangat.


(11)

11. Semua pihak yang telah membantu penulisan Skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak pihak terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2009


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang sadar akan pentingnya waktu. Dimensi waktu yang dilalui manusia selalu menghasilkan berbagai peristiwa penting, baik itu untuk individu, keluarga, kelompok, maupun manusia di dunia secara mayoritas. Waktu-waktu penting dalam kehidupan manusia ini selalu pula diperingati, untuk meneruskan nilai-niai yang terkandung di dalamnya. Peristia penting itu di antaranya seperti hari kelahiran seseorang, hari kelahiran tokoh masyarakat, hari peperangan, hari kemenangan, peristiwa bencana alam, peristiwa pemberontakan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dalam mengenang peristiwa dan mengatur siklus waktu dalam kehidupannya tak jarang pula manusia menggunakan system penanggalan atau kalender. Ada yang digunakan secara meluas, namun ada pula yang digunakan oleh sekelompok kecil manusia. Contoh kalender yang digunakan secara luas adaah kalender Masehi, yang berdasar kepada lahirnya Tuhan Yesus Krisus di dunia ini. Sampai sekarang kalender ini menjadi kalender dunia. Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan hari kelahiran Yesus Kristus, dan setiap tanggal 1 Januari semua manusia di muka bumi ini memperingati tahun baru. Sistem kalender


(13)

Masehi ini berdasar kepada perputaran bumi mengelilingi matahari yaitu 365 hari lebih seperempat hari dalam setiap tahunnya.1

Dalam kebudayaan masyarakat China, baik di Republik Rakyat China, Taiwan, Hongkong, Malayais, Thailand, Filipina, Indonesia, dan semua daerah perantauan China, setiap tahunnya mereka merayakan tahun baru system

Selain itu, masyarakat Islam juga mengenal penanggalan hijriah, yang berdasar kepada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah di awal-awal perkembanan Islam. Kalender umat Islam ini berdasar kepada perputaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu system penanggalam umat Islam ini disebut sebagai system penanggalan qamariah (bulan).

Di samping itu masyarakat India juga mengenal sistem kalender tahun saka. Begitu juga dengan masyarakat China mengenal sistem penanggalannya sendiri yaitu kalender China yang setiap tahunnya diperingati dalam tahun baru Imlek. Begitu pula masyarakat Jawa memiliki system kalender yang disebut sistem kalender Jawa, yang secara cultural memiliki hubungan dengan system penanggalan Islam. Begitu pula masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara memiliki penanggalannya, yang kinimasih dapat dilacak melalui berbagai ritus dalam religi Parmalim.

1

Karena siklus bumi mengedari matahari dalam bentuk kala rotasi dan kala revolusi dalam setahun memerlukan waktu sebanyak 365 lebih seperempat hari, maka setiap empat tahun dalam kalender Masehi ini ada yang berjumlah 366 hari untuk menggenapkan perhitungannya. Jika dalam setahun terdiri dari 366 hari, maka tahun ini disebut tahun kabisat. Satu hari itu biasanya ditempatkan pada bulan Februari yang berjumlah 29 hari dalam sebulan. Adapun nama-nama bulan kalender MAsehi adalah: Januari, Februai, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember. Dalam kalender Islam, nama-nama bulan adalah: Muharram, Syafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan,


(14)

kalenderna yang disebut perayaan Imlek. Perayaan ini pada malam hari sebelumnya disebut dengan sacapme.

Sacapme merupakan seni upacara ritual pertunjukan masyarakat Tionghoa beragama Budha yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi : musik dan trance. Dalam setiap pertunjukan sacapme disajikan dalam bentuk musikal dan trance, yaitu suatu upacara kebudayaan dan agama yang memakai musik sebagai media pengantar trance dan dialog-dialog khusus untuk memanggil dewa-dewa yang tidak dimengerti oleh masyarakat awam (Taufik Adi Susilo dkk.).

Secara harfiah sacapme dalam bahasa Mandarin artinya hari ketiga puluh, namun upacarasacapme bukan berarti upacara hari ketiga puluh, walaupun ada cap go meh yang artinya hari kelima belas dan sacap artinya tiga puluh. Sacapme merupakan nama hari ataupun nama upacara penyambutan tahun baru Tionghoa. Gong xi fat cai mempunyai arti ucapan syukur dan doa kepada Tuhan (Dewa-dewa) harapan agar di tahun depan mendapat rejeki lebih banyak. Acaranya meliputi sembahyang imlek, sembahyang kepada sang pencipta, dan perayaan cap go meh.

Perayaan sacapme dan yang lain-lainnya dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tak lepas dari sejarah politik dan sosiobudaya di Indonesia. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, sehingga upacara-upacara keagamaannya sudah bebas untuk dapat dilaksanakan. Walaupun suku Tionghoa berada di luar daerah asalnya namun


(15)

mereka tetap melestarikan kesenian tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat. Sampai saat ini upacara sacapme sudah mulai dikenal oleh masyarakat dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di Sumatera Utara.

Salah satu etnik minoritas di Sumatera Utara yang mempunyai beragam kesenian unik dari daerah asalnya adalah etnik Tionghoa. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka pertunjukkan. Misalnya barongsai, liongsai, upacara cap go meh, tiau sang dan lain-lainnya yang diselenggarakan oleh penganut agama Budha. Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang dihuni oleh komunitas orang Tionghoa di Sumatera Utara diantaranya seperti di Polonia, Belawan, Tanjung Balai, dan Siantar, walaupun kesenian tersebut biasanya diadakan tahunan.

Sampai saat ini masih banyak orang-orang Tionghoa yang memelihara dan mempertunjukkan keseniannya di beberapa daerah di Sumatera Utara. Salah satunya adalah di Vihara Pekong kelurahan Polonia. Awal ketertarikan penulis dengan vihara ini adalah pada saat mereka mengadakan tarian barongsai pada tahun 2006. Bahkan setiap tahunnya dan mengadakan upacara penyambutan malam tahun baru sacapme tahun 2008 khusus untuk masyarakat sekitarnya. Acara ini membuat penulis tertarik karena sangat uniknya upacara sacapme yang diadakan di vihara, bahkan acara pembakaran hio yang cukup menarik perhatian dan bunyi lonceng yang sangat unik. Pada kesempatan yang sama penulis sempat mengabadikan momen-momen tersebut melalui kamera video dan melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat Tionghoa yang melakukan upacara serta


(16)

sesepuh pelaksana upacara tersebut. Dari penjelasan mereka inilah penulis merasa tertarik dan tertantang untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang kesenian ini, setelah selesai wawancara penulis meminta alamat dari beberapa sesepuh pelaksana upacara. Beberapa hari kemudian penulis mendatangi mereka untuk melakukan penelitian sebagai bahan dasar untuk penulisan skripsi.

Dari beberapa buku tentang upacara-upacara Tionghoa, seperti Stefanus Akim, 2002 ;Taufik Adi Susilo, 1998, para pemulis buku ini menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam pertunjukan upacara sacapme di vihara adalah penggunaan lonceng dan gendang, serta trance dari pelaku upacara, dalam kesenian ini terdapat unsur mistik, pemakaian alat musik lonceng, iringan gendang yang diletakkan jauh di atas di dekat atap vihara dan memerlukan seperti tangga duduk untuk membunyikannya serta pola pukulan yang lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.

Gilbert Rouget (1961), menyatakan hubungan antara musik dan kedudukan trance sebagai berikut.

Musik dan trance bisa dikatakan saling berhubungan, karena mempunyai ciri keterikatan satu sama lain, misalnya ritme (degupan tekanan) musik yang jika dimainkan dengan motif yang berulang-ulang secara terus menerus dan dengan waktu tertentu dapat menyebabkan trance kepada pendengarnya. Trance adalah keadaan dimana seseorang berada dalam alam bawah sadarnya, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam sebuah upacara ritual.

Berdasarkan keterangan dari salah seorang informan serta dari hasil pengamatan penulis pada buku Memahami Budaya Tionghoa, hanya sedikit


(17)

maupun yang diadakan di rumah. Menurut Stefanus Akim (2002), di Indonesia, sacapme merupakan bentuk kesenian rakyat yang ditampilkan untuk keperluan adat tionghoa. Upacara sacapme yang ditampilkan pada saat malam tahun baru gong xi fat cai di vihara biasanya diikuti oleh masyarakat Tionghoa khususnya beragama Buddha yang tinggal di sekitar vihara maupun yang tinggal di tempat lain tapi sering sembahyang di vihara itu.

Upacara sacapme yang diadakan di Vihara Pekong kelurahan Polonia memiliki perbedaan dengan upacara-upacara yang diadakan di rumah-rumah masyarakat Tionghoa lainnya. Upacara sacapme di Vihara Pekong diadakan untuk masyarakat di sekitarnya yang tidak mengadakan upacara di depan rumahnya. Perbedaan itu juga terdapat dalam beberapa aspek seperti: instrumen, musik pengiring, jenis persembahan, ukuran hio, dan materi jalannya upacara.

Upacara sacapme yang diadakan di rumah-rumah selalu disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat, misalnya banyaknya persembahan yang diberikan kepada dewa-dewa dan ukuran serta banyaknya hio yang dibakar pada upacaranya tanpa memakai instrumen musik sebagai pengantar ritual. Persembahan adalah faktor yang sangat penting pada upacara ini. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang perbedaan dari jenis dan besarnya persembahan yang dibawa oleh pe-nyembahyang. Urutan kegiatan upacara yang ditampilkan adalah: membakar hio, kemudian menunggu tengah malam untuk berkomunikasi dengan dewa melalui tetua sambil membunyikan musik sebagai pengantar trance dan berdoa. Taufik Adi Susilo, (1998:42), menyatakan bahwa:


(18)

Upacara sacapme merupakan upacara ritual, karena dilakukan dalam upacara keagamaan untuk menyambut tahun baru. Biasanya masyarakat Tionghoa sendiri menyebut pertunjukan ini ‘sacapme’ saja tanpa ada kata upacara. Si pembawa upacara juga memanggil dewa untuk masuk dan berkomunikasi dengannya yang sering disebut dengan kesurupan atau trance.”

Instrumen musik pengiring yang digunakan untuk mengiringi upacara sacapme di vihara tidak menggunakan seperangkat peralatan yang rumit melainkan hanya menggunakan gendang dan lonceng. Pukulan gendang dan lonceng yang dibawakan biasanya teratur atau bermeter, namun terkadang jika pemainnya dalam keadaan kesurupan maka ritme pukulan yang dimainkan lari dari meter (freemeter). Keterampilan dan keahlian yang dilakukan penabung gendang dan lonceng berupa sahut-sahutan seperti saling menjawab dan si pembunyi lonceng harus mendengar bunyi gendang untuk membuat bagian-bagiannya lebih teratur. Dalam setiap upacara, sesepuh pelaksananya terdiri dari 3 orang pemain, yaitu 1 orang penabuh gendang, 1 orang pembunyi lonceng, 1 orang pembakar hio, sementara masyarakat yang lain berdoa di luar dan di dalam vihara.

Ketika upacara dimulai, dua orang yang bertugas menabuh gendang dan memukul lonceng telah bersiap di tempatnya. Penabuh gendang harus naik di atas kursi tinggi yang disiapkan khusus untuk menabuh gendang. Lalu sang penabuh menyanyikan senandung seruan kepada dewa-dewa sambil menabuh gendang dalam keadaan trance. Gendang dan lonceng terus dibunyikan sampai tepat tengah malam, sementara jemaat membakar hio dan melakukan doa serta membawa


(19)

persembahan sesuai dengan profesi, umur, dan kesanggupannya dalam membeli persembahan.

Ritual diakhiri dengan membakar tiang hio besar di luar vihara serta mendoakan persembahan yang telah ditaruh pada meja persembahan di depan pintu masuk. Setelah itu baru jemaat bisa masuk ke vihara dan melanjutkan doanya disana. Di dalam hal musiknya, ritual sacapme di dalam vihara ini diiringi dengan instrumen gendang dan lonceng yang dibunyikan secara teratur oleh pembawa upacara.

Hal-hal tersebut sagat menarik perhatian saya untuk meneliti jalannya ritual sacapme di vihara dan instrumen musik yang dipakai dalam upacaranya. Juga dikarenakan semakin pesatnya perkembangan dan kebudayaan di abad 20-an, menyebabkan banyak masyarakat umum maupun masyarakat Tionghoa sendiri tidak tahu bahkan kurang mengerti bagaimana ritual sacapme yang dilakukan di dalam vihara. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Penggunaan Musik Pada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong Kelurahab Polonia dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Kota Medan.


(20)

1.2 Pokok Masalah

Setelah penulis meneliti kesenian upacara sacapme ternyata banyak sekali yang dapat di jadikan sebagai bahan penelitian seperti: analisa musik, trance, durasi pertunjukan, instrumen dan musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan pembahasan kepada beberapa aspek saja walaupun secara umum tidak dapat dipisahkan maka penulis merasa perlu untuk memfokuskan perhatian kepada satu masalah utama yaitu: bagaimana mendeskripsikan jalannya pertunjukan upacara sacapme di vihara pekong kelurahan Polonia pada malam tahun baru suku Tionghoa yang beragama Buddha, termasuk pertunjukan musiknya. Masalah utama ini akan diperkuat dengan permasalahan tambahan yang berkai rapat yaitu apa saja guna dan fungsi upacara sacapme pada masyarakat Tionghoa di kelurahan Polonia.

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui gambaran jalannya upacara sacapme yang dilakukan di

vihara pekong kelurahan Polonia.

b. Untuk mengetahui fungsi upacara sacapme di mata masyarakat Tionghoa di kelurahan Polonia.


(21)

c. Untuk memahami keberadaan budaya atau system eligi yang tercermin dalam upacara sacapme.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjadi bahan kajian banding terhadap berbagai seni pertunjukan khususnya yang terdapat di Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456). Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat (1977:32), konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian (Koentjaraningrat,1977:36).

Dari hasil pengamatan, wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut:

(a) Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily


(22)

(1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang kesenian upacara Sacapme agar dapat dijadikan informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.

(b) Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep di atas maka upacara sacapme dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.

(c) Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji dan penonton saling berhubungan (Sediawaty,1981:58-60).


(23)

(d) Istilah sacapme merupakan bahasa Tionghoa yang artinya malam sebelum tahun baru, atau yang biasa disebut imlek. Sacapme ditulis tergabung, bukan sacap-me yang dapat membuat artinya menjadi lain. (Stefanus Akim, 2002 : 45).

(e) Menurut Stefanus Akim (2002), sacapme mempunyai pengertian ritual persembahan dan permohonan perlindungan yang diadakan pada malam sebelum bergantinya hari ke tahun yang baru pada kalender Cina. Ritual ini mengandung unsur magis, karena adanya pemanggilan dewa-dewa pemberi rezeki dan membakar hio yang dipercaya dapat membawa berkah. Berkaitan dengan pengertian ritual sacapme tentunya menggunakan pengertian yang perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana adanya hubungan trance musik dalam pelaksanaan ritualnya. Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk kesenian ini adalah upacara sacapme, karena sesuai dengan bahasa asli tionghoa dan sama sekali tidak mengalami perubahan sampai saat ini.

(f) Trance adalah suatu keadaan dimana seseorang berada dalam

keadaan alam bawah sadarnya. Trance dapat diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai contoh musik yang dimainkan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam batas waktu tertentu akan menyebabkan trance bagi pendengarnya. Trance yang penulis maksudkan disini adalah pembawa upacara yang kesurupan ketika berkomunikasi dengan dewa-dewa.

(g) Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi menurut sistem adat- istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan


(24)

yang terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,1980:157-161). Masyarakat Tionghoa yang penulis maksudkan di sini adalah orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Jalan Pekong Kelurahan Polonia dan orang-orang Tionghoa kelahiran Sumatera atau yang sering disebut dengan orang-orang Cina.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10). Teori adalah landasan dasa keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

(1) Untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dalam upacara sacapme, penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer (dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165). Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan budaya maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang


(25)

terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya.

Dalam kaitannya dengan pertunjukan religi sacapme, maka waktu pertunjukannya dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru China atau disebut juga dengan Gong Xi Fat Cai. Waktunya sekitar pukul 23.00 sampai 01.00 WIB. Waktu ini tentu saja bias ianggap relatif panjang dibandingkan dengan pertunjukan musik dan tari hiburan di atas pentas. Pertunjukan sacapme ini juga terdiri dari masa awal atau persiapan, isi pertunjukan, dan akhir. Upacara ini juga merupakan sebuah institusi kuno dalam radisi masyarakat China yang diorganisasikan secara rapi dan sifatnya nonformal, yaitu digerakkan oleh masyarakat Tionghoa. Di Medan khususnya oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha. Upacara ini didukung oleh beberapa orang sepert perantara trance, pemusik, dan orng-orang yang sembahyang, terutama orang Tionghoa yang beragama Buddha. Yang menjadi penonton atau penikmat upacara adalah segenap mereka yang hadir. Tempat pertunjukan upacara ini adalah di Vihara Pekong Medan, yang mengindikasikan bahawa ini adalah pertunjukan riual bukan untuk tujuan utamanya hiburan atau estetika. Kesempatan atau waktu pertunjukan adalah setahun sekali menjelang tahun baru China. Teori ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam mendeskripsikan jalannya upacara sacapme paa Bab IV.

(2) Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:243). Ia menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat


(26)

upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, dan (4) orang yang melakukan dan memimpin upacara. Hampir sama dengan teori pertunjukan Milton Singer, maka teori upacara Koentjaraningrat ini melihat komponen upacara lebih umum, yaitu tempat, waktu, benda, dan orang yang terlibat dala suatu upacara dalam kebudayaan. Di sini tampak bahwa Koentjaraningrat lebih memokuskan perhatian kepada upacara itu sendiri bukan pertunjukan budayanya seperti yang dikemukakan Milton Singer. Dalam teori ini Koenjaraningrat tidak begitu memokuskan perhatian pada seniman (pemain) dan penonton.

Sesuai dengan teori Koentjaraningrat ini, maka tempat upacara sacapme adalah di Vihaa Pekong, Kelurahan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara. Vihara ini adalah tempat beribadahnya umat Buddha di sekitar kelurahan ini atau Kota Medan secara umum. Kemudian saat upacara adalah malam menjelang tahun baru Gong Xi Fat Cai China, atau kadang disebut juga tahun baru Imlek. Benda-benda dan alat upacara adalah seperti kursi dewa, nisan perlabang dewa, gendering, lonceng besar, hio (yang kemudian dibakar), lilin, sesajian, dan lain-lainnya. Orang yang melakukan upacara ini adalah perantara, pemsik, dan umat Budha yang bersembahyang.

(3) Untuk melihat fungsi upacara sacapme dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan penulis menggunakan teori fungsionalisme Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada


(27)

masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113).

Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu


(28)

Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.

Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry 1957:82), yaitu:

(1) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;


(29)

(2) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;

(3) Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu.

Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.

Dalam etnomusikologi, Merriam tahun 1964 mengemukakan teori penggunaan dan fungsi musik dalam buku The Anthropology of Music. Ia


(30)

menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara penggunaan (use) dan fungsi (function) music, seperti yang diuraikannya berikut ini.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanisms such as dancer, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is inseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment af a sense of security vis-vis the universe. "Use" them, refers to the situation in which music is employed in human action; "function" concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210).

Menurut Merriam, seperti kut ipan di atas, musik dipergunakan dalam situasi tertentu yang menjadi bagian darinya--fungsi ini dapat atau tidak dapat menjadi fungsi yang lebih dalam. Ia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai kontinuitas dan kesinambungan keturunan. Mekanismenya fungsional seperti itu adalah melalui penari, pembaca doa, ritual yang diorganisasikan, dan kegiatan-kegiatan seremonial. "Penggunaan" menunjukkan situasi musik dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan "fungsi" memperhatikan pada sebab yang ditimbulkan oleh pemakaiannya, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari apa yang dilayaninya.

Dalam buku ini, Merriam mengemukakan musik memiliki berbagai fungsi, dan dijabarkannya 10 fungsi sebagai contoh analisis, yaitu: (1) pengungkapan emosional, (2) penghayatan estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5) perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) pengesahan


(31)

lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat.

Dalm konteks menganalisis upacara sacapme dan salah satu kegiatannya mengguanakan music, maka fungsi utama musik adalah untuk mengabsahkan upacara sacapme ini. Namun berbagai funsi sosiobudaya dapat dikaji dan dideskripsikan. Bahwa sacapme dan music yang digunakan memiliki fungsi untuk menjaga tradisi China dan ajaran Buddha. Upacara ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat Tionghoa. Kegiatan sosioreligius ini juga berfungsi untuk sarana pembelajaran agama dan kebudayaan. Upacara dan musinya juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai filsafat dan religi, dan seterusnya. Fungsi ini akan dibahas secara mendalam dalam Baba IV.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat,1990:29). Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sachs dan Nettll (1964:62) yaitu


(32)

penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat berupa buku-buku, makalah, artikel, skipsi-skripsi. Dalam hal ini penulis mempelajari buku tentang upacara-upacara tionghoa yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti Stefanus Akim (2002) dan Taufik Adi Susilo (1998). Studi kepustakaan juga penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pertunjukan barongsai. gong xi fat cai, sejarah Tionghoa dan persebarannya, dan lain sebagainya.

1.5.1.2 Observasi

Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau peristiwa yang erat kaitanya dengan upacara sacapme yang diadakan di vihara


(33)

Pekong Polonia.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan demikian dalam mendeskripsikan upacara sacapme, penulis akan lebih cermat.

1.5.1.3 Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

1.5.1.4 Perekaman

Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah handphone nokia music expres tipe 5700, kamera digital untuk memotret gambar ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga menggunakan handycam tipe Sony HD 30 untuk merekam jalannya pertunjukan.


(34)

1.5.1.5Kerja Laboratorium

Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Lokasi penelitian upacara Sacapme dalam tulisan ini adalah vihara pekong di jalan ternak kelurahan polonia kotamadya Medan. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan salah satu daerah komunitas suku tionghoa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional tionghoa seperti tarian Barongsai dan masih banyak kesenian tionghoa lainnya.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang ritual sacapme ini. Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Aseng Lim (41 tahun) dan Acek Tian (71 tahun).

Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci. Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis


(35)

mengenai bahan penelitian penulis, diantaranya ibu Jonata (32 tahun), ci merry (25 tahun), Ahun (40 tahun) dan Ricky Liu (40 tahun). Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai permasalahan yang ada dalam tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Tionghoa di polonia yang mengerti dan memahami betul tentang kesenian tradisional Tionghoa ini khususnya upacara sacapme.


(36)

BAB II

ORANG TIONGHOA DI KOTA MEDAN

DALAM KONTEKS INDONESIA

2.1 Sejarah Migrasi

Suku bangsa satu et mereka disebut Tangren bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai oran

Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dala dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di yang berkuasa di dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional


(37)

Republik Indonesia. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam

Sekelompok orang asal China yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah China menjad

2.1.1 Populasi di Indonesia

Berdasarkan volkstelling Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.


(38)

Dalam responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

Gambar 1.


(39)

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian


(40)

seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.

2.1.2 Suku-suku Tionghoa di Indonesia

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara China. Mereka termasuk suku-suku: (a dapat dimengerti, karena dari sejak zaman pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. pada zaman tersebut.

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau di daerah perkotaan adalah:

Hakka tersebar di

Hainan tersebar di Hokkien tersebar di Sumatra Utara,


(41)

Ambon. Kantonis tersebar di Jawa (terutama di d (khususnya di

Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga disebut lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu

Menurut penjelasan Monalisa Agustinus, orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik) yang ada di Negeri China. Umumnya merea berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Menurut seorang antropolog ternama, Puspa Vasanty, setiap imigran Tionghoa ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing bersama dengan bahasanya. Para imigran Tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang sekitar abad keenam belas sampai kira-kira pertengahan abad kesembilan belas, asal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dagang orang China ke seberang lautan. Orang Hokkian dan keturunannya telah banyak berasimilasi dengan orang Indonesia, yang


(42)

sebagian besar terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatera (Vasanty 1990:353).

Imigran Tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan Negeri China di daerah pedalaman Swatow di bagian timur Provinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton. Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa China yang paling banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat daerah mereka adalah Provinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus. Orang Hakka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang-gelombang imigrasi dari ahun 1850 samai 1930, oran Hakka adalah orang yang paling miskin di antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral, sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka, dan Biliton. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai migrasi ke Jawa Barat, karena tertarik dengan perkembangan kota Jakarta dan karena dibukanya daeah Priangn bagi pedagang Tionghoa (Vasant 1990:353-354).

Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi Kwantung tinggallah orang Kanton (Kwong Fu). Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton


(43)

abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebahagian besar tertairk oleh tambang-tambang timah di Pulau Bangka. Mereka umumnya datang dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka—dan mereka datang dengan keterampilan tenis dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia mereka dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko-too besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang Hokkian, Teo-Chiu, atau Hakka. Jadi orang Tionghoa perantau di Indonesia ini paling sedikitnya ada empat suku bangsa seperti terurai di atas.

2.2 Kebudayaan

Karena sebagian besar dari orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota kota, maka hanya dibicarakan di sini perkampungan Tionghoa di kota-kota. Perkampungan Tionghoa di kota-kota itu biasanya merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-rumah-rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah biasanya ada bagian tanpa atap untuk menanam tanam-tanaman, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruangan tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruangan di belakangnya. Sesudah itu ada lorong dengan di sebelah kanan-kirinya ada kamar-kamar tidur. Di bagian belakang


(44)

Ciri khas dari rumah-rumah orang Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Pada rumah-rumah orang yang berada, terdapat banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok dan sebagainya.

Dalam tiap-tiap perkampungan Tionghoa selalu ada satu atau dua kuil. Bangunan ini biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya dengan ukiran-ukiran Tionghoa. Kuil-kuil ini bukanlah merupakan tempat beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak dan tempat orang mengucapkan syukur. Untuk itu ia membakar hio (dupa) kepada dewa yang melindunginya. Besar kecilnya sebuah kuil tergantung pada kekuatan dari umatnya untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya. Kuil-kuil itu terbagi dalam tiga golongan yaitu: kuil Budha, kuil Tao dan kuil yang dibangun untuk menghormati dan memperingati orang-orang yang pada masa hidupnya telah berbuat banyak jasa bagi masyarakat.

2.3 Sistem Kekerabatan 2.3.1 Perkawinan

Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah.

Karena itulah upacara perkawinan harus mahal, rumitt dan agung, untuk membuat perkawinan itu menjadi suatu kejadian yang penting dalam kehidupan


(45)

seseorang. Upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia adalah tergantung pada agama atau religinya yang dianut. Karena itu upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia amat berbeda satu dengan lainnya. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda pula dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan.

Sampai pada awal abad ini perkawinan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak mengetahui calon kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.

2.3.2 Pantang Pemilihan Jodoh

Di dalam memilih jodoh orang Tionghoa peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya saudara-saudara sepupu), dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki kawin dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat diterima. Alasan dari keadaan ini ialah bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari isterinya.


(46)

Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki, tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Sering juga terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.

Bagi masyarakat Tionghoa terdapat anggapan bahwa seseoran itu baru dianggap dewasa atau “mejadi orang” bila ia telah menikah, karena itu upacara perkawinan haruslah mahal, rumit, dan agung. Perkawinan adalah suatu kejadian yang istimewa dalam kehidupan seseorang. Pelaksanaan upacara perkawinan tersebut berbeda-beda sesuai denan agama atau religi yang dianut. Dalam perkawinan terdapat suatu pantangan, yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga (she) yang sama, tidak diperbolehkan untuk menikah. Tetapi sejalan dengan perekmbangan zaman, kini larangan ini dibolehkan tetapi dengan syarat bukan berasal dari kerabat dekat.

Perkawinan antar seorang laki-laki dengan seorang wanita yang ada hubungan kekerabaan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Misalnya seorang laki-laki kawin dengan saudara kandung (sepupu) ibunya. Sebaliknya perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua lebih tepat diterima. Alasannya karena tingkatan suami tidak lebih muda dari tingkatan isterinya.


(47)

Tempat tinggal setelah menikah bagi masyarakat Tionghoa adalah i rumah tua si suami. Ini berkaitan dengan tradisi Tionghoa sendiri, yakni anak laki-laki tertua merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap arwah leluhur, sedankn putra-putra yang lain tidak terikat dengan ketentuan tempat tinggal itu. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uksorilokal) atau keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka bentuk rumah tangga orang Tionghoa adalah keluarga luas, yang terbagi ke dalam dua bentuk: (1) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya dan saudara-saudaranya yang belum pernah kawin, (2) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua degan anak-anak laki-laki beserta keluarga mereka masing-masing (Vasanty 1990:363).

2.3.3 Mas kawin

Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya, maka ada perundingan mengenai hari perkawinannya. Oleh orang tua pihak laki-laki lalu diantarkan ang-pao (bungkusan merah), yakni uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan wing tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orang tua gadis itu, untuk mengasuh dan membesarkannya. Uang tetek ini biasanya


(48)

yang sangat buruk, karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya.

Menjelang hari perkawinan keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim suatu utusan ke rumah keluarga si gadis untuk menyampaikan sebungkus ang-pao, beberapa potong pakaian dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya biasanya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.

2.3.4 Adat Menetap Sesudah Nikah

Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

2.3.5 Perceraian

Berhubungan dengan tradisi orang Tionghoa, perceraian diizinkan berdasarkan beberapa alasan. Meskipun demikian perceraian jarang terjadi karena sebagai perbuatan yang tercela perceraian akan mencemarkan nama keluarga. Bagi keluarga-keluarga yang masih memegang erat akan adat dan yang memilihkan


(49)

calon suami bagi anak perempuannya, biasanya menasehatkan anak itu untuk berusaha menghindarkan perceraian. Toh perceraian dapat terjadi karena si isteri tidak memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami. Di dalam hal inilah kelihatan bahwa si suami menjalankan hak istimewanya. Ada juga perceraian terjadi, karena sang isteri tidak mau tinggal bersama-sama isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.

2.3.6 Poligami

Di atas telah dikatakan bahwa perceraian terjadi karena isteri tidak mau tinggal bersama-sama dengan isteri kedua dari suaminya. Memang di dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai isteri mudanya. Pada abad ke-19 dan sebelumnya , perkawinan demikian banyak terjadi. Bahkan isteri-isteri itu dibawa tinggal bersama-sama, isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama; yang mengatur rumah-tangga, yang mendampingi suaminya dalam pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-anak, baik anaknya sendiri maupun anak dari isteri-isteri lain. Isteri muda hanya berkedudukan sebagai pembantunya saja. Biasanya mereka berasal dari keluarga yang miskin dan perkawinan mereka tidak dirayakan. Kadang-kadang mengambil isteri muda itu, adalah atas anjuran isteri yang pertama, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Kebiasaan demikian kini sudah jarang terjadi, dan orang Tionghoa umumnya kawin monogami.


(50)

2.3.7 Kedudukan Wanita

Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian di dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah dan di dalam kehidupan ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting.

Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak-anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki.

2.3.8 Kelompok Kekerabatan

Seperti sudah tersebut di atas, orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga-batih, tetapi keluarga luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah adalah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu sama eratnya dengan pihak ayah.


(51)

2.4 Sistem Kemasyarakatan

Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah sangat menyolok karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.

Tionghoa Peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.

Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yaitu sebagian yang mengikuti pendidikan Cina berorientasi ke negara Cina dan sebagian lagi yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat (Belanda), maka telah timbul pemisahan antara golongan yang berpendidikan berlainan itu. Masing-masmg menganggap lawannya sebagai golongan yang lebih rendah. Orang-orang yang kaya dalam masyarakat Tionghoa umumnya tidak akan bekerjasama dengan orang yang miskin dan sebagainya. Demikian stratifikasi sosial orang Tionghoa di Indonesia berdasarkan orientasinya perbedaan pendidikannya dan tingkat kekayaannya.


(52)

2.5 Agama

Di Indonesia, umumnya orang menganggap bahwa orang Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina sebagian besar rakyatnya memeluk agama Buddha, Kung Fu-tse dan Tao, Kristen, Katolik, atau Islam.

2.6 Hari Raya Orang Tionghoa Di Indonesia

Tahun baru imlek atau tahun baru tradisional orang Cina yang berdasarkan sistem penanggalan bulan, kini di negara Cina disebut Pesta Musim Semi. Dengan pesta ini dirayakan hidupnya kembali dari alam semesta, sesudah berada dalam keadaan mati selama musim dingin yang gelap dan suram itu. Tahun baru Imlek ini di Indonesia oleh sebagian orang dirayakan. Pada hari itu dilakukan Sembahyang Tahun Baru di kuil atau dimuka meja abu. Sembahyang tahun baru ini harus diselenggarakan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin.

2.7 Adaptasi

Di dalam masa pembangunan ini, patutlah kita memikirkan untuk mengerahkan segala potensi yang ada pada bangsa Indonesia. Di dalam menghadapi suku-suku-bangsa dan golongan minoritas yang banyak terdapat di Indonesia ini, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan potensi-potensi yang ada pada suku-suku-bangsa atau golongan-golongan Tionghoa di Indonesia. Masalah yang pertama-tama dihadapi adalah masalah integrasi dari golongan itu. Hal ini


(53)

penting untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara golongan ini dengan orang Indonesia lainnya.

Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat, antara lain karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku-bangsa atau golongan lain yang dihadapi dan karena perasaan superioritet pada individu-individu dari satu golongan terhadap golongan yang lain.

Di dalam pengerahan potensi dari tiap-tiap suku-bangsa atau golongan maka haruslah kita melihat potensi yang ada pada mereka. Golongan keturunan Tionghoa di Indonesia dapatlah kita anggap mempunyai suatu bagian besar di antara mereka, yang memiliki kepandaian dalam perdagangan. Kepandaian itu perlulah kita manfaatkan dalam sektor-sektor pembangunan ekonomi sekarang ini. Sifat keuletan dalam berusaha adalah memang suatu sifat yang dinilai tinggi di antara pedagang-pedagang keturunan Tionghoa itu. Sifat inilah perlu diperdalami dan di-contoh.

perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di yang biasa ketika warga Tionghoa menggunaka


(54)

memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

2.8 Organisasi Sosial

Meskipun jumlah masyarakat Tionghoa ini lebih sedikit dari golongan penduduk “pribumi” lainnya, kehadiran mereka selaku warga kota Medan dan Sumatera Utara akan mudah ditandai, yakni dengan melihat kepada tempat pemukiman atau tempat tinggal, yaitu hampir di seluruh pusat-pusat perbelanjaan dan sepanjang jalan-jalan di inti kota merupakan rumah-rumah tempat tinggal mereka dan sekaligus tempat mereka membuka usahanya, di samping mereka yang selalu meggunakan bahasa China Hokkian sebagai bahasa dalam percakapannya sehari-hari sesama mereka, di tengah-tengah penduduk lainnya. Sejalan dengan keadaan di Negeri China sendiri, maka masyarakat China yang ada di Medan dan Sumatera Utara juga terdiri dari bermacam-macam suku, namun dalam keadaan sehari-hari masalah kesukuan ini tidak menonjol. Sehingga yang terlihat hanyalah satu kesatuan masyarakat yang berbudaya dalam satu kelompk etnik yang bukan diorganisasikan dalam satu ikatan yang menjadi struktur organisasi sebagaimana lazimnya, kecuali erua kelompok-kelompok sosial di dalam hal keagamaan dan kematian.


(55)

Pada mulanya orang Tionghoa di beberapa kota besar mendirikan perkumpulan kamar dagang yang disebut sia hwe. Kamar dagang ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang dari Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya mengurus pajak.

Selain itu dikenal perkumpulan yang berdasarkan suku bangsa di Negara China. Di Medan terdapat beberapa perkumpulan China sesuku bangsa tersebut, antara lain Club Hokkian, Club Kuan Tung, Pat Soet Hwee Kwan, dan lain-lain. Nama perkumpulan ini diambil dari sastra kuno yang menandakan tempat kuno, seperti untuk marga Tan maka perkumpulan Tan diberi nama In Zuan, yang merupakan nama historis dari distrik di Provinsi Fu Khien (Hokkian). Anggota In Zuan hanya untuk mereka yang menyandan marga Tan tersebut dan perkumpulan ini khusus untuk mereka yang memiliki kelompok agama yang sama yaitu Buddha.

Demikianlah gamabaran singkat tentang kedatangan orang-orang Chian ke Sumatera Utara, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang, dan ulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Sebagian besar lainnya datang sebagai imigran. Sebagian di antara mereka ini ada yang kembali ke Negara Republik Rakyat China, namun sebagian besar menetap di Sumatera Utara dan menjadi warga negara Republik Indonesia beserta keturunannya, dengan menggunakan nama-nama yang beridentitas Indonesia, di samping nama Tionghoanya.


(56)

Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan 0enyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.

Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekali gus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup (eksklusif) dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan keberadaan umum masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara.

Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja


(57)

menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terleta di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang diteukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.

Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti paa masa kekuasaan Dinasi Ming (1368-1644) yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri China dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang China. Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja-raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri China dan


(58)

timbul kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi yang hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, maka telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri China yang menjadi imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekali pun. Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksmana Mahmud Cheng Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang China yang menetap di sini (Z. Pangaduan Lubis 1990:5).

Selanjutnya dalam abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh China dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan embakau Deli Maatcchappij (1809) mendatangkan 4.000 orang tenaga buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan (Tengku Luckman Sinar 1991:200).

Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-emuka golongan yang diakui pemerintah Hindia


(59)

kakaknya ke Medan, didapati kakanya telah menjadi pemuka golongan China, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri un akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura (Tengku Luckman Sinar 1991:2003). Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seerti seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah.


(60)

BAB III

LATAR BELAKANG BUDAYA UPACARA SACAPME

SERTA GUNA DAN FUNGSINYA

3.1 Sejarah Gong Xi Fat Cai 3.1.1 Tahun Baru Imlek

Hari raya ini merupakan hari pertama dalam bulan pertama dari sistem kalender yang dipakai oleh orang Tionghoa. Imlek merupakan sistem kalender lunisolar yaitu gabungan dari sistem kalender bulan dan kalender matahari. Tahun Baru Imlek dikenal juga sebagai Tahun Baru China dan Festival Musim Semi (Chun jie). Perayaan tahun baru ini tentunya tidak bisa lepas dari segala mitos dan ritual yang melekat kuat di dalamnya.

Asal Muasal peringatan Tahun Baru Imlek ini pun mempunyai kisah tersendiri. Konon pada dahulu kala pada tepat setiap musim semi tiba di akhir musim dingin masyarakat sering diganggu binatang buas yang bernama Nian. Binatang buas ini datang dari dasar lautan untuk memakan manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Nian ini takut akan bunyi yang keras. Karena itu untuk mencegahnya datang, mereka memukul beduk, gong dan membakar bambu yang akan menimbulkan suara ledakan (terakhir ini telah diganti dengan petasan, setelah diketemukannya mesiu pada dinasti Sung). Mulai saat itu setiap akhir musim dingin, masyarakat merayakan tahun baru imlek dengan membakar petasan dan


(61)

memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.

Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek diisi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru. Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya datangnya tahun baru mengubah segalanya menjadi baru. Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah.

Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie (tanggal 24 bulan ke-12 Imlek). Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) berketinggian tiga meter di klenteng-klenteng. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buah-buahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang). Ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Shang Sheng merupakan salah satu dari rangkaian ritual keagamaan


(62)

pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Meh atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.

Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun imlek yang disebut Sacapme. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.

Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau sacapme, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi. Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.

Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki


(63)

Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.

Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.

Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat. Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah.

Pantangan lainnya yaitu tidak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak


(64)

sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.

Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau

Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga,

mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.

Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.

Dihitung dari Shang Sheng, rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan,


(65)

dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.

Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Vihara, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua.

3.1.2 Penanggalan Imlek

Penanggalan Imlek Perhitungan penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calender), dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Uniknya perhitungan penanggalan ini juga didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calender), seperti penanggalan masehi. Maka terjadi penyesuaian yaitu melalui mekanisme yang dikenal sebagai ‘Lun Gwee’ (bulan ulang) atau penyisipan 2 (dua) bulan tambahan setiap 5 (lima) tahun. Dengan adanya penyesuaian ini maka lebih tepat disebut penanggalan Imyanglek (sistem lunisolar).

Dalam sejarah tercatat, penanggalan Imlek dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee / Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya. Penanggalan Imlek sebutan asalnya


(1)

(2)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Dalam tradisi masyarakat Tionghoa, sacapme selalu disajikan hanya pada saat upacara malam penyambutan tahun baru imlek masyarakat Tionghoa. Upacara Sacapme yang ada di vihara jalan pekong kelurahan polonia mengalami banyak perbedaan dengan upacara sacapme di vihara lain maupun yang dilakukan di rumah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada : musik yang dipakai, cara berdoanya, jenis persembahan yang diberikan, dan yang lainnya. Semua perubahan itu dilakukan untuk membuat upacara lebih terasa hidup, khusyuk dan meriah.

Pendukung upacara sacapme adalah; (1) pihak penyaji yang terdiri dari 2 orang pemusik (pemukul genderang dan pemukul lonceng) yang semuanya pria, pengurus vihara, 2 orang tetua yang keduanya adalah pria; (2) Umat yang sembahyang (3) masyarakat yang menonton sebagai pihak penerima pesan dari penyaji.

Dalam setiap upacara sacapme di vihara pekong polonia suasananya selalu dibuat semeriah mungkin agar dapat dinikmati oleh umat yang sembahyang maupun masyarakat yang melihat.


(3)

Instrumen musik yang biasa digunakan untuk mengadakan upacara sacapme adalah: 1 buah genderang besar, dan 1 buah lonceng besar. Instrumen ini digunakan untuk upacara sacapme di vihara pekong. Dalam penyajian sacapme sebagai upacara terdapat beberapa fungsi, yaitu: fungsi ritual, fungsi komunikasi, fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi reaksi jasmani, fungsi perlambangan. Sedangkan dalam penyajian sacapme sebagai hiburan terdapat beberapa fungsi, yaitu : fungsi penghayat estetis, fungsi pengungkapan emosional, fungsi pengesahan lembaga sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan, fungsi pengintegrasian masyarakat. Upacara sacapme tidak harus dilakukan di vihara dengan menggunakan alat musik.

5.2 Saran

Sacapme dalam budaya Tionghoa merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, jangan sampai aset ini dirusak atau tidak dilestarikan. Hendaklah kita sebagai warga negara Indonesia yang baik mencintai, melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional yang kita miliki.


(4)

Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari bahwa masih sebagian kecil yang penulis kaji dari sekian banyak permasalahan yang ada dan dapat diteliti. Tulisan ini masih belum sempurna juga memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, apa yang sudah ditulis dalam skripsi ini masih merupakan informasi awal untuk mendeskripsikan upacara sacapme pada malam tahun baru imlek. Penulis berharap agar peneliti-peneliti lainnya dapat melanjutkan penelitian yang berhubungan dengan kesenian masyarakat Tionghoa pada umumnya, dan khususnya upacara sacapme.

Penulis juga mengharapkan partisipasi dari instansi yang terkait dengan kebudayaan Tionghoa agar memberi dorongan yang kuat bagi masyarakat Tionghoa khusunya untuk lebih mencintai dan senantiasa mengembangkan serta melestarikan kebudayaannya. Penulis juga mengharapkan perhatian rekan-rekan mahasiswa/i Etnomusikologi agar memperhatikan perkembangan disiplin Etnomusikologi di Indonesia pada khususnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

J.S.Kwek 2001 Mitologi China Dan Kisah Alkitab

Taufik Adi Susilo,.dkk 1998 Chinese Connection 1998 Ubs Publishers Distributors Ltd

Maran, Rafael Raga 2000 “Manusia Dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar” PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Malo, Manasse Dkk 1985 “Metode Penelitian Sosial” Karunia: Jakarta Nettl, Bruno 1964 Theory and Method in Etnomusicology. New

York, The Free Press

Ong Hok Ham 2005 Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa Komunitas Bambu

Stafanus Akim 2002 Memahami Budaya Tionghoa Gramedia

J.S Badudu 1989 Pelik-pelik Bahasa Indonesia, Bandung : CV.Pustaka Prima

Koentjaraningrat 1990 Pengantar Antropologi Jakarta, PT.Rineka Cipta 1991 Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta,

PT.Gramedia Pustaka Utama

Merriam, Alan P 1964 The Anthropology Of Music Evaston III : Northwestern University Press

Malm, William P 1977 Music Cultures Of The Pasific Music The Near East and Asia New Jersey : Prentice Hall Inc.


(6)

Nettl, Bruno 1964 Theory and Method In Etnomusicology New York : The Free Press Of Glencoe

R.Supanggah 1995 Etnomusicology Yokyakarta MSPI

Poerwadaminta W.J.S 1992 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka

Agar, Michael H., 1980. The Professional Stranger: An Informal Introductions to Etnography. New York: Academic Press.

Lubis, Z. Pangaduan. 1990. “Cina Medan: Suau Tinjauan Sosio Historis.” Mimbar Umum, 17September 1990.

Maran, Rafael Raga, 2000. “Manusia Dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Malo, Manasse Dkk, 1985. “Metode Penelitian Sosial” Karunia: Jakarta Nettl, Bruno, 964. Theory and Method in Etnomusicology. New York, The Free Press

Ong Hok Kam, 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa Jakarta: Komunitas Bambu

Sinar, Tengku Luckman, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.

Vasanty, Puspa. 1990. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia.” Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Penerbit Djambatan.