20
1.2 Pokok Masalah
Setelah penulis meneliti kesenian upacara sacapme ternyata banyak sekali yang dapat di jadikan sebagai bahan penelitian seperti: analisa musik, trance, durasi
pertunjukan, instrumen dan musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan pembahasan kepada beberapa aspek saja walaupun secara umum
tidak dapat dipisahkan maka penulis merasa perlu untuk memfokuskan perhatian kepada satu masalah utama yaitu: bagaimana mendeskripsikan jalannya
pertunjukan upacara sacapme di vihara pekong kelurahan Polonia pada malam tahun baru suku Tionghoa yang beragama Buddha, termasuk pertunjukan
musiknya. Masalah utama ini akan diperkuat dengan permasalahan tambahan yang berkai rapat yaitu apa saja guna dan fungsi upacara sacapme pada masyarakat
Tionghoa di kelurahan Polonia.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk mengetahui gambaran jalannya upacara sacapme yang dilakukan di vihara pekong kelurahan Polonia.
b. Untuk mengetahui fungsi upacara sacapme di mata masyarakat Tionghoa di
kelurahan Polonia.
Universitas Sumatera Utara
21 c.
Untuk memahami keberadaan budaya atau system eligi yang tercermin
dalam upacara sacapme. 1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Menjadi bahan kajian banding terhadap berbagai seni pertunjukan khususnya yang terdapat di Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
1.4 Konsep Dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar
bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456. Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat
1977:32, konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian Koentjaraningrat,1977:36.
Dari hasil pengamatan, wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut:
a Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi
deskriptif dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadian- kejadian yang terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily
Universitas Sumatera Utara
22 1990:179, deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini
penulis mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang kesenian upacara Sacapme agar dapat dijadikan informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.
b Menurut Murgianto 1996:156, pertunjukan adalah sebuah
komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah
tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan
cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep di atas maka upacara sacapme dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada
penyaji pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.
c Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu
dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan
keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan
keterampilan tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: 1 seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai
tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan 2 seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji
dan penonton saling berhubungan Sediawaty,1981:58-60.
Universitas Sumatera Utara
23 d
Istilah sacapme merupakan bahasa Tionghoa yang artinya malam sebelum tahun baru, atau yang biasa disebut imlek. Sacapme ditulis tergabung,
bukan sacap-me yang dapat membuat artinya menjadi lain. Stefanus Akim, 2002 : 45.
e Menurut Stefanus Akim 2002, sacapme mempunyai pengertian
ritual persembahan dan permohonan perlindungan yang diadakan pada malam sebelum bergantinya hari ke tahun yang baru pada kalender Cina. Ritual ini
mengandung unsur magis, karena adanya pemanggilan dewa-dewa pemberi rezeki dan membakar hio yang dipercaya dapat membawa berkah. Berkaitan dengan
pengertian ritual sacapme tentunya menggunakan pengertian yang perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana adanya hubungan trance musik
dalam pelaksanaan ritualnya. Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk kesenian ini adalah upacara sacapme, karena sesuai dengan
bahasa asli tionghoa dan sama sekali tidak mengalami perubahan sampai saat ini. f
Trance adalah suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan alam bawah sadarnya. Trance dapat diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai
contoh musik yang dimainkan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam batas waktu tertentu akan menyebabkan trance bagi pendengarnya. Trance yang
penulis maksudkan disini adalah pembawa upacara yang kesurupan ketika berkomunikasi dengan dewa-dewa.
g Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau
saling berinteraksi menurut sistem adat- istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan
Universitas Sumatera Utara
24 yang terikat oleh satu rasa identitas bersama Koentjaraningrat,1980:157-161.
Masyarakat Tionghoa yang penulis maksudkan di sini adalah orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Jalan Pekong Kelurahan Polonia dan orang-
orang Tionghoa kelahiran Sumatera atau yang sering disebut dengan orang Cina.
1.4.2 Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan Koentjaraningrat,1973:10. Teori adalah landasan dasa keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam
memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti
yang diuraikan berikut ini. 1
Untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dalam upacara sacapme, penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer dalam
Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan budaya maka seorang peneliti harus
melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: 1 waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, 2 adanya awal dan akhir pertunjukan, 3 acara kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
25 terorganisasi, 4 sekelompok pemain, 5 sekelompok penonton, 6 tempat
pertunjukan, dan 7 kesempatan untuk mempertunjukannya. Dalam kaitannya dengan pertunjukan religi sacapme, maka waktu
pertunjukannya dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru China atau disebut juga dengan Gong Xi Fat Cai. Waktunya sekitar pukul 23.00 sampai 01.00
WIB. Waktu ini tentu saja bias ianggap relatif panjang dibandingkan dengan pertunjukan musik dan tari hiburan di atas pentas. Pertunjukan sacapme ini juga
terdiri dari masa awal atau persiapan, isi pertunjukan, dan akhir. Upacara ini juga merupakan sebuah institusi kuno dalam radisi masyarakat China yang
diorganisasikan secara rapi dan sifatnya nonformal, yaitu digerakkan oleh masyarakat Tionghoa. Di Medan khususnya oleh masyarakat Tionghoa yang
beragama Buddha. Upacara ini didukung oleh beberapa orang sepert perantara trance, pemusik, dan orng-orang yang sembahyang, terutama orang Tionghoa yang
beragama Buddha. Yang menjadi penonton atau penikmat upacara adalah segenap mereka yang hadir. Tempat pertunjukan upacara ini adalah di Vihara Pekong
Medan, yang mengindikasikan bahawa ini adalah pertunjukan riual bukan untuk tujuan utamanya hiburan atau estetika. Kesempatan atau waktu pertunjukan adalah
setahun sekali menjelang tahun baru China. Teori ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam mendeskripsikan jalannya upacara sacapme paa Bab IV.
2 Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis
menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1985:243. Ia menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: 1 tempat upacara, 2 saat
Universitas Sumatera Utara
26 upacara, 3 benda-benda dan alat-alat upacara, dan 4 orang yang melakukan dan
memimpin upacara. Hampir sama dengan teori pertunjukan Milton Singer, maka teori upacara Koentjaraningrat ini melihat komponen upacara lebih umum, yaitu
tempat, waktu, benda, dan orang yang terlibat dala suatu upacara dalam kebudayaan. Di sini tampak bahwa Koentjaraningrat lebih memokuskan perhatian
kepada upacara itu sendiri bukan pertunjukan budayanya seperti yang dikemukakan Milton Singer. Dalam teori ini Koenjaraningrat tidak begitu memokuskan
perhatian pada seniman pemain dan penonton. Sesuai dengan teori Koentjaraningrat ini, maka tempat upacara sacapme
adalah di Vihaa Pekong, Kelurahan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara. Vihara ini adalah tempat beribadahnya umat Buddha di sekitar kelurahan ini atau Kota
Medan secara umum. Kemudian saat upacara adalah malam menjelang tahun baru Gong Xi Fat Cai China, atau kadang disebut juga tahun baru Imlek. Benda-benda
dan alat upacara adalah seperti kursi dewa, nisan perlabang dewa, gendering, lonceng besar, hio yang kemudian dibakar, lilin, sesajian, dan lain-lainnya. Orang
yang melakukan upacara ini adalah perantara, pemsik, dan umat Budha yang bersembahyang.
3 Untuk melihat fungsi upacara sacapme dalam kebudayaan
masyarakat Tionghoa di Medan penulis menggunakan teori fungsionalisme Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang
dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi pranata-pranata dan kebiasaan-kebiasaan pada
Universitas Sumatera Utara
27 masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial
didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika
Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat
yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-
kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim,
fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori
ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan
teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk
mengkaji dinamika konflik sosial Lorimer et al. 1991-112-113. Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski 1884-1942. Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga
bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak
memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu
Universitas Sumatera Utara
28 Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar
membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W.
Wundt, di Leipzig, Jerman. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis
fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil
keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia
meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu
Malinowski 1944. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan
ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata
sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi Kaberry 1957:82, yaitu:
1 Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
Universitas Sumatera Utara
29 2
Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu
adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;
3 Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi
University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang
mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-
ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme
tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi
pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.
Dalam etnomusikologi, Merriam tahun 1964 mengemukakan teori penggunaan dan fungsi musik dalam buku The Anthropology of Music. Ia
Universitas Sumatera Utara
30 menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara penggunaan use dan fungsi
function music, seperti yang diuraikannya berikut ini. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it
may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the
continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular
mechanism in conjunction with other mechanisms such as dancer, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music,
on the other hand, is inseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment af a sense
of security vis-vis the universe. Use them, refers to the situation in which music is employed in human action; function concerns the
reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves 1964:210.
Menurut Merriam, seperti kut ipan di atas, musik dipergunakan dalam situasi tertentu yang menjadi bagian darinya--fungsi ini dapat atau tidak dapat
menjadi fungsi yang lebih dalam. Ia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat
dianalisis sebagai kontinuitas dan kesinambungan keturunan. Mekanismenya fungsional seperti itu adalah melalui penari, pembaca doa, ritual yang
diorganisasikan, dan kegiatan-kegiatan seremonial. Penggunaan menunjukkan situasi musik dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan fungsi
memperhatikan pada sebab yang ditimbulkan oleh pemakaiannya, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari apa yang dilayaninya.
Dalam buku ini, Merriam mengemukakan musik memiliki berbagai fungsi, dan dijabarkannya 10 fungsi sebagai contoh analisis, yaitu: 1 pengungkapan
emosional, 2 penghayatan estetis, 3 hiburan, 4 komunikasi, 5 perlambangan, 6 reaksi jasmani, 7 berkaitan dengan norma-norma sosial, 8 pengesahan
Universitas Sumatera Utara
31 lembaga sosial, 9 kesinambungan kebudayaan, dan 10 pengintegrasian
masyarakat. Dalm konteks menganalisis upacara sacapme dan salah satu kegiatannya
mengguanakan music, maka fungsi utama musik adalah untuk mengabsahkan upacara sacapme ini. Namun berbagai funsi sosiobudaya dapat dikaji dan
dideskripsikan. Bahwa sacapme dan music yang digunakan memiliki fungsi untuk menjaga tradisi China dan ajaran Buddha. Upacara ini juga berfungsi untuk
mengintegrasikan warga masyarakat Tionghoa. Kegiatan sosioreligius ini juga berfungsi untuk sarana pembelajaran agama dan kebudayaan. Upacara dan musinya
juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai filsafat dan religi, dan seterusnya. Fungsi ini akan dibahas secara mendalam dalam Baba IV.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan
atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat
Koentjaraningrat,1990:29. Penulis juga berpedoman pada disiplin
etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sachs dan Nettll 1964:62 yaitu
Universitas Sumatera Utara
32 penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan
field work dan kerja laboratorium deks work. Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan
perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi
dan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat berupa buku-buku, makalah, artikel, skipsi-skripsi. Dalam hal ini penulis
mempelajari buku tentang upacara-upacara tionghoa yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti Stefanus Akim 2002 dan Taufik Adi Susilo
1998. Studi kepustakaan juga penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pertunjukan
barongsai. gong xi fat cai, sejarah Tionghoa dan persebarannya, dan lain sebagainya.
1.5.1.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau peristiwa yang erat kaitanya dengan upacara sacapme yang diadakan di vihara
Universitas Sumatera Utara
33 Pekong Polonia.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan
demikian dalam mendeskripsikan upacara sacapme, penulis akan lebih cermat.
1.5.1.3 Wawancara
Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara
lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang Koentjaraningrat,1990:129. Wawancara yang penulis lakukan yaitu:
wawancara berfokus focused interview dan wawancara bebas free interview. Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek
permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.
1.5.1.4 Perekaman
Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah handphone
nokia music expres tipe 5700, kamera digital untuk memotret gambar ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga
menggunakan handycam tipe Sony HD 30 untuk merekam jalannya pertunjukan.
Universitas Sumatera Utara
34
1.5.1.5 Kerja Laboratorium
Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan
proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna
pengolahan dan penganalisisan data.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Lokasi penelitian upacara Sacapme dalam tulisan ini adalah vihara pekong di jalan ternak kelurahan polonia kotamadya Medan. Alasan penulis memilih lokasi
penelitian ini karena daerah ini merupakan salah satu daerah komunitas suku tionghoa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional
tionghoa seperti tarian Barongsai dan masih banyak kesenian tionghoa lainnya. Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari
informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan
yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang ritual
sacapme ini. Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Aseng Lim 41 tahun dan Acek Tian 71 tahun.
Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci. Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis
Universitas Sumatera Utara
35 mengenai bahan penelitian penulis, diantaranya ibu Jonata 32 tahun, ci merry 25
tahun, Ahun 40 tahun dan Ricky Liu 40 tahun. Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai permasalahan yang ada dalam
tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Tionghoa di polonia yang mengerti dan memahami betul
tentang kesenian tradisional Tionghoa ini khususnya upacara sacapme.
Universitas Sumatera Utara
36
BAB II ORANG TIONGHOA DI KOTA MEDAN
DALAM KONTEKS INDONESIA
2.1 Sejarah Migrasi