Kedudukan Shalat Pengaruh pembelajaran pendidikan agama islam terhadap pelaksanaan shalat fardhu siswa SMP islam al Ma'arif Cinangka sawangan Depok

oleh Allah yang disampaikan kewajiban shalat itu secara langsung kepada Rasul-Nya pada malam Mi’raj tanpa melalui perantara.” 52 Shalat dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, terlihat dari pernyataan-pernyataan yang terdapat pada Al-Qur’an dan Sunnah, yang antara lain sebagai berikut: a. Shalat dinilai sebagai tiang agama Sunnah Nabi. Sudah diketahui bersama sebuah Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Shalat adalah tiang agama”. Riwayat Baihaqi 53 Agama Islam tidak memberikan kepada shalat predikat demikian tinggi-yaitu sebagai tiang agama- kecuali karena shalat itu mempunyai kedudukan yang tinggi, derajat yang agung dan keutamaan yang besar menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya. Allah memerintahkan kita semua untuk selalu memelihara shalat sebagaimana firman-Nya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 2 ayat 238:          “Peliharalah semua shalat mu, dan peliharalah shalat wusthâ. Berdirilah untuk Allah dalam shalatmu dengan khusyu.” Di samping itu, Allah SWT menjadikan shalat ini sebagai jalan untuk meraih kemenangan, keberuntungan dan kebahaguiaan serta kesuksesan dalam hidup di dunia maupun di akhirat, sebagimana diungkapkan dalam firman-Nya surat Al-Mu’minûn 23 ayat 1-2:           “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu dalam sembahyangnya.” 52 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih Bahasa Mahyuddin Syaf, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997, Jilid 1, Cet. 19, h. 78. 53 Jalaluddin ‘Abdurrahman as-Suyuti, Jami’ul Ahâdits al-Jami’ Ash-Shogir Wa Zawâidah Wal Jami’ al-Kabîr, Beirut: Dar Al-Fikr, 1994, Jilid 6, h. 114. b. Pengaruh psikologis shalat. Shalat yang sempurna dan dikerjakan dengan khusyu’ serta penuh ketundukan kepada Allah dapat membuat hati menjadi terang, mendidik jiwa bersih serta mengajarkan pada manusia tentang bagaimana tatakrama beribadat dan mengajarkan kewajiban-kewajiban terhadap Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung. Hal ini disebabkan karena suasana keagungan dan kebesaran Allah yang ditanamkan shalat dalam hati sanubari pelakunya. Shalat juga akan menghiasi dan memperindah seseorang dengan akhlak yang terpuji dan mulia, seperti sifat jujur mengemban amanat, merasa cukup dengan yang ada, memenuhi janji, merasa diri kecil di hadapan Tuhan, bersikap adil dan lain sebagainya. Shalat juga akan memberikan arah yang jelas kepada pelakunya untuk selalu berorientasi hanya kepada Allah. Sehingga oleh karenanya, ia akan lebih banyak mendekatkan diri kapada-Nya, takut hanya kepada-Nya, dan ia akan memiliki semangat yang tinggi dan jiwa yang bersih. Konsekuensinya logis dari kondisi kejiwaan seseorang seperti itu ialah bahwa ia akan terhindar dari sikap berbohong, ingkar janji dan sifat-sifat tercela lainnya. 54 Maka kiranya jelaslah kebenaran firman Allah dalam surat Al-‘Ankabût 29 ayat 45 mengenai shalat, sebagai berikut:                    “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan- perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah shalat adalah lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 54 Rif’at Syauqi Nawawi, Shalat Ilmiah dan Amaliah, Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2001, h. 14. c. Shalat merupakan obat batiniah. Shalat mempunyai dua sisi, yaitu bentuknya dan jiwanya. Bentuk shalat adalah merupakan ibadah anggota tubuh, sedangkan jiwanya ialah merupakan ibadah batin hati. Tegasnya bahwa shalat mengandung latihan-latihan jasmaniah disamping mengandung latihan rohaniah. Hati dan wajah orang yang melakukan shalat akan memancarkan cahaya ketuhanan. Dengan shalat ruh seseorang dapat mencapai tingkatan yang tinggi, dan ruh itulah yang merupakan tali penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Mengerjakan shalat merupakan bukti nyata adanya iman, sekaligus sebagai syi’ar agama yang amat tinggi nilainya, serta merupakan bukti kongkrit dari pernyataan rasa syukur kepada Tuhan, atas segala nikmat yang tidak terhingga yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Sebaliknya, tidak mengerjakannya berarti menjauhkan diri dari Tuhan menjauhkan diri dari rahmat-Nya, dari ampunan-Nya, dari ridha-Nya dan juga berarti mengingkari limpahan nikmat serta kebaikan-kebaikan-Nya. Ketahuilah, shalat yang dikerjakan dengan baik dan benar merupakan terapi yang paling tepat bagi segala penyakit batin dan kejiwaan, juga merupakan cahaya yang dapat menghilangkan gelapnya noda dan dosa. d. Shalat memupuk persatuan dan kesatuan. Keadilan dan persamaan derajat jelas tampak dalam penyelenggaraan shalat. Pada saat muadzin mengumandangkan kata- kata: Marilah kita shalat, marilah kita meraih kemenangan, sebenarnya ia menyeru semua orang yang telah berkewajiban shalat, baik yang kaya maupun yang miskin, tua maupun muda, raja maupun rakyat biasa. Dan pada waktu mereka telah berkumpul serta berdiri dalam satu barisan shaf tidak ada perbedaan sedikitpun di antara mereka. Mereka semua merupakan hamba-hamba Allah yang berkumpul untuk mengingat dzikir dengan konsentrasi penuh kepada Allah, di satu tempat, yaitu di masjid, rumah Allah yang suci. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Jin 72 ayat 18:          “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping menyembah Allah.” Mereka semua berdiri di belakang imam yang satu, dengan menghadap kiblat yang satu dalam rangka menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dengan penuh kekhusyu’an dan merendahkan diri. Mereka mengharap rahmat-Nya dan takut pada siksa-Nya. Shalat berjama’ah akan memupuk rasa persatuan dan kesatuan umat terlebih pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Shalat jama’ah adalah lebih utama dari pada shalat sendirian sebanyak 27 derajat tingkatan.” Riwayat Bukhari dan Muslim 55 e. Shalat mempunyai peranan untuk menjauhkan diri dari pekerjaan yang jahat dan munkar seperti yang terdapat dalam surat Al-‘Ankabût 29 ayat 45. 56 f. Shalat merupakan ciri dari orang yang berbahagia. Firmannya di dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minûn 23 ayat 1dan 2:           55 Hussein Bahreisj, Hadits Shahih al-Jami’us Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: CV. Karya Utama, 1990, h. 86. 56 Zakiah Daradjat, dkk., Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, h.198-199. 1 Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. 2 Yaitu orang-orang yang khusyu dalam sembahyangnya. Demikian pula shalat merupakan ibadah yang dinyatakan Allah dengan tujuan agar pelakunya mampu mengendalikan diri dari segala bentuk perbuatan tercela dan munkar sehingga hidupnya senantiasa dalam lindungan Allah SWT yang ditandai dengan ketenteraman dan ketenangan jiwa.

4. Usia Melaksanakan Shalat.

Shalat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan yang berakal dan sudah baligh. Anak-anak walaupun tidak diwajibkan shalat, tetapi orang tua sudah seharusnya menyuruh melakukannya bila usianya tujuh tahun, dan memukulnya jika meninggalkan shalat bila usianya sepuluh tahun. Hal tersebut bertujuan agar mereka terbiasa dan terlatih melakukannya jika telah baligh. 57 Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis yang memerintahkan para orang tua agar menyuruh atau mengajarkan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat, di antaranya dalam surat Luqmân 31 ayat 17:    . Nasihat Luqman kepada anaknya “Hai anakku, dirikanlah shalat.” Selanjutnya dalam surat An-Nisâ 4 ayat 103 tentang kewajiban shalat yang berbunyi:                        57 Abul Hasan, Ali Abdul Hayyi Al-Hasani An-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, Jakarta: PT. Melton Putra, 1992, cet. 1, h. 205. “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat mu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu sebagaimana biasa. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” Nabi Muhammad SAW bersabda: , , . “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat jika mereka telah berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau mengerjakan shalat bila mereka telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Riwayat Abû Dawud. 58 Ayat Al-Qur’an dan hadis di atas dengan jelas memerintah para orang tua untuk mengajarkan shalat kepada anak-anaknya. Di dalam Al- Qur’an surat Luqman 31 ayat 17 dijelaskan bahwa Luqman Al-Hakim orang shalih yang namanya dan ajarannya diabadikan dalam Al-Qur’an menyuruh anaknya untuk mendirikan shalat. Kemudian dalam hadis dijelaskan secara rinci mengenai teknis mengajarkan shalat pada anak, yakni suruhlah anak mengerjakan shalat secara lebih serius sungguh-sungguh dan rutin ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan ketika mereka sudah berusia sepuluh tahun apabila tidak mau mengerjakan shalat atau meninggalkannya, maka orang tua boleh memukulnya. Memukul maksudnya untuk menyadarkan mereka, bukan untuk menyakiti. Oleh karena itu, pukulan jangan sampai membuat cidera melainkan untuk menyadarkan mereka; lebih baik lagi apabila tanpa pukulan. Jika dengan suruhan sudah bisa menyadarkan, janganlah disertai pukulan. Pukulan adalah pilihan terakhir apabila dengan ucapan dan teguran sudah tidak bisa. 58 Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Beirut: Dâr al Fikr, 1991, Jilid 2, h. 180.