persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan, dan meningkatkan hubungan antar
bangsa.
2.1.2 Privatisasi 2.1.2.1 Teori Monopoli
Menurut Dunleavy, monopoli adalah segala tindakan negara terhadap masyarakat dan dapat dipaksakan. Teori monopoli menjelaskan BUMN yang
pada mulanya memegang bidang usaha yang strategis dan vital maka pemerintah memberi hak monopoli namun menjadi tidak efisien karena kurangnya kompetisi
sehingga menyebabkan kegagalan pasar. Efisiensi BUMN yang rendah dan terlalu tergantung pada subsidi serta didorong hak monopoli dari pemerintah
menyebabkan kurangnya daya saing dibanding swasta Lubis, dalam Riri 2010:12.
2.1.2.2 Teori Property Rights
Teori property rights menjelaskan mengenai hak kepemilikan suatu kekayaan sehingga jelas pertanggungjawabannya seperti pada perusahaan swasta
yang lebih memiliki kebebasan dalam menggunakan dan memberdayakan aset dan pada akhirnya mampu mendorong agar lebih efisien dalam menjalankan
usaha. Property rights menciptakan dorongan bagi terciptanya efisiensi perusahaan sedangkan BUMN adalah perusahaan milik negara yang mana
pengertian negara kurang jelas sehingga terjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi. Selain itu terjadi keterbatasan dana untuk memenuhi
kebutuhan modal investasi, sebagian modal BUMN berasal dari hutang jadi biaya
Universitas Sumatera Utara
modalnya tinggi. Tujuan privatisasi dari perspektif ekonomi menurut Ernst adalah mewujudkan kebebasan ekonomi dan kepentingan konsumen melalui
berkurangnya monopoli sehingga konsumen akan meningkatkan efisiensi Dwidjowijoto dan Wrihatnolo, dalam Riri 2010:13.
2.1.2.3 Teori Pilihan Publik Public Choice Theory
Teori pilihan public Public Choice Theory merupakan teori dari sudut pandang politik terhadap privatisasi dan berfokus pada masalah keagenan di
BUMN antara publik dan politisi yang menjelaskan bahwa politisi dapat membebankan tujuan politik, ekonomi, dan sosial terhadap BUMN. Inefisiensi
yang terjadi dalam BUMN adalah akibat kerentanan terhadap intervensi kepentingan politik pihak tertentu yang merugikan bagi perusahaan. Menurut
Boycko, Sheilfer dan Vishny 1996 hanya perubahan kontrol dan penyatuan pengaruh politik dan kepentingan perusahaan yang mampu membawa kinerja
lebih baik Dwidjowijoto danWrihatnolo, dalam Riri 2010:12. Teori pilihan publik juga mengasumsikan bahwa politisi, birokrat, dan
manajer perusahaan publik lebih mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan
utilitasnya. Pendekatan
ini mengasumsikan
politisi mementingkan kepentingannya sendiri untuk mencapai tujuan ideologis atau
personal dengan batasan tidak kehilangan posisi pada pemilu berikutnya. Bagi politisi, tetap berada dalam kekuasaan adalah tujuan yang utama, sehingga
politisi akan menggunakan public utilities untuk tujuan pribadinya. Hal ini terlihat pada tidak adanya dorongan bagi politisi untuk melakukan kontrol yang
efektif untuk penggunaan sumberdaya negara dan efisiensi perusahaan publik.
Universitas Sumatera Utara
Public utilities memberikan kesempatan bagi politisi untuk mencapai kepentingan pribadinya, yaitu terpilih kembali pada pemilu selanjutnya dengan
cara penambahan tenaga kerja dan stabilisasi purchasing power . Jika ‘misuse’
dari public utilities menyebabkan meningkatnya angka tenaga kerja dan pendapatan dalam kurun waktu tertentu, maka sangat mudah bagi pemerintah
untuk dapat dipilih kembali dalam pemilihan selanjutnya. Biaya-biaya dari kebijakan yang
‘misuse’ tersebut akan tampak beberapa tahun setelahnya, yaitu adanya defisit pada keuangan perusahaan publik yang kemudian memerlukan
campur tangan pemerintah dengan subsidi, yang pada akhirnya akan meningkatkan defisit anggaran negara. Ardian Ganang 2011:24
2.1.2.4 Defenisi Privatisasi