4.2.1. Gambaran Umum WNI keturunan Tionghoa di Medan.
Menurut penjelasan Monalisa Agustinus dalam tesisnya “Orang Tionghoa di kota Medan”, bahwa orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya terdiri dari berbagai suku bangsa etnik
yang ada di negeri Tionghoa. Umumnya mereka berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Berdasarkan volkstelling sensus di masa
Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 2,03 dari penduduk Indonesia di tahun 1930.Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai
2.505.000 2,5 pada tahun 1961. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1 dari jumlah keseluruhan
populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4 - 5 dari seluruh jumlah
populasi Indonesia, http:repository.usu.ac.idbitstream123456789161753Chapter20II.pdf. Menurut seorang Antropolog ternama, Puspa Vasanty, setiap imigran Tionghoa ke Indonesia
membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing bersama dengan bahasanya. Para imigran Tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang sekitar abad ke enam belas sampai kira-kira
pertengahan abad ke sembilan belas, asal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan
dagang orang China ke seberang lautan. Orang Hokkian dan keturunannya telah banyak berasimilasi dengan orang Indonesia, yang sebagian besar terdapat di Indonesia Timur, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatera, Vasanty 1990:353.
Universitas Sumatera Utara
Imigran Tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang berasal dari pantai Selatan negeri China di daerah pedalaman Swatow di bagian timur Provinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan
Hakka Khek disukai sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton. Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa China yang paling banyak
merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat daerah mereka adalah Provinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus. Orang
Hakka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang-gelombang imigrasi dari tahun 1850 sampai 1930, orang
Hakka adalah orang yang paling miskin di antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral, sehingga
sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa didistrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka, dan Biliton. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang
Hakka mulai migrasi ke Jawa Barat, karena tertarik dengan perkembangan kota Jakarta dan karena dibukanya daeah Priangan bagi pedagang Tionghoa, Vasant 1990:353-354.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi Kwantung tinggallah orang Kanton Kwong Fu yang serupa dengan orang Hakka. Orang Kanton terkenal di Asia Tengara
sebagai buruh pertambangan. Mereka bermigrasi pada abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebahagian besar tertarik oleh tambang-tambang timah di Pulau Bangka. Mereka umumnya datang
dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka, dan mereka datang dengan keterampilan teknis dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia mereka dikenal sebagai ahli dalam pertukangan,
pemilik toko-too besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang Hokkian, Teo-Chi atau Hakka. Jadi orang Tionghoa
perantauan di Indonesia ini paling sedikitnya ada empat suku bangsa seperti terurai di atas.
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah gambaran singkat tentang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera Utara yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang, dan Pulau Jawa untuk
dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Sebagian besar lainnya datang sebagai imigran. Sebagian diantara mereka ini ada yang kembali ke Negara Republik Rakyat China, namun
sebagian besar menetap di Sumatera Utara dan menjadi warga negara Republik Indonesia beserta keturunannya, dengan menggunakan nama-nama yang beridentitas Indonesia, di samping nama
Tionghoanya. Di Sumatera Utara orang-orang Tionghoa lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang
menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama
dipergunakan, sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi
Tionghoa yang lebih muda. Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya
pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai
pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan
kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses
sosial mereka. repository.usu.ac.idbitstream...Chapter20II.pdf
Universitas Sumatera Utara
4.3. Beberapa Pandangan dan Gambaran tentang Budaya orang Tionghoa di Medan terhadap Orang Tua.