Di Medan dan Sumatera Utara

55 Pada mulanya orang Tionghoa di beberapa kota besar mendirikan perkumpulan kamar dagang yang disebut sia hwe. Kamar dagang ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang dari Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya mengurus pajak. Selain itu dikenal perkumpulan yang berdasarkan suku bangsa di Negara China. Di Medan terdapat beberapa perkumpulan China sesuku bangsa tersebut, antara lain Club Hokkian, Club Kuan Tung, Pat Soet Hwee Kwan, dan lain-lain. Nama perkumpulan ini diambil dari sastra kuno yang menandakan tempat kuno, seperti untuk marga Tan maka perkumpulan Tan diberi nama In Zuan, yang merupakan nama historis dari distrik di Provinsi Fu Khien Hokkian. Anggota In Zuan hanya untuk mereka yang menyandan marga Tan tersebut dan perkumpulan ini khusus untuk mereka yang memiliki kelompok agama yang sama yaitu Buddha. Demikianlah gamabaran singkat tentang kedatangan orang-orang Chian ke Sumatera Utara, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang, dan ulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Sebagian besar lainnya datang sebagai imigran. Sebagian di antara mereka ini ada yang kembali ke Negara Republik Rakyat China, namun sebagian besar menetap di Sumatera Utara dan menjadi warga negara Republik Indonesia beserta keturunannya, dengan menggunakan nama-nama yang beridentitas Indonesia, di samping nama Tionghoanya.

2.9 Di Medan dan Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 56 Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan 0enyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekali gus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan keberadaan umum masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara. Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia Universitas Sumatera Utara 57 menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terleta di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang diteukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi. Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti paa masa kekuasaan Dinasi Ming 1368-1644 yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri China dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan- kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang China. Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja- raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri China dan Universitas Sumatera Utara 58 timbul kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi yang hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, maka telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri China yang menjadi imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekali pun. Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksmana Mahmud Cheng Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang China yang menetap di sini Z. Pangaduan Lubis 1990:5. Selanjutnya dalam abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh China dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan embakau Deli Maatcchappij 1809 mendatangkan 4.000 orang tenaga buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan Tengku Luckman Sinar 1991:200. Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-emuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusu Universitas Sumatera Utara 59 kakaknya ke Medan, didapati kakanya telah menjadi pemuka golongan China, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri un akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura Tengku Luckman Sinar 1991:2003. Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seerti seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah. Universitas Sumatera Utara 60 BAB III LATAR BELAKANG BUDAYA UPACARA SACAPME SERTA GUNA DAN FUNGSINYA 3.1 Sejarah Gong Xi Fat Cai 3.1.1 Tahun Baru Imlek