Jhon Edison Purba : Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

(1)

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

JHON EDISON PURBA

077033015/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JHON EDISON PURBA

077033015/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

TERHADAP KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISA-SI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Jhon Edison Purba Nomor Pokok : 077033015

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) Ketua

(dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

Tanggal lulus: 2Juli 2009


(4)

Tanggal 02 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM Anggota : 1. dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ

2. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK 3. Feri Novliadi, P.Si, M.Si


(5)

PENGARUH INTERVENSI REHABILITASI TERHADAP

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, 02 Juli 2009

JHON EDISON PURBA 077033015/IKM


(6)

Ketidakmampuan bersosialisasi merupakan ketidakmampuan seorang untuk melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya yang terjadi pada penderita skizofrenia sebagai akibat tingkah laku simptomatik yang dialami penderita. Perbedaan intervensi berimplikasi terhadap baik buruknya ketidak mampuan bersosialiasasi penderita, yaitu melalui pemberian kegiatan rehabilitasi.

Penelitian ini adalah penelitian survei observasional dengan pendekatan

causal comparative studies untuk mengetahui perbedaan ketidakmampuan

bersosiliasi pada penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi dengan yang tidak diberi intervensi rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita skizofrenia yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan yang berjumlah 432 penderita dan sampel yang digunakan sebanyak 80 penderita, terdiri dari 40 penderita yang diberi intervensi rehabilitasi dan 40 penderita yang tidak diberi intervensi rehabilitasi dengan kreteria (1) penderita skizofrenia rawat inap, (2) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan (3) usia antara 20 – 35 tahun. Analisis data dilakukan dengan uji pair t-test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara sebagian besar adalah laki-laki (61,25%), usia antara 30 – 35 tahun (63,5%), tingkat pendidikan SLTP – SLTA (72,5%), tidak kawin (55,0%) dan tidak bekerja (65%). Hasil analisis menunjukkan bahwa t = 38,914 dengan probabilitas 0,025 (p < 0,05). Skor rata-rata (mean) penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi adalah 95,525 > 66 (skor rata-rata/mean hipotetik). Sedangkan skor rata-rata (mean) penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi adalah 60,75 < 66 (skor rata-rata/mean hipotetik). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan ketidakmampuan bersosialisasi antara penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi dengan penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi, di mana penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih baik dibandingkan penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi.

Disarankan perlu ditingkatkan pemberdayaan unit rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam upaya mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia sebagai akibat simptom-simpton negatif yang dialami penderita skizofrenia.


(7)

The disability of socializing is a person inability to perform in a healthy social relationships with people around him that occur in people with schizophrenia as a result of the symptomatic behavior on the patient. The difference in intervention treatment is implicating to whether good or poor the patient’s socialization disability,

which through the rehabilitation treatment.

This study is a observasional survey research with causal comparative studies to know the difference socialization disability between schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment and patient with no rehabilitation interventions treatment in North Sumatra Mental Hospital in Medan. Population in this research is that people with schizophrenia hospital stay treatment in North Sumatra Mental Hospital in Medan with amount 432 patients and the samples are 80 patients, consisting of 40 patients who were given the rehabilitation intervention and 40 patients who had not been given to the rehabilitation intervention with the criteria (1) Hospital stayed schizophrenia patients, (2) sex, men and women, and (3) age between 20-35 years. Data analysis is done with the pair t test.

Results of research shows that schizophrenia patient North Sumatra Mental Hospital in Medan are mostly male (61.25%), age between 30-35 years (63.5%), junior secondary education level - high school (72,5%), not married (55.0%) and does not have (65%). Analysis results show that t = 38.914 with a probability 0.025 (p <0.05). The average score (mean) schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment is 95.525> 66 (average score/hipothetic mean). While the average score (mean) schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment is 60.75 <66 (average score/hipothetic mean). This means that there is a significant difference in socialization disability between schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment and schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment, where people with schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment have a better ability to socialize better than schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment.

It is suggested that there should be the empowerment of the rehabilitation unit at North Sumatra Mental Hospital in Medan to overcome the socializing disability on schizophrenia patient which been caused by negative symptomps that happened before.


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Intervensi Rehabilitasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara”.

Penyelesaian tesis ini selain atas upaya penulis sendiri juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus juga selaku pembimbing penulisan tesis.

4. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembanding tesis.

5. Bapak dr. Donald F. Sitompul, SpKJ, selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, sekaligus sebagai Pembimbing dalam penulisan dan penyusunan tesis.

6. Bapak Ferry Novliadi, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembanding tesis.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku Angkatan Tahun 2007


(9)

penyelesaian tesis ini.

8. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda, Isteri tercinta; Sri Rusmiyati dan anak-anakku; Jefri Greiva Maudung Purba dan Tari Dwi Astuti Purba.

Akhirnya penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya.


(10)

Nama Lengkap : Jhon Edison Purba Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 21 Maret 1964 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat Rumah : Kompleks RS. Jiwa Daerah Provsu Alamat Kantor : RS. Jiwa Daerah Provsu

Jl. Let. Jend. Jamin Ginting S Km.10 Medan

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1976 : SD Negeri Patumbak Kampung 2. Tahun 1979 : SMP Methodist Tamrin

3. Tahun 1982 : SMA Methodist Tamrin 4. Tahun 1985 : SPK Rumkit DAM Siantar 5. Tahun 1999 : AKPER Depkes Bogor

6. Tahun 2005 : S1 Keperawatan Fak. Keperawatan USU Medan 7. Tahun 2009 : Sekolah Pascasarjana USU Medan

Riwayat Pekerjaan

1. Tahun 1989 : Pengangkatan PNS

2. Tahun 2006 : Petugas CMHN


(11)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Hipotesis ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Skizofrenia ... 9

2.1.1. Etiologi Skizofrenia.………... 11

2.1.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia………... 14

2.1.3. Tipe-tipe Skizofrenia...………... 16

2.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis………... 19

2.1.5. Prognosis ...……….... 20

2.2.. Ketidakmampuan Bersosialisasi .………... 22

2.2.1. Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidak mampuan Bersosialisasi ...………... 24

2.2.2. Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi ...………... 25

2.2.3. Aspek-aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi ……….... 26

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidak mampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia ……... 30

2.3. Rehabilitasi ………... 31

2.3.1. Falsafah dan Motivasi Upaya Rehabilitasi.…………... 32

2.3.2. Aspek-aspek Rehabilitasi...………... 34

2.3.3. Maksud dan Tujuan Dasar Rehabilitasi... 35

2.3.4. Tahap-tahap Rehabilitasi... 36


(12)

Bersosialisasi Penderita Skizofrenia... 42

2.5. Kerangka Konsep Penelitian... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN... 49

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian... 49

3.2.. Lokasi Penelitian... 49

3.3.. Waktu Penelitian... 50

3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 50

3.5. Metode Pengumpulan Data... 52

3.6. Variabel dan Definisi Operasional... 59

3.7. Metode Analisis Data... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 62

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 62

4.2. Karakteristik Responden... 63

4.3. Analisa Univariat... 67

4.4. Analisa Bivariat... 69

BAB 5. PEMBAHASAN... 73

5.1. Karakteristik Penderita Skizofrenia... 73

5.2. Pengaruh Intervensi Rehabilitasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat Inap di RSJD Provinsi Sumatera Utara... 74

5.3. Keterbatasan Penelitian... 79

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 80

6.1. Kesimpulan... 80

6.2. Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA... 82


(13)

Nomor Judul Halaman 3.1. Distribusi Penderita yang Dirawat Inap di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ………... 51 3.2. Distribusi Alat Ukur Ketidakmampuan Bersosialisasi... 53 3.3. Hasil Uji Validitas dan Realiabilitas Alat Ukur ………... 57 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang

Diberi Intervensi Rehabilitasi ………... 64 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang Tidak Diberi

Intervensi Rehabilitasi ..………... 65

4.3. Distribusi Perolehan Skor Rata-rata Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia Berdasar Aspek-aspek Ketidakmampuan

Bersosialisasi ………... 67 4.4. Kriteria Penilaian Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita

Skizofrenia Berdasar Kuesioner Ketidakmampuan Bersosialisasi... 68 4.5. Perbedaan Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia

yang Diberi Intervensi dan Tidak Diberi Intervensi Rehabilitasi ……. 70 4.6. Distribusi Skor Equal Varians Penderita Skizofrenia yang


(14)

Nomor Judul Halaman

2.1. Landasan Teori dan Konsep Penelitian ………... 47

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ………... 48

3.1. Desain Penelitian ………. 49

3.2. Rumus Product Moment Karl Pearson ………… 54

3.3. Rumus Part Whole ……….. 55

3.4. Rumus Analisis Varians Hoyt ………... 56


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Hasil Studi Pendahuluan Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara………. 85

2. Kuesioner Ketidakmampuan Bersosialisasi... 86

3. Data Penelitian... 95 4. Analisa Data Penelitian... 97


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial budaya serta krisis ekonomi yang tidak kunjung usai. Hal ini akan semakin memicu atau meningkatkan berbagai gangguan kejiwaan di masyarakat, dari gangguan jiwa yang ringan hingga gangguan jiwa yang tergolong berat (Balitbang Depkes, 2001). Dengan demikian, jelaslah bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat diperkirakan akan semakin meningkat di negara-negara yang sedang dilanda krisis ekonomi.

Di Indonesia diperkirakan terdapat 2 – 3 orang per 1000 orang menderita gangguan jiwa berat (Maramis, 1994). Hasil Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SMART) tahun 1995 yang dilakukan di 11 kota di Indonesia menemukan bahwa 185 orang per 1000 penduduk dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Hal ini berarti bahwa dalam setiap rumah tangga di Indonesia paling tidak terdapat 1 orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan membutuhkan pelayanan kesehatan.

Gangguan kejiwaan merupakan salah satu dari 4 masalah kesehatan utama di negara-negara maju. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan (Mardjono, 1992). Salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang memiliki tingkat keparahan yang tinggi adalah


(17)

skizofrenia, di mana hingga saat ini penanganannya belum memuaskan. Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang sedang berkembang karena ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini (Hawari, 2003).

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan

disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi

mulai sekitar masa remaja dan kebanyakan penderitanya adalah berjenis kelamin laki-laki dan menjadi sakit pada usia antara 15 – 35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25 – 35 tahun (Kaplan, dkk, 1991). Gangguan kejiwaan skizofrenia ini sering menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan menyebabkan penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat (Candra, 2004).

Prabandari, dkk (2003) menyebutkan bahwa prevalensi skizofrenia di Indonesia diperkirakan 1 permil, meski angka yang pasti belum diketahui karena penelitian prevalensi skizofrenia secara khusus belum dilakukan di Indonesia. Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, diketahui bahwa dari 458 penderita yang dirawat inap yang menderita skizofrenia berjumlah 442 orang (94,47%) dengan berbagai tipe. Penderita skizofrenia yang dirawat inap terbanyak berasal dari kota Medan, yaitu 188 (41,04%) dan sisanya berasal dari berbagai kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.

Mengingat bahwa skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat, maka penderita sering memperlihatkan berbagai gejala psikopatologis secara nyata


(18)

yang membuat mereka terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering menolak keberadaan mereka. Terjadinya pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami gangguan skizorenia membuat kehidupan sosial mereka menjadi mundur dan semakin tidak terampil secara sosial atau penderita akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial disabilitas). Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, di mana semakin dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Kontjoro (1989) menyatakan ketidakmampuan bersosialisasi merupakan ketidakmampuan seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku, mengganggu lingkungan dan tidak terampil secara sosial dianggap mengalami gangguan kejiwaan atau perilakunya menyimpang dan hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Semakin berat gangguannya, maka semakin keras pula usaha masyarakat untuk mengusir, menolak atau mengisolasi dengan alasan ketertiban, keamanan dan ketenteraman, sehingga kondisi ini menuntut suatu penanganan yang serius dari berbagai disiplin ilmu.

Berbagai upaya perbaikan terhadap tingkah laku simptomatik yang dialami penderita telah dilakukan di rumah sakit jiwa, diantaranya dengan menggunakan


(19)

obat-obatan psikofarmaka modern yang umumnya berhasil mempercepat hilangnya atau kurangnya gejala-gejala psikiatrik. Namun pengobatan secara medik saja tanpa ditindaklanjuti oleh usaha rehabilitasi akan membuat penderita akan mengalami kekambuhan, melembaga (institusionalisasi) bahkan terjadi kronisitas (penderita menahun yang akan memenuhi rumah sakit jiwa) sehingga menyebabkan semakin bertambah buruknya ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami para penderita.

Dengan semakin banyaknya penderita skizofrenia yang mengalami ketidak mampuan bersosialisasi, Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) menyarankan agar tim rehabilitasi yang bekerja di rumah sakit jiwa dapat mempersiapkan pasien secara total, baik organik, biologik, psikik, sosiokultural dan vokasional, sehingga penderita secara fisik, mental dan sosial dapat menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat, dapat hidup secara mandiri dan berguna dalam masyarakat. Upaya-upya untuk mempersiapkan penderita secara total, dikenal dengan upaya rehabilitasi.

Rahabilitasi adalah suatu proses yang kompleks meliputi berbagai disiplin ilmu dan merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, edukasional dan vokasional yang terpadu untuk mempersiapkan, menyalurkan/menempatkan dan membina seseorang agar dapat mencapai kambali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin (Dit. Keswa, 1982). Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, menyebutkan bahwa rehabilitasi adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan mengembalikan


(20)

individu menjadi warga yang produktif, memiliki peranan dan dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya.

Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa rehabilitasi merupakan kegiatan ekstramural dari pengobatan penderita sehingga selalu diorentasikan pada pengobatan-pengobatan secara medis semata. Kadangkala penderita hanya diberikan pengobatan medis tanpa memperhatikan masalah-masalah pekerjaan dan sosial pasien. Atas dasar anggapan tersebut dan mungkin pula kurang pengertian tentang pentingnya upaya rehabilitasi, maka ada kecenderungan pelayanannya dipisahkan dari pengobatan atau bahkan dilakukan sekedarnya tanpa menyadari tujuannya atau upaya rehabilitasi sama sekali tidak dilaksanakan.

Sebagian besar penderita skizofrenia yang berobat ke rumah sakit jiwa tidak dapat segera dipulangkan dan tidak secara cepat memperoleh kondisi sebaik semula. Penderita jenis ini merupakan bagian terbanyak yang dirawat di rumah sakit jiwa dan mereka ini yang sebaiknya segera memperoleh pelayanan rehabilitasi. Jika penderita tersebut tidak mendapatkan rehabilitasi akan membuat mereka tidak dapat mencapai keterampilan sosial yang lebih baik. Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa jika dalam penanggulangan penderita skizofrenia hanya ditujukan kepada gangguan klinisnya tanpa menangani tingkah laku sosial, okupasional dan tingkah laku lainnya, berarti pasien hanya memperoleh penyembuhan sementara, sehingga mereka akan mengalami kekambuhan secara berulang dan akhirnya dianggap mundur (regresi).

Dari hasil penelitian aspek keluarga dan kekambuhan pada penderita skizofrenia yang dilakukan Leff, dkk (1990) untuk mengevaluasi manfaat intervensi


(21)

psikososial pada keluarga penderita skizofrenia yang dikombinasikan dengan pemberian neuroleptik, sebagian besar memperlihatkan hasil yang bermakna dalam menurunkan angka kekambuhan. Oleh karenanya dianggap perlu untuk memasukkan suatu program psikososial berupa rehabilitasi pada keluarga dalam pengobatan skizofrenia yang sifatnya multidimensional dan interaksional.

Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) mengenai keadaan hubungan sosial penderita cacat psikososial memperkuat hasil penelitian di atas. Penelitian tersebut membuktikan bahwa dari 1222 penderita rehabilitasi yang dirawat di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia, persentasi tinggi yaitu 29,21% (fungsi sosialnya baik), 59,98% (sedang) dan 8,35% (kurang). Martono (1990) menemukan bahwa ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dipulangkan setelah menjalani proses rehabilitasi dalam taraf yang baik karena sebelum dipulangkan mereka telah mendapat pendidikan rehabilitasi terlebih dahulu.

Namun berdasarkan pengamatan faktual yang penulis lakukan didapati bahwa kegiatan rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga masih banyak penderita skizofrenia yang dirawat inap mengalami ketidakmampuan bersosialisasi pada tingkat yang buruk. Hal ini terbukti dari hasil survey awal yang penulis lakukan pada tanggal 2 Maret 2009 terhadap 10 penderita skizofrenia yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, di mana penderita berada pada skor rata-rata 2.527 yang berarti bahwa penderita skizofrenia yang dirawat inap tanpa mengikuti kegiatan


(22)

rehabilitasi akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial disabilitas) pada tingkat yang buruk.

Mengingat demikian pentingnya upaya rehabilitasi terhadap pemulihan penderita skizofrenia, maka penelitian tentang pengaruh intervensi rehabilitasi dalam mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi menjadi penting dilakukan, mengingat konsekuensi terjadinya ketidakmampuan bersosialisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan penderita dalam berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauhmana pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah intervensi rehabilitasi berpengaruh secara signifikan dalam mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(23)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi rumah sakit jiwa tentang pentingnya upaya rehabilitasi terhadap kesembuhan penderita skizofrenia yang dirawat inap. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan jiwa masyarakat, khususnya bidang promosi kesehatan dalam merancang metode promosi kesehatan dalam bentuk rehabilitasi dalam mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

Menurut Morel (dalam Coleman, dkk, 1980) menggunakan istilah demence

precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang

sesuai dengan pengertian skozofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran/ keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin (dalam Coleman, dkk, 1980) mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang merupakan kamerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muda (praecox) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya Eugen Bleuler (dalam Coleman, dkk, 1980) memperkenalkan istilah skizofrenia atau “jiwa yang terbelah”, sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi.

Sesuai dengan perkembangannya pengertian skozofrenia semakin meluas, seperti yang diberikan oleh Kaplan dan Sadock (1994) bahwa skozofrenia adalah sebagai suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala


(25)

psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi.

Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal. Selanjutnya Freud (dalam Roan, 1979) mengatakan bahwa skozofrenia adalah suatu peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi.

Defenisi yang lebih rinci mengenai skizofrenia bersumber dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia (PPDGJ-III) yang mengemukakan bahwa gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, terjadi distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, paham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi nyata/sebenarnya dan autisme.


(26)

2.1.1. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff (1991) mengulas beberapa penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia.

a. Keterlibatan faktor keturunan

Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur. b. Faktor lingkungan

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia.

Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi gangguan ini, salah satunya yang diungkapkan oleh Residen Bagian Psikiatri UCLA (1997), yaitu:

c. Teori biologik dan genetik

Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat mendukung teori bahwa faktor genetik peran penting dalam transmisi skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat


(27)

menjadi penyebab peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.

d. Hipotesis neurotransmitter

Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.

e. Pencetus psikososial

Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia.

Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut:

a. Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa


(28)

seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.

b. Faktor biologis

Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.

c. Genetika

Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut.

d. Faktor psikososial

Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.


(29)

2.1.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan pada isi pikiran

Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi

Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan kohesivitas dan logika, cara mereka mengekspresikan ide dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan penderita gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisme, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.


(30)

c. Gangguan persepsi halusinasi

Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu, tetapi terjadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya.

d. Gangguan afeksi (perasaan)

Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya.

e. Gangguan psikomotor

Pasien skizofrenia kadang akan berjalan dengan aneh dan cara yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh).


(31)

f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal

Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan dari pikiran dan tingkah laku mereka. Akhirnya orang lain menjauhi mereka dan bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi.

g. Gangguan kepekaan diri

Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti.

h. Gangguan motivasi

Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest (keinginan) dalam mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu pemilihan.

2.1.3. Tipe-tipe Skizofrenia

Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi: a. Skizofrenia Paranoid (F2.0)

Skizofrenia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat


(32)

paranoid diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.

b. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)

Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan (mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate) sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri (solitary) dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.

c. Skizofrenia Katatonik (F20.2)

Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti

hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan

negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan

untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan (violent) mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang menyolok.


(33)

d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)

Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang jelas untuk suatu kelompok diagnosis yang khas.

e. Depresi Pasca-Skizofrenik (F20.4)

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri.

f. Skizofrenia Residual (F20.5)

Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang walaupun belum tentu ireversibel.

g. Skizofrenia Simpleks (F20.6)

Suatu kelainan yang tidak lazim ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham dan halusinasi. Ciri-ciri negatif yang


(34)

menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial.

h. Skizofrenia lainnya (F20.8)

Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik, skizofrenia laten.

i. Skizofrenia YTT (F20.9)

Tipe-tipe skizofrenia yang tak tergolongkan 2.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah, pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal (fase awal penyakit) dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas.

Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan yang bertahap yang dapat diikuti oleh lamanya periode fungsi yang relatif normal, tetapi relaps biasanya terjadi jika pola umum dari penyakit yang ditemukan dalam lima tahun pertama setelah diagnosis


(35)

biasanya memperkirakan perjalanan yang diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup.

Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi gejala negatif yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas, perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan, tunawisma dan kemiskinan.

2.1.5. Prognosis

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia, hanya kira-kira 10% sampai 20% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang baik, lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat dan usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dalam


(36)

literatur adalah 10% sampai 60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20% sampai 30% dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20% sampai 30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40% sampai 60% dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya selama seumur hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997).

Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997) digambarkan di bawah ini.

a. Skizofrenia prognosis baik

Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood (terutama gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung yang baik dan gejala positif.

b. Skizofrenia prognosis buruk

Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, austistik, tidak menikah, bercerai, atau janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat trauma prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat penyerangan.


(37)

2.2. Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya.

Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidak mampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO (1980) disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1996), yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku


(38)

yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu.

Di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut:

impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian

istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO (1989) dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada

struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan

eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan

yang terjadi pada tingkat organ. b. Disabilities (disability)

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari

adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak


(39)

langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau

disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat dan disabilitas dan mencerminkan konsekwensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.2.1. Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi digambarkan oleh WHO (1989), bahwa angka rata-rata kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi tentang faktor lingkungan dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk kedalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan.


(40)

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh anak-anaknya, bahkan individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dipisahkan dari individu yang normal karena kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan.

2.2.2. Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

WHO (1989) menetapkan bahwa individu mengalami ketidakmampuan bersosialisasi jika ia tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal berupa: tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan diri, tidak mampu memakai pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah/simpel, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai penghasilan yang


(41)

memadai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga.

2.2.3. Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (a). Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (activity daily living

= ADL), (b). Tingkah laku sosial dan (c). Tingkah laku okupasional yang dapat

dijabarkan sebagai berikut: a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.


(42)

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.


(43)

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkat laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.


(44)

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.

3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya. 4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat

diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan perbuatan tersebut berupa reaksi pasien bila diperintah/disuruh, dilarang/ dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.


(45)

2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia

Birchwood (1987) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten dan beban keluarga yang dirasa berlebihan.

Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Penelitian Klerman (1971) menggambarkan bahwa timbulnya social

functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang dialami oleh

penderita skozofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell (1976) melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk juga social functioning.

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat menimbulkan dan memperparah ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya adalah:


(46)

a. Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya. b. Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda

dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

c. Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

d. Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.

2.3. Rehabilitasi

Menurut WHO Expert Commite on Medical Rehabilitation rehabilitasi adalah serangkaian usaha yang terkoordinasi, terdiri dari upaya medis, sosial, eduksional dan vokasional untuk melatih kembali seseorang (yang handicap) agar dapat mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin (Dit. Keswa, 1997).


(47)

Sejalan dengan pendapat di atas, Peraturan Pemerintah R.I No. 36 Tahun 1980 tentang usaha kesejahteraan sosial bagi penderita cacat yang menerangkan bahwa rehabilitasi merupakan proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Dit. Keswa, 1985).

2.3.1. Falsafah dan Motivasi Upaya Rehabilitasi

Sesudah perang dunia II, upaya rehabilitasi berkembang pesat dan mempunyai dasar falsafah yang lebih kokoh, sejalan dengan berkembangnya faham hak azasi manusia. Falsafah rehabilitasi berubah from charity to right, berarti bahwa

pertolongan dalam upaya rehabilitasi dijalankan berdasarkan pemberian hak azasi sebagai manusia seutuhnya. Dasar ini kiranya sesuai dengan falsafah Pancasila sebagai falsafah Negara Republik Indonesia, khususnya dengan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di samping didasari oleh falsafah kemanusiaan, upaya rehabilitasi juga didorong atas pertimbangan ekonomi. Melalui upaya rehabilitasi diharapkan ketergantungan pasien terutama ketergantungan secara ekonomi dapat diperpendek. Dengan demikian beban keluarga dapat diperingan, karena pasien setelah memperoleh pelayanan rehabilitasi diarahkan menjadi individu yang berswadaya, swasembada (mandiri) dan berguna di dalam masyarakat. Di samping itu dengan adanya rehabilitasi dampak kecacatan yang ada pada diri pasien baik terhadap diri, keluarga maupun masyarakat dapat diperkecil atau sama sekali dihilangkan.


(48)

Atas dasar pengembalian hak azasi yang ada pada diri pasien, pasien akan mempunyai arti yang lebih positif baik bagi upaya rehabilitasi itu sendiri maupun bagi rehabilitannya, karena bantuan yang diberikan dalam upaya rehabilitasi kepada rehabitan dimaksudkan agar mampu mengembalikan kesadaran, kemauan, potensi, inisiatif dan sebagainya sehingga akhirnya rehabilitan mampu menolong dirinya sendiri dan dapat mempertahankan hak azasinya untuk hidup bersama warga masyarakat yang lain.

Menurut Dit. Keswa (1985), untuk memperkuat motivasi para petugas rehabilitasi pasien mental kiranya perlu diketahui beberapa prinsip yang memungkinkan bahwa rehabilitasi pasien mental itu dapat dijalankan, antara lain:

a. Gangguan mental tidak pernah merusak seluruh kepribadian manusia atau tingkah lakunya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun parahnya penyakit yang diderita seorang pasien mental selalu masih ada kepribadian dan tingkah laku yang sehat dalam diri pasien tersebut. Merupakan kewajiban ahli terapi dan rehabilitasi mental untuk menemukan bidang-bidang tersebut dan perlu menilai potensi dari bidang-bidang itu untuk lebih dikembangkan lagi.

b. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan atau dibina kepada jurusan yang mengandung sejumlah reaksi/respons yang baru. Selanjutnya dapat diharapkan bahwa pasien mental dapat dilatih untuk memberikan reaksi/ response yang tertentu yang lebih efektif.


(49)

c. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada/tidak adanya faktor-faktor tertentu (khususnya faktor yang dapat menimbulkan tekanan sosial pada individu) sehingga dengan demikian reaksi/respons manusia tersebut sampai taraf tertentu dapat diramalkan, sehingga perlahan-lahan pasien mental dapat dilatih untuk mentaati peraturan permainan.

d. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam menunjang atau menghambat tingkah laku individu dalam kelompok sosial tersebut. Menciptakan suasana kebersamaan dalam terapi agar tercipta rasa tanggung jawab, rasa keadilan dan rasa kemanusiaan.

e. Rehabilitasi adalah proses transisi dan proses kesiapan ke arah pengembalian pasien mental kemasyarakatan dan oleh sebab itu masyarakat perlu menghayati pentingnya peranan yang dipegangnya dalam proses rehabilitasi tersebut.

2.3.2. Aspek-Aspek Rehabilitasi

Menurut Direktorat Kesehatan Jiwa (1985), aspek-aspek rehabilitasi adalah sebagai berikut:

a. Medik

Suatu usahya rehabilitasi yang bertujuan untuk mengurangi kecacatan serta meningkatkan kemampuan yang ada secara medis/psikiatris dengan menggunakan obat-obatan psikofarmaka.


(50)

b. Psikologik dan Sosial

Merupakan suatu usaha rehabilitasi yang bertujuan mempersiapkan individu agar sejauh mungkin mampu melaksanakan fungsi psikis dan sosialnya secara wajar dalam masyarakat dengan menggunakan terapi-terapi psikologi dan sosial berupa psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, terapi rekreasi, terapi kesenian, terapi olah raga dan lain-lain untuk tercapainya penyesuaian diri, harga diri juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari masyarakat terhadap rehabilitan. c. Reedukasi dan Vokasional

Suatu usaha rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan taraf pengetahuan individu yang sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya dengan meningkatkan taraf pengetahuan individu sehingga individu dapat bekerja/berusaha secara produktif dan berguna.

c. Legislatif dan Administratif

Usaha rehabilitasi yang bertujuan kearah terbentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur usaha rehabilitasi pasien mental.

2.3.3. Maksud dan Tujuan Dasar Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan suatu usaha terpadu untuk mengembalikan kemampuan individu ketaraf yang akseptabel. Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan maksud dan tujuan rehabilitasi pasien mental untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penempatan/penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal, penyesuaian diri dalam hubungan perorangan dan sosial secara


(51)

memuaskan sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berswadaya, swasembada (mandiri) dan berguna.

Tujuan rehabilitasi yang digariskan peraturan pemerintah R.I No. 36 tahun 1980 tentang usaha kesejahteraan sosial bagi penderita cacat adalah untuk mengembalikan dan mengembangkan fungsi fisik, mental dan sosial sehingga penyandang cacat tersebut bisa berfungsi dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan, bakat, taraf pendidikan dan pengalaman (Dit. Keswa, 1985). Sejalan dengan pendapat tersebut, WHO (1980) merumuskan tujuan rehabilitasi sebagai penggunaan secara terpadu dan terkoordinasi daripada tindakan medik, sosial, pendidikan dan vokasional untuk melatih kembali individu kearah kemungkinan tertinggi dari tingkatan kemampuan fungsional. 2.3.4. Tahap-tahap Rehabilitasi

Upaya rehabilitasi tersebut menurut Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) merupakan proses yang bertahap untuk mengembalikan individu baik hak dan fungsinya sebagai warga masyarakat yang mandiri dan berguna. Proses usaha tersebut diatur melalui tahap kerja sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan serangkaian upaya untuk mempersiapkan rehabilitan agar selanjutnya dapat disalurkan kedalam masyarakat, melalui kegiatan:

1) Seleksi, evaluasi dan uji kerja (work assesment).

Seleksi dilakukan atas dasar case conference yang dihadiri oleh masing-masing anggota team profesi, yang mempertimbangkan hasil evaluasinya


(52)

dengan dasar musyawarah menuju suatu kesimpulan untuk membuat suatu program yang jelas dan terperinci untuk masing-masing rehabilitan. Hasil seleksi yang berupa program untuk rehabilitan langsung menentukan apakah seorang rehabilitan dapat mengikuti proses rehabilitasi secara lengkap (yaitu mengikuti terapi kerja dan latihan kerja atau dipersiapkan ke sheltered

workshop) atau cukup mengikuti terapi kerja saja atau belum dapat diberikan

aktivitas dalam unit rehabilitasi, sehingga sementara ditangguhkan rehabilitasinya (masih memerlukan pelayanan medik psikiatrik secara intensif).

2) Terapi kerja (okupasiterapi/occupational therapy)

Atas dasar hasil seleksi, pasien selanjutnya dikirimkan ke Terapi kerja untuk diberi aktivitas terapi sesuai dengan saran dan program hasil seleksi tersebut. Kegiatan yang dilakukan umumnya dan seharusnya dalam waktu yang relatif singkat, sebaiknya tidak lebih dari dua atau tiga minggu untuk setiap pasien. Tugas pokok petugas terapi kerja adalah membangkitkan aktivitas positif melalui pekerjaan atau aktivitas lain (diskusi, bermain, relaksasi dan lain-lain) yang bersifat terapeutik dan mengevaluasi perkembangan tingkah laku pasien secara teratur dan kontinu (dari hari ke hari), terapis dapat memulihkan/ meningkatkan kembali daya konsentrasi, kemampuan komunikasi, daya ingat, kemauan dan sebagainya melalui berbagai kegiatan yang sesuai dengan diri pasien.


(53)

3) Latihan kerja (vocational training).

Rehabilitan yang mengikuti latihan kerja adalah yang telah diseleksi dan diprogramkan untuk mengikuti latihan kerja agar mereka mereka memiliki keterampilan kerja sebagai bekal untuk kembali kemasyarakat sebagai warga yang mandiri dan berguna. Dalam melatih kerja hendaknya tingkat kesukaran pekerjaan tersebut selalu diperhatikan dan disesuaikan dengan kemampuan rehabilitan.

4) Latihan keterampilan sosial (social skills training).

Sering disebut sebagai terapi keterampilan sosial (social skills therapy), yaitu teknik latihan dengan menggunakan hadiah ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran sosial, kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri, latihan komunikasi interpersonal.

b. Tahap Penempatan/Penyaluran

Setalah rehabilitan dipersiapkan melalui kegiatan seleksi terapi dan latihan kerja, maka selanjutnya adalah penempatan kedalam masyarakat. Usaha penempatan ini tidak lain merupakan tujuan akhir upaya rehabilitasi yaitu menyalurkan rehabilitan ke masyarakat sebagai warga masyarakat yang mandiri dan berguna. Penempatan dapat dilakukan kedalam keluarga atau masyarakat, ke instansi lain seperti perusahaan atau panti rehabilitasi serta ditempatkan kedalam sheltered workshop.

Penyaluran keluarga berfungsi untuk mempertahankan kesehatan rehabilitan dan untuk menjaga hubungan antara rehabilitan dengan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Sheltered workshop dijalankan bagi rehabilitan yang benar-benar tidak


(54)

dapat dipulangkan keluarga/masyarakat. Bengkel kerja terlindung (sheltered

workshop) dilakukan untuk mempekerjakan rehabilitan yang terampil/memiliki

kemampuan kerja akan tetapi karena sesuatu hal mereka tidak dapat hidup bersaing dalam masyarakat yang bersifat umum.

c. Tahap Pengawasan

Tahap pengawasan terhadap rehabilitan sudah dilakukan sejak mengikuti persiapan rehabilitasi. Pengawasan ini dimaksudkan agar kondisi kesehatan rehabilitan selalu terjaga, baik fisik maupun mentalnya. Untuk melakukan pengawasan terhadap rehabilitan yang belum disalurkan perlu disediakan pelayanan psikiatrik dalam unit rehabilitasi agar rehabilitan yang dinilai mengalami kemunduran atau tidak pernah ada kemajuan dapat segera memperoleh terapi serta secara periodik diperiksa keadaan kesehatannya.

Pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pengawasan ke dalam dan pengawasan keluar. Pengawasan kedalam bertujuan memelihara kesehatan fisik dan mental rehabilitan dengan mengadakan pelayanan medik psikiatrik dan usaha-usaha lain yang bersifat meningkatkan kesehatan fisik dan mental rehabilitan. Pengawasan keluar ditujukan kepada rehabilitan yang sudah disalurkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan home visit (kunjungan rumah), job visit (kunjungan ketempat kerja/tempat penyaluran) dan mengadakan pelayanan after care (perawatan lanjutan bagi rehabilitan/pasien).


(55)

2.3.5. Arus Pasien dalam Unit Rehabilitasi

Arus pasien dalam proses rehabilitasi pasien mental seperti tercantum dalam Pedoman Rehabilitasi pasien Rumah Sakit Jiwa di Indonesia (Dit. Keswa, 1985) adalah sebagai berikut:

2.3.5.1. Secara garis besar pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit ada tiga kegiatan pokok, yaitu prevensi dan promosi, kurasi (pemulihan dan pelayanan) dan rehabilitasi, serta pengembangan program.

2.3.5.2. Pasien datang dari masyarakat berobat ke rumah sakit jiwa diterima di unit rawat jalan. Menurut Dorland (1998) pasien yang dirawat jalan adalah seorang pasien yang datang ke rumah sakit, klinik atau balai pengobatan untuk mendapat pengobatan, namun tidak menempati ranjang pengobatan. Dengan demikian pasien skizofrenia yang datang kerumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan tetapi tidak menempati ranjang perawatan. Setelah diterima selanjutnya diadakan pemeriksaan, assesment dan diagnosis sementara terhadap pasien, kemudian ditentukan sebagai:

1) Pasien rawat jalan dengan memperoleh terapi medik/terapi yang lain atau untuk konsultasi psikologik atau langsung dirujuk ke instansi lain.

2) Rawat inap (opname). Pasien rawat inap ialah pasien yang memerlukan perawatan dalam rumah sakit (Dorland, 1998). Jadi pasien skozofrenia yang dirawat inap adalah pasien yang didiagnosa mengalami simptom-simptom skizofrenia dan dipandang perlu untuk dirawat dalam rumah sakit.


(56)

3) Untuk pasien rawat inap tersebut selanjutnya diadakan pemeriksaan yang lebih lengkap untuk menentukan diagnosa yang tetap dan memperoleh terapi medik secara intensif.

4) Dengan terapi medik intensif akan terjadi perubahan-perubahan/kemajuan sehingga selanjutnya dapat ditentukan (1) dapat langsung dipulangkan (sebagai rehabilitasi spontan), (b) tetap memperoleh terapi medik intensif (bagi yang tidak ada kemajuan) dan (c) direhabilitasi.

5) Bagi pasien yang ditentukan untuk rehabilitasi maka prosesnya sebagai berikut:

a) Diadakan seleksi dan pengujian kerja (work assessment). b) Dikirim ke terapi kerja (terapi okupasi-occupational therapy). c) Diadakan evaluasi selama mengikuti terapi kerja.

d) Atas dasar evaluasi tersebut pasien akan ditentukan sebagai pasien yang segera dipulangkan (sebagai rehabilitasi spontan) atau diteruskan ke latihan kerja (vocational training).

6) Diadakan evaluasi selama berada di dalam latihan kerja. 7) Atas dasar evaluasi point f tersebut ditentukan untuk:

a) Disalurkan pulang kekeluarga dengan membawa pulang bekal keterampilan kerja (rehabilitasi vokasional).

b) Disalurkan keinstansi lain (misalnya ke panti rehabilitasi sosial, ke tempat kerja di masyarakat dan lain-lain).


(57)

8) Bagi rehabilitan yang sudah disalurkan selanjutnya diadakan pengawasan dengan:

a) Pelayanan home visit.

b) Pelayanan after carelday care/nigh care.

2.4. Pengaruh Intervensi Rehabilitasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia

Menurut Gorfild dan Bergin (1987) ketergangguan perilaku skizofrenia mencakup tiga jenis tingkah laku, yaitu tingkah laku simptomatik, sosial dan tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku okupasional. Tingkah laku simptomatik adalah tingkah laku yang berhubungan dengan gejala psikiatri seperti halusinasi, delusi, autisme, bizar, agitasi dan sebagainya. Tingkah laku sosial adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial seperti komunikasi, bergaul, bersahabat, menolong orang dan lain-lain. Tingkah laku sosial dan lain-lain dibedakan karena keduanya untuk memenuhi hidup secara sosial.

Akibat adanya tingkah laku simptomatik menyebabkan terhalangnya fungsi sosial dan tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku okupasional pasien dan hal itu menyebabkan ketidakmampuan bersosialisasi penderita semakin memburuk. Keparahan ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami penderita skizofrenia diungkapkan oleh Goldman (1992) yang mengatakan bahwa penderita skizofrenia berada dalam taraf terendah fungsi sosialnya. Penelitian mengukur fungsi sosial


(58)

tersebut dilakukan oleh Goldman dengan menggunakan Global Assessment of

Functioning (GAF) dalam DSM-IV.

Klerman (1971) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkah laku simptomatik yang dialami oleh para penderita skizofrenia membuat para penderita tersebut tidak mempunyai peranan dalam kehidupan sosialnya yang disebutnya sebagai cacat secara sosial (social role impairment). Penelitian lebih lanjut yang dilakukan Weissman dan Bothwell (1976) juga mengungkapkan bahwa dengan perbaikan dari tingkah laku simptomatik dapat meningkatkan peranan sosialnya. Penderita skizofrenia yang telah mendapat pengobatan selama empat minggu dan mengalami perubahan dalam tingkah laku simptomatiknya mendapat perbaikan dalam peranan sosialnya.

Panjangnya waktu perawatan di rumah sakit jiwa juga dapat membuat para penderita semakin buruk fungsi sosialnya (Gordon, et al, 1985). Untuk itu Gordon cenderung untuk membuat perawatan dalam periode yang lebih pendek dan segera memulangkan pasien kedalam masyarakat apabila tingkah laku simptomatiknya telah berkurang serta menyarankan tetap berobat jalan untuk lebih memperbaiki tingkah laku simptomatiknya.

Perawatan yang panjang di rumah sakit dapat memperburuk ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia, tetapi Link dan Dohrenwend (1980) membuktikan bahwa 20% kasus penderita skizofrenia yang tidak mendapat perawatan meningkat menjadi 40% banyaknya. Penelitian yang mereka lakukan selanjutnya mengungkapkan pada kasus-kasus penderita yang tidak mendapat


(1)

5.3. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini didasarkan pada beberapa aspek, diantaranya: 1) Desain penelitian

Desain penelitian ini adalah causal comparative studies, yaitu dengan membandingkan dua kejadian atau peristiwa dengan melihat penyebabnya, sehingga belum sepenuhnya mampu memperoleh informasi yang akurat terhadap metode tersebut dalam meningkatkan kemampuan bersosialisasi pasien.

2) Kualitas Data dan Informasi

Data dan informasi primer sebagian besar diperoleh dari penderita, sehingga keakuratannya sulit dipercaya mengingat penderita skizofrenia memiliki simptom-simptom negatif pada proses pikir, alam perasaan maupun tingkah lakunya.

3) Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 penderita dari populasi 312 penderita, sehingga hasil penelitian belum sepenuhnya mampu menggambarkan ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia, baik yang diberi intervensi maupun yang tidak diberi intervensi rehabilitasi.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan ketidakmampuan bersosialisasi secara signifikan antara penderita skizofrenia yang diberi intervensi dengan yang tidak diberi intervensi rehabilitasi. Penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih baik dibandingkan penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi.

2. Penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mayoritas adalah laki-laki, usia antara 30-35 tahun, pendidikan SLTP-SLTA, tidak menikah dan tidak bekerja.

3. Penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi memiliki kemampuan bersosialisasi di bawah rata-rata.

4. Penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi memiliki kemampuan bersosialisasi di atas rata-rata.


(3)

6.2. Saran

1. Perlu ditingkatkan peranan unit rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam upaya mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia sebagai akibat simptom-simpton negatif yang diderita.

2. Mengingat bahwa terapi keluarga merupakan bagian dari kegiatan rehabilitasi, maka diperlukan kehadiran keluarga secara berkala ke unit rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3. Perlu penelitian lanjutan tentang pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidak mampuan bersosialisasi dengan metode quasi experiment dan dengan jumlah sampel yang lebih representatif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara.

Asean Forum on the Rehabilitation of the Psychosocially Disabled Persons. 1981.

Toward a Better Future for the Psychosocially Disabled. Jakarta.

Azwar, S. 1992. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Sigma Alpha.

Balitbang Depkes. 2001. Gangguan Jiwa. Http://www Litbang Depkes. Co.id. April 2001.

Birchwood, M.J. 1987. Specific and Non Specific Effects of Educational Intervention

with Families Living a Schizophrenic Relative. Cambridge, England:

Cambridge University Press.

Candra, L.S. 2004. Schizophrenia Anonymous A Better Future. www.sehat.com. Coleman, J.C., Butcher, J.N., Carson, R.C. 1980. Abnormal Psychology and Modern

Life. Glenfiew, III: Scott, Foresman & Company.

Devidoff, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Alih Bahasa Oleh Mira Juniati. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Direktorat Kesehatan Jiwa. 1985. Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit

Jiwa di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan

Medik. Direktorat Kesehatan Jiwa.

_________. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

di Indonesia (PPDGJ III). Edisi Ketiga. Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan

Medik. Direktorat Kesehatan Jiwa.

_________. 1997. Program Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat. Paket

Pelatihan. Untuk Keluarga Penca Kegiatan Sosial. Cetakan Kedua. Jakarta:

Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Direktorat Kesehatan Jiwa.

Dorland, S. 1998. Illustrated Medical Dictionary. Twenty Six Edition. Philadelphia: WB Saunders Company.


(5)

Garfield, S., Bergin, A. 1987. Handbook of Psychotherapy and Behavioral Change

an Empirical Analysis. New York: Brisbane, Toronto: John Wiley & Son.

Goldman, H. 1992. Revising Axis V for DSM. A review of measures of Social Functioning. American Journal Psychiatry. Vol.149:9. September 1992. Gordon, R.E. 1985. Aggravating Stress and Functional Level as Predictors of Length

of Psychiatric Hospitalization. Hospital Community Psychiatry. Vol.36:773-774.

Hadi, S. 1986. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.

Halgin, R.P., Whitbourne, S.K. 1995. Abnormal Psychology. The Human Experience

of Psychological Disorder. New York: McGraw Hill Book Co.

Hartono, D.P., Hartono, M.S. 1997. Follow Up pada Penderita Skizofrenia Setelah Pulang 6 Bulan atau Lebih dari Perawatan di RSJP Semarang. Jiwa: Majalah

Psikiatri. Indonesian Psychiatric Quarterly XXX No. 2. Jakarta: Yayasan

Kesehatan Jiwa Dharma Wangsa.

Hawari, D. 2006. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Edisi III. Cetakan I. Jakarta: FK UI.

Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 1997. Comprehensive Texbook of Psychiatry. Seventh Edition. New York: Williams & Wilkins.

Klerman, G.L. 1971. Clinical Research in Depression. Arch Gen Psychiatry. Vol. 24:305-309.

Kuntjoro, Z.S. 1985. Peran Psikologi dalam Pengembangan Kualitas Manusia Sebagai Sumber Daya Pembangunan pada PJPT II: Peran Psikologi dalam Bidang Pelayanan Klinis. Lustrum VI. Fakultas Psikologi UGM.

_________. 1989. Perbedaan Pengaruh Pemberian Hadiah Melalui Pendekatan Instruksi dan Pendekatan Persuasi dalam Terapi Tingkah Laku pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia.

Leff, J., Wigg, N.N., Bedi, H., Menon, D.K., Kuipers, L., Korten, A., Ernberg, G., Day, R., Sartorius, N., Jablensky, A. 1990. Relatives Expressed Emotion and the Course of Schizophrenia in Chandigarh. A two Year Follow Up of a First


(6)

Liberman, R.P. 1989. A Control Trial of Social Intervention in the Families of Schizophrenia Patients. Arch General Psychiatry. Vol. 141: 121 – 134.

Link, B., Dohrenwend, B.P. 1980. Formulation of Hypotheses About the Ratio of

Untreated Cases in the True Prevalence Studies of Functional Psychiatry Disorder in Adult in the United States. New York: Praegar Publisher.

Maramis, W. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Erlangga University Press. Mardjono, M. 1992. Empat Masalah Kesehatan Utama dalam Negara Modern dan

Industri. Jakarta: Lippi Bidang Kesehatan.

Martono, H. 1990. Pengaruh Keluarga dalam Kekambuhan Skizofrenia dan Intervensi Psikososial Sebagai Upaya Pencegahan (Suatu Tinjauan Kepustakaan) Jiwa:

Majalah Psikiatri. Indonesian Psychiatry Quarterly: XXIII. No. 4. Jakarta:

Yayasan Kesehatan Jiwa Dharma Wangsa.

Masrun. 1981. Reliabilitas dan Cara-cara Pendekatannya dalam Metodologi

Penelitian. Lembaga Penelitian Doktor. Yogyakarta: UGM.

Nazir, M. 1989. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia.

Prabandari. 2003. Penanganan Penderita Skizofrenia: Tinjauan Psikologis. Makalah. Simposium Skizofrenia. Yogyakarta: RSK Puri Nirmala. Juni 2003

Roan, W.M. 1979. Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri). Edisi Pertama. Jakarta: PT. Gelora Jaya.

Weissman, M.M., Bothwell, S. 1976. Assessment of Social Adjustment by Patient Self-report. Arch Gen Psychiatry. Vol. 33. September 1976: 1111 – 1115. Weissmen, M.M., Prisoff, B.A., Thompson, B.A. 1978. Social Adjustment by Patient

Self-report in a Community Sample and in Psychiatric Out Patients. Journal

Nerv Men Dis. Vol. 166: 317 – 326.

WHO. 1980. International Classification of Impairments, Disabilities and

Handicaps. Geneva: England USA.

_________. 1989. Training in the Community for People with Disabilities: A

Program for the United Nations Decade or Disabled Persons Carried Out in Cooperation. Geneva: England USA.