Kajian Lansia Perspektif Budaya Tionghoa

(1)

KAJIAN LANSIA PERSPEKTIF BUDAYA TIONGHOA

TESIS

Oleh

PIN PIN

107024039/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN LANSIA PERSPEKTIF BUDAYA TIONGHOA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

PIN PIN

107024039/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis :

KAJIAN LANSIA PERSPEKTIF BUDAYA

TIONGHOA

Nama Mahasiswa : Pin Pin Nomor Pokok : 107024039

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Husni Thamrin, S.Sos, MSP Ketua

) Anggota

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Tanggal Lulus : Telah diuji pada

Tanggal 08 Febuari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos, MSP

2. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si 3. Nurman Ahmad, S.Sos, M.si 4. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si


(5)

PERNYATAAN

KAJIAN LANSIA PERSPEKTIF BUDAYA TIONGHOA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 08 Febuari 2013 Penulis,


(6)

KAJIAN LANSIA PERSPEKTIF BUDAYA TIONGHOA

TESIS

PIN PIN

107024039/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(7)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Kajian Lansia Perspektif Budaya Tionghoa”. Tujuan dari pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan adalah untuk untuk mendeskripsikan dan menganalisa bentuk-bentuk budaya lansia yang terjadi dalam kaitannya terhadap orang tua di masyarakat etnis Tionghoa dan mendapatkan informasi lebih dalam mengenai faktor perubahan nilai sosial yang terjadi dalam kaitannya terhadap orang tua di masyarakat etnis Tionghoa.

Metode penelitian yang digunakan didalam Tesis ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang diperoleh di Laporan Akhir ini diklasifikasikan menjadi 2, yaitu dari informan dan dari hasil penelitian pihak lain yang berkaitan. Tekhnik pengumpulan data dalam Tesis ini menggunakan tekhnik wawancara, observasi dan tekhnik dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan tahapan; reduksi data, display data dan interpretasi data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam proses kajian lansia perspektif budaya Tionghoa ada pergeseran budaya dimana adanya perubahan nilai sosial dalam penanganan lansia di etnis Tionghoa. Walaupun dewasa ini masyarakat Tionghoa tetap sangat menghormati orang tua namun masih banyak terjadi perubahan dalam penanganan lansia dalam keluarga etnis Tionghoa.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan kepada generasi muda lebih mengusahakan untuk dapat mengurus orang tuanya sendiri, jika keadaan memungkinkan. Dan kepada generasi yang tua bisa memahami kondisi kehidupan rumah tangga anaknya.


(8)

ABSTRACT

The study is entitled "Study of Elderly Chinese Cultural Perspective". The purpose of the implementation of the research conducted was to describe and to analyze the cultural forms that occur in relation to parents in the community against ethnic Chinese and to find more information on the factors of social value changes that occur in relation to older people in the community of

ethnic Chinese .

The research method used in this thesis is a descriptive qualitative approach. Source of data obtained in this Final Report are classified into two, namely from informants and from the findings of other related research. Techniques of data collection in this thesis using the techniques of interview, observation and documentation techniques. Data analysis was performed with the stage;

data reduction, data display and interpretation of the data.

The results of this study indicate that in the elderly study perspectives of Chinese culture is shifting the culture in which a change of social values in the management of elderly Chinese people. Although today the Chinese people still have great respect for the elderly, but there are many changes in the treatment of elderly Chinese people in the family. Based on these results, the authors suggested that more young people seek to take care of their own parents, if at all possible. And the older generation to understand the condition of the domestic life of her child

.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ……… i

ABSTRACT ……… ii

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL ……… iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 6

1.3 Tujuan Penelitian ……… 6

1.4 Manfaat Penelitian ……… 6

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penggunaan istilah Cina, China,Tiongkok dan Tionghoa ……….. 7

2.2.Suku-suku / Orang-orang Tionghoa di Indonesia………. 10

2.3..Budaya Tionghoa Tentang Orang Tua ……… 15

2.4.Keluarga menurut tradisi orang Tionghoa Tradisional……… 15

2.5.Perubahan Sosia ……… 46

2.6.Beberapa teori yang berkaitan dengan perubahan sosial ………... 46

2.7.Kajian Perubahan Sosial dalam Pembangunan ……… 51

2.8. Faktor-faktor perubahan sosial………. 55

2.9...Keluarga……….. 66

2.9.1. Peran Keluarga dalam Merawat Orang Tua ……… 66

2.9.2. Peran Keluarga ideal dalam merawat orang tua menurut etnis Tionghoa.67 2.10. Proses Menua ……… 67

2.10.1.Teori – Teori Proses Menua ……… 69

2.10.2. Pembagian Kelompok Usia Lanjut ……… 70

2.11. Pengertian Lanjut Usia ……… 71

2.11.1.Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia……… 72

2.11.2. Konsep Gangguan Harga Diri ……… 73

2.11.3. Permasalahan yang Dihadapi Lansia ……… …. 76

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 79

3.2. Lokasi Penelitian ... 79

3.3. Ruang Lingkup Penelitian ... 80

3.4. Informan Penelitian ... 81

3.5. Teknik Pengumpulan Data ………... 81


(10)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Sekilas tentang kota Medan ………... 82

4.1.1. Geografis Kota Medan ……… 83

4.1.2. Demografi kota Medan ………. 85

4.2. Perbandingan Etnis di kota Medan ……… 86

4.2.1.Tabel Perbandingan Etnis Kota Medan tahun 1930,1980 dan 2000.. 87

4.2.2.Gambaran Umum WNI keturunan China di Medan ……… 88

4.3. Beberapa pandangan dan gambaran tentang budaya orang Tionghoa di Medan terhadap lansia …...……… 93

4.3.1. Xiao (Berbakti) ………... 93

4.3.2. Memuja Leluhur ……… 97

4.3.3. Put Hau (Durhaka) ………. 98

4.3.4. Kebajikan ……… 100

4.3.5. Menghormati saudara dan orang lain………. 105

4 .3.6. Tradisi masyarakat keturunan Tionghoa di Medan terhadap orang tua yang masih dipertahankan. ……… 105

4.4. Perubahan sosial di bidang pendidikan perempuan Tionghoa ……… 106

4.5. Nilai sosial orang Tionghoa terhadap lansia……… 108

4.6. Permasalahan yang dihadapi lansia di masyarakat etnis Tionghoa …… 109

4.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terhadap orang tua di masyarakat keturunan Tionghoa di kota Medan. ……… 111

4.8. Dampak perubahan sosial di lingkungan etnis Tionghoa Medan. ………… 112

4.9. Kalimat bijak orang Tionghoa ……… 114

4.10. Panti Lansia Etnis Tionghoa di Medan dan sekitarnya. ……… 118

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……… 122

5.2. Saran ……….. 123

DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN ………


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.2.3 Perkembangan Penduduk Setiap Tahun ……… 52 Tabel 4.2.3 Perbandingan Etnis di Kota Medan tahun 1930, 1980 dan 2000 ……… 52


(12)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Kajian Lansia Perspektif Budaya Tionghoa”. Tujuan dari pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan adalah untuk untuk mendeskripsikan dan menganalisa bentuk-bentuk budaya lansia yang terjadi dalam kaitannya terhadap orang tua di masyarakat etnis Tionghoa dan mendapatkan informasi lebih dalam mengenai faktor perubahan nilai sosial yang terjadi dalam kaitannya terhadap orang tua di masyarakat etnis Tionghoa.

Metode penelitian yang digunakan didalam Tesis ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang diperoleh di Laporan Akhir ini diklasifikasikan menjadi 2, yaitu dari informan dan dari hasil penelitian pihak lain yang berkaitan. Tekhnik pengumpulan data dalam Tesis ini menggunakan tekhnik wawancara, observasi dan tekhnik dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan tahapan; reduksi data, display data dan interpretasi data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam proses kajian lansia perspektif budaya Tionghoa ada pergeseran budaya dimana adanya perubahan nilai sosial dalam penanganan lansia di etnis Tionghoa. Walaupun dewasa ini masyarakat Tionghoa tetap sangat menghormati orang tua namun masih banyak terjadi perubahan dalam penanganan lansia dalam keluarga etnis Tionghoa.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan kepada generasi muda lebih mengusahakan untuk dapat mengurus orang tuanya sendiri, jika keadaan memungkinkan. Dan kepada generasi yang tua bisa memahami kondisi kehidupan rumah tangga anaknya.


(13)

ABSTRACT

The study is entitled "Study of Elderly Chinese Cultural Perspective". The purpose of the implementation of the research conducted was to describe and to analyze the cultural forms that occur in relation to parents in the community against ethnic Chinese and to find more information on the factors of social value changes that occur in relation to older people in the community of

ethnic Chinese .

The research method used in this thesis is a descriptive qualitative approach. Source of data obtained in this Final Report are classified into two, namely from informants and from the findings of other related research. Techniques of data collection in this thesis using the techniques of interview, observation and documentation techniques. Data analysis was performed with the stage;

data reduction, data display and interpretation of the data.

The results of this study indicate that in the elderly study perspectives of Chinese culture is shifting the culture in which a change of social values in the management of elderly Chinese people. Although today the Chinese people still have great respect for the elderly, but there are many changes in the treatment of elderly Chinese people in the family. Based on these results, the authors suggested that more young people seek to take care of their own parents, if at all possible. And the older generation to understand the condition of the domestic life of her child

.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini sepertinya sebagian besar keturunan Tionghoa sangat fokus pada teknologi dan konsumerisme, kadang-kadang tampaknya bahwa keturunan Tionghoa menjadi lebih egois, materialistis dan impersonal.

Menjadi tua dan lemah adalah siklus hidup yang akan dilalui oleh semua manusia, pada fase ini kondisi fisik dan akal bisa dikatakan kembali seperti anak-anak. Memberikan perawatan untuk lanjut usia (lansia) selain harus telaten, sabar dan penuh kasih sayang. Hal yang membuat berbeda dengan perawatan lain adalah rasa hormat yang harus kita tunjukkan, karena orang yang kita rawat memiliki pengalaman dan usia yang jauh diatas kita.

Munculnya panti rehabilitasi, panti jompo, dimana dulunya tidak pernah ada di kalangan keturunan Tinghoa, saat ini seakan makin dirasakan kebutuhannya, walau masih dalam jumlah yang terbatas.

Perawatan lansia bukanlah hal baru di Indonesia. Saat ini dapat kita temui beberapa fasilitas panti lanjut usia yang dikelola oleh Departemen Sosial atau Swasta. Kualitas pelayanan, jenis pelayanan dan jangkauan oleh lansia adalah hal penting yang harus kita tingkatkan, agar tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia (Quality of Live/QOL) dapat tercapai. QOL dapat berupa

peningkatan dalam segi ekonomi, kesehatan, harapan umur hidup dan lain-lain. Memberikan dukungan bagi penduduk dalam menghadapai hari tua adalah salah satu dari tujuan penting dalam usaha kesejahteran sosial. Walaupun panjang umur adalah sesuatu yang seharusnya patut untuk disyukuri, namun hal tersebut ternyata diikuti oleh masalah sosial seperti peningkatan jumlah


(15)

pensiun dan biaya kesehatan. Hal ini tentunya akan meningkatkan beban ekonomi yang harus ditanggung pemerintah.

Mc Carney & Lason (1987, dalam Yuwono, 2000) memberikan pengertian kualitas hidup sebagai derajat kepuasan hati karena terpenuhinya kebutuhan eksternal maupun persepsinya. WHO (1994, dalam Desita, 2010) kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau perempuan dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan hubungan dengan standart hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010), secara umum jumlah penduduk lansia

di Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan. Jumlah penduduk lansia perempuan (9,75 juta orang) lebih banyak dari jumlah penduduk lansia laki-laki (8,29 juta orang). Ada kenaikan sebanyak 6 juta orang dibanding tahun 1995 dimana lansia berjumlah lebih kurang 12 juta orang. Gejala bertambahnya jumlah warga lansia dapat dikatakan bersifat universal, dan terjadi diberbagai negara, terutama negara-negara maju

Dalam kebijakan pemerintah Indonesia, pengembangan dan pembangunan kualitas lansia ditetapkan agar lansia dikembangkan melalui pendekatan lingkungan keluarga dan masyarakat (family center development and community based). Argumentasi yang dikemukakan, karena sesuai

dengan budaya masyarakat dan secara ekonomik relatif murah. Sebuah penelitian eksplanatif yang dilakukan Adib Mohammad pada lansia di masyarakat perkotaan , pada tahun 1996

menghasilkan penjelasan

menarik. Berdasarkan pengalaman kehidupan lansia, bagaimana persepsi tentang tempat tinggal yang sesuai bagi mereka.

Dari penelitian itu, diperoleh temuan bahwa 56,0 % responden berpendapat lansia sebaiknya bertempat tinggal di rumah sendiri, dan 42 % lainnya bertempat tinggal di dalam keluarga dan 2 % menjawab tidak tahu. Tidak seorang responden pun yang menginginkan untuk bertempat tinggal di


(16)

Panti Wredha. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden hampir bersepakat bulat bahwa lansia sebaiknya tinggal didalam keluarga, baik itu di rumah sendiri atau di rumah sanak keluarga. Pandangan lansia jelas sekali terbaca dalam penelitian ini. Lansia masih konsisten untuk terus mempertahankan dan mengembangkan lingkungan kehidupan yang berbasis pada konsep keluarga. Dalam pandangan responden tergambarkan bahwa lembaga keluarga rumah dan penghuninya adalah merupakan suatu yang terindah dan bahkan semacam surga baginya. Karena dalam keluarga, lansia dapat melaksanakan fungsi-fungsi normatif seperti : reproduksi, ekonomi, pendidikan, keagamaan, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan dan melestarikan lingkungan. Dengan melaksanakan fungsi tersebut, lansia akan memperoleh kesejahteraan lahir dan batin (Adib, 2008)

Dari hasil penelitian Gambaran Jenis dan Tingkat Kesepian Pada Lansia di Balai Panti Sosial Tresna Wredha Pakutandang Ciparay Bandung didapatkan bahwa 69, 5%, lansia mengalami kesepian ringan. Dan untuk jenis kesepian maka didapatkan hasil bahwa sebagian besar lansia mengalami kesepian emosional yaitu dengan persentase 49,4%. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lansia mengalami kesepian. Sebagian besar lansia mengalami kesepian yang ringan dan mengalami kesepian emosional (Juniarti Neti, Eka R Septi, Damayanti Asma, 2008).

Dalam tradisi Tionghoa ada pepatah yang mendorong masyarakat untuk membesarkan anak-anak mereka supaya satu hari kelak anak-anak-anak-anak itu bisa merawat mereka diusia senja. Namun, masyarakat Tionghoa yang kini kian modern, mencari cara lain untuk merawat para orangtua mereka, termasuk memasukkan mereka ke Panti Lansia. Padahal hal ini dulu dianggap bertentangan dengan kebajikan nilai-nilai tradisional Tionghoa.

Dalam sebuah artikel tentang perubahan nilai keluarga menjaga orang tua ada kutipan yang menarik yang dapat menunjukkan bahwa telah ada pergeseran nilai dalam proses merawat orang


(17)

tua. Ketika seorang lansia ditanyakan soal pribahasa Tionghoa yang mengatakan “membesarkan anak laki-laki supaya bisa merawat orang tua nanti”, dia menjawab dengan nada sakit hati dan miris.

“Orang-orang berubah! Begitu juga dengan masyarakat! Sekarang ini orang muda tidak percaya peribahasa itu lagi. Waktu saya pertama kali masuk ke rumah jompo, saya sangat kecewa ketika memikirkan hal itu tadi. Sekarang saya sudah menyakini diri saya supaya terima saja keadaan ini. Saya harus mengatasinya kan? Kalau tidak, saya akan terus merasa tidak bahagia’’

Disamping itu terjadi perubahan perlakuan terhadap orang tua oleh berbagai sebab antara lain keterbatasan waktu untuk mengurus orang tua, karena masing-masing anak sibuk dengan kegiatan yang menumpuk. Jarak tempuh ketempat kerja yang cukup jauh, kadang memaksa para anak-anak untuk pindah dari rumah orang tua dan menyewa atau membeli rumah kecil yang lebih dekat dengan tempat kerja. Memang hal ini tidak begitu terasa bagi keluarga yang keadaan ekonominya cukup mapan. Makin banyak jumlah wanita yang berkarir diluar rumah. Konflik rumah tangga misalnya ketidak-cocokkan antara mertua dan menantu. lansia kesepian karena makin berkurangnya teman-teman seumur yang sudah meninggal terlebih dahulu.

Oleh sebab itu, sesuai dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan-perubahan di masyarakat terhadap para lansia, baik atas inisiatif para anak cucu, sanak famili maupun atas inisiatif dari orang tua yang bersangkutan. Ada yang menempatkan lansia di rumah jompo, menitipkan kepada saudara terdekat ataupun mengizinkan orang tuanya bekerja mengikuti orang lain jika ada tekanan ekonomi. Hal ini terjadi hampir di setiap negara, bahkan di China yang akar kebudayaannya sangat menjunjung tinggi orang tua. Terkadang walau sebenarnya tidak tega, tetapi keadaan yang membuat anak cucu tidak dapat berbuat sebanyak anak-anak zaman dulu yang lebih bisa menyediakan waktu dan tenaga untuk merawat sendiri orang tuanya.


(18)

Melihat perubahan dalam perawatan orang tua telah terjadi maka hal tersebut sangat menarik untuk dikaji dari kajian lansia perspektif budaya Tionghoa. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam merawat orang tuanya (dalam konteks penelitian ini adalah komunitas etnis Tionghoa).

1.2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul dan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah yang ingin diungkapkan dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana cara penanganan terhadap lansia etnis Tionghoa di Medan?

2. Kenapa terjadi perubahan nilai sosial terhadap lansia di lingkungan keturunan Tionghoa Medan?

3. Bagaimana kesiapan jiwa para lansia keturunan Tionghoa Medan dalam menghadapi perubahan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana penanganan lansia di masyarakat etnis Tionghoa di Medan.

2. Mendapatkan informasi lebih dalam mengenai faktor perubahan nilai sosial yang terjadi dalam kaitannya terhadap orang tua di masyarakat etnis Tionghoa Medan.

3. Mendapatkan informasi mengenai kesiapan jiwa para lansia dalam menghadapi perubahan yang telah terjadi.


(19)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang penanganan lansia di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa di Medan

2. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademik untuk menambah pengetahuan dalam memahami permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia khususnya kajian perubahan nilai sosial.

3. Memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan yang berhubungan dengan penanganan lanjut usia dan memahami kejiwaan para lansia dalam menghadapi masa tuanya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Penggunaan istilah Cina, China, dan Tiongkok dan Tionghoa.

Orang Tionghoa di Medan lebih suka menggunakan kata Tionghoa, hal ini terlihat dari broadcast melalui blackberry messages oleh PAGUYUBAN SOSIAL MARGA TIONGHOA INDONESIA

oleh Eddy (atas nama Ketua PSMTI kota Medan Halim Loe ) yang intinya :

Bahwa TIONGHOA tak mau dikatakan china/cina, karena china ada di China dengan ibu kota Beijing, bahwa Tionghoa bangsa Indonesia ibu kotanya Jakarta. Anak - anak TIONGHOA dari Aceh sampai Papua dapat ditempatkan dimanapun di Indonesia.

Penggunaan istilah Cina, China, dan Tiongkok adalah kontroversi penggunaan, istilah Cina, China, dan Tiongkok secara resmi dan benar secara politis (politically correct), dan ditinjau dari

tata cara penggunaan bahasa serta hukum di Indonesia.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_atau_Tiongkok_di_media_massa_d i_Indonesia)

Istilah Cina berasal dari nama Ahala (wangsa atau dinasti) Qin (Ch'in), dinasti 'Chin' (abad 3SM) merupakan dinasti pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok dibawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama (sekitar 225 SM sampai 210 SM), dinasti ini mendirikan kerajaan pertama dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai revolusi republik pada tahun 1913.

Kekaisaran Chin terkenal karena dibawah kaisar pertamanya Shih Huang Ti (penulisan Kaisar Qin) dibangun pemerintahan terpusat dalam bentuk kekaisaran, dan selama pemerintahannya dilakukan pembakuan ukuran dan berat, ketepatan, dan sistem penulisan. Kaisar itu memerintahkan


(21)

pembangunan tembok besar sepanjang 2400 km untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Barbar. Bangga akan dinasti 'Chin' yang menjadi tonggak sejarah pendirian imperium pertama, Tembok Raksasa Cina, rintisan tulisan Chin, serta keteraturan dan ketertiban pemerintahan, orang-orang yang tinggal di negeri itu menyebut diri mereka sebagai 'orang-orang-orang-orang dari negeri Chin,' sehingga ketika terjadi perjumpaan dengan negara-negara Barat, negara itu disebut sebagai China dan orangnya disebut Chinese.

Sekitar abad ke-7 bangsa Tionghoa masuk ke Indonesia pada awal abad ke-7, bangsa Inggris menyebutnya sebagai Chinese overseas dan di Indonesia disebut sebagai "Cina perantauan",

kemudian masuk ke seluruh pelosok tanah air. Sejak abad ke-11, ratusan ribu bangsa Chin memasuki kawasan Indonesia terutama di pesisir utara pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta pesisir barat Kalimantan.

Pada awal kedatangan para perantau yang disebut "China baru" atau "singkeh" ini, mereka hidup melarat karena memulai kehidupan mereka dari nol. Pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, dan terkesan kikir. Hal ini masih sering dijadikan mitos atau stereotipe orang China bersifat pelit dan egois. Kemudian mereka membentuk koloni "kampung Cina" atau 'Pecinan’, sehingga dikenal istilah China menjadi populer. Misalnya untuk menyebut makanan seperti dodol Cina dan petai Cina, selain itu juga untuk menyebut tempat seperti biara Cina dan kuburan Cina. Kemudian, di kawasan perkotaan yang banyak bermukim orang Cina populer istilah Pecinan. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal wayang 'Po Te Hi' yang salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina'.

Menghormati dan mengikuti keinginan mayoritas masyarakat Tionghoa Medan yang lebih suka memakai istilah Tionghoa, maka tesis ini menggunakan istilah Tionghoa.


(22)

WNI keturunan Tionghoa di Indonesia mumnya berasal dari tenggara China. Mereka termasuk suku-suku:

(a) Hakka, (b) Hainan, (c) Hokkien, (d) Kantonis, (e) Hokchia, dan (f) Tiochiu.

Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara China memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di Daerah-daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Hakka tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka- Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura. Hainan tersebar di Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Manado. Suku Hokkien tersebar di Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Riau.

Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari


(23)

Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.

Menurut penjelasan Monalisa Agustinus dalam tesisnya “Orang Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia” bahwa orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik) yang ada di negeri China.Umumnya mereka berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang sangat terpencil daerah-daerahnya. Menurut seorang Antropolog ternama, Puspa Vasanty, setiap imigran Tionghoa ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing bersama dengan bahasanya. Para imigran Tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dagang orang Tionghoa ke seberang lautan. Orang Hokkian dan keturunannya telah banyak berasimilasi dengan orang Indonesia di Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon. Kantonis tersebar di Jakarta, Makassar dan Manado. Hokchia tersebar di Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Tiochiu tersebar di Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang), (repository.usu.ac.id/bitstream/.../Chapter%20II.pdf).

2.3. Budaya Tionghoa Tentang Orang Tua.

Budaya Tionghoa sangat dipengaruhi oleh filsafat Konfusianisme dan Taoisme. (web.budaya-tionghoa.net).

Alasan mengapa Konfusianisme dipilih menjadi filsafat negara Dinasti Han adalah:


(24)

1. Imbas balik dari tekanan Qin Shihuang atas Konfusianisme, kebencian rakyat atas rezim Dinasti Qin merupakan salah satu faktor penting mengapa Konfusianisme lebih dapat diterima daripada aliran lainnya, macam Legalisme yang dianut oleh Qin Shihuang dan Taoisme yang lebih merupakan nilai spiritual. Padahal, kaisar Han yang meletakkan dasar Konfusianisme sebagai filsafat itu seluruhnya sadar atau tidak sadar menganut legalisme dalam gaya pemerintahan mereka.

2. Konfusianisme lebih sekular, ritual-ritual dalam Konfusianisme sebenarnya bersifat sekular, tak ada kaitannya dengan nilai religius. Itu makanya banyak yang berpendapat Konfusianisme bukan agama dan tidak akan pernah menjadi agama.

3. Konfusianisme mengatur etika bagaimana hubungan antar manusia seharusnya diamalkan. Bagian ini kurang jelas dalam ajaran Taoisme.

4. Konfusianisme mementingkan pendidikan dan kaum terpelajar. Ini klop dengan sistem ujian negara yang kemudian diberlakukan untuk merekrut pejabat negara di zaman kekaisaran dulu.

Kira2 faktor di ataslah yang menyebabkan Konfusianisme lebih dipilih menjadi filsafat dasar negara oleh kekaisaran Tiongkok selama 2200 tahun. Buddhisme belum populer dan merakyat di masa Han, sewaktu Dinasti


(25)

Tang-pun, walau Buddhisme dianggap sebagai agama negara, Konfusianisme tetap jalan terus sebagai filsafat negara.

Agama dan filsafat beda tipis, tergantung bagaimana cara seseorang mengamalkan dan memandangnya.

(http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20447

Dalam filsafat Konfusianisme, berbakti (Chinese: Xiao) adalah kebajikan menghormati

orang tua dan leluhur. Bagi Konfusius, berbakti tidak hanya kesetiaan buta kepada orang tua. Dalam melayani orang tuanya, anak yang berbakti menjunjung mereka dalam kehidupan sehari-hari, ia membuat mereka bahagia sambil merawat mereka, dia mengurus disaat cemas mereka dalam keadaan sakit, ia menunjukkan kesedihan besar atas kematian mereka, dan ia mengorbankan kepada mereka dengan kesungguhan. Lebih penting daripada norma-norma xiao adalah norma-norma ren (kebajikan) dan Yi (kebenaran).

Dalam Keluarga, Berbakti Kepada Orang Tua dicontohkan dalam kalimat seperti :

qīn ǒu y , yào xiān cháng

bila orang tua mengalami penyakit , obat terlebih dahulu dirasakan

zhòu yè shì , bù lí chuáng

(http://blog.budaya-tionghoa.net/kisah/2012/01/16/ketika-orang-tua-sakit/#.UQc3oPLNTFw)

Sepanjang hari sepanjang malam menjaga , tidak berpisah dari ranjang Ketika orang tua sakit, rasakan dulu obatnya di ujung lidah sebelum memberikan obat itu kepada mereka; Rawat dan jagalah mereka sepanjang hari, jangan tinggalkan mereka sendirian.

Tionghoaa tradisional meyakini bahwa berbakti adalah akar perilaku yang baik dan tanpa hao, anak-anak akan memberontak, tidak jujur dan tidak disiplin. Dengan belajar berbakti akan


(26)

menanamkan pentingnya menjaga perdamaian dan harmoni dalam keluarga, menegakkan perdamaian dan harmoni dalam masyarakat dan negara, karena keluarga merupakan unit utama dari masyarakat dalam budaya Tionghoa.

Namun, Xiao memiliki konotasi lain dalam kebudayaan tradisional Tiongkok. Ini berkaitan dengan perbudakan orang tua seseorang dan tugas anak untuk melanjutkan garis keturunan keluarga dengan memproduksi keturunan. Hal ini juga mengacu pada pemujaan leluhur dan penghormatan bagi semua orang yang lebih tua dari dirinya sendiri, cinta untuk saudara seseorang yang lebih tua dan perilaku yang baik agar tidak membawa aib dan malu keluarga.

2.4. Keluarga

Keluarga

Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejuml

adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga)

individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan, (Depkes RI,1998 dalam Santun S dan Agus Citra D, 2008).

Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubunga dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suat


(27)

Terdapat dua pilihan bagaimana untuk merawat lansia. Lansia dapat dirawat di oleh keluarganya atau dapat juga dirawat di tempat yang kita kenal sebagai

Nilai kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin menjadi salah satu alasan mengapa perawatan lansia. Mengirim rumah jompo dianggap sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekstra lansia tersebut mereka mempekerjakan seorang perawat untuk merawat orangtuanya di rumah.

2.4.2. Peran Keluarga Ideal dalam Merawat Orang Tua menurut Etnis Tionghoa.

Menurut tradisi Tionghoa kuno, bahwa tanggung jawab merawat orang tua terletak di pundak anak lelaki terbesar, dan jika seseorang sanak saudara tidak menikah, maka tanggung jawab sanak saudara yang harus merawat orang tua tersebut. Hal ini berlaku mutlak di zaman dulu. Sehingga di zaman dulu, orang-tua di masyarakat Tionghoa menduduki posisi paling tinggi dalam keluarga. Dan tugas menantu dari anak lelaki pertama yang harus bertanggung jawab membantu suami merawat orang-tuanya. Walaupun bagi kalangan orang yang mampu menggaji pembantu (istilah dulu dayang-dayang), tetapi anak dan menantu tetap wajib mengawasi langsung keperluan dan perawatan orang-tuanya.


(28)

2.4.3. Keluarga menurut Tradisi orang Tionghoa Tradisional.

Budaya tradisional orang Tionghoa menurut adat istiadat Tionghoa ada beberapa kriteria antara lain, (http://weber.ucsd.edu/~dkjordan/chin/hbfamilism-u.html)

a. Keluarga

Definisi dari Keluarga tradisional Tionghoaa, atau Jia (sehari-hari: Jiating), disebut "chia" oleh penulis Inggris. Beberapa dari defenisi tersebut yaitu; patrilineal, patriarkal, prescriptively virilocal, kelompok kekerabatan, dan berbagi anggaran rumah tangga umum. .

1.Patrilineal

Istilah ini berarti bahwa keturunan dihitung melalui laki-laki. Jadi seseorang adalah bukan keturunan dari kedua ibu dan ayah. Jika penguasaan warisan keluarga adalah dari keanggotaan seseorang dari ayah. China ekstrim berpendapat bahwa seorang wanita cukup eksplisit dihapus dari keluarga kelahirannya (nya niángjiā ) dan berafiliasi dengan keluarga

suaminya (pójiā ), ini adalah transisi yang selalu sangat jelas dilambangkan dalam adat perkawinan lokal, meskipun ada variasi yang berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya.

Penghormatan telah dibayarkan kepada leluhur (zǔ xiān). Dalam nenek moyang kepercayaan orang Tionghoa lebih berprilaku hidup untuk hormat (biasanya dilihat sebagai penyajian dengan makanan kurban, secara harfiah memberi makan), dan jika karena kegagalan untuk mempunyai keturunan (atau, jika mengadopsi) keturunan laki-laki dianggap sebagai perilaku tidak bermoral atau, jika disengaja, dianggap sebagai suatu kemalangan besar. Dalam agama populer, orang mati tanpa keturunan laki-laki untuk menjaga mereka cenderung dianggap sebagai hantu berpotensi berbahaya. Di dalam hidup sehari-hari, orang yang berusia dan jika sudah saatnya untuk menjadi orang tua, tetapi tanpa anak-anak cenderung dipandang rendah.


(29)

Istilah ini berarti bahwa keluarga adalah hirarki terorganisir, dengan kewenangan yang dilembagakan utama yang dipegang oleh laki-laki yang paling senior, yang dianggap bertanggung jawab atas pengelolaan tertib keluarga.

Tidak ada dua anggota keluarga Tionghoa yang sama dalam wewenang keluarga. "Sebuah negara tidak bisa memiliki dua raja," pepatah lain yang banyak dikutip adalah, "atau keluarga dua kepala" (Guo wu er jun, Jia Wu ER Zhu 国 无二 君, 家 无二 主.), artinya antara lain

(1) generasi senior lebih unggul dari generasi junior, (2) orang tua lebih unggul dari yang lebih muda, dan

(3) laki-laki lebih unggul daripada wanita. ("Pria tinggi, perempuan rendah" - Nan Zun, nǚ BE 男尊女卑 ).

Secara normatif (yaitu, dalam hal apa yang dianggap kebanyakan orang sebagai bentuk yang ideal), keluarga akan dipimpin oleh seorang pria yang lebih tua dan / atau dari generasi yang lebih senior daripada orang lain. Namun, apapun penghormatan karena orang tua atau generasi tua, jika itu adalah pilihan antara seorang pria dewasa dan ibunya yang janda, dapat dikatakan itu adalah orang yang menjadi kepala rumah tangga.

Dalam praktek yang sebenarnya, tidak ada sistem keluarga dikenal dimana anggotanya tidak memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan kolektif dan pengambilan keputusan, dengan pengetahuan mereka diferensial, perspektif, dan keterampilan. Jadi patriarki adalah kekuasaan dan

otoritas yang berada pada laki-laki, seperti di ayah dari keluarga. Kewenangan tersebut kemudian berpindah dari ayah ke anak melalui generasi, dan laki-laki, pada umumnya, kontrol pengambilan keputusan.

Hirarki keluarga sangat tegas dilambangkan dalam konsep xiao 孝 (sehari-hari: Xiaoshun 孝顺) ". subordinasi berbakti", yang biasanya diterjemahkan "berbakti," tetapi lebih tepat adalah untuk menghindari jika muncul kehendak bentrok, diharapkan (dan hukum ditegakkan) bahwa


(30)

kehendak keluarga yang unggul harus menang atas kehendak keluarga rendah. Hukum adat mengadakan pembangkangan anak-anak untuk orang tua untuk menjadi pelanggaran besar, dan pembangkangan seorang putri-di-hukum untuk orang tua mertua nya alasan untuk perceraian. Duka atas kematian orang tua dianggap jenis terdalam dari kesedihan, dan dilakukan untuk periode panjang berkabung. Sebaliknya, di beberapa daerah juga dianggap tidak pantas untuk berkabung atas kematian seorang anak, karena anak telah terbukti tidak berbakti yang sangat dalam artinya.

Kisah pengorbanan heroik dalam mendukung orang tua seseorang adalah yang paling umum dan paling penting dari cerita moral Tionghoa dan dianggap paling penting dan cocok untuk pendidikan anak-anak.

3. Prescriptively viriloca

Istilah ini berarti bahwa ada pengharapan kuat yang dipegang adalah bahwa pasangan yang baru menikah harus hidup dengan keluarga pengantin pria.

Ini dianggap ideal untuk semua orang dalam keluarga untuk menikah dan membawa istri mereka untuk hidup di perkebunan keluarga dan untuk semua wanita yang lahir di keluarga untuk menikah dan pergi meninggalkan rumah untuk hidup dengan suami mereka. Perubahan keluarga tentu saja peristiwa yang menentukan dalam kehidupan seorang wanita, dan secara tradisional adalah kesedihan besar di masa remajanya meninggalkan rumahnya, hanya kadang-kadang dapat diatasi dengan rasa petualangan atau kegembiraan tentang asumsi status barunya untuk menikah. Dibeberapa bagian barat China ada tradisi ratapan musik perempuan sampai hari-hari menjelang pernikahan dapat dirayakan dengan sesi hati-hati terstruktur dan menangis. Ritual ini melibatkan pengantin dan teman-teman yang belum menikah atau adik perempuan..

Kadang mungkin disekitar 20% dari semua pernikahan pengantin pria yang ikut untuk tinggal dengan keluarga istri. (Praktek ini disebut "uxorilocality," dari kata uxor Latin "istri").


(31)

keluarga istri hanya memiliki anak perempuan, dan anak perempuan ini diterima sebagai pengganti seorang putra, kadang-kadang si menantu laki-laki mengubah nama keluarganya (yang merupakan tindakan tercela /tidak berbakti terhadap orang tua sendiri, jika orang tua pengantin laki-laki masih hidup) atau kadang bisa lebih menjanjikan bahwa anak pertama yang lahir pernikahan akan mengambil nama ayah sang istri.

Karena uxorilocality memecahkan adat budaya untuk virilocality, itu dianggap sebagai

pilihan terakhir dan suami uxorilocal, apa pun prestasi pribadi mereka, cenderung dilihat dengan

kecurigaan dan cemoohan. Sebuah pernikahan jika uxorilocal diremehkan sebagai dǎozhù Miao 倒

住 苗, dan seorang pria yang menikah uxorilocally disebut sebagai "suami berlebihan" (zhuìxù

赘婿 ),

4. Kekerabatan Kelompok

"Kekerabatan" bagian ini berarti bahwa anggota keluarga yang terkait genealogis, yaitu baik yang memiliki nenek moyang yang sama atau dengan menikah. "Kelompok" bagian ini berarti bahwa mereka telah mengetahui batas-batas dan kegiatan bersama atau sumber daya satu sama lain dan bahwa mereka tidak berbagi dengan orang luar.

Sebuah rumah tangga termasuk siapa pun orang yang tinggal di gedung yang sama, bisa termasuk mungkin penyewa, pelayan, magang, kadang-kadang seorang imam penduduk atau siapa pun, tidak dikatakan sebagai anggota rumah tangga.

Sama seperti rumah tangga dapat menggabungkan orang-orang yang bukan bagian dari keluarga, yang dapat menggabungkan orang-orang yang bukan bagian dari rumah tangga. Banyak orang Tionghoa di sepanjang sejarah telah hidup jauh dari keluarga untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Pemisahan pendek mungkin melibatkan hidup selama musim panas di sebuah gudang kecil untuk melindungi ladang dari pencurian air irigasi, misalnya bepergian di pedesaan


(32)

sebagai penjual. Pemisahan lagi mungkin terjadi jika anggota pergi keluarga untuk menjadi tentara atau bisa jadi juga pergi merantau untuk belajar atau untuk mendirikan usaha di lokasi lain..

Keanggotaan dalam keluarga kadang-kadang diberikan untuk orang yang diadopsi. Dalam kasus dimana beberapa keluarga tidak memiliki anak, Adopsi anak seorang kerabat dekat mungkin dilakukan, meskipun ada variasi yang luas antara keluarga dalam sejauh mana anak benar-benar berasimilasi kedalam kehidupan keluarga. Sering seorang anak mungkin diadopsi dari seorang kerabat jauh. Disebagian besar wilayah diperiode paling lama dianggap tidak diinginkan untuk mengadopsi anak dari keluarga yang tidak berhubungan, tetapi praktik itu sebenarnya tidak berarti jarang, bahkan itu dianggap menguntungkan.

Berbeda lagi bagi sesame teman yang pada usia yang sama berniat untuk bersumpah setia satu sama lain, kejadian ini yang membawa mereka kedalam hubungan persaudaraan disumpah (atau kadang terjadi juga persaudaraan tidak disumpah). Secara teori dan kadang-kadang dalam praktek, aliansi tersebut dihormati oleh keluarga sebagai menciptakan ikatan keluarga. Meskipun tidak pernah sepanjang sejarah asimilasi saudara angkat benar-benar cukup untuk mengubah silsilah resmi.

5. Berbagi Anggaran Rumah Tangga Umum

Ini berarti bahwa harta, pendapatan dan biaya dari semua anggota keluarga dikumpulkan dan keputusan tentang distribusi sumber daya adalah bisnis yang sah dari semua anggota keluarga dan akhirnya diambil melalui struktur otoritas patriarkal keluarga.

Dapat dikatakan bahwa anggaran umum adalah salah satu karakteristik pendefinisikan paling penting dari keluarga Tionghoa. Salah satu efek dari kebiasaan ini adalah untuk menentukan siapa yang masuk atau keluar dari sebuah keluarga dengan cara lain selain kekerabatan. Kekerabatan membuat seseorang menjadi calon anggota keluarga. Namun kerabat dekat dapat menjadi keluarga yang berbeda jika keluarga telah memutuskan untuk berhenti berbagi anggaran.


(33)

Hal ini dimungkinkan untuk anggaran keluarga yang sama untuk digunakan bersama oleh sebuah keluarga yang bergaqbung dalam beberapa rumah tangga. Bisa dibayangkan sebuah keluarga dengan beberapa anggota yang tinggal di sebuah desa pertanian dan lain-lain yang tinggal di toko mereka di sebuah kota kecil, misalnya. Di zaman modern, keluarga Tionghoa seperti telah dipelajari bahwa yang memiliki anggota yang tinggal di beberapa negara yang berbeda, tetapi semua tetap berbagi anggaran umum.

Berbagi anggaran adalah cara yang ketat ekonomi melihat apa keluarga bersama, tapi berbagi juga menyentuh bidang selain ekonomi. Di bidang keagamaan, keluarga cenderung untuk berbagi keberuntungan. Sebuah keluarga di mana satu anggota adalah mendapat sakit kronis sementara yang lain memiliki kebiasaan buruk dan yang lainnya cenderung untuk melakukan investasi buruk mungkin berusaha untuk memperlakukan semua ini sebagai gejala dari sakit tunggal, ketidak-harmonisan dari keluarga secara keseluruhan.

Pemisahan keluarga (fēnjiā 分家) merupakan peristiwa penting. Ketika anggota keluarga memutuskan bahwa telah cukup mandiri secara ekonomi, mereka akan menyetujui pembagian sumber daya keluarga dan penciptaan keluarga baru dengan finansial terpisah. Biasanya ini terjadi setelah kematian dari generasi senior yang telah meninggalkan dua bersaudara dan istri-istri mereka dan anak-anak sebagai unit ekonomi yang umum. Meskipun mungkin ada kasih sayang alami antara saudara-saudara, perbedaan produktivitas ekonomi dan perbedaan dalam jumlah anak-anak mereka sering menyebabkan argumen yang paling mudah diselesaikan dengan divisi keluarga. Seorang mediator biasanya akan menjadi pihak ketiga simpatik tetapi tertarik, secara tradisional diangkat dari saudara wanita yang lebih tua, dan biasanya akan melakukan kontrak perjanjian untuk tertulis. Masing-masing unit baru cenderung disebut "segmen" (Fen 份). (http://weber.ucsd.edu/~dkjordan/chin/hbfamilism-u.html).


(34)

Karena nilai budaya ditempatkan pada kesatuan keluarga, ukuran, kerjasama, dan saling mendukung, divisi keluarga selalu dianggap sebagai peristiwa malang. Keluarga sebagai unit ekonomi dilambangkan oleh kompor dan pada divisi unit baru akan selalu menjaga kompor terpisah, bahkan jika itu berarti seseorang memasak di kompor arang kecil. Sementara di tempat lain semua orang terus menempati rumah yang sama.

Anggota keluarga yang sama kadang-kadang mungkin hidup terpisah, kadang-kadang selama beberapa dekade pada suatu waktu tertentu. (Sebuah contoh misalnya mungkin anggota keluarga pergi ke sekolah atau bekerja di wilayah yang berbeda.) Pasangan menikah mungkin juga hidup terpisah. Ketika pernikahan didefinisikan oleh tugas-tugas petugas dan bukan emosi nya, ini mungkin lebih mudah bagi masyarakat dengan stres yang tinggi pada cinta romantis dalam pernikahan, dan bahkan saat ini pasangan Tionghoa kadang-kadang bertahan berpisah namun tampak heroik atau aneh bagi orang-orang dibeberapa masyarakat lainnya.

Karena keluarga adalah unit kepemilikan (bahkan sampai ke tingkat berbagi sikat gigi), tidak ada yang cukup berhubungan dengan warisan. Sebuah perdebatan penting muncul pada awal abad XX mengikuti gaya Barat yang diilhami hukum Barat yang berusaha untuk menjamin warisan untuk perempuan maupun laki-laki. Hal ini ditentang keras oleh banyak tradisi berdasarkan budaya Tionghoa, yang berpendapat bahwa tidak hak perempuan atas warisan, dan bahwa perempuan yang diatur dalam skema tradisional bahwa mereka adalah anggota keluarga dari segmen yang suami mereka milik. Salah satu efek dari beralih dari kepemilikan warisan dari individu dan termasuk anak perempuan menikah sebagai pewaris sah dari orang tua mereka secara logis akan menjadi segmentasi yang lebih besar lahan menjadi ladang yang lebih kecil dengan kepemilikan yang berbeda. (Seperti kejadian sebenarnya berlangsung, lahan tunduk pada skema redistribusi lainnya sepanjang abad XX, sehingga masalah warisan cenderung surut ke latar belakang.)


(35)

Pemujaan leluhur adalah tugas pokok dari setiap Tionghoa, dan ini diikuti garis silsilah. Dengan demikian divisi keluarga tidak berpengaruh pada kebutuhan untuk terlibat dalam pemujaan leluhur. Pada divisi keluarga berbagi sedikit lebih besar dari properti yang diberikan satu pihak (secara tradisional putra tertua jika ada lebih dari satu) dan masing-masing membantu menutupi biaya pengorbanan leluhur dan batu nisan secara leluhur bersama. Bila memungkinkan, diusahakan semua anggota keluarga dapat berkumpul di altar garis senior pada kesempatan yang membutuhkan pemujaan leluhur.

Foto penghormatan leluhur juga diletakkan di lokasi makam, dan festival Qingming (清明) (biasanya jatuh pada tanggal 5 April kalender Tionghoa) dikaitkan dengan makam "sweeping"

diikuti dengan pembakaran dupa penyajian makanan kurban atau hadiah lain kepada leluhur. (Makanan korban kemudian dikonsumsi oleh anak cucu dalam pesta makam.

Idealnya keluarga termasuk garis keturunan adalah laki-laki dan istri-istri mereka dan anak-anak. Istilah Tionghoa biasa hanyalah "keluarga besar" (Dajia /大家, sehari-hari: dàjiātíng 大家庭). Ini lebih tepat daripada penggunaan populer dari "keluarga" dalam bahasa Inggris, tapi agak kurang tepat daripada "keluarga" istilah bahasa Inggris seperti yang digunakan oleh sosiolog, yang kadang-kadang ditempatkan kontras dengan "membendung keluarga" untuk memberikan teknis istilah untuk lintas-budaya aplikasi.

(http://weber.ucsd.edu/~dkjordan/chin/hbfamilism-u.html).

Seperti kita ketahui bahwa orang-orang cenderung sentimental tentang hal itu, keluarga Tionghoa yang ideal mungkin akan dipimpin oleh seorang patriark tua dan istrinya, dan termasuk lima anak-anak mereka dan istri-istri mereka, dan anak-anak dari semua sanak saudara, termasuk mungkin beberapa cucu dewasa yang sudah memiliki istri, tetapi tidak termasuk setiap anak perempuan yang telah menikah keluar dan menjadi anggota keluarga lainnya.


(36)

Karena penduduk Tionghoa meningkat hanya sangat sedikit atau tidak sama sekali menurut sebagian besar sejarah Tionghoa, jumlah rata-rata anak-anak pasangan menikah yang ternyata hanya sedikit lebih dari satu. Ketika ada anak kedua, ada tekanan yang besar untuk memberikan anak itu bagi seorang kerabat yang tidak memiliki anak sama sekali atau untuk memberikan dia sebagai suami uxorilocal (dan ahli waris) ke teman yang memiliki anak. Jadi dalam banyak kasus,

sebuah keluarga tidak mempunya banyak saudara.

Sepanjang sebagian besar sejarah Tionghoa usia rata-rata pada kematian cukup rendah, dan bagi yang berulang tahun keenam puluh satu adalah peristiwa yang sangat dikagumi dan perlu dirayakan. Dengan demikian, adalah perasaan senang luar biasa bagi orang tua hidup untuk melihat cucu-cucu mereka tumbuh dewasa. Untuk alasan ini, meski tiga generasi keluarga adalah umum, empat generasi keluarga adalah langka, dan lima generasi keluarga itu yang benar-benar luar biasa. (Dalam pemakaman orang tua, adalah konvensional untuk menulis jumlah generasi mereka telah dilahirkan pada lentera pemakaman, biasanya menambahkan beberapa generasi untuk membuatnya terdengar lebih baik. Lima adalah nomor umum).

Oleh karena itu, meskipun keluarga Tionghoa yang secara normatif diperpanjang, dan meskipun banyak orang Tionghoa menghabiskan setidaknya beberapa tahun tinggal di keluarga kompleksitas yang cukup besar, adalah tidak biasa bagi keluarga agar sesuai dengan citra ideal dari kelompok yang benar-benar besar kerabat yang tinggal bersama dan berbagi anggaran.

Berarti ukuran keluarga di desa-desa yang paling banyak adalah antara empat dan lima orang. Perbedaan harus dibuat antara:

(1) garis keturunan, (2) keturunan, dan

(3) klan (yang dalam kasus Tionghoa, lebih nyaman disebut kelompok marga). Di Tionghoa, ketiga entitas dapat disebut Zu 族 (sehari-hari jiāzú 家族), yang cenderung


(37)

menambah kebingungan. (Perhatian:.. Suku kata zu 族 yang mengacu pada sekelompok keturunan berbeda dari suku kata zǔ祖 yang mengacu pada leluhur penulis Inggris yang tidak menandai nada kadang-kadang sampai tertukar).

Dalam setiap kasus, konsep dasarnya adalah bahwa seseorang (pria atau wanita) adalah "diturunkan" dari suksesi nenek moyang. Meskipun hal ini biasanya berarti menjadi anak biologis atau putri orang tua, adalah mungkin untuk diadopsi ke dalam (atau dikeluarkan dari) garis keturunan, apa yang menjadi masalah adalah klasifikasi sosial, bukan biologi.

Keturunan Tionghoa yang patrilineal, yang berarti bahwa secara tradisional keturunan dihitung melalui link laki-laki saja (dengan cara yang sama yang nama keluarga secara tradisional turun hanya melalui link laki-laki di masyarakat). Jika seseorang Tionghoa, nenek moyang dilihat dari keturunan ayah keluarga itu. Meskipun istri dari nenek moyang laki-laki dianggap juga sebagai nenek moyang, ibu seseorang itu ini adalah ibu, misalnya, bukan nenek moyang dalam sistem keturunan patrilineal. Dalam silsilah tradisional Tionghoa menikah pada wanita, bahkan ketika mereka memproduksi anak-anak, kadang-kadang dicatat dengan hanya nama. Wanita bernama Wang, Wanita bernama Chen, dan sebagainya.

Salah satu ciri khas keturunan patrilineal tradisional Tionghoa adalah bahwa seorang wanita dipernikahan, diasumsikan untuk dihapus dari garis keturunan sendiri (kecuali untuk pengakuan orang tuanya langsung dan kakek-nenek) dan berasimilasi ke dalam garis keturunan suaminya. (Dalam sistem keturunan patrilineal yang paling terkenal di seluruh dunia, orang tetap afiliasinya sepanjang hidup Tionghoa tidak biasa dalam hal ini).

6. Sebuah Line patrilineal Descent (Patriline)

Definisi sebuah garis keturunan patrilineal adalah garis ayah dan anak dari semua nenek moyang laki-laki . Secara teori bisa dianganggap sebagai kembali ke global atom, atau mulai


(38)

dari nenek moyang juga bisa menganggapnya sebagai turun temurun melalui anak-anak laki-laki, dan keturunan lagi dari anak-anak mereka, dan sebagainya.

Ukuran merupakan salah satu ciri dari garis keturunan adalah bahwa hanya ada satu orang per generasi ketika menghitung (karena seseorang hanya memiliki satu ayah), tapi mungkin ada banyak orang per generasi melihat ke bawah (karena seseorang mungkin memiliki banyak putra).

Meninggal merupakan ciri lainnya adalah bahwa semua generasi leluhur yang berhasil mempunyai anak adalah dari mana generasi itu datang dan turun ke generasi berikutnya atau mungkin tidak mempunyai anak laki-laki: sebagai garis keturunan kemungkinan kehilangan garis keturunan di masa yang akan datang.

Agunan Lines menyatakan, karena setiap orang, leluhur atau keturunan, mungkin memiliki saudara, dan karena saudara dari nenek moyang atau bukan dari nenek moyang, ada sejumlah baris "jaminan" yang terdiri dari keturunan mereka. Anak kakak ayah seseorang (sepupu patrilateral paralel, dalam antropologi) adalah jaminan bagi seseorang karena seseorang yang memiliki leluhur (kakek.)

Sebuah Lineage patrilineal(Patrilineage)

Definisi Patrilineage adalah kelompok yang terorganisir dari keturunan nenek moyang

tunggal tertentu. Leluhur disebut sebagai nenek moyang "apikal" karena ia berada di "puncak" dari silsilah dimana keanggotaan keturunan ditentukan, dan link keturunan untuk orang ini dikenal (atau tetap ditulis dalam silsilah di mana mereka dapat mendongak).

7. Eksogami.

Orang Tionghoa, seperti dalam sistem keturunan lainnya, dianggap sebagai incest untuk

yang menikah (atau kawin dengan) anggota dari garis keturunan yang sama. 8. Perempuan & Satwa.


(39)

Bagi orang Tionghoa seorang wanita merupakan anggota dari garis keturunan ayahnya saat lahir, tetapi pada pernikahan dia dipindahkan ke garis keturunan suaminya. Sebagaimana dicatat, lintas-budaya ini adalah pengaturan yang sangat tidak biasa. Salah satu efek dari itu adalah bahwa hal itu biasa bagi semua anggota keluarga yang sama untuk menjadi anggota dari garis keturunan yang sama. (Dalam sistem keturunan yang paling dikenal diseluruh dunia, anggota keluarga yang sama berasal dari garis keturunan yang berbeda.) Perempuan biasanya tidak berpartisipasi sangat signifikan dalam ibadah keturunan, dan tingkat ketertarikan mereka dalam garis keturunan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki (meskipun mereka memasak makanan untuk makam). (http://weber.ucsd.edu/~dkjordan/chin/hbfamilism-u.html).

Satwa dan Distribusi Geografis adalah fitur opsional dari struktur sosial Tionghoa. Meskipun setiap orang menurut definisi memiliki garis keturunan, kelompok keturunan diselenggarakan hampir universal dalam beberapa periode dan daerah (khususnya, selatan Kanton.) 9. Lineage Property.

Di mana harta dibagi menurut garis turunan . Dalam beberapa kasus jika ada lebih dari sebuah harta leluhur, atau beberapa bidang yang disewakan untuk memberikan penghasilan yang digunakan untuk menyembah nenek moyang bersama. Dalam kasus lain garis keturunan memiliki kepemilikan lebih besar, supaya mampu menanggung dana pinjaman, asuransi bencana, beasiswa mahasiswa, atau bahkan sekolah untuk kepentingan anggota keturunan.

10. Silsilah

Karena keanggotaan keturunan memiliki potensi manfaat, garis keturunan yang paling dipertahankan adalah silsilah tertulis, yang dimulai dengan leluhur di atas mereka dan kemudian dimasukkan semua baris yang diturunkan. Silsilah keturunan yang ditulis memungkinkan untuk menjadi sangat jelas tentang siapa yang berhak atau siapa yang tidak berhak atas manfaat keturunan.


(40)

Altar Leluhur Pemujaan merupakan kegiatan kolektif utama silsilah adalah pemujaan leluhur, dan selalu harus melakukan pemujaan leluhur. Banyak keturunan akan mempertahankan bahkan membuat secara sederhana sebuath "hall" (tang 堂) untuk tujuan ini, biasanya dengan

ketentuan untuk penyimpanan permanen papan nama leluhur. Prosedur yang paling umum adalah untuk anggota memindahkan papan nama dari altar keluarga ke ruang silsilah untuk papan nama leluhur yang semakin tua. Di beberapa daerah ada aturan umum tentang ini dimana papan nama selama lima generasi lama akan dipindahkan keluar dari rumah-rumah pribadi dan masuk ke aula kelenteng, misalnya.

Di daerah lain papan nama akan dipindahkan keaula setiap kali direhabilitasi. Dalam beberapa kasus anggota yang ingin menempatkan papan nama di aula akan membayar untuk mendapatkan hak istimewa, menyumbang biaya penghasilan dan pemeliharaan aula. Tidak jarang papan nama yang dibuat ulang atau dikonsolidasikan dengan persyaratan penutup (seperti "lima generasi") ketika dipindah ke aula.

b. Kelas sosial

Karena garis keturunan didasarkan pada kekerabatan dan karena garis keturunan yang berbeda dari leluhur di puncak leluhur, mungkin bernasib berbeda dengan berlalunya generasi, garis keturunan banyak silang-potong kelas-kelas sosial. Sampai-sampai anggota kaya cenderung untuk menyediakan sumber daya keturunan yang digunakan oleh warga miskin, hal ini cenderung untuk mendaur ulang kekayaan dan mengurangi perbedaan kelas sosial, tetapi juga berpotensi mengasingkan anggota kaya dari garis keturunan sebab organisasi-organisasi ini mulai menguras keuangan. "Anti-miskin" diusahakan dengan tindakan kadang-kadang termasuk pembayaran biaya supaya semua orang dapat menikmati manfaat penuh dari keturunan.


(41)

Pada waktu dan tempat dimana garis keturunan yang kuat, mereka kadang-kadang dibebankan oleh pemerintah dengan fungsi administratif lokal mulai dari pengumpulan pajak untuk penyelesaian sengketa atau pertahanan. Ada tradisi garis keturunan melengkapi dokumen silsilah mereka dengan " petunjuk keluarga " (Jiashun 家 顺), perintah moral yang diturunkan oleh anggota lansia kepada keturunan mereka, kadang-kadang dengan aturan untuk menjalankan bisnis keturunan, dan sering dengan instruksi umum pada kewarganegaraan dan perilaku moral.

Garis keturunan akan ikut merasa kehilangan muka jika anggota mereka terlibat dalam tindakan ilegal atau tidak bermoral dan mereka memiliki ketentuan untuk menghukum anggota yang bersalah dan jika perlu, dapat mengeluarkan anggota dan mencoreng nama mereka dari silsilah tertulis karena telah membuat malu keluarga dan leluhur.

11. Lineage Manfaat

Silsilah berusaha untuk menujang kesejahteraan anggotanya dan untuk itu mungkin harus dilakukan dengan mengorbankan non-anggota keluarga, konflik antara garis keturunan sudah tidak biasa atau jarang terjadi. Di daerah dan pada saat-saat ketika garis keturunan telah kuat, perang lokal telah menjadi hal yang hanya terjadi sesekali. Bahkan ketika kekerasan terbuka terjadi, ada kecenderungan untuk tinggal dengan silsilah-teman menjadi lebih nyaman, ketika ada terjadi ketegangan antar-keturunan. Hasilnya, bahkan sekarang ini, adalah adanya satu keturunan desa, atau desa-desa dimana penduduk kebanyakan adalah anggota dari garis keturunan yang dominan.

12. Lineage Divisi

Garis keturunan biasanya tidak bisa membagi, seperti keluarga, tapi karena nenek moyang pun bisa diambil sebagai leluhur di puncak dari garis keturunan baru, jika terjadi divisi keturunan adalah untuk kelompok kerja yang berkontribusi untuk bergabung dalam keluarga sebagai sumbangan dari garis keturunan baru akan dipusatkan pada tingkat rendah keturunan leluhur termasuk menentukan tempat "orang yang tepat" dan mengeluarkan orang yang dikecualikan "orang


(42)

yang salah." Ketika Lineage B dipusatkan pada leluhur di puncak genealogis lebih rendah daripada yang Lineage A (yaitu, ketika nenek moyang Lineage A adalah leluhur nenek moyang Lineage B), Lineage B dikatakan sebagai "cabang" (fang方) dari Lineage A. kosakata yang sama kadang-kadang digunakan dengan nama multi-rumah keluarga.)

a). Garis keturunan di abad XX.

Garis keturunan yang dimiliki, setidaknya dalam konsep, dirasakan lebih bergengsi (kecuali selama periode komunis), dan beberapa orang Tionghoa rela mengakui bahwa sistem ini tidak universal di China, meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan. Dalam banyak kasus, hal ini berasal dari garis keturunan membingungkan dengan klan (marga). Bahkan, "silsilah sistem" begitu rapuh pada saat Komunis berkuasa bahwa langkah-langkah resmi tidak ada yang perlu diambil untuk mengakhiri garis keturunan yang telah terorganisir seperti tetap. Setelah pemilikan kekayaan pribadi dibatasi, garis keturunan biasanya kehilangan basis keuangan mereka dan runtuh sendiri.

13. Clan A

Sebuah klan, sebagai istilah yang digunakan saat ini oleh para antropolog,

adalah keturunan wannabe. Artinya, itu adalah kelompok properti-holding yang terdiri dari

keturunan dari leluhur di puncak, tetapi rincian dari garis keturunan dari nenek moyang yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus leluhur jelas mitos dan dalam beberapa masyarakat nenek moyang yang bergabung bahkan mungkin yang bukan manusia.

b). Clans & Nama Jelas.

Di China, klan diciptakan atas dasar nama secara umum, biasanya menegaskan keturunan umum dari orang kuno atau fiktif dari nama itu.

Beberapa kelompok nama seperti itu dianggap eksklusif, mencerminkan dirinya sebagai cabang (fang) dari sebuah klan yang lebih besar secara imajinasi. Mereka juga mengecualikan


(43)

dari nama yang sama. Bagi klan yang sama dapat berpotensi berpartisipasi dalam setiap kegiatan. (Kebingungan dapat dihindari jika seseorang hanya panggilan entitas klan seperti "kelompok nama.").

14. Clan Manfaat.

Clan memberikan kegunaan dimana orang Tionghoa yang melakukan perjalanan jauh dari daerah asal mereka bisa menemukan kerabat jauh dan mendapatkan bantuan persediaan naungan hidup dari jika diperlukan. Dalam perluasan China dari utara Sungai Yangzi ke bagian selatan China, dan kemudian dalam migrasi orang Tionghoa dari China ke Asia Tenggara dan bagian lain dari dunia, sebuah perangkat saling membantu yang mendasar telah menjadi sebuah asosiasi atas dasar yang sama nama.

15. Clan Leluhur Pemujaan.

Meskipun pemujaan leluhur di puncak diduga terjadi pada klan, Jika berkurangnya catatan silsilah untuk dapat menghubungkan anggota lain dan cabang satu sama lain, untuk membuat data nenek moyang yang lebih spesifik, menyembah leluhur seperti data yang kurang jelas ini adalah kurang umum dilakukan (bahkan berpotensi memalukan dalam beberapa kasus), dan klan yang pasti berpusat pada perlindungan saling membantu dan berfungsi menanggung risiko bersama, dan jika jelas berasal dari garis keturunan lebih jelas maka lebih diutamanka pada pemujaan leluhur.

Tidak semua orang Tionghoa bisa hidup bersama dengan kelompok keluarga. Banjir, kebakaran, kelaparan, perang, kejahatan, wabah, maupun peraturan dari hukum pemerintah, sakit jiwa, dan pengabaian yang disengaja untuk melakukan adat istiadat sosial adalah semua alasan mengapa beberapa individu mungkin dibiarkan mengembara dunia tanpa ikatan keluarga.

Orang-orang di luar garis keluarga biasanya dipandang dengan campuran kasihan, kecurigaan, dan penghinaan.Mereka tidak mampu mencapai posisi keamanan ekonomi atau prestise


(44)

sosial, dan cenderung untuk hidup di lingkungan pinggiran masyarakat sebagai pelacur, pengemis, dan buruh harian lepas..

Pengecualian utama adalah untuk yang menggabungkan diri dengan dunia agama, terutama bagi agama Buddha. Seseorang mungkin mengambil sumpah agama Buddha (dan menerima bekas luka inisiasi dengan membakar dupa kerucut kecil di kulit kepala yang membuat sumpah sulit untuk membalikkan ke status sosial umum). Kelompok seperti ini dihapus dari keluarga asli mereka (jika ada) dan mereka selama-lamanya menjadi pendeta Buddha sebagai biarawan dan biarawati.

Seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang sepenuhnya disucikan menerima nama julukan shi(释), suku kata pertama dari nama lengkap dari Buddha Shakyamuni (Shìjiāmóuní / 释迦牟尼). Mereka mengambil resiko menawarkan "leluhur" penghormatan ke saluran ulama sebelumnya, dan pada gilirannya harus dihormati di kuil "leluhur" altar oleh garis keturunan yang berikutnya.

Ulama yang telah sepenuhnya disucikan, diizinkan untuk mengubah biara-biara, secara teori ulama akan membawa surat pensucian mereka supaya bisa dipasang ke kelompok biara kemanapun mereka pergi. Hidup tidak dianggap berpiknik bagi mereka, sebaliknya mereka diizinkan untuk tidak sendiri dan diberikan ikatan sumpah oleh otoritas mereka untuk ratusan pembatasan perilaku. Mereka biasanya bekerja keras di kebun biara atau pekerjaan keagamaan seperti membaca kitab suci. Namun mereka memiliki penghiburan bahwa mereka mendapatkan pahala agama, dan mereka jarang kelaparan.

Selain ulama yang disucikan, vihara juga adalah rumah bagi orang tidak menikah, anak yang terlantar, ditinggalkan orang tua, perempuan yang hidupnya berantakan, dan orang lain yang tidak mengambil sumpah sebagai biarawan, tapi tidak punya tempat lain untuk menetap (atau dalam beberapa kasus hanya lebih suka memilih suasana biara). Kategori-kategori yang paling penting adalah: Anak terlantar (dianggap sebagai "murid kecil" istilah umum xiǎo Shami / 小 沙弥 ).


(45)

Menikah, bercerai, dianiaya, atau wanita yang ditinggalkan, yang mengambil sumpah pisah dari rumah biasanya disebut zhāigū (斋 孤) atau biksuni, bagi "anak yatim vegetarian." Zhāigū

tidak diizinkan untuk mengubah biara-biara dan cenderung hanya ditugaskan untuk bekerja sebagai pembantu di kantor biara. Beberapa akhirnya memilih untuk mengambil sumpah penuh dan menjadi biarawati penuh.

Tidak semua tempat hunian biarawan dimaksudkan sebagai lembaga ortodoks. Prinsip-prinsip organisasi umum kadang-kadang dipelajari oleh masyarakat sektarian atau bahkan non-agama untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang (khususnya wanita) di luar sistem keluarga.

Biara kadang menjadi tempat tampungan, sebagai rumah sakit jiwa untuk yang cacat badan dan sakit jiwa, dan secara umum sebagai tempat penampungan bagi orang-orang tidak mampu merawat diri mereka sendiri. Dalam seluruh dunia, perawatan untuk orang-orang seperti dalam masyarakat pramodern adalah mengejutkan pemahaman modern, tapi orang Tionghoa Buddha melakukan apa yang mereka bisa lakukan, walaupun tidak banyak.

Pernah ada kasus di salah satu biara dan terlihat seorang "wanita gila" menakutkan yang mengalami kekerasan yang telah disimpan selama puluhan tahun dikurung dalam gubuk kecil yang

dibangun oleh kakak kandungnya. 16. Nilai.

Apakah orang di luar keluarga memiliki nilai yang sama tentang keluarga yang dimiliki Tionghoa lainnya? Satu studi berdasarkan wawancara pada tahun 1970 dengan bahasa Hakka pada biarawati dan pelacur di Taiwan menemukan bahwa pada umumnya mereka mengikuti tradisi Tionghoa umum tentang keluarga, dan mereka juga berbagi pandangan sosial umum dari diri mereka sebagai kegagalan tragis.


(46)

Dalam kebanyakan kasus kisah hidup mereka yang terlibat kemiskinan yang parah, kematian prematur, suami kasar, alkoholisme keluarga, dan sejumlah keadaan yang tak diinginkan lainnya. Wawancara yang sama secara kolektif sepertinya menyiratkan (tetapi tidak untuk menunjukkan) bahwa perempuan yang dulunya didorong untuk prostitusi mungkin telah cenderung

menjadi zhāigū di kemudian hari, (Hsiu-Kuen Fan Tsung 1.977 Moms, biarawati Dan Pelacur:

Alternatif Extrafamilial untuk Perempuan Desa di Taiwan Ph.D. disertasi, Antropology, UCSD)

17. Perkawinan

Sesuatu yang mengajarkan tentang sistem keluarga tradisional Tionghoa untuk mahasiswa di California tentang seksual dengan antusias diikuti kuliah oleh mahasiswa tanpa diminta.

(1) apakah bangsa Tionghoa tidak dapat dipaksa (mungkin dengan intervensi bersenjata) untuk berhenti menggunakan comblang dan

(2) apakah ada homoseksual alternatif untuk hidup bagi yang telah menikah.

Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah tidak bisa dan tidak ada, dalam halini berarti adalah sangat sukar untuk merubah akar kebudayaan yang sudah sangat mengikat lama dalam tradisi hidup orang Tionghoa.

18. Diatur Pernikahan

Pernikahan Tradisional Tionghoa bukanlah persatuan bebas dari dua orang dewasa muda untuk membangun rumah tangga baru. Sebaliknya hal itu dianggap sebagai idealnya kesatuan keluarga nama keluarga yang berbeda untuk tujuan memberikan keturunan salah satu dari mereka (pengantin pria) dan beberapa tingkat saling menguntungkan untuk keduanya. Untuk tujuan praktis, itu adalah gerakan seorang wanita dari keluarga kelahirannya (niángjiā 娘家) ke keluarganya tempat ia menikah dan asimilasi ke dalam keluarga yang menikahi dirinya sebagai anggota produktif secara ekonomi dari tempat keluarga dan ibu dari anak-anak suaminya. (Pentingnya hal ini menjadi perpindahan yang didramatisasi dalam prosesi rumit ritual-bertatahkan dari mempelai


(47)

wanita dan mas kawinnya ke tempat tinggal baru suaminya dengan proses yang menunjukkan pengantin wanita dengan baju adat pengantin dengan tertutup kain tipis menutupi muka pengantin wanita, yang dijemput dengan tandu tertutup kain bordir warna merah, diikuti oleh tandu sederhana dari mak comblang nya).

Jika kita berpikir tentang kendala struktural sosial ini, adalah lebih berguna kalau kita memikirkan pengantin wanita menikah menjadi seperti seorang “karyawan perusahaan” yang baru direkrut disbanding seperti menjadi pengantin di zaman modern. Seorang wanita dewasa sangat tergantung nasibnya pada orang tuanya atau orang lain yang cenderung menguntungkan diri sendiri dan berupaya untuk menemukan "pekerjaan" yang terbaik, dan keluarga yang "mempekerjakan" seorang mak comblang berusaha untuk mendapatkan "pekerja" terbaik yang tersedia. Seperti dengan segala sesuatu yang lain, keputusan terakhir tergantung dengan pengambil keputusan ditangan senior di setiap keluarga, meskipun dalam prakteknya kadang-kadang kedua orang tua mempelai pria lebih berpotensial dalam menentukan pilihan atau bisa juga pengantin memiliki suara, dan bahkan tak jarang orang-orang muda sendiri berani menyuarakan pendapatnya kepada penasehat .

Chinese teater, cerita rakyat, dan fiksi penuh dengan cerita perkawinan yang dilakukan oleh

orang-orang korban percintaan yang tidak dapat berkonsultasi dengan siapa pun. Itu mungkin sebagian besar fantasi, tetapi juga menunjukkan bahwa kita tidak harus membayangkan sistem sepenuhnya kaku.

Meskipun teman-teman dan hubungan terus-menerus harus diwaspadai terhadap pasangan baik bagi anak laki-laki maupun perempuan, kadang-kadang bantuan profesional diperlukan (terutama jika salah satu memiliki anak hanya sedikit), dan profesional comblang (méirén 媒人) adalah bantuan profesionalnya.


(48)

Dikisahkan seorang gadis yang memenuhi syarat disekitar tahun 1900 melayani teh ke mak comblang profesional, dengan dua orang tua cemas mencari di sebelah kanan. (Orang dengan punggung kepada kami lebih mungkin putra keluarga dari calon mempelai pria.) Artis yang merangkap juga profesi sebagai mak comblang profesional, yang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang berkualitas tinggi, dan karenanya kemungkinan untuk mengetahui pasangan yang lebih berpotensi dan yang layak. Meskipun sering dicurigai berbohong kepada klien dalam kepentingan mempercepat proses perjodohan, comblang juga kadang-kadang dirayakan, yang paling terkenal dan paling simpatik dari mereka menjadi Hóngniáng (红娘), yang namanya telah menjadi terkenal sebagai comblang yang digunakan saat comblang melakukannya sebagai profesi sehari-hari . 19. Perceraian

Akhir hukum kerajaan keluarga, berdasarkan aturan sebelumnya moral dan hukum, disediakan tujuh alasan untuk perceraian dan tiga perlindungan terhadap perceraian, yang mudah untuk memahaminya dengan contoh disebutkan dari sebuah perusahaan mempekerjakan seorang pekerja. Pada intinya. anggota keluarga baru harus membuktikan dirinya sebagai seorang pemain tim yang berharga, mampu melakukan pekerjaan yang direkrut, dari bergaul dengan anggota lain dari keluarga, dan memajukan (atau tetap tidak menghalangi) kepentingan keluarga. Ketika berada di keluarga untuk jangka waktu yang wajar, diikat dengan percobaan keras dan tidak bisa lagi dipisahkan.

Tujuh Alasan untuk Perceraian (qi Chu 七出). Sebagaimana diutarakan dalam UU Imperial. Dilihat dari sudut pandang perusahaan modern yaitu:

1) Dia membangkang kepada kedua orang tua mertua (Bu shun fùmǔ / 不顺 父母) Dia membangkang terhadap kekuasaan.

2) Dia gagal untuk melahirkan seorang putra.


(49)

3) Dia adalah cabul dan vulgar.

4) (Yínpì 淫 僻) Dia menarik komentar yang tidak menguntungkan dan menyinggung klien. 5) Dia iri.

6) (Jíwù 嫉妒) Dia menabur perselisihan di antara staf. 7) Dia khianat sakit

8) (EJI / 恶疾) Dia tidak mampu melakukan tugasnya yang ditugaskan. 9) Dia banyak bicara.

10)(Duōkǒushé 多 口舌) Dia mengungkapkan rahasia perusahaan kepada pihak luar. 11)Dia cenderung pencuri.(Qièdào 窃盗).

2.4.4. Perbandingan Keluarga Budaya Tionghoa dengan Budaya Lain.

Pada umumnya konsep keluarga semua suku di dunia menganut system patrilineal, kecuali ada

lima suku lain didunia yang menganut system matrilineal.

“Sistim garis keturunan dari ibu (matrilineal) hanya dianut oleh lima suku bangsa di dunia,

sedangkan ratusan ribu suku bangsa lainnya menganut garis keturunan dari ayah (patrilineal). “

(http://www.merdeka.com/pernik/garis-keturunan-matrilineal-hanya-dianut-lima-suku-di-dunia-2ovaq0u.html).

Salah satu suku bangsa penganut matrilineal adalah Minangkabau yang berlaku hingga kini,

demikian rangkuman pendapat fungsionaris Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau (LKAAM) Sumbar dan peneliti dari FKIP Universitas Bung Hatta (UBH) dalam diktat materi ajar Budaya Alam Minangkabau (BAM) di Padang.

(http://www.merdeka.com/pernik/garis-keturunan-matrilineal-hanya-dianut-lima-suku-di-dunia-2ovaq0u.html).

Selain suku Minangkabau, sistim matrilineal juga dianut oleh sekelompok kecil masyarakat suku perkampungan Danau Nyana di Afrika, suku Iroquois Indian Amerika, suku Negeri Sembilan Malaysia dan suku Babemba di Rhodesia India.


(50)

Perbedaan lain dua sistim ini, terletak pada jumlah kekerabatan dimana patrilineal hanya memiliki satu bentuk keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sedangkan matrilineal lebih luas, selain memiliki keluarga inti (ayah, ibu dan anak--red) juga punya keluarga kaum (extended family) dan keluarga batih (nuclear family). (http://myquran.org/forum/index.php?topic=20615.20;wap2)

2.5. Perubahan Sosial.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya

dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi disepanjang

masa dalam seti

yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya

pola pikir

terjadinya

Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan,

misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain, perkembangan IPTEK

yang lambat, sifat masyarakat yang sangat

dengan kuat dalam masyarakat, prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru seperti rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan, hambata atau kebiasaan.


(51)

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang

wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia didalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsur-unsur - unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis.

(http://alfinnitihardjo.ohlog.com/ )

2.6. Beberapa teori yang berkaitan dengan perubahan sosial.

1. Teori Konflik (Conflict Theory).

Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.

Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.

Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya

Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitik-beratkan pada hal berikut ini: a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah.


(52)

c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.

d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.

2. Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory ).

Teori ini diperkenalkan oleh Auguste Comte, Herbert Spencer dan Emile Durkheim.

Emile Durkheim (1858-1917) dalam seorang ahli sosiologi Perancis dalam

Teori Fungsionalis menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat. Sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau

cultural lag .

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.

Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut: a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.


(53)

c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.

d. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.

3. Teori Siklus ( Cyclical Theory )

Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.

Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklus adalah sebagai berikut. a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)

Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Setiap tahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.

b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)

Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.

1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.

2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan dimana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.


(54)

3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975)

Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ketahap kepunahannya.

4. Teori Diferensiasi.

Teori Emile Durkheim tentang Diferensiasi (division of labor) barangkali bisa juga

dipakai sebagai bahan perbandingan. Durkheim berpendapat bahwa semakin majemuk suatu masyarakat, semakin lebih memungkinkan terjadinya diferensiasi. Ia mencontohkan, jika keluarga misalnya mengambil segala macam pendidikan dan semua unit pekerjaan, padahal di lain pihak masyarakat semakin sophisticated, maka dibutuhkan institusi lain yang mengambil porsi pekerjaan dalam keluarga itu. Kondisi semacam ini menimbulkan kesulitan dalam masyarakat yang sudah terikat dengan norma, dan terjadilah anomic karena ikatan keluarga menjadi renggang, pendidikan

harus dilakukan diluar. Sebab keluarga itu tidak bisa mendidik lagi, terjadilah proses diferensiasi yang menekankan suatu perubahan.

2.7. Kajian Perubahan Sosial dalam Pembangunan

Studi perubahan sosial dan pembangunan merupakan salah satu bidang kajian yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan, oleh sebab itu telah banyak dilakukan kajian tentang perubahan sosial dalam pembangunan antara lain Jurnal tentang Modernisasi dan perubahan sosial masyarakat dalam pembangunan pertanian yang merupakan suatu tinjauan sosiologis, oleh Hadriana Marhaeni Munthe. Bahwa penggunaan teknologi telah merubah hubungan sosial. Putusnya hubungan antara pemilik tanah dan para pekerja membuat perbedaan antara kelas kaya dan miskin.


(55)

Abdila Khusus (http://abdilahkhusu.blogspot.com) berpendapat bahwa :

Sudut pandang yang terjadi antar kelompok sosial dengan respon masyarakat terhadap globalisasi. Globalisasi akan menimbulkan gejala perubahan terhadap kelompok sosial yang bersangkutan. Pada setiap gejala perubahan akan menimbulkan konflik atau perbedaan yang menerima dan menolak arus globalisasi tersebut.

Dampak globalisasi terhadap budaya Indonesia yaitu: 1. Dampak positif globalisasi yaitu;

a. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, melalui sarana telekomunikasi seperti radio, televisi, film, dan sarana elektronik lainnya

b. Di bidang sumber daya manusia, globalisasi menumbuhkan kinerja yang berwawasan luas dan beretos kerja tinggi

c. Di bidang sosial budaya, globalisasi dapat menumbuhkan dinamika yang terbuka dan tanggap terhadap unsur-unsur pembaruan

2. Dampak negatif globalisasi a. Guncangan budaya b. Ketimpangan budaya

c. Pergeseran nilai-nilai budaya yang menimbulkan anomie.

(Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini dalam bukunya yang menguraikan sebab-seb

(http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie#Anomie_sebagai_kekacauan_pada_diri_individu)

Agus Santoso tentang Perubahan sosial, modernisasi dan pembangunan, bahwa Perubahan sosial dapat diketahui apabila telah terjadi dalam masyarakat dengan membandingkan keadaan pada


(56)

dua atau lebih rentang waktu yang berbeda. Misalnya struktur masyarakat Indonesia pada masa pra kemerdekaan, setelah merdeka, orde lama, orde baru, reformasi, dan seterusya.

Yang harus dipahami adalah bahwa suatu hal baru yang sekarang ini bersifat radikal, mungkin saja beberapa tahun mendatang akan menjadi konvensional, dan beberapa tahun lagi akan menjadi tradisional.

Bahwa perubahan sosial dapat dipastikan terjadi dalam masyarakat, karena adanya ciri-ciri sebagai berikut :

a. Tidak ada masyarakat yang berhenti berkembang, setiap masyarakat pasti berubah, hanya ada yang cepat dan ada yang lambat

b. Perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti perubahan pada lembaga lain c. Perubahan sosial yang cepat akan mengakibatkan disorganisasi sosial

d. Disorganisasi sosial akan diikuti oleh re-organisasi melalui berbagai adaptasi dan akomodasi e. Perubahan tidak dapat dibatasi hanya pada bidang kebendaan atau spiritual saja, keduanya akan

kait-mengkait.

2.8. Faktor-faktor perubahan sosial.

Neil J. Smelser berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lainnya. Dalam setiap prakteknya di lapangan, perubahan sosial dapat terjadi sangat lambat maupun sangat cepat. Hal ini tergantung pada faktor-faktor yang menunjang perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Pada konsep-konsep yang ada, faktor-faktor ini dibagi menjadi 2, yakni faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor-faktor ini lah yang menentukan bagaimana laju perubahan sosial dalam masyarakat. (http://prasetyowidi.wordpress.com/2010/01/03/faktor-pendukung-dan-penghambat-perubahan-sosial/)


(1)

Lampiran 1 Dokumentasi

Gambar 1.

Gambar 1.


(2)

Gambar 2.

Gedung Bazaar Amal di Taman Bodhi Asri, Bintang Terang, Medan Diski


(3)

Penghuni Wanita di Panti Jompo Guna Budi Bakti, Medan Martubung .

.

Gambar 4

Gambar 4.

Penghuni Laki-laki di Panti Jompo Guna Budi Bakti, Medan Martubung .

Gambar 5.

Panti Jompo Guna Budi Bakti

Gambar 5.


(4)

Gambar 6. Panti Jompo Hisosu


(5)

Penghuni Panti Hisosu

Gambar 9. Penghuni panti Hisosu


(6)

Lampiran 2.

Tabel Rekapitulasi Hasil Wawancara

No. PERTANYAAN INFORMAN JAWABAN

1. Bagaimana

pengetahuan tentang budaya Tionghoa?

15 99 % informan

menjawab kurang paham lagi budaya Tionghoa

2. Apakah pengetahuan budaya Tionghoa didapat dari dalam keluarga atau dari pendidikan sekolah ?

13 99 % informan

menjawab dari rumah dan dari pergaulan.

3. Apakah keluarga

masih melaksanakan tradisi budaya Tionghoa tradisional?

15 100 % informan

mengatakan tidak melakukan budaya Tionghoa secara tradisional tapi sederhana.

4. Bagaimana keluarga

memperlakukan lansia dirumah?

12 98 % informan

menjawab bahwa merawat dengan kasih

sayang dibantu pembantu.

5. Apakah merawat

lansia dirumah merepotkan?

15 80 % menjawab

memang repot sehingga

perlu bantuan pembantu atau perawat.

6. Merasa malukah jika harus menempatkan lansia dipanti lansia?

12 90 % menjawab malu dan 10 % menjawab tidak masalah menjadi penghuni panti lansia. 7. Kenapa sudah mulai

banyak dibuka panti lansia di kota Medan ?

15 100 % informan

menjawab bahwa karena terjadi perubahan sosial.

8. Perlukah dibatasi

penambahan panti lansia?

15 90 % menjawab tidak perlu dibatasi, karena itu adalah kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.