Analisis Pesan Moral Dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki

(1)

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO KARYA YEI THEODORA OZAKI

YEI THEODORA OZAKI NO SAKUHIN NO “MOMOTARO” NI OKERU DOUTOKU MEIREI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

untuk Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

REMINISERE U F SIMANJUNTAK 070708010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN 2011


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, Allah yang setia pada janji-janjiNya, yang atas cinta kasih dan kemurahanNya memberikan hikmad terlebih kesehatan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik sesuain dengan waktu yang direncanakan.

Skripsi ini berjudul “Pesan Moral Dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki”, disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Fakultas Ilmu Budaya Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan juga penyelesaian skripsi ini, mulai dari pengajuan proposal penelitian, pelaksanaan, sampai penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu budaya Universitas Sumatera.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak menyisihkan waktu, pikiran, dan masukan-masukan selama dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran-saran kepada penulis sejak awal sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini.


(3)

4. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik, seluruh staff pengajar Departemen Sastra Jepang, Pak Ali, Pak Amin, Pak Eman, Pak Erizal, Pak Hamzon, Pak Iio, Pak Nandi, Pak Narita, Pak Puji, Pak Yuddi, Pak Zulnaidi, Bu Adriana, Bu Hany, Bu Muhibah, Bu Murni, Bu Ozeki, Bu Rani, Bu Rospitauli, yang telah banyak memberikan kepada penulis ilmu sehinnga mendapatkan suatu ilmu baru. Mulai dari tahun pertama hingga akhirnya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat bagi banyak orang.

5. Dosen Penguji Ujian Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

6. Teristimewa sekali penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada papaku Victor Simanjuntak dan mamaku Punia br.Tobing yang sangat kusayangi, untuk semua kasih sayang, doa, kesabaran, moril, dukungan semangat, keringat, air mata, serta dukungan materil yang tak terhingga, untuk kebahagiaan, pendidikan, dan keberhasilan anak-anaknya. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan panjang umur sehingga senantiasa akan dapat membahagiakan dan membalaskan semua kebaikan papa dan mama, juga kepada saudara-saudara ku. Kakak ku Sondang Mardohar, Selly, Retta, Pesta, Marito, S.H, Naomi, S.Si, Martha, Amd. Abang-abang ku Joshua, Kristen, Obed. Kepada abang ipar ku Ir. Humala, Baginda, S.Si, Yan Ht.Galung, edaku Resta, yang telah banyak memberikan moral, kesabaran, dorongan semangat, serta dukungan materil. Terimakasih atas segala dukungannya kak, bang. Juga ponakan-ponakan ku yang terbaik, yang lucu-lucu, Stevanov, Febiyola, Beryl, Laurenov,


(4)

Cleysialova, Agi, Andrew, Agneta, Agatha, Amanda, Agnes, dan Aurora, yang telah mendukung penulis dalam doa.

7. Kepada sahabat ku Ici, Iwed, Juli, Sylvia, Putri Duma, Anita Elizabeth, I 4 U (Rouli, Dian Lylis), Devi, Ery, teman-teman SMS (Solidaritas Mahasiswa Silindung), Trimakasih buat semua dukungan semangat dan doa-doanya. 8. Teman-teman seperjuanganku Kristin, Trya, Wika, Eka, Rani yang juga

saudara dalam suka dan duka selama dalam perkuliahan. Juga rekan-rekan mahasiswa Sastra Jepang 2007, Ade, Aji, Yuni, Ayu, dan yang lainya, sobatku Ganefo 18, Monica, d’Junet, dan Cempaka IV Helvetia (Ernest, Aven, Wale). Untuk k’Dianita, terimakasih buat dukungan semangat, masukan, dan doa-doanya kak..!!

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu (hontou ni arigatou gazaimasu!!!!)

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini, namun masih banyak kesalahan baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 14 Juni 2011 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.6 Metode Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DONGENG KLASIK JEPANG 2.1 Defenisi Moral ... 18

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral ... 19

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral ... 22

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido ... 26

2.5 Dongeng Klasik Jepang ... 32

2.6 Setting Cerita Momotaro ... 34

2.7 Biografi Pengarang ... 39

BAB III ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO 3.1 Sinopsis Cerita Momotaro ... 41

3.2 Analisis Cerita Momotaro 3.2.1 Moral Kejujuran ... 46

3.2.2 Moral Keberanian ... 48

3.2.3 Moral Kebajikan/ Kemurahan Hati ... 50

3.2.4 Moral Kesopanan/ Hormat ... 52

3.2.5 Moral Keadilan/ Kesungguhan ... 53

3.2.6 Moral Kehormatan ... 54


(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 57 4.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA vi


(7)

ABSTRAK

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO KARYA YEI THEODORA OZAKI

Sastra adalah ekspresi diri kehidupan dengan media bahasa yang khas. Sastra merupakan tulisan bernilai seni mengenai suatu objek, khususnya kehidupan manusia dalam suatu negeri pada suatu masa. Suatu karya sastra selain mengandung unsur hiburan, juga mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Sebuah karya sastra fiksi ditulis oleh pengarang anatara lain untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Karya sastra dibedakan atas puisi, drama, dan prosa. Prosa merupakan jenis karya sastra bersifat paparan. Salah satu jenis prosa adalah dongeng.

Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, kepercayaan yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan) yang dapat dijadikan sebagai falsafah hidup dan sumber pengetahuan. Dongeng tentunya mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Dari segi moral, sastra bisa dipelajari dan ditelaah dengan menggunakan teori moral.

Moral menyangkut hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban dan norma. Teori moral dalam sastra bertolak dari dasar pemikiran bahwa sastra dianggap sebagai suatu medium yang paling efektif membina orang dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral pada sebuah karya sastra biasanya dilihat dari segi etika dan kenyakinan, sehingga teori ini cenderung menjerumus kepada segi-segi nilai kepercayaan/ keagamaan. Salah satu moral yang mengandung nilai-nilai keagamaan adalah


(8)

moral Bushido. Moral ini bersumber dari suatu kepercayaan dengan sentuhan Shinto, Zen Budhisim, dan ajaran Konfisius.

Moral Bushido, sebagai moral yang disanjung tinggi oleh masyarakat Jepang terdiri dari 7 unsur etika moral yaitu, kejujuran, keberanian, kebajikan, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan.

Kejujuran, yaitu kekuatan pasti pada setiap langkah tanpa keragu-raguan. Membuat keputusan yang benar dengan alasan yang tepat, yaitu Momotaro tidak menerima ketika mendengar bahwa negerinya telah sering disusahkan oleh sekawana setan, merampok apa saja yang mereka temukan. Oleh sebab itu, ia membuat keputusan untuk menyerang para setan itu dan niat itu pun ia sampaiakan secara jujur kepada kedua orangtuanya.

Keberanian, yaitu kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan dengan kenyakinan yang pasti, yaitu Momotaro dengan berani memutuskan untuk pergi ke benteng pertahanan sekawanana setan, bahkan ketika ada yang mencoba menghalangi perjalanannya, sedikitpun keberaniaannya tidak ciut. Dia telah siap untuk menghadapi resiko yang akan dihadapinya nantinya.

Kebajikan, yaitu sikap mau memberi kasih ataupun memberikan perlindungan dan membela kaum yang lemah yang diperlakukan secara tidak adil, yaitu Momotaro membantu orang-orang yang telah dijadikan sebagai budak oleh para setan untuk keluar dari jeratan para setan. Momotaro menolong para putri daimyo dengan mengantarkan mereka kembali kepada orang tua masing-masing.

Kesopanan, yaitu sikap menghormati semua orang. Menghargai orang sebagai martabat individu yang berharga, yaitu Momotaro tidak menganggap rendah keberanian seekor kera yang berniat untuk ikut juga melakukan penyerangan terhadap para setan. Sekalipun Momotaro telah terpandang, namun ia tetap menunjukkan sikap sopannya kepada kera, mengharhai keberaniaannya dengan mengijinkannya ikut bergabung.

Keadilan, yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang benar, bersikap sama kepada semua orang tanpa melihat status, yaitu Momotaro menunjukkan keadilan dengan memutuskan menghukum raja setan dan menjadikannya sebagai tawanan.


(9)

Kehormatan, yaitu penghargaan oleh hasil kerja, yaitu Momotaro telah dianggap sebagai pahlawan bagi negerinya.

Kesetiaan, yaitu sikap rela hati untuk melaksanakan tanggung jawab yaitu tokoh Kera rela unutk ikut serta dalam ekspedisi ke pulau setan. Kerelaan hatinya menunjukkan sikap setianya terhadap negara dan Momotaro yang telah dianggapnya sebagai tuannya.

Dari hasil analisis cuplikan dongeng Momotaro dapat disimpulkan bahwa Yei Theodora Ozaki sebagai pengarang, melalui para tokoh ceritanya, ingin menyampaiakn kepada pembaca bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi hendaknya bisa memahami pentingnya nilai-nilai kepribadian moral sehingga dengan itu, manusia akan lebih bisa bersikap baik dan benar, dan mampu menghadapi setiap hal dalam kehidupan ini secara bijak.


(10)

エイテオドラオザキの

さ くひん

,作品のももたろうにおける

ど うとくめ いれい

,道徳命令の

ぶ んせき

,分析

ぶんが く

,文学は、

とくゆ う

,特有な

げんご

,言語のメヂアで

せいか つ

,生活の

じこひ ょうげん

,自己表現である。

ぶんが く

,文学は

たいし ょう

,対象について

ぶんけ い

,分芸と

,言う

ひょう てん

,評点がある

,書いたもので、

とく

,特にある

じだい

,時代の

にんげ ん

,人間の

せいか つ

,生活である。

ぶんが く

,文学の

さくひ ん

,作品には、

ごらく

,娯楽の

ようそ

,要素のほかに

きょう いく

,教育と

きょう くん

,教訓の

ようそ

,要素も

ふく

,含まれている

さくし ゃ

,作者によっての

,書かれた

ふぃく しょん

,フィクション

ぶんが く

,文学の

さくひ ん

,作品は

りそう

,理想された

せいか つ

,生活の

もでる

,モデルを

ていき ょう

,提供する。

ぶんがく

,文学の

さくひ ん

,作品は

,詩、

どらま

,ドラマ、

さんぶ ん

,散文が

くべつ ,区別

される。

さんぶん

,散文は

かいせつてき

,解説的な

ぶんがく

,文学の

さくひ んしゅ

,作品種である。

でんせ つ

,伝説は

さんぶん

,散文の

たいぷ

,タイプの

ひと

,一つ である。

でんせ つ

,伝説は具体的な

はなし

,話と

くうそ う

,空想の

かんが

,考えからにした

ものが たり

,物語であり、

せいか つ

,生活の

けいか

,経過になって、

にんげ ん

,人間の

ひょう てん

,評点を

ふく

,含まれていた

どうと くめいれい

,道徳命令でほかの

にんげ ん

,人間と

かんけ いがた

,関係方である。

にんげ ん

,人間によって、

でんせ つ

,伝説が

ごらく

,娯楽のとし

やく

,役に

,立ち、

ようい くてき

,養育的な

しんよ う

,信用「

どうと く

,道徳の

きょう いく

,教育

せいか つ

,生活に

ちゅう こく

,忠告」

せいか つ

,生活の

てつが く

,哲学と

ちいし き

,知意識の

げんり

,原理としてにすることができる。

たし

,確かに、

でんせ つ

,伝説は

どうと く

,道徳

について

かんが

,考えによっての

しゅや く

,主役の

こうい

,行為と

たいど


(11)

でんせ つ

,伝説の

じっこ う

,実行を

ふく

,含まれている。

どうと くてき

,道徳的には、

ぶんが く

,文学が

どうと く

,道徳の

りろん

,理論を

つか

,使うと

べんき ょう

,勉強して

ぶんせ き

,分析 することができる。

どうと く

,道徳は

ぎむ

,義務と

きじゅ ん

,基準のようによく

こうい

,行為をして

にんげ ん

,人間を

こぶ

,鼓舞する。

ぶんが く

,文学の

どうと く

,道徳の

りろん

,理論は

ぶんが く

,文学

しゃか い

,社会の

ぐる

,グルー

,プの

こじん

,個人で

にんげ ん

,人間を

けんせ つ

,建設して

いちば んこうかてき

,一番効果的な

しゅだ ん

,手段ように

かんが

,考えからである。

いっぱ ん

,一般に、

ぶんが く

,文学の

さくひ ん

,作品の

どうと く

,道徳には

りんり がく

,倫理学と

しんね ん

,信念からを

,見られた。だから、この

りろん

,理論は

しんよ う

,信用の

しつ

,質

めん

,面に

しこう

,指向して

かたむ

,傾いた。

しゅき ょう

,主教の

しつ

,質を

ふく

,含まれてい

どうと く

,道徳の

ひと

,一つはぶしどの

どうと く

,道徳である。この

どうと く

,道徳は

しんと う

,神道、

ぶっき ょう

,仏教

こんふ ぃしう

,コンフィシウーと

,言う

しんよ う

,信用から

かんけ い

,関係がある。

ぶしどの

どうと く

,道徳は

にほん しゃかい

,日本社会に

しょう さん

,賞賛された

どうと く

,道徳のようである。

どうと く

,道徳の

りんり がく

,倫理学の

ようそ

,要素の

しち

,七が

ありつまり、

まこと

,真,

ゆう

,勇、

じん

,仁、

れい

,礼、

,義、

めいよ

,名誉、

ちゅう ぎ

,忠義 である。

まこと

,真とは

かくし ゅだん

,各手段に

,決まった

のうり ょく

,能力があり、

うたが

,疑

わない。

てきせ つ

,適切な

りゆう

,理由でよく

けって い

,決定をして、ももたろうは

じぶん

,自分の

くに

,国がよく

おに

,鬼たちの

ぐん

,群に

こんな ん

,困難にされて

,知られる

とき

,時に

みと

,認めらない。なにか

ごうと う

,強盗することができる。だから、

かれ

,彼はその

おに

,鬼たちを

こうげ き

,攻撃してきめて、その

いこう

,意向は

しょう じき

,正直で

りょう しん

,両親を

ていし ゅつ


(12)

ゆう

,勇とはたしかに

しんね ん

,信念で

ようた い

,様態を

かいけ つ

,解決するために

のうり ょく

,能力であり、ももたろうは

ゆう

,勇で

おに

,鬼の

ぐん

,群の

しろ

,城へ

,行って

,決める。

さら

,更に、

かれ

,彼の

たび

,旅を

さまた

,妨げて

ためし

,試て、

かれ

,彼の

ゆう

,勇が

虚弱ない。

かれ

,彼は

かくそ んがい

,各損害をぶつかる

ようい

,用意である。

じん

,仁とは保護を

あた

,与えるか

あいじ ょう

,愛情を

あた

,与えて、

ふこう へいてき

,不公平的な

,取り

あつか

,扱われた

きょじ ゃく

,虚弱な

ひと

,人を

ほご

,保護す

る。ももたろうは

おに

,鬼たちの

けいば つ

,刑罰から

,出るために

おに

,鬼たちに

げなん

,下男になった

ひとび と

,人々を

じょり ょく

,助力する。ももたろうも

だいみ ょう

,大名

むすめ

,娘を

きゅう しゅつ

,救出して、

かれ

,彼らの

りょう しん

,両親に

おく

,送って

,行く。

れい

,礼とは

じんせ い

,人生を

そんけ い

,尊敬する

たいど

,態度である。

きちょ う

,貴重

こじん

,個人の

ちい

,地位のように

そんけ い

,尊敬する。ももたろうはさるの

ゆう

,勇

ひく

,低めると

かんが

,考えられない。ももたろうは

そんけ い

,尊敬されるさえ、い

つもさるに

じょう ひん

,上品な

たいど

,態度を

,見せて、さるの

ゆう

,勇を

そんけ い

,尊敬し

て、

けつご う

,結合して

ゆる

,許す。

,義とは

ただ

,正しい

けって い

,決定をするための

のうり ょく

,能力、

すて

,ステー

たす

,タスをながめなくみんなに

おな

,同じ

たいど

,態度を

,取して、ももたろうは

ほりょ

,捕虜にして、

だいお う

,大王の

おに

,鬼を

ばっ

,罰して

,決めると

,義を

,見せる 。

めいよ

,名誉とは

しごと

,仕事の

さくひ ん

,作品に

かんし ょう

,鑑賞であり、ももたろ

うは

こくみ ん

,国民のために

ゆうし

,勇士のように

おも


(13)

ちゅう ぎ

,忠義とは

せいじ つ

,誠実に

せきに ん

,責任する。さるは

おに

,鬼の

しま

,島の

たんけ ん

,探検の

なか

,中に

さんか

,参加する。さるの

せいじ つ

,誠実は

しんし

,紳士ように

おも

,思ったももたろうと

くに

,国に

たい

,対して

ちゅう じつ

,忠実な

たいど

,態度のをみせ

る。

ももたろうの

いんよ うぶん

,引用文の

ぶんせ き

,分析のけっかから

はなし

,話の

しゅや く

,主役を

つう

,通じると

さくし ゃ

,作者としてにエイテオドラオザキは

にんげ ん

,人間は

いちば ん

,一番

じゅん すい

,純粋な

かみ

,神の

そうぞ うぶつ

,創造物として

どうと く

,道徳の

こじん

,個人の

じっし つ

,実質が

りかい

,理解できると

どくし ゃ

,読者に

つた

,伝

える。それで、

にんげ ん

,人間はよくて

ただ

,正しい

たいど

,態度をして、

けんめ いてき

,賢明的で

せいか つ

,生活に

もんだ い

,問題を

そうぐ う


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara umum, sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan, yang mampu mengungkapkan aspek-aspek estetik baik yang didasarkan aspek-aspek kebahasaan maupun aspek-aspek makna. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sastra menurut Jacob Sumardjo (1997:3) adalah, ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, kenyakinan, dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Selain itu, menurut Wellek (dalam Mursini, 2007:22), sastra sebaiknya dibatasi sebagai seni sastra yang imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang dikemukakan dalam sebuah karya sastra bukanlah pengalaman jiwa atau peristiwa yang dibayangkan saja. Walaupun karya sastra bersifat imajinatif, sastra tentunya berangkat dari kenyataan hidup secara objektif.

Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra apabila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunan beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan


(15)

kagum di hati pembacanya. Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Demikian halnya, menurut Mursini (2007:23), sastra harus mengandung nilai estetik (keindahan seni) sehingga karya sastra memiliki daya pesona tersendiri, dengan kriteria seperti keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan fokus atau tekanan (righ emphasis).

Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Dari segi pendidikan, sastra merupakan wahana untuk meneruskan atau mewariskan budaya bangsa dari generasi ke generasi, berupa gagasan dan pemikiran, bahasa, pengalaman sejarah, nilai-nilai budaya, dan tradisi. Dari segi pengajaran, peminat sastra dapat mengambil manfaat, seperti ajaran moral (Mursini, 2007:26).

Karya sastra dibedakan atas puisi, drama, dan prosa. Prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan, sering juga disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus misalnya ritme, seperti halnya dalam puisi. Ragam prosa terdiri dari 2 (dua) macam, prosa lama dan prosa baru. Prosa lama cenderung bersifat statis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat. Sebaliknya, prosa baru bersifat dinamis, yang senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Yang termasuk prosa lama seperti hikayat, dongeng, mite atau mitos, legenda, dan fable. Prosa baru, seperti cerita pendek, roman, dan novel. Dongeng sebagai bagian dari ragam prosa lama dikenal sebagai cerita pelipur lara.

Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya (http://


(16)

id.wikipedia.org/ wiki Dongeng). Tidak berbeda jauh dari pengertian di atas, dongeng merupakan cerita yang bersifat khayal, yang didasarkan pada kenyataan hidup sehari-hari, kemudian dipadukan dengan imajinasi pengarang secara berlebihan sehingga cerita itu tidak dapat diterima secara logis (Suroto, 1989:11).

Menurut Sutjipto (dalam Mursini, 2007:46), dongeng dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi dengan kejadian-kejadian yang tidak benar terjadi. Sebagai folklore, dongeng merupakan cerita yang hidup di kalangan rakyat, disajikan dengan bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa. Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme.

Menurut Ahmad Badrun (dalam Mursini, 2007:46), dalam dongeng dilukiskan orang merasa bersatu dengan dunia sekitarnya, melihat hidupnya pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan barang, ilusinya berubah-ubah disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Dunia belum dibatasi dengan akal, tetapi merupakan segala kemungkinan yang tanpa batas, maka terjadilah dongeng-dongeng yang bersumber pada sifat kekanak-kanakan atau sifat bangsa yang masih sederhana. Dari bentuk asal itulah dongeng berkembang ke mana-mana tanpa memperhatikan batas politik, kepercayaan, geografis, dan sebagainya.

Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, kepercayaan yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Dengan dongeng, lebih tepat pada masanya pencerita bisa


(17)

menyampaiakan maksudnya (gagasan secara bebas tanpa menyinggung perasaan orang lain atau pihak-pihak lain), misalnya pemerintah.

Sastra Jepang juga tentunya mengenal dongeng. Dongeng dalam karya sastra Jepang dikenal dengan sebutan setsuwa. Dongeng mengisahkan cerita fiktif atau cerita imajinasi. Di dalam dongeng juga ada tokoh, alur, latar, dan unsur cerita lainnya.

Di dalam dongeng mungkin kita akan menemukan manusia bisa terbang atau binatang bisa bicara. Inilah yang menjadi perbedaan yang mencolok dengan cerita-cerita lainnya, yaitu kefiksiannya. Namun, dari sinilah dongeng memiliki daya tarik tersendiri, khusunya bagi anak. Selain itu, dongeng juga menyimpan nilai moral. Dan ini menjadi daya tarik bagi orang tua dalam pembelajaran kepada anaknya.

Biasanya dongeng menitikberatkan tema seperti moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali, dan sebagainya.

Dongeng merupakan cerita tradisional yang tumbuh di masyarakat sejak zaman dahulu, dan berasal dari generasi terdahulu. Danandjaja (dalam Rahmah, 2007:5) menjelaskan bahwa cerita dalam dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi yang diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral atau bahkan sindiran. Dongeng yang dalam bahasa Jepangnya Setsuwa menunjukkan tokoh yang tidak terbatas pada dewa-dewa atau orang yang tercantum dalam lembaran sejarah saja, tetapi sering juga terdapat tokoh yang namanya tidak dikenal. Kadang menampilkan tokoh binatang atau tumbuhan. Setsuwa memiliki


(18)

sifat kongkrit, peristiwa yang diungkapkan di dalamnya tersusun pendek, dan lebih teratur. Ada yang bersifat kenyataan dan ada juga yang bersifat surealisme. Isinya menceritakan atau mengungkapkan tentang perasaan, harapan dan cara berpikir rakyat.

Dalam hal ini, penulis menganalisis cerita rakyat Jepang, Momotaro, karangan Yei Theodora Ozakai. Dikisahkan di zaman dulu kala, hiduplah seorang pak tua dan istrinya yang tidak memiliki anak. Ketika sang istri sedang mencuci di sungai, sebutir buah persik yang besar sekali datang dihanyutkan air dari hulu sungai. Buah persik itu dibawanya pulang ke rumah untuk dimakan bersama suaminya. Ketika dipotongnya buah persik itu, dari dalamnya keluarlah seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Momotaro, dan dibesarkan pak tua dan istrinya seperti anak sendiri. Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat, dan suatu hari ia mengutarakan niatnya untuk membasmi benteng pertahanan sekawanan setan yang ada di bawah laut yang sering menyusahkan orang-orang desa.

Momotaro berangkat membasmi setan dengan membawa bekal kue berturut-turut bertemu dengan anjing, monyet, dan burung pegar. Di pulau itu, Momotaro dengan kegigihannya bertarung melawan setan-setan dengan dibantu anjing, monyet, dan burung pegar. Momotaro menang dan pulang membawa harta yang selama ini telah dirampok oleh sekawanan setan itu.

Setelah membaca dongeng ini, penulis menemukan suatu yang menarik untuk dianalisis, karena cerita rakyat Jepang ini memiliki ciri khas tersendiri. Dalam cerita rakyat ini, terkandung pesan moral di zaman dongeng tercipta.


(19)

Menurut Wahyudi Kumorotomo (dalam Moekijat, 1995: 44), moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”. Moral juga dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar-tidaknya suatu tindakan manusia.

Pesan moral yang terkandung dalam novel itu ada kaitannya juga dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang.

Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Supartono, 2001:34), kebudayaan berarti buah budi manusia, suatu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berperan sebagai pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengang lingkungannya (Ridwan, 2007:37). Budaya dan kebiasaan yang tercermin pada dongeng ini telah ditunjukkan sebagai moral Jepang, yaitu moral dalam Bushido. Bushido adalah istilah yang dulunya diartikan sebagai sebuah kode etik kesatria golongan samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido mengandung arti sikap rela mati kepada negara, kerajaan, dan kaisar. Pengertian lainnya yaitu jalan hidup seorang prajurit atau kesatria yang mempunyai kode etik. Kode etik tersebutlah yang telah dijadikan sebagai dasar moral bagi seluruh masyarakat Jepang.

Untuk menganalisis pesan moral dalam cerita rakyat Momotaro ini, penulis menitikberatkan pada analisis tentang nilai-nilai moral Bushido masyarakat Jepang, sebagai pemilik cerita.


(20)

Dengan alasan tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menulis bagaimana pesan moral dalam dongeng Momotaro, yang telah dijadikan sebagai budaya dan kebiasaan oleh masyarakat Jepang. Dengan demikian, penulis dalam skripsi ini membahas tentang pesan moral yang seperti apa yang ada dalam dongeng “Momotaro” dengan judul “Analisis Pesan Moral dalam Dongeng Momotaro Karya Tei Theodora Ozaki”.

1.2 Perumusan Masalah

Dongeng Momotaro muncul dalam berbagai bentuk versi cerita. Akan tetapi, dongeng ini menjadi sangat populer pada akhir zaman Edo.

Demikian halnya dongeng Momotaro karya Yei Theodora Ozaki ini, dikompilasikan kembali setelah zaman Edo.

Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat dan disegani banyak orang. Walaupun Momotaro mengetahui keberadaannya sebagai anak angkat, namun ia sangat menyanyangi dan menaruh hormat pada kedua orang tuanya. Ketika Momotaro melihat keadaan negerinya yang tidak aman, oleh karena sekawanan setan yang sering menyerang negerinya, membunuh dan merampok orang-orang, lalu membawa semua yang bisa mereka temukan, Momotaro dengan segala keberanian dan kejujuran hatinya mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melakukan penyerangan terhadap benteng pertahanan sekawanan setan itu. Dan lagi, oleh karena kekejaman dan sikap membangkang para sekawanan setan terhadap kaisar yang melanggar peraturan-peraturan yang dibuat kaisar semakin membulatkan tekadnya untuk melakukan penyerangan.


(21)

Dongeng Momotaro ini sarat akan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang ditunjukkan dalam dongeng ini adalah mengenai moral hidup, yaitu moral hidup yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Sikap kepribadian moral yang kuat itu seperti halnya moral keberanian, kejujuran moral, kebaikan, keadilan, sikap hormat, kemandirian moral, kerendahan hati, kesediaan untuk bertanggung jawab, realistik dan kritis. Sikap kepribadian moral yang kuat ini juga terdapat dalam prinsip etika moral Bushido seperti halnya, kejujuran, keberaniaa, kemurahan hati, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana pesan-pesan moral yang diungkapkan oleh Yei Theodora Ozaki dalam dongeng “Momotaro” ini, khususnya pesan mengenai etika moral Buhido?

2. Apa pesan yang disampaikan pengarang melalui dongeng “Momotaro” ini kepada pembaca?

1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian, penentuan ruang lingkup adalah salah satu langkah penting yang harus dilakukan. Dengan adanya ruang lingkup pembahasan, maka penelitian itu bisa secara jelas diketahui apa yang menjadi batasan permasalahan yang akan diteliti.

Pembahasan masalah mengenai pesan-pesan moral ini, dikaji berdasarkan pada masalah yang berhubungan dengan moral yang tercermin melalui cerita peristiwa baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam karya sastra tersebut.


(22)

Dengan demikian, dalam ruang lingkup pembahasan ini, lebih difokuskan pada analisis pesan moral yang terdapat dalam dongeng Momotaro, yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian/ etika moral Bushido seperti halnya kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau kemurahan hati / 仁/ jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan / kesungguhan atau integritas/ 義/ gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠義/ chungi. Sebelum menganalisis pesan moral yang ada dalam dongeng Momotaro, penulis menjelaskan juga mengenai defenisi moral, prinsip-prinsip dasar moral, sikap-sikap kepribadian moral, prinsip etika moral Bushido, dongeng klasik Jepang, setting cerita momotaro, serta biografi pengarang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori. 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Prosa Fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan, dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2003:66).

Menurut Ahmad (dalam Mursini, 2007:33), fiksi disebut juga cerkan (cerita rekaan), tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah, yang meliputi cerita nasehat dan cerita dongeng tentang dewa-dewi.

Sastra dalam arti khusus yang digunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan


(23)

gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya

Melalui karya sastra, dapat membawa pembaca terhibur dengan berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.

Defenisi dongeng adalah, suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membuat pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan (http:// defenisi-pengertian.blogspot.com/ 2010/ 12/ pengertian dongeng. html).

Salah satu aspek moral karya sastra adalah konsep humanisme, yang merupakan salah satu sarana untuk membantu manusia dalam mencapai harkat yang lebih tinggi dan merupakan pengungkapan tentang masalah-masalah dan perjuangan hidup.

Tentunya sastra tercipta adalah untuk kepentingan manusia, dari karya sastra tersebut manusia akan mendapatkan pengajaran atau nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai falsafah hidup.

Menurut Dagobert D. Runes (dalam Moekijat, 1995:44), Morals: The term is sometimes used as equivalent to “ethics”. More frequently it is used to


(24)

designate the codes, conduct, and costoms of individuals or of group, as when one speaks of the moral of person or of a people. Here it is equivalent to the Greek word ethos and the Latin mores. Moral: Istilah ini kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan “etika”. Lebih sering istilah moral dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku, dan adat atau kebiasaan dari individu-individu atau kelompok-kelompok, seperti apabila seseorang berbicara tentang moral orang atau moral orang-orang. Di sini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan Latin mores. Selain itu, menurut Suseno (1989:19) mengemukakan, bahwa moral adalah hal yang mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori meringkas hasil penelitian. Dengan adanya teori, generalisasi terhadap hasil penelitian dapat dilakukan dengan mudah. Teori juga dapat memadu generalisasi-generalisasi satu sama lain secara empiris sehingga dapat diperoleh suatu ringkasan akan hubungan antar generalisasi atau pernyataan (Nazir, 2006:20).

Dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam dongeng tersebut kepada para pembaca, penulis menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik.

Karya prosa fiksi merupakan karya yang bersifat imajinatif atau khayalan, yang berisikan berbagai masalah kehidupan manusia, baik masalah manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Namun di balik semua itu, baik secara tersurat maupun tersirat


(25)

selalu menunjukkan adanya sebuah nilai-nilai moral yang boleh diteladani oleh pembaca.

Pesan moral dalam sebuah karya sastra menunjukkan kepada pembaca akan nilai kebaikan dan kebenaran. Sehingga dalam sebuah karya sastra yang baik, tentunya harus menunjukka penafsiran kehidupan dan mengungkapkan karakter hidup. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mengungkapkan hal-hal yang orang lain mungkin tidak bisa untuk mengungkapkannya dan melihatnya (Siswanto, 2008:82).

KBBI (dalam Nurgiyantoro 1995:321), secara umum, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: ahlak, budi pekerti, susila.

Bushido sebagai salah satu moral bangsa Jepang menurut Situmorang (dalam Rahman 2006:8) adalah, semangat kesatria, moralitas bushi, atau jalan hidup bushi. Bushido tidak terlepas dari religi sebagai sumber awal, yang lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism, dan ajaran Konfisius.

Sekte Budha Zen menitik beratkan ajarannya pada cara hidup yang benar atau disiplin dan melatih diri, sekte ini lebih berorientasi ke arah apresiasi dan pemahaman dari pada pemujaan. Ajaran Zen melebihi dogma dari sebuah sekte dan terdapat mengenai pikiran absolute. Melalui ajaran Zen, dapat menghadirkan usaha manusia mencapai arena pemikiran absolut. Metodenya adalah sebuah perenungan (niat) yang merupakan sebuah tujuan yang menyakinkan prinsip yang mendasari semua fenomena. Jika hal itu bisa, maka akan mencapai keabsolutan dan keharmonisan.


(26)

Shinto adalah satu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Dalam Shinto terdapat banyak nilai moral seperti tanggung jawab terhadap penguasa, cinta pada leluhur, kasih sayang, juga kecintaan terhadap tanah air (patriotism).

Ajaran Konfusionis adalah mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarkan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas samurai (bushido). Sikap ketaatan kepada orang tua akan menghasilkan sikap setia yang akan menjadi kebajikan tertinggi.

Seluruh etika yang terdapat dalam Bushido dijadikan standard moral, agar para bushi dapat melihat dan membedakan sikap yang benar dan salah dalam menjalani kehidupannya. Dalam moral Bushido, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, kebajikan/ kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan, dan kesetiaan.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro 1995:322), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu, yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau modelnya ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagai model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat tokoh-tokohnya.


(27)

Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain, untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan, Nurgiyantoro (1995:322).

Pendekatan moral bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium (arah) yang paling efektif membina orang dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral juga diartikan sebagai norma-norma sosial atau konsep kehidupan yang disanjung tunggi oleh sebagian besar masyarakat.

Pendekatan moral pada sebuah karya sastra dilihat dari etika dan keyakinan, sehingga pendekatan ini cenderung menjerumus kepada segi-segi nilai keagamaan.

Berdasarkan pendekatan moral, penulis dapat mengungkapkan amanat atau pesan yang ada dalam cerita dongeng, yang dikaji berdasarkan tindakan/ perilaku positif oleh para tokoh cerita, yang menunjukkan pesan-pesan moral, khususnya etika moral Bushido. Oleh sebab itulah penulis menggunakan pendekatan moral.

Pendekatan kedua yang penulis gunakan adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik merupakan salah satu kritikan yang penting dan popular dalam bidang bahasa dan kesusasteraan. Pendekatan ini menggunakan prinsip-prinsip teori semiotik sebagaimana yang yang dikemukakan oleh beberapa orang tokoh seperti Fredinand de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto


(28)

Eco, Jurij Lotman dan lain-lain. Pradopo, dkk (2007:71), menyatakan bahwa semiotik itu adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda itu memiliki arti.

Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan, walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita.

Sastra semiotik memusatkan kajiaannya pada lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan di dalam karya sastra. Pendekatan semiotik beranggapan karya sastra memiliki sistem tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistem tanda atau lambang dalam karya sastra ini memiliki banyak interpretasi.

Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik) berdasarkan pada sebuah kaidah atau sejumlah kaidah. Kaidah ini merupakan sebuah kode, yaitu alasan atau dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu, Luxemburg (dalam Mursini 2007:113).

Dalam menafsirkan dan memahami karya sastra, kode-kode yang perlu diketahui adalah kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Pendekatan semiotik


(29)

analisisnya tidak terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga hubungannya dengan hal-hal yang berada di luarnya (antara kode budaya, seperti masalah budaya dan sistem tata nilai yang mewarnai karya sastra).

Berdasarkan pendekatan semiotik, penulis dapat menginterpretasikan sikap para tokoh-tokoh ke dalam tanda. Tanda yang ada pada dongeng akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana yang merupakan tindakan para tokoh yang mencerminkan moral. Oleh sebab itulah, penulis memilih menggunakan pendekatan semiotik.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini, sesuai dengan masalah di atas adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” terhadap pembaca.

2. Untuk mengetahui pesan yang disampaikan pengarang dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” kepada pembaca.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Dengan mengadakan penelitian pada dongeng “Momotaro” karya Yei Theodora Ozaki, diharapkan dapat memberi manfaat yakni:

1. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang bagaimana nilai pesan moral ditinjau dari dongeng ini.


(30)

2. Menambah wawasan tentang kebudayaan masyarakat Jepang khususnya bagi mahasiswa sastra Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif. Wibisono (dalam Kaelan, 2005: 95), metode induktif diterapkan manakala peneliti akan melakukan suatu penyimpulan setelah melakukan pengumpulan data dan analisis data. Proses induktif diterapkan berdasar data-data yang telah terkumpul dan dianalisis, yaitu melalui suatu sintesis dan penyimpulan secara induktif aposteriori. Induktif aposteriori artinya pembentukan suatu konstruksi teoritis berdasarkan struktur logika.

Selain itu, dalam pengumpulan data penulis juga menggunakan metode pendukung, yakni studi kepustakaan (Library Research), dengan 2 (dua) tehnik pengumpulan data yaitu: Survey Book, menghimpun data dari berbagai macam Literature buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Documentary Research, dilakukan dengan menghimpun data yang bersumber dari internet.


(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DAN DONGENG KLASIK JEPANG

2.1 Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran


(32)

tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral.

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu.

2.2 Prinsip- Prinsip Dasar Moral 2.2.1 Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh


(33)

berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

2.2.2 Prinsip Keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.

Adil pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno,1989:132).


(34)

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.

2.2.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri


(35)

sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral 2.3.1 Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain.

Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair, ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan


(36)

memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.

2.3.2 Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

2.3.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik.

Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggug jawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan.


(37)

Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, mempertanggungjawabkan atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas kesalahannya.

Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

2.3.4 Kemandirian Moral

Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral.

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa


(38)

kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.

2.3.5 Keberaniaan Moral

Keberaniaan moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.

Keberaniaan moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147).

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.

Moral keberanian akan membuat kita merasa lebih mandiri. Yang memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah.


(39)

2.3.6 Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.

Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido

Bushido merupakan suatu sistem moral, sehingga etika yang terkandung adalah etika moral. Etika moral yang terdapat dalam etika moral Bushido berpusat pada konsep kemanusiaan.


(40)

Etika moral yang terkandung dalam Bushido menurut Suryohadiprijo (1982:49) meliputi kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau kemurahan hati/ 仁/ jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan/ kesungguhan atau integritas/ 義/ gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠

義/ chungi.

2.4.1 Kejujuran/ / Makoto

Kejujuran/ Makoto adalah tentang bersikap jujur kepada diri sendiri sebagaimana kepada orang lain. Artinya, bertingkah laku yang benar secara moral dan selalu melakukan hal-hal dengan kemampuan terbaik.

Kejujuran merupakan kenyakinan dalam kode etik samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak wajar.

Ajaran Bushido mendefinisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai kebenaran.

Konsep kejujuran dalam Bushido adalah pembuatan keputusan yang benar dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah Giri. Giri lah yang merupaka alasan seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap dengan orang tua, kepada masyarakat luas. Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:30), kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.

Jika seseorang memiliki sifat jujur dan berjalan di atas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa ia seorang yang pemberani. Berani tidak saja mengacu kepada


(41)

keberanian dalam berperang tetapi juga berani menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kejujuran di kalangan samurai merupakan etika yang tidak bisa diragukan lagi. Ia harus tegas ketika menghadapi kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat, tanpa kecerobohan maupun kecurangan.

2.4.2 Keberanian/ / Yu

Keberanian/ Yu merupakan kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan dengan keberanian dan keyakinan. Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya, mereka rela mati dalam mempertahankan ataupun membela kelompoknya. Untuk dapat membela kebenaran, diperlukan rasa keberanian dan keteguhan hati. Seorang samurai tidak dibenarkan ragu dalam melaksanakan tugasnya, jika seorang samurai ragu-ragu dalam melaksanakan suatu hal akan membuat mereka menjadi terlihat tidak mempunyai pendirian dalam mengambil keputusan ataupun dalam melaksanakan tugas.

Dalam ajaran Konfutsu, keberanian itu adalah melakukan hal yang dianggap benar. Namun keberanian itu juga dibedakan antara berani karena membela atau mempertahankan prinsip kebenaran dengan keberanian yang ada pada tingkah laku kejahatan (Napitupulu, 2007:21).


(42)

2.4.3 Kebajikan atau Kemurahan Hati / / Jin

Kebajikan/ Jin merupakan gabungan antara kasih sayang dan kemurahan hati. Prinsip ini terjalin dengan Gi dan menghindarkan samurai dari penggunaan keahlian mereka dengan congkak atau untuk mendominasi.

Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang.

Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:31), rasa kasih sayang yang dimiliki oleh samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa, tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh kekuatan untuk membela dam melindungi.

2.4.4 Kesopanan atau Hormat/ / Rei

Kesopanan/ Rei adalah hal yang berkenaan dengan kesopanan dan prilaku yang pantas kepada orang lain. Prinsip ini berarti menghormati semua orang.

Menurut Nitobe (dalam Napitupulu 2008:22), mengatakan bahwa di Jepang penghayatan musik merdu dan sajak-sajak indah merupakan kurikulum pendidikan untuk membangun perasaan dan jiwa lembut, yang kemudian akan menggugah penghayatan terhadap penderitaan orang lain. Kerendahan hati untuk memahami orang lain adalah akar dari sikap sopan-santun.

Kemudian menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:31-32), mengatakan bahwa etika kesopanan bangsa Jepang sudah di kenal di dunia. Dan sikap ini merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dari hubungan masyarakat. Kesopanan yang tercermin pada masyarakat Jepang bermula dari tata


(43)

cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaimana seseorang harus berjalan, duduk, mengajar dan di ajar dengan penuh kepedulian.

2.4.5 Keadilan/ Kesungguhan atau Integritas/ / Gi

Keadilan/ Gi merupakan kemampuan untuk membuat keputusan yang benar dengan keyakinan moral dan untuk bersikap adil serta sama kepada semua orang tanpa memperdulikan warna kulit, ras, gender atupun usia.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang Bushi atau samurai harus memandang sama semua golongan, hal ini juga ada agar para samurai tidak semena-mena ataupun menggunakan kekuasaan atau kekuatannya untuk hal-hal yang tidak sewajarnya.

2.4.6 Kehormatan atau Martabat/ 名誉/ Meiyo

Kehormatan/ Meiyo dicapai dengan sikap positif dalam berpikir dan hanya akan mengikuti perilaku yang tepat. Selain itu, kehormatan merupakan implikasi dari satu kesadaran hidup akan martabat individu yang berharga.

Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:32), seorang samurai yang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi mereka, sadar benar bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka. Didalam bahasa Jepang ada istilah seperti na (nama), memoku (wajah), dan guaibun (pendengaran). Istilah ini bisa diterjemahkan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian non-fisik yang tidak kelihatan dari


(44)

manusia, tetapi dapat dirasakan. Kalau hal ini tidak dijaga, maka reputasi bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik bagi orang lain.

Kehormatan bagi bangsa Jepang dinyakini sebagai suatu sensitifitas sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi bangsa Jepang tercermin dari rasa malu yang merupakan hukuman yang paling buruk. Kesadaran akan rasa malu menjadikan orang Jepang menolak untuk terhadap segala sesuatu yang berupa penghinaan.

Landasan filosofi yang terkandung dalam etika kehormatan ini adalah adanya yang mencerminkan kebutuhan individu terhadap penghargaan berupa hasil kerja. Dalam bushido, kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia yang mencerminkan bertambahnya pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun bertahun-tahun mungkin saja bisa hancur dalam satu hari saja.

2.4.7 Kesetiaan/ 忠義/ Chungi

Kesetiaan/ Chungi merupakan dasar dari semua prinsip, tanpa dedikasi dan kesetiaan pada tugas yang sedang dikerjakan dan kepada sesama, seseorang tak dapat berharap akan mencapai hasil yang diinginkan.

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan muncul dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial untuk mempertahankan daerah atau wilayah mereka dari serangan musuh.

Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban untuk samurai untuk menaati nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara


(45)

mengabdi sepenuhnya kepada tuan dan mewujudkan pengabdian itu dengan cara berprestasi sebaik mungkin.

Kesetiaan yang diajarkan Bushido merupakan kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya.

Sedangkan di dalam Konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral, nilai moral yang terkandung di dalamnya meliputi nilai moral sosial, yang mendasarkan ajarannya dengan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesama, terhadap pejabat pemerintah, dan terhadap kaisar Sipahutar (dalam Napitupulu 2008:23).

2.5 Dongeng Klasik Jepang

Dongeng disebut juga dengan cerita rakyat. Cerita rakyat Jepang adalah cerita dari yang digunakan di Jepang dalam literatur yang diterbitkan sesudah

hingga awal(cerita rakyat), kōhi

(cerita yang ditulis di batu), densetsu (legenda), dōwa (cerita anak), otoginabashi (dongeng fantasi), dan mukashibanashi (cerita zaman dulu), dan sebagainya (http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_rakyat_Jepang).

Secara garis besar, cerita rakyat Jepang berdasarkan isi dan bentuk dibagi menjadi 3 kelompok: cerita zaman dulu (昔話 mukashibanshi), legenda (伝説 densetsu), dan cerita masyarakat (世間話 sekembanashi).


(46)

Mukashibanshi atau cerita zaman dahulu adalah istilah Jepang untuk dongeng klasik Jepang. Dongeng klasik Jepang memiliki lokasi cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita yang bersifat fiktif, sedangkan waktu kejadian adalah masa lampau yang tidak dijelaskan secara pasti, biasanya bentuk tema ceritanya menunjukkan tentang kejadian ajaib dari suatu daerah, pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh mahluk dengan kekuatan ajaib, moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejahatan ibu tiri, kecantikan dan keluhuran anak bungsu, kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.

Ciri khas lain adalah kata "mukashi" atau "mukashi, mukashi" (zaman dulu kala) yang digunakan untuk kalimat pembuka. Kalimat dalam cerita sering menggunakan kata "attasōna" atau "atta to sa" yang berarti "konon" atau "kabarnya menurut orang zaman dulu". Cerita sering diakhiri dengan kalimat "Dotto harai" yang berarti "Tamat" atau "Mereka bahagia selamanya".

Mukashibanashi adalah dongeng klasik Jepang yang biasanya diceritakan pada anak-anak. Dalam buku Nihon no Minwa, Kinoshita Junji, seorang ahli folklore Jepang menjelaskan alasan mengapa cerita rakyat jenis ini disebut dengan Mukashibanashi.

Istilah Mukashibanashi yang digunakan para ahli folklore untuk menyebut cerita rakyat bukan merupakan cerita nyata, dan lahir dari daya khayal yang bersifat fiktif, diceritakan tanpa dihubung-hubungkan dengan keistimewaan suatu tempat manusia, diceritakan dengan menggunakan kata keterangan waktu yang tetap, yaitu kata mukashi, yang menunjukkan waktu yang telah lampau, biasanya diakhiri dengan kata-kata seperti shiawase ni kurashimashita (mereka hidup bahagia selamanya atau anraku ni kurashimashita (mereka hidup tenang dan


(47)

bahagia), kata-kata yang digunakan adalah kata/ bahasa kehidupan sehari-hari. Selain yang diuraikan diatas, pada bagian akhir sebuah Mukashibanashi ada pula cerita yang diakhiri dengan kata “Tosa” yang mempunyai arti “hal yang diceritaka tersebut didengar dari orang lain” Dilihat dari Jenis Mukashibanashi juga terbagi atas tiga kelompok, yaitu Doobutsu Mukashibanashi, adalah istilah Jepang untuk dongeng-dongeng binatang, Honkaku Mukashibanashi, adalah istilah untuk dongeng biasa, Waraibanashi, adalah istilah untuk lelucon.

Salah satu judul dongeng klasik Jepang adalah judul lainnya adalah

2.6 Setting Cerita Momotaro

Menurut Brook dalam Mursini (2007:41), “latar is the physical background, element of place, in story”. “Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, di dalam cerita”. Wellek dan Werren dalam Mursini (2007:41) juga mengemukakan “setting is environment demesticinterior, may be viewed as metonymic, or expression of character”. Latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresikan watak secara metominik atau metafori.

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setting/ latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita. Tercakup di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda, dan alat-alat yang


(48)

berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana maupun periode sejarah.

Hudson dalam Mursini (2007:4) membagi setting/ latar cerita atas latar fisik (material) dan latar sosial. Yang termasuk latar fisik adalah latar yang berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya, sosial masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial, dan sikap hidupnya yang melewati cerita. Tentunya latar membantu kejelasan jalan cerita. Dalam membahas setting/ latar cerita dongeng Momotaro ini, penulis akan menjelaskan latar tempat dan latar waktu, sebagai berikut:

a. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, ataupun lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Adapun latar tempat terjadinya peristiwa dalam dongeng Momotaro adalah sebagai berikut:

1. Bukit

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Suatu hari, pak tua pergi ke bukit seperti biasanya” (Hal.321).

2. Sungai

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Dikeluarkannya satu persatu baju-baju itu dari dalam keranjang, lalu menggosoknya di atas batu di sungai” (Hal.322).


(49)

3. Sebuah Kamar

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Istrinya lalu berlari masuk ke sebuah kamar yang kecil dan mengeluarkan dari lemari buah persik yang besar itu” (Hal.324).

4. Pulau di bawah Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Nun jauh dari tempat ini ke Utara Jepang, ada sebuah pulau di bawah laut” (Hal.328).

5. Bawah Sebuah Pohon

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Maka dibukanya tasnya dan mengambil satu kue beras, lalu duduk di bawah sebuah pohon di dekat jalan untuk memakannya” (Hal.330).

6. Utara Jepang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Aku Momotaro, dan aku sedang dalam perjalanan menaklukkan setan-setan di benteng pulau mereka di Utara Jepang” (Hal.331).

7. Lembah

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “ Aku kera yang tinggal di lembah ini” (Hal.333).

8. Ladang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Lama-kelamaan sampailah mereka di sebuah ladang yang luas” (Hal.334).


(50)

9. Pantai Samudra Timur-Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut” (Hal.336).

10. Perahu

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro lalu mengambil sebuah perahu kecil, dan mereka semua naik ke perahu itu” (Hal.338) 11. Lautan

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Angin dan cuaca saat ini cukup baik, dan perahu itu meluncur layaknya anak panah melintasi lautan” (Hal.338).

12. Kastil

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Di puncak pantainya yang terjal dan menjorok ke laut ada sebuah kastil besar” (Hal.339).

13. Puncak

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro mendarat, dan berharap bias menemukan jalan masuk, berjalan menuju puncak, diikuti si kera dan si anjing” (Hal.341).

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dapat dihubungkan dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.


(51)

Latar waktu pada cerita ini dimulai pada kata dahulu kala yang sebenarnya tidak faktual. Frasa ini terdapat pada halaman 321, alinea pertama yang menyatakan “dahulu kala, tinggallah seorang pak tua dan istrinya”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat musim panas. Frasa itu terdapat halaman 321, alinea ketiga yang menyatakan “saat itu hampir memasuki musim panas, dan seluruh negeri terlihat sangat molek dengan hamparan rerumputan segarnya”.

Latar waktu pagi hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 322, alinea pertama yang menyatakan “kedua-duanya merasa sangat bahagia di pagi itu”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat matahari mulai terbenam. Frasa itu terdapat pada halaman 324, alinea pertama yang menyatakan “ pak tua akhirnya pulang begitu matahari mulai terbenam, membawa di punggungnya karung beras berisi rumput”.

Siang dan malam juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 326, alinea kedua yang menyatakan “mereka menangis siang dan malam atas kemalangan mereka karena tak ada anak yang bisa membantu mereka”.

Latar waktu yang menggunakan tahun juga ada digunakan, yang terdapat pada halaman 326, alinea ketiga yang menyatakan “tahun-tahun pun berlalu begitu cepatnya dan si anak tumbuh besar dan sudah berumur lima belas tahun”.

Ada juga latar waktu pada cerita ini terjadi di tengah hari. Frasa ini terdapat pada halaman 330, alinea ketiga yang mengatakan “Momotaro bergegas dalam perjalanannya sampai tengah hari”.


(52)

Latar waktu setiap hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 336, alinea ketiga yang menyatakan “setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut”.

Matahari tengah terik bersinar juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 339, alinea pertama yang menyatakan “dan suatu hari ketika metahari tengah terik bersinar, terlihat sosok sebuah pulau dikejauhan”.

Tahun yang lebih panjang lagi digunakan juga dalam cerita ini. Hal ini terdapat pada halaman 343, alinea keempat “karena kau telah membunuh dan menyiksa orang-orang serta merampok warga kami selama bertahun-tahun”.

Itulah latar tempat dan latar waktu yang digunakan dan terdapat pada cerita dongeng Momotaro ini.

2.6 Biografi Pengarang

Yei Theodora Ozaki adalah penerjemah era awal abad ke-20 untuk dongeng-dongeng klasik Jepang. Karya terjemahannya sangat popular dan mengalami cetak ulang beberapa kali, hingga setelah akhir hayatnya.

Beliau lahir di Amerika Serikat, putri dari Baron Ozaki, salah satu dari sedikit warga negara Jepang pertama yang mendapat pendidikan di Barat. Setelah orangtuanya bercerai, Yei dan saudara-saudaranya tinggal bersama ibunya, Bathia Chaterina Morrison, hingga remaja, sebelum kemudian dikirim pulang ke Jepang bersama ayahnya.

Ketika beranjak dewasa, Yei menolak perjodohan yang diinginkan ayahnya, lalu pergi meninggalkan rumah dan menjadi guru dan sekretaris.


(53)

Bertahun-tahun kemudian, ia melakukan perjalanan antara Jepang dan Eropa sebagai bagian dari tugasnya. Pada masa-masa itulah, surat-surat untuk Yei Ozaki sering salah kirim kepada Yukio Ozaki, seorang polisi Jepang, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, tahun1904 mereka berduapun bertemu untuk pertama kalinya dan tak lama kemudian menikah.


(54)

BAB III

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO

3.1 Sinopsis Cerita Momotaro

Cerita ini dimulai pada waktu yang lama sekali. Tokoh utamanya yaitu Momotaro. Diceritakan, tinggallah seorang pak tua dan istrinya. Mereka ini adalah petani miskin, dan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari, pak tua pergi ke bukit seperti biasanya untuk membabat rumput dan istrinya membawa baju ke sungai untuk dicuci. Istri pak tua akhirnya menemukan tempat yang enak di dekat sungai, lalu menurunkan keranjangnya. Ketika dia tengah sibuk mencuci baju, sebuah biji perik besar tampak terombang-ambing ombak sungai. Istri pak tua terheran-heran, sebab seumur hidupnya ia belum pernah melihat buah persik sebesar yang dilihatnya sekarang.

Direntangkannya tangannya untuk mencoba meraihnya, tetapi buah itu masih jauh dari jangkauan tangannya. Dicarinya ranting kayu, tetapi tidak ada satupun ranting kayu di sana yang terlihat.

Ia berhenti sejenak untuk berpikir apa yang harus dilakukannya, diingatnya sebuah pantun tua yang manjur. Lalu dia mulai bertepuk tangan untuk mengatur irama pantunnya dengan gerakan persik yang terombang ambing ombak sungai itu.

Begitu ia mulai mengulang–ulang syair singkat itu, buah persik itu mulai datang mendekat dan semakin mendekati tepi sungai, ke tempat di mana istri pak tua berdiri sampai akhirnya buah itu berhenti tepat di depannya sehingga dia bisa


(1)

Dari cerita dongeng Momotaro ini, penulis menggambarkan bahwa secara umum pesan yang ingin disampaikan pengarang adalah bahwa dengan memiliki sikap-sikap kepribadian moral yang kuat, akan menjadikan kita menjadi manusia yang seutuhnya.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap dongeng Momotaro, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ditemukan beberapa nilai moral Bushido di dalam cerita rakyat Momotaro. Nilai moral yang terkandung di dalamnya adalah nilai moral kejujuran. Dalam kehidupan ini, kita hendaknya berjalan di atas garis yang lurus. Bersikap jujur kepada orang lain sebagaimana jujur kepada diri sendiri. Demikian sebaliknya, jujur kepada diri sendiri sebagaimana jujur kepada orang lain. Kejujuran akan membawa kita kepada kemudahan/ kelancaran ketika menghadapi/ melakukan suatu hal.

2. Moral keberanian juga ditunjukkan dalam dongeng Momotaro ini. Hendaknya manusia berani mempertahankan prinsip kebenaran yang diyakini dan akan berani mengambil resiko sekalipun prinsip kebenaran yang dinyakini itu akan ditentang oleh sebagian pihak. Dengan memiliki keberanian, maka akan menjadikan kita sebagai manusia yang lebih mandiri.

3. Nilai moral kebajikan juga ditunjukkan dalam dongeng Momotaro ini. Manusia sebagai mahluk sosial akan menjadi manusia yang lebih sempurna ketika ia mau untuk memberi kebaikan kepada sesamanya. Tidak ada hal yang lebih besar yang membuat manusia merasa bahagia selain ketika ia memberikan kebaikan kepada sesamanya. Dengan kemampuan atau kelebihan yang seseorang miliki, membela dan melindungi orang yang lemeh


(3)

yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik adalah salah satu wujud kebajikan.

4. Pesan moral lain yang ingin disampaiakan dari dongeng ini adalah nilai moral kesopanan. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi yang memiliki rasa hendaknya mampu membedakan sikap yang baik dan yang tidak baik dan harus mampu bersikap sopan. Berperilaku yang pantas kepada orang lain dan menghormati semua orang adalah unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dalam hubungan masyrakat.

5. Nilai moral keadilan juga ditunjukkan dalam dongeng Momotaro ini. Manusia dituntut untuk mampu bersikap yang baik dan benar kepada sesama, tanpa memandang golongan, usia, ataupun ras. Manusia harus mampu bersikap sama kepada semua orang dalam situasi yang sama.

6. Moral kehormatan juga ditunjukkan dalam dongeng Momotaro ini. Manusia yang dianugrahi akal, rasa, dan karsa tentunya harus mampu menjadikan dirinya sebagai pribadi yang berharga. Manusia harus mampu menjadikan dirinya menjadi orang yang berguna bagi lingkungannya. Salah satu perwujutan dari hal itu adalah melalui prestasi yang diukir.

7. Pesan moral lain yang ingin disampaikan dari dongeng Momotaro ini adalah moral kesetiaan. Kesetiaan didasarkan atas sikap kerelaan hati. Kesetiaan dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawab kita akan membawa kita kepada keberhasilan. Kesetiaan juga akan membawa kita kepada manusia yang penuh dengan rasa kebersamaan yang solid.


(4)

4.2 Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian ini, saran yang perlu disampaiakan sebagai berikut:

1. Isi dongeng Momotaro ini sarat akan nilai-nilai kepribadian moral, khususnya nilai etika moral Bushido. Nilai etika moral Bushido ini masih relevan dengan kehidupan masyarakat Jepang dewasa ini. Oleh sebab itu, isi cerita ini perlu dilestarikan.

2. Ada baiknya jika mahasiswa Sastra Jepang menambah pengetahuan mereka tentang Jepang dengan membaca lebih banyak buku-buku Jepang dan hasil karya Sastra Jepang, karena pada umumnya dalam hasil karya sastra Jepang, isinya selalu disangkut pautkan dengan unsur kebudayaan Jepang.

3. Penulis berharap melalui karya sastra ini, menjadi lebih banyak orang yang mengerti akan pentingnya nilai-nilai kepribadian moral, sehingga ketika kita telah memahaminya akan menjadikan kita sebagai manusia yang dapat bertindak lebih baik dan bijaksana dalam menjalani hidupnya. Sehingga benarlah bahwa ia sebagai manusia yang berakal, berkarsa, dan berasa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2003. Pengantar Apresiai Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo Offset.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.

Moekijat. 1995. Asas-Asas Etika Dasar. Bandung: Mandar Maju. Mursini. 2007. Pengantar Teori sastra. Modul: Medan.

Napitupulu, Johan Kristian. 2008. Skripsi: Analisis Nilai KesetiaanBushido Dihubungkan Dengan Karoshi. Medan: Fakultas Sastra USU.

Nazir, Moh. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ozaki, Yei Theodora. 2010. Dongeng Klasik Jepang. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahmah, Yuliani. 2007. Tesis: Dongeng Timun Emas (Indonesia) dan Dongeng Sanmai No Ofoda (Jepang) (Studi Komparatif Struktur Cerita dan Latar Budaya) diakses dari

Rahman, Sri Rezeki Mailany. 2006. Skripsi: Analisis Konsep Bushido Dalam Novel Taiko Karya Eiji Yoshikama. Medan: Fakultas Sastra USU.


(6)

Ridwan, Elly M, Kama Abdul. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:.Kencana Prenada Media Group.

Salam, Burhanuddin. 2000. Etika Individual (Pola Dasar Fisafat Moral). Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Sipahutar, Friska N. 2007. Skripsi: Nilai Busido Dalam Sistem Manajemen Jepang. Medan: Fakultas Sastra USU.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra..Jakarta: PT Grasindo. Sumardjo, Jacob. 1997. Sastra dan Massa. Bandung: ITB

Supartono. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia. Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia Dan Masyarakat Jepang Dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI-Press dan Pustaka Bradijaguna.

Suseno, Magnis F. 1989. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisus.

(http:// id.wikipedia.org/ wiki Dongeng)