ibadah oleh 45,6 responden penelitian. Hal ini muncul karena adanya anggapan bahwa rumah ibadah selain berfungsi sebagai tempat untuk beribadah bagi umat
beragama wilayah sakral, juga memiliki fungsi sebagai simbol eksistensi dari kelompok agama di suatu daerah wilayah profan. Dengan kata lain, jumlah rumah
ibadah di suatu daerah menandakan kelompok mana yang menjadi mayoritas di daerah tersebut, oleh sebab itu pendirian rumah ibadah diatur oleh pemerintah dengan
melibatkan masyarakat setempat sebagai pemberi lisensi sosial. Pada beberapa daerah dimana penganut agama Islam menjadi kelompok
mayoritas, potensi konflik karena rasa terganggu atas pendirian rumah ibadah penganut agama lain masih ada. Namun pada daerah-daerah yang lebih beragam,
pendirian rumah ibadah tidak dianggap sebagai masalah karena beribadah dianggap sebagai hak setiap umat beragama.
5.1.2. Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi dari potensi konflik terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain dilihat dari kecemburuan sosial yang rendah, baik terhadap tetangga yang
memiliki kemampuan ekonomi dan status sosial yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kecemburuan sosial pada komunitas Jawa Muslim rendah, yang
mencerminkan rendahnya potensi konflik pada aspek ekonomi. Rendahnya kecemburuan sosial diperlihatkan oleh responden komunitas Jawa Muslim dengan
tidak adanya perasaan terganggu ketika mengalami persaingan usaha, baik dengan etnis lain maupun terhadap penganut agama lain di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda halnya dengan kecemburuan sosial, kesempatan usaha etnis Jawa yang justru dianggap oleh 44,3 responden tidak sama dengan peluang usaha etnis
lainnya, sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengisi bidang pekerjaan tingkat rendah seperti; buruh, tukang beca, tenaga pertukangan, dan lain sebagainya.
Selain kesempatan usaha, komunitas Jawa Muslim menganggap bahwa mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan etnis lain untuk berkarir dalam pekerjaan-
pekerjaan sebagai PNS dan PolriTNI di Kota Medan, sebab segregasi antarkelompok etnis dan otonomi daerah menjadikan pekerjaan-pekerjaan strategis sebagai hak
istimewa dari etnis lain yang dianggap sebagai putra daerah. Secara sosiologis, kedua hal di atas memiliki kontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan potensi
konflik antaretnis dan agama di Kota Medan, sehingga keberadaannya harus diantisipasi dengan solusi yang tepat.
5.1.3. Aspek Struktural dan Politik
Pemilihan pemimpin dari etnis yang sama dalam pandangan komunitas Jawa Muslim bukanlah kriteria mutlak, dimana 70,5 memberikan jawaban tidak setuju
pada pernyataan “anda memilih pemimpin berdasarkan kesamaan etnis”. Sebaliknya pada pernyataan “anda memilih pemimpin berdasarkan kesamaan agama”, responden
justru lebih banyak memilih jawaban setuju 77,9. Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan identitas kelompok yang mengikat sangat kuat para pemeluknya,
kesamaan identitas agama membuat komunitas Jawa Muslim bersedia menerima pemimpin dari etnis yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi responden komunitas Jawa Muslim dalam organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama dapat dikatakan relatif tinggi 66,2. Hal ini
menunjukkan bahwa ketakwaan terhadap agama sebagai suatu pedoman hidup menciptakan solidaritas yang sangat kuat, tidak hanya pada komunitas Jawa Muslim
tetapi juga pada komunitas etnis lain yang memeluk agama Islam. Perspektif konflik memandang bahwa solidaritas yang terjalin antaretnis yang berbeda dalam satu
kesatuan agama dapat mengeliminir prasangka terhadap etnis lain, sehingga potensi konflik antaretnis menjadi sangat rendah.
Lemahnya potensi konflik pada aspek politik juga ditandai dengan lemahnya partisipasi responden komunitas Jawa Muslim dalam organisasi kesukuan yang, hal
ini memperlihatkan bahwa fanatisme terhadap identitas kelompok dan etnisitas juga lemah. Lemahnya identitas kelompok merupakan indikasi bahwa komunitas Jawa
Muslim di Kota Medan cenderung fleksibel dalam bergaul, serta mengutamakan toleransi tanpa melihat perbedaan etnis. Perspektif konflik memandang bahwa
fleksibilitas dalam bergaul dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan etnis membuat potensi konflik yang semakin melemah.
Kemudian, partisipasi politik komunitas Jawa Muslim di Kota Medan dapat dikatakan cukup tinggi, dimana sebagian besar responden berafiliasi pada Partai
Demokrat 38,5. Responden yang berafiliasi pada partai Islam justru jumlahnya relatif sedikit, padahal komunitas Jawa Muslim memiliki identitas kelompok yang
sangat kuat dalam hal agama. Hal ini selain disebabkan karena tingginya toleransi komunitas Jawa Muslim terhadap etnis lain, juga karena hilangnya kesakralan nilai-
Universitas Sumatera Utara
nilai agama pada ranah politik, yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap partai-partai politik bernuansa Islami.
Potensi konflik yang harus diwaspadai muncul dari 47,5 responden mengenai rasa ketidakpuasan terhadap struktur pemerintahan Kota Medan, dimana
struktur tersebut memperlihatkan marjinalisasi dan pembagian kekuasaan yang tidak merata antarkelompok etnis di Kota Medan. Rasa tidak puas juga muncul dari 54,1
responden terhadap kepemimpinan non-Jawa di Kota Medan. Demikian pula halnya dengan responden komunitas Jawa Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Mereka mengatakan bahwa aspirasi mereka belum terwakili dengan proporsi etnis Jawa yang duduk di DPRD Kota Medan. Ketidakpuasan yang muncul menunjukkan
bahwa konflik mulai tumbuh karena pembagian kekuasaan yang tidak merata, ketidakpuasan terhadap pemimpin non-Jawa, dan belum tersalurkannya aspirasi
komunitas Jawa Muslim dengan jumlah wakil rakyat yang beretnis Jawa di DPRD Kota Medan. Hanya saja hal itu belum diekspresikan melalui kelompok yang
terorganisir. Akses komunitas Jawa Muslim terhadap sumber-sumber daya yang terdapat
di Kota Medan memberikan kontribusi yang kecil terhadap potensi konflik di kota Medan. Hal ini dilihat dari pandangan responden komunitas Jawa Muslim bahwa
setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh tempat tinggal 67,2, kesempatan yang sama terhadap sarana kesehatan 76,2, kesempatan
yang sama dalam pendidikan 82,8, dan kesempatan yang sama dalam kepemilikan tanah 66,4 tanpa ada diskrimasi atau perlakuan berbeda yang bernuansa etnis dan
agama di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
5.1.4. Aspek Budaya