Teori Konsep Dan Teori

24 yang terikat oleh satu rasa identitas bersama Koentjaraningrat,1980:157-161. Masyarakat Tionghoa yang penulis maksudkan di sini adalah orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Jalan Pekong Kelurahan Polonia dan orang- orang Tionghoa kelahiran Sumatera atau yang sering disebut dengan orang Cina.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan Koentjaraningrat,1973:10. Teori adalah landasan dasa keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti yang diuraikan berikut ini. 1 Untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dalam upacara sacapme, penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan budaya maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: 1 waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, 2 adanya awal dan akhir pertunjukan, 3 acara kegiatan yang Universitas Sumatera Utara 25 terorganisasi, 4 sekelompok pemain, 5 sekelompok penonton, 6 tempat pertunjukan, dan 7 kesempatan untuk mempertunjukannya. Dalam kaitannya dengan pertunjukan religi sacapme, maka waktu pertunjukannya dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru China atau disebut juga dengan Gong Xi Fat Cai. Waktunya sekitar pukul 23.00 sampai 01.00 WIB. Waktu ini tentu saja bias ianggap relatif panjang dibandingkan dengan pertunjukan musik dan tari hiburan di atas pentas. Pertunjukan sacapme ini juga terdiri dari masa awal atau persiapan, isi pertunjukan, dan akhir. Upacara ini juga merupakan sebuah institusi kuno dalam radisi masyarakat China yang diorganisasikan secara rapi dan sifatnya nonformal, yaitu digerakkan oleh masyarakat Tionghoa. Di Medan khususnya oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha. Upacara ini didukung oleh beberapa orang sepert perantara trance, pemusik, dan orng-orang yang sembahyang, terutama orang Tionghoa yang beragama Buddha. Yang menjadi penonton atau penikmat upacara adalah segenap mereka yang hadir. Tempat pertunjukan upacara ini adalah di Vihara Pekong Medan, yang mengindikasikan bahawa ini adalah pertunjukan riual bukan untuk tujuan utamanya hiburan atau estetika. Kesempatan atau waktu pertunjukan adalah setahun sekali menjelang tahun baru China. Teori ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam mendeskripsikan jalannya upacara sacapme paa Bab IV. 2 Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1985:243. Ia menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: 1 tempat upacara, 2 saat Universitas Sumatera Utara 26 upacara, 3 benda-benda dan alat-alat upacara, dan 4 orang yang melakukan dan memimpin upacara. Hampir sama dengan teori pertunjukan Milton Singer, maka teori upacara Koentjaraningrat ini melihat komponen upacara lebih umum, yaitu tempat, waktu, benda, dan orang yang terlibat dala suatu upacara dalam kebudayaan. Di sini tampak bahwa Koentjaraningrat lebih memokuskan perhatian kepada upacara itu sendiri bukan pertunjukan budayanya seperti yang dikemukakan Milton Singer. Dalam teori ini Koenjaraningrat tidak begitu memokuskan perhatian pada seniman pemain dan penonton. Sesuai dengan teori Koentjaraningrat ini, maka tempat upacara sacapme adalah di Vihaa Pekong, Kelurahan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara. Vihara ini adalah tempat beribadahnya umat Buddha di sekitar kelurahan ini atau Kota Medan secara umum. Kemudian saat upacara adalah malam menjelang tahun baru Gong Xi Fat Cai China, atau kadang disebut juga tahun baru Imlek. Benda-benda dan alat upacara adalah seperti kursi dewa, nisan perlabang dewa, gendering, lonceng besar, hio yang kemudian dibakar, lilin, sesajian, dan lain-lainnya. Orang yang melakukan upacara ini adalah perantara, pemsik, dan umat Budha yang bersembahyang. 3 Untuk melihat fungsi upacara sacapme dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan penulis menggunakan teori fungsionalisme Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi pranata-pranata dan kebiasaan-kebiasaan pada Universitas Sumatera Utara 27 masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok- kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial Lorimer et al. 1991-112-113. Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski 1884-1942. Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Universitas Sumatera Utara 28 Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu Malinowski 1944. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi Kaberry 1957:82, yaitu: 1 Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; Universitas Sumatera Utara 29 2 Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; 3 Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan- ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Dalam etnomusikologi, Merriam tahun 1964 mengemukakan teori penggunaan dan fungsi musik dalam buku The Anthropology of Music. Ia Universitas Sumatera Utara 30 menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara penggunaan use dan fungsi function music, seperti yang diuraikannya berikut ini. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanisms such as dancer, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is inseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment af a sense of security vis-vis the universe. Use them, refers to the situation in which music is employed in human action; function concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves 1964:210. Menurut Merriam, seperti kut ipan di atas, musik dipergunakan dalam situasi tertentu yang menjadi bagian darinya--fungsi ini dapat atau tidak dapat menjadi fungsi yang lebih dalam. Ia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai kontinuitas dan kesinambungan keturunan. Mekanismenya fungsional seperti itu adalah melalui penari, pembaca doa, ritual yang diorganisasikan, dan kegiatan-kegiatan seremonial. Penggunaan menunjukkan situasi musik dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan fungsi memperhatikan pada sebab yang ditimbulkan oleh pemakaiannya, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari apa yang dilayaninya. Dalam buku ini, Merriam mengemukakan musik memiliki berbagai fungsi, dan dijabarkannya 10 fungsi sebagai contoh analisis, yaitu: 1 pengungkapan emosional, 2 penghayatan estetis, 3 hiburan, 4 komunikasi, 5 perlambangan, 6 reaksi jasmani, 7 berkaitan dengan norma-norma sosial, 8 pengesahan Universitas Sumatera Utara 31 lembaga sosial, 9 kesinambungan kebudayaan, dan 10 pengintegrasian masyarakat. Dalm konteks menganalisis upacara sacapme dan salah satu kegiatannya mengguanakan music, maka fungsi utama musik adalah untuk mengabsahkan upacara sacapme ini. Namun berbagai funsi sosiobudaya dapat dikaji dan dideskripsikan. Bahwa sacapme dan music yang digunakan memiliki fungsi untuk menjaga tradisi China dan ajaran Buddha. Upacara ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat Tionghoa. Kegiatan sosioreligius ini juga berfungsi untuk sarana pembelajaran agama dan kebudayaan. Upacara dan musinya juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai filsafat dan religi, dan seterusnya. Fungsi ini akan dibahas secara mendalam dalam Baba IV.

1.5 Metode Penelitian