4.3.4. Aspek Budaya Komunitas Jawa Muslim di Kota Medan 4.3.4.1. Pengetahuan Terhadap Budaya Jawa
Pembahasan ini dilakukan untuk melihat sampai sejauhmana pengetahuan komunitas Jawa Muslim mengenai aspek-aspek budaya Jawa yang ada di Kota
Medan, dimana pengetahuan responden terhadap aspek budaya Jawa menunjukkan sejauhmana kedekatan mereka dengan budayanya, sehingga kecenderungan-
kecenderungan fanatisme terhadap etnisitas dapat diketahui. Pengetahuan mengenai aspek budaya dapat dilihat dengan beberapa hal, antara lain; pengetahuan tentang
peninggalan sejarah ke-Jawaan di Kota Medan, pelaksanaan upacara adat, kesenian adat Jawa, dan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan tempat tinggal.
Tabel 4.44. Komposisi Responden berdasarkan Pengetahuan Tentang Peninggalan Sejarah ke-Jawaan di kota Medan
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total n
f n
f N
F a
Ada b
Tidak Ada 61
50 61
50 122
100 Jumlah
61 50
61 50
122 100
Sumber Data: Data Primer 2010
Tabel 4.44 menunjukkan data dimana tidak ada satupun responden yang mengetahui keberadaan peninggalan sejarah ke-Jawaan di Kota Medan. Seluruh
responden 100, dengan proporsi seimbang antara laki-laki dengan perempuan berjumlah 61 orang 50 menjawab tidak tahu mengenai keberadaan peninggalan
sejarah ke-Jawaan yang ada di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Secara historis, keberadaan etnis Jawa dalam jumlah besar ke Sumatera Utara Sumatera Timur dikarenakan oleh adanya pemaksaan dari VOC. Etnis Jawa di
Sumatera Timur saat itu dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan besar onderneming milik pengusaha-pengusaha VOC. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa peninggalan sejarah bernuansa Jawa tidak ada di Sumatera Timur. Pada konteks ini, fanatisme terhadap etnisitas justru tidak muncul, karena simbol budaya
Jawa tidak terdapat di Kota Medan.
Tabel 4.45. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Pelaksanaan Upacara Adat di Lingkungan Tempat Tinggal
No Jawaban Laki-laki
Perempuan Total
n f
n f
N F
a Ada
26 21,3
34 27,9
60 49,2
b Tidak
35 28,7
27 22,1
62 50,8
Jumlah 61
50 61
50 122
100
Sumber Data: Data Primer 2010
Tabel 4.45 di atas memperlihatkan bahwa 60 responden 49,2, dengan proporsi 26 orang laki-laki dan 34 orang perempuan mengetahui upacara-upacara
adat Jawa masih dilaksanakan oleh keluarga-keluarga Jawa yang ada di Kota Medan. 62 responden 50,8, dengan proporsi 35 orang 28,7 laki-laki dan 27 orang
22,1 perempuan mengatakan bahwa upacara-upacara adat Jawa tidak lagi dilakukan di Kota Medan.
Analisis dari penyajian data diatas menunjukkan bahwa upacara adat masih dilakukan oleh komunitas Jawa Muslim di Kota Medan, namun pelaksanaannya
hanya terbatas pada prosesi pernikahan, kehamilan tujuh bulan, kelahiran,
Universitas Sumatera Utara
menyambut bulan-bulan tertentu, dan upacara lain yang sifatnya umum. Pada saat ini upacara adat semakin jarang dilakukan, sebab budaya Jawa telah mengalami
dekulturasi yang membuat identitas Kejawaan mulai hilang, merubah pola pikir komunitas Jawa Muslim di Kota Medan menjadi lebih sederhana, dan menipiskan
rasa fanatisme terhadap etnisitas.
Tabel 4.46. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Kesenian Adat Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal
No Jawaban Laki-laki
Perempuan Total
n f
n f
N F
a Ada
16 13,1
9 7,4
25 20,5
b Tidak
45 36,9
52 42,6
97 79,5
Jumlah 61
50 61
50 122
100
Sumber Data: Data Primer 2010
Data pada tabel 4.46 di atas menunjukkan bahwa 25 orang responden 20,5, dengan proporsi 16 orang 13,1 laki-laki dan 9 orang 7,4 perempuan
mengatakan bahwa kesenian adat Jawa masih dilaksanakan dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Sedangkan informan yang mengatakan kesenian adat Jawa tidak
dilaksanakan lagi di lingkungan tempat tinggal mereka sebanyak 97 orang 79,5, dengan proporsi 45 orang laki-laki 36,9 dan 52 orang perempuan 42,6.
Analisis pada tabel menunjukkan bahwa kesenian adat Jawa saat ini mulai ditinggalkan oleh komunitas Jawa Muslim di Kota Medan. Popularitas kesenian-
kesenian adat Jawa seperti gamelan, wayang, kuda kepang, dan reog perlahan tenggelam dan digantikan dengan pertunjukan organ tunggal sebagai kesenian
kontemporer yang menyuguhkan musik-musik dangdut semalam suntuk. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu gejala dekulturasi, dimana budaya Jawa pada komunitas Jawa Muslim di Kota Medan tidak lagi mengakar dan menghilang secara perlahan karena
adanya budaya lain. Hilangnya budaya Jawa dalam kehidupan komunitas Jawa Muslim di Kota Medan dapat memudarkan identitas kelompok, melemahkan
kekuatan jaringan sosial diantara mereka, dan mengikis potensi konflik yang muncul karena fanatisme terhadap etnisitas.
Tabel 4.47. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Penggunaan Bahasa Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total n
f n
f N
F a
Ada 25
20,5 18
14,7 43
35,2 b
Tidak 36
29,5 42
34,4 78
63,9 c
Tidak tahu 1
0,8 1
0,8 Jumlah
61 50
61 50
122 100
Sumber Data: Data Primer 2010
Data pada tabel 4.47 menunjukkan 78 orang responden 63,9, diantaranya 36 orang 29,5 laki-laki dan 42 orang 34,4 perempuan mengatakan bahasa
Jawa tidak lagi digunakan oleh orang-orang Jawa di lingkungan mereka. 43 orang responden lain 35,2, dengan proporsi 25 orang laki-laki 20,5 dan 18 orang
perempuan 14,7 mengatakan bahasa Jawa masih digunakan di lingkungan tempat tinggal mereka. 1 orang responden perempuan 0,8 tidak menjawab.
Bahasa Jawa tidak lagi digunakan oleh komunitas jawa Muslim sebagai bahasa pergaulan dalam lingkungan sosial yang luas, namun hanya dalam konteks
kedekatan yang intens, seperti; kerabat dekat, teman sejawat, dan tetangga.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan luas menunjukkan tidak terlihat adanya fanatisme terhadap etnisitas pada komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.
4.3.4.2. Prasangka dan Stereotip
Prasangka merupakan suatu sikap yang muncul karena adanya dugaan yang dianut tanpa disertai pengetahuan, pengalaman, atau bukti-bukti yang cukup
mengenai orang atau kelompok lain yang menjadi objek prasangka. Orang yang berprasangka cenderung memberikan penilaian terhadap orang atau kelompok lain
outgroup, penilaian ini kemudian menjadi patokan bagi mereka untuk memulai hubungan pertemanan. Untuk lebih jelas, hal ini dapat dilihat pada tabel 4.48.
Tabel 4.48. Komposisi Responden Berdasarkan Penilaian Terhadap Kelompok Etnis Lain yang Baik Sebagai Teman
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total n
f n
f N
F a
Mandailing 15
12,3 10
8,2 25
20,5 b
Karo 6
4,9 12
9,8 18
14,8 c
Pak-pak Dairi 5
4,1 5
4,1 d
Simalungun 2
1,6 2
1,6 4
3,3 e
Batak Toba 3
2,5 2
1,6 5
4,1 f
Nias 1
0,8 1
0,8 g
Banjar 2
1,6 2
1,6 h
Tionghoa 1
0,8 1
0,8 i
Arab Pakistan 3
2,5 3
2,5 6
4,9 j
Tamil 3
2,5 3
1,6 k
Melayu 3
2,5 8
6,6 11
9 l
Minangkabau 10
8,2 4
3,3 14
10,7 m Sunda
11 9
11 9
22 18
n Aceh
4 3,3
1 0,8
5 3,3
Jumlah 61
50 61
50 122
100
Sumber: Data Primer 2010
Universitas Sumatera Utara
Pada tabel 4.48, 25 orang responden 20,5, dengan proporsi 15 orang laki- laki 12,3 dan 10 orang perempuan 8,2 menilai bahwa etnis Mandailing baik.
18 orang responden 14,8, diantaranya 6 orang laki-laki 4,9 dan 12 orang perempuan 9,8 menilai etnis Karo baik. 5 orang responden 4,1 yang
kesemuanya perempuan menilai etnis Pak-pak Dairi baik. 4 orang responden 3,3 menilai bahwa etnis Simalungun baik, diantaranya 2 orang laki-laki 1,6 dan 2
orang perempuan 1,6. 5 orang responden 4,1 menilai etnis Batak Toba baik, diantaranya 3 orang laki-laki 2,5 dan 2 orang perempuan 1,6. Hanya 1 orang
responden perempuan 0,8 saja yang menilai etnis Nias baik. Etnis Banjar hanya dinilai baik oleh 2 orang responden perempuan 1,6. Etnis Tionghoa dinilai baik
hanya oleh 1 orang responden laki-laki 0,8. 6 orang responden 4,9, diantaranya 3 orang laki-laki 2,5 dan 3 orang perempuan 2,5 menilai etnis
ArabPakistan baik. Hanya 3 orang responden laki-laki 2,5 saja yang menilai etnis Tamil baik. 11 orang responden 9, diantaranya 3 orang laki-laki 2,5 dan 8
orang perempuan 6,6 menilai etnis Melayu baik. 14 orang responden 10,7, dengan proporsi 10 orang laki-laki 8,2 dan 4 orang perempuan 3,3 menilai
etnis Minangkabau baik. 22 orang 18, diantaranya 11 orang laki-laki 9 dan 11 orang perempuan 9 menilai etnis Sunda baik. Sedangkan 5 orang reponden
4,1, dengan proporsi 4 orang laki-laki 3,3 dan 1 orang perempuan 0,8 menilai etnis Aceh baik.
Hal ini menunjukkan bahwa etnis yang paling baik dijadikan teman oleh responden komunitas jawa Muslim adalah etnis Mandailing, kemudian etnis Sunda,
dan etnis Karo. Etnis Mandailing dan etnis Sunda dianggap baik untuk dijadikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai teman karena kelompok etnis tersebut identik dengan agama Islam. Sedangkan etnis Karo dianggap baik sebagai teman karena sifatnya yang relatif
terbuka pada komunitas Jawa. Berkembangnya prasangka pada komunitas Jawa Muslim, diiringi pula
dengan perkembangan stereotip terhadap etnis lain. Dalam pandangan komunitas Jawa Muslim, etnis lain dianggap memiliki stereotip-stereotip, baik yang bernilai
positif maupun negatif. Pandangan komunitas Jawa Muslim mengenai stereotip yang melekat pada etnis lain disajikan pada tabel 4.48 berikut.
Tabel 4.49. Stereotip Terhadap Etnis Lain Dalam Pandangan Komunitas Jawa Muslim di Kota Medan
No Kelompok Etnis
Stereotip a
Mandailing 1.
Manipol Mandailing polit 2.
Kurang tahu membalas budi dibantu 10, dibalas 3
3. Kalau berhasil jarang ingat kampung
4. Kuat beragama
5. Birokrat ulung
6. Cerewet perempuan
7. Hepeng mangatur nagaraon
8. Tukang intip
b Karo
1. Pendendam
2. Persaudaraannya kuat
3. Kurang bisa pegang janji
4. Minat untuk berusaha tinggi
5. Perhitungan soal materi
6. Sangat tahu membalas budi
7. Ramah terbuka, tapi kadang sombong juga
8. Makan BPK
c Pak-Pak Dairi
1. Makan orang
2. Kekerabatannya kuat
3. Ingat kampung halaman
4. Balas dendam dengan mistik
Universitas Sumatera Utara
d Simalungun
1. Batak
2. Kekerabatannya erat
3. Balas dendam dengan mistik
4. Keterikatan dengan kampung cukup tinggi
e Batak Toba
1. Kasar
2. Keras
3. Terbuka
4. Begu ganjang
5. Komitmen tinggi
6. Curang dalam berdagang timbangan kurang,
buahnya busuk-busuk, dll 7.
Ingat kampung halaman 8.
Suka bicara keras 9.
Suka mabuk-mabukan 10.
Makan B2 11.
Lintah darat f
Nias 1.
“Ilmu selamat”-nya tinggi 2.
Tukang cari gara-gara pameo; setiap orang pasti mati, tapi nias kita tidak tahu
3. Sangat pendendam
4. Genit-genit
5. Malas
6. Pasrah
7. Mistik
8. Agamanya sangat lemah
g Banjar
1. Kekerabatannya erat
2. Adaptif
3. Agama dipegang teguh
4. Marjinal
h Tionghoa
1. Keparat berkulit kuning langsat
2. Pintar berdagang
3. Materialistis
4. Suka melanggar aturan
5. Kekerabatannya erat
6. Mementingkan sukunya sendiri
7. Individualis
8. Licik
9. Suka mengadu domba
10. Komitmen tinggi jika berhubungan dengan
bisnis i
Arab Pakistan 1.
Pelit 2.
Tukang kawin 3.
Jujur 4.
Kekerabatan sangat erat
Universitas Sumatera Utara
j Tamil
1. Mengular
2. Pasrah
3. Tukang mabuk
4. Keling
k Melayu
1. Pelit
2. Malas
3. Pandai bergaul
4. Tidak tahu menjaga asset leluhur
5. Santai
6. Senang berkelahi antara sesama
7. Banyak bicara bacrit
l Minangkabau
1. Badangkik sangat pelit
2. Mata duitan
3. Keras
4. Cerewet perempuan
5. Cirik barandang suka meracun orang
6. Busuk hati
7. Perantau
8. Kekelurgaannya kuat
9. Menggunting dalam lipatan
10. Adatnya kuat
11. Tukang kawin
12. Memelihara anjing
m Sunda Banten
1. Banyak “ilmu selamat”-nya
2. Mak erot
3. Kurang terbuka
4. Penyendiri
5. Lembut dan ramah
n Aceh
1. GAM
2. Tukang ular
3. Agamanya kuat
4. Arogan
5. Senang mabuk-mabukan
6. Suka berbisnis
7. Kedai kopi
8. Gila perempuan Gila seks
9. Hana peng hana inong tidak ada uang tidak
ada perempuan 10.
Tidak setia 11.
Suka poligami 12.
Keras kepala perempuan
Sumber Data: Data Primer 2010
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.49 diatas memaparkan stereotip yang berkembang dalam mindset komunitas Jawa Muslim terhadap etnis-etnis lain yang menetap di Kota Medan.
Beberapa stereotip mungkin terkesan lucu, sebab disampaikan melalui perumpamaan- perumpamaan lokal, namun kesemuanya itu menurut Galtung merupakan salah
bagian dari kekerasan kultural cultural violent. Kekerasan kultural menurut Galtung dalam Susan, 2009 lahir dari konstruksi
masyarakat mengenai kondisi yang dialami saat ini. Kekerasan kultural pada konteks ini menggambarkan kebencian komunitas Jawa Muslim terhadap terhadap komunitas
etnis lainnya, sebab ia bekerja melalui persepsi yang dibentuk dan diakui secara makro-subjektif oleh komunitas Jawa Muslim itu sendiri.
4.3.4.3. Ekspresi dan Resolusi Konflik
Pembahasan mengenai ekspresi konflik bertujuan untuk melihat bagaimana komunitas Jawa Muslim menunjukkan kebencian pada kelompok etnis dan agama
yang berbeda, sehingga dapat diantisipasi kemungkinan terburuk dari konflik yang disebabkan oleh komunitas Jawa Muslim di Kota Medan. Sedangkan resolusi konflik
dianggap perlu untuk dibahas untuk mengetahui bagaimana cara yang digunakan oleh komunitas Jawa Muslim untuk menyelesaikan konflik ketika mereka mengalaminya.
Pengalaman perselisihan dengan orang yang berbeda etnis dan agama menunjukkan agresifitas seseorang dalam berinteraksi. Selain itu, pengalaman
perselisihan juga memperlihatkan bagaimana sikap seseorang dalam menghadapi konflik, apakah menghindari atau justru memulai konflik tersebut. Untuk lebih jelas,
Universitas Sumatera Utara
gambaran mengenai pengalaman perselisihan dengan etnis lain dapat dilihat pada tabel 4.50.
Tabel 4.50. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Perselisihan dengan Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total N
f n
f N
F a
Pernah 32
26,2 9
7,4 41
33,6 f
Tidak pernah 29
23,8 52
42,6 81
66,4 Jumlah
61 50
61 50
122 100
Sumber: Data Primer 2010
Pada tabel 4.50, perselisihan dengan etnis lain pernah dialami oleh 41 orang responden 33,6, diantaranya 32 orang laki-laki 26,2 dan 9 orang perempuan
7,4. Sedangkan 81 orang responden lain 66,4, diantaranya 29 orang laki-laki 23,8 dan 52 orang perempuan 42,6 mengatakan bahwa mereka tidak pernah
terlibat perselisihan dengan etnis lain. Analisis terhadap data menunjukkan bahwa responden komunitas Jawa
Muslim di Kota Medan, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan besar untuk menghindari konflik. Sebab mereka mengenal adanya pitutur yang
mengajarkan prinsip rukun. Prinsip rukun memandang bahwa konflik mengganggu keseimbangan, keselarasan, dan harmoni kehidupan. Konflik bertentangan dengan
nilai-nilai luhur, serta menyebabkan orang tidak dapat bahagia di dunia dan akhirat, sehingga konflik bagi masyarakat Jawa harus dihindari dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.51. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai Untuk Mengekspresikan Konflik
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total n
f n
f N
F a
Memaki 30
24,6 21
17,2 51
41,8 b
Demonstrasi 9
7,4 7
5,7 16
13,1 c
Berkelahi 10
24,5 2
1,6 12
9,8 d
Tawuran 4
3,3 4
3,3 e
Pengeroyokan 4
3,3 4
3,3 f
Pembunuhan 3
2,5 3
2,5 6
4,9 g
Tidak menjawab 1
0,8 28
23 29
23,8 Jumlah
61 50
61 50
122 100
Sumber: Data Primer 2010
Dari data pada tabel 4.51 diketahui bahwa 51 orang responden 41,8, diantaranya 30 orang laki-laki 24,6 dan 21 orang perempuan 17,2 memilih
memaki sebagai cara untuk mengekspresikan konflik. 16 orang 13,1 memilih demonstrasi sebagai cara untuk mengekspresikan konflik, diantaranya 9 orang laki-
laki 7,4 dan 7 orang perempuan 5,7. Berkelahi menjadi pilihan bagi 12 orang responden, diantaranya 10 orang laki-laki 8,2 dan 2 orang perempuan 1,6. 4
orang responden 3,3 yang kesemuanya laki-laki memilih tawuran, demikian juga dengan 4 orang responden laki-laki lain 3,3 yang memilih pengeroyokan untuk
mengekspresikan konflik. 6 orang responden 4,9, diantaranya 3 orang laki-laki 2,5 dan 3 orang perempuan 2,5 memilih membunuh sebagai cara untuk
mengekspresikan konflik. Kemudian, 29 orang responden 23,8, dengan proporsi 1 orang laki-laki 0,8 dan 28 orang perempuan 23 tidak menjawab sama sekali.
Analisis data yang diperoleh adalah bahwa responden komunitas Jawa Muslim, baik laki-laki maupun perempuan cenderung memilih untuk memaki sebagai
Universitas Sumatera Utara
cara yang digunakan untuk mengekspresikan konflik. Memaki dalam hal ini memiliki dua konteks, yakni; makian universal yang menganalogikan manusia dengan
binatang, serta bagian-bagian tubuh yang senditif, seperti Anjing, Babi, dan lain sebagainya; kedua adalah kata-kata umpatan yang didasarkan pada stereotip yang
melekat pada etnis tertentu, seperti Padang pancilok, Mandailing polit, atau Cina lancau.
Tabel 4.52. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai untuk Menyelesaikan Konflik
No Jawaban
Laki-laki Perempuan
Total n
f n
f N
F a
Mengalah 25
20,5 45
36,9 70
57,4 b
Kontak fisik 10
8,2 2
1,6 12
9,8 c
Menyelesaikan sendiri 17
14 11
9 28
24 d
Mediasi Kepling 3
2,5 3
2,5 e
Jalur hukum 3
2,5 2
1,6 5
4,1 f
Tidak menjawab 3
2,5 1
0,8 4
3,3 Jumlah
61 50
61 50
122 100
Sumber: Data Primer 2010
Tabel 4.52 memperlihatkan 70 responden 57,4, diantaranya 25 orang laki- laki 20,5 dan 45 orang perempuan 36,9 setuju bahwa mengalah adalah cara
yang disukai untuk menyelesaikan konflik. Sementara itu 12 orang responden 9,8, diantaranya 10 orang laki-laki 8,2 dan 2 orang perempuan 1,6 mengatakan
kontak fisik sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Sedangkan 28 orang responden lain 24, diantaranya 17 orang laki-laki 14 dan 11 orang perempuan
9 memilih untuk menyelesaikan sendiri konflik yang terjadi. 3 orang responden
Universitas Sumatera Utara
yang seluruhnya adalah laki-laki 2,5 memilih untuk meminta bantuan Kepling dalam menyelesaikan konflik. 5 orang responden 4,1, dengan proporsi 3 orang
laki-laki 2,5 dan 1 orang perempuan 0,8 tidak bersedia menjawab dengan berbagai alasan.
Ditinjau berdasarkan cara yang disukai untuk menyelesaikan konflik, komunitas Jawa Muslim cenderung memilih untuk mengalah dalam menyelesaikan
konflik. Mengalah adalah suatu sikap kerelaan untuk membiarkan lawan konflik menang pada momen-momen tertentu, gunanya adalah agar lawan tidak kehilangan
harga diri ketika mengalami kekalahan. Bagi komunitas Jawa Muslim, prinsip ini tidak hanya ditujukan untuk menghindari konflik, tetapi juga menjadi pedoman bagi
seseorang untuk berperilaku ketika sedang berada dalam situasi konflik.
4.4. Analisis Data
Sebagaimana yang telah diulas pada analisa tabel silang cross tabulation, maka berikut ini akan diberikan analisis secara menyeluruh tentang data-data yang
telah diperoleh sebagai hasil penelitian mengenai potensi konflik komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan tahun 2010.
Kota Medan terdiri dari berbagai kelompok etnis dan agama, yang telah mendiami Kota Medan selama lebih dari seratus tahun. Hal ini dapat dilihat dari
adanya segregasi permukiman yang bernuansa etnis, seperti Sukaramai yang identik dengan etnis Minangkabau, Bandar Selamat dengan etnis Mandailing, Tembung
dengan etnis Jawa, dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara