BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak
ternilai harganya, akan tetapi keanekaragaman ini juga tidak jarang menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan tidak jarang menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Potensi konflik biasanya dapat dengan
mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek-aspek primordial, seperti etnis, agama, ataupun kebudayaan. Karena sifatnya yang inheren, potensi konflik yang berasal dari
aspek primordial cenderung sulit untuk dihilangkan. Untuk mengatasi hal itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah,
mulai dari rezim orde lama hingga saat ini. Upaya-upaya tersebut pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan kehidupan antaretnis dan agama yang rukun, aman,
damai, dan tenteram yang merupakan kondisi terwujudnya integrasi sosial dalam masyarakat.
Pada masa pemerintahan orde lama, upaya untuk mengurangi gesekan antara etnis dan agama oleh Bung Karno dilakukan dengan mengemukakan konsep
Nasakom Nasionalisme, Agama, Komunis. Akan tetapi, konsep Nasakom ini kemudian ditentang oleh berbagai pihak khususnya dari kalangan agama, sebab
konsep tersebut dianggap telah menyimpang dari setiap ajaran agama yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Konsep Nasakom berakhir seiring dengan jatuhnya rezim orde lama, yang ditandai dengan peristiwa pembantaian orang-orang yang terlibat dengan PKI di berbagai
daerah di Indonesia. Peristiwa ini hingga saat ini dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia G30S-PKI, atau Gestapu Gerakan September
Tiga Puluh. Berbeda dengan orde lama, pada masa pemerintahan orde baru upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi setiap betuk konflik adalah dengan melakukan penyeragaman melalui doktrin P4, yang melibatkan penggunaan bantuan
militer sebagai sarana untuk menciptakan situasi aman. Situasi aman pada masa orde baru diciptakan dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap hal-hal yang bersifat
kedaerahan, seperti menggunakan isu-isu subversif pada organisasi kedaerahan yang mulai terlihat vokal.
Adanya hal itu memang membuat situasi menjadi aman dan terkendali, akan tetapi keamanan yang tercipta justru bersifat semu. Kekecewaan-kekecewaan yang
seharusnya dapat tersalur secara wajar diredam melalui paksaan selama puluhan tahun. Tentunya, hal ini membuat kekecewaan yang ada terakumulasi, sehingga
menimbulkan potensi konflik yang sangat besar yang dikemas dengan nuansa agama dan etnis.
Berkaitan dengan hal itu, Sitorus 2003 mengemukakan bahwa di era orde baru, keberpihakan terhadap kapitalisme semu memunculkan prasangka bahwa
kelompok etnik Tionghoa secara sosio-ekonomis yang diuntungkan. Prasangka ras racial prejudice dan kekentalan aprioritas kelompok pribumi terhadap kelompok
etnik Tionghoa telah telah menyebar di tataran kosmis dan kehidupan profan Sitorus,
Universitas Sumatera Utara
2003. Ini dibuktikan pada saat jatuhnya rezim pemerintahan orde baru, akumulasi kekecewaan berubah menjadi konflik yang nyata dalam bentuk demonstrasi,
pembakaran, perkosaan, dan bahkan perusakan barang-barang milik etnis China. Kemudian pada masa reformasi, sistem yang baru dibenahi membuka peluang
bagi seluruh penduduk Indonesia menggunakan kebebasannya dalam berdemokrasi. Situasi ini oleh sebagian besar pihak dianggap sebagai langkah awal menuju
masyarakat yang madani. Namun demikian, terbukanya peluang untuk menggunakan kebebasan berpolitik justru membawa potensi konflik horizontal yang menjurus pada
konflik antaretnis dan agama. Di Ambon misalnya, potensi konflik dibawa oleh dua komunitas berbasis
agama, yakni komunitas Muslim dan komunitas Kristen. Selain perbedaan kepentingan, konflik Ambon disebabkan oleh ketiadaan jalur komunikasi yang baik
antara kedua komunitas yang bertikai, sehingga potensi konflik yang ada tetap terpelihara persisten atau bahkan terakumulasi dibalik situasi damai yang semu
www.preventconflict.org,. Selain konflik yang diakibatkan oleh perbedaan agama, konflik antaretnis juga
tidak kalah berbahaya. Di Sampit misalnya, konflik diakibatkan oleh kecemburuan sosial antaretnis, yakni etnis Dayak dengan etnis Madura. Dalam hal ini, sensitifitas
etnis Dayak terusik karena etnis Madura lebih berhasil pada sektor ekonomi. Konflik juga semakin dipertajam dengan adanya kontrol yang berlebihan oleh etnis Madura
terhadap sumber-sumber daya yang tedapat di Sampit Susan, 2009. Terjadinya konflik-konflik primordial dianggap sebagai gambaran yang buruk
dari gagalnya integrasi sosial pada negara yang menganut sistem demokrasi. Sebab,
Universitas Sumatera Utara
beberapa ahli dalam teori modern seperti Coleman, Inkeles, Dove, dan Habermas sebelumnya telah mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat seiring dengan
modernisasi telah menghapus bentuk-bentuk kesadaran primordial yang menjadi potensi konflik antaretnis dan agama.
Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang majemuk di Indonesia. Kemajemukan Kota Medan dapat dilihat dari keberadaan berbagai
lembaga keagamaan yang terdapat di Kota Medan, seperti; Muhammadiyah, Al- Wasliyah, Huria Kristen Batak Protestan HKBP, Gereja Batak Karo Protestan
GBKP, dan lain sebagainya. Mayoritas penduduk di Kota Medan menganut agama Islam. Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari adanya pengaruh kebijakan Sultan Deli pada masa penjajahan, dimana setiap orang yang ingin menjadi penduduk kota Medan harus menanggalkan
marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam. Untuk lebih jelas, komposisi penduduk Kota Medan berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama No
Agama Jumlah
Persentase 1
Islam 1.416.815
68,53 2
Protestan 373.451
18,10 3
Buddha 204.113
9,87 4
Katolik 59.038
2,85 5
Hindu 13.602
0,66 Jumlah
2.067.288 100,00
Sumber: Medan Dalam Angka Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2006, secara kuantitatif mayoritas penduduk di Kota Medan adalah pemeluk agama Islam 68,53. Dengan
jumlah tersebut, penduduk yang beragama Islam dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Sementara itu, dalam kasus Ambon konflik kepentingan dapat
dengan mudah dikemas menjadi konflik antara komunitas Muslim dengan komunitas Kristen pada daerah dimana penduduk yang beragama Islam menjadi kelompok
minoritas. Fenomena ini seharusnya dapat diungkapkan melalui suatu penelitian yang lebih mendalam.
Lebih lanjut, di Kota Medan juga terdapat beberapa etnis yang membentuk suatu organisasi yang berbasiskan marga atau keluarga. Organisasi tersebut umumnya
didirikan untuk melindungi eksistensi dan kepentingan dari etnis yang mendirikannya. Lebih lanjut, organisasi tersebut diantaranya; Ikatan Aceh Sepakat,
Himpunan Keluarga Besar Mandailing, Perkumpulan Marga Panjaitan, Ikatan Keluarga Gasan Saiyo, Persatuan Warga Sunda, Pujakesuma, Forum Komunikasi
Warga Putra-Putri Jawa, Pendawa, dan lain-lain. Dalam hubungan antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, sentimen-
sentimen primordial tidak sepenuhnya dapat dihilangkan. Isu yang telah bertahan cukup lama di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan adalah sentimen antara etnis
Aceh, Minangkabau, Tapanuli, dan Melayu terhadap orang-orang Jawa. Akan tetapi, sentimen tersebut umumnya tidak diperlihatkan dalam interaksi sosial, inilah yang
menyebabkan mengapa Kota Medan menjadi kota percontohan untuk kategori integrasi sosial kota yang majemuk.
Universitas Sumatera Utara
Di Sumatera Utara, penelitian mengenai konflik antaretnis pernah diteliti oleh Saladin 1995. Penelitian tersebut terfokus pada konflik dan mekanisme resolusi
konflik pada komunitas nelayan di Bagan Asahan. Penelitian tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa konflik antaretnis di Bagan Asahan lebih disebabkan oleh
kompetisi atas kontrol terhadap sumber-sumber daya antara kelompok etnis asli dengan etnis pendatang, dimana sumber-sumber daya yang dimaksud meliputi;
wilayah penangkapan ikan, perempuan sebagai fungsi reproduksi, serta lokasi untuk berdagang.
Penelitian-penelitian lain mengenai masalah konflik di Medan sendiri hingga saat ini juga telah banyak dilakukan, baik mengenai konflik antaretnis maupun
antaragama. Umumnya, penelitian tersebut hanya membahas permasalahan konflik antaretnis dan agama secara umum tanpa melihat realitas subjektif yang khusus dari
salah satu etnis, seperti Mandailing, Minangkabau, Batak, maupun etnis Jawa. Oleh sebab itu, penelusuran yang mendalam mengenai realitas subjektif sebagai potensi
konflik dari salah satu etnis yang mendiami Kota Medan menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Pada konteks ini, komunitas Jawa ditetapkan sebagai etnis yang
akan diteliti, sebab reaksi dari etnis Jawa terhadap sentimen dari berbagai etnis tersebut merupakan potensi konflik yang patut diperhitungkan.
Keberadaan etnis Jawa di Kota Medan sendiri tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme di Indonesia. Dimana pada saat itu etnis Jawa didatangkan secara besar-
besaran oleh VOC melalui sistem outsourcing tenaga kerja pertama, yang hingga kini dikenal dengan sebutan “kuli kontrak”. Selanjutnya, perkembangan etnis Jawa yang
Universitas Sumatera Utara
pesat disebabkan oleh kemampuan mereka dalam meregenerasi anggotanya, baik melalui kelahiran atau bahkan melalui migrasi.
Dalam pandangan masyarakat Kota Medan, etnis Jawa dilihat sebagai etnis yang submisif. Hal ini dikarenakan masih melekatnya stereotip bahwa orang Jawa
cenderung nrimo atau pasrah dalam segala hal. Adanya stereotip tersebut menafikan faktor penting, dimana salah satu etnis di Sumatera Utara ini juga memiliki potensi
konflik yang belum diketahui secara pasti. Mengingat belum diketahui secara pastinya potensi konflik yang dimiliki oleh
komunitas Jawa di Kota Medan, maka penelitian mengenai “Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim Terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota
Medan” dianggap perlu untuk diteliti. Penelitian tentang potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim merupakan
suatu upaya awal untuk mengidentifikasi potensi-potensi konflik antaretnis dan agama di Kota Medan. Dari hasil penelitian, dapat diketahui potensi konflik yang ada
pada komunitas Jawa Muslim, sehingga kemudian dapat diprediksi kemungkinan terburuk dari konflik yang mungkin terjadi. Selain itu, dapat diketahui sampai
sejauhmana potensi konflik pada komunitas tersebut bertahan persisten sehingga hasilnya diharapkan dapat menjadi referensi untuk menetapkan model resolusi
konflik, serta membangun suatu model kerukunan antaretnis dan agama pada komunitas-komunitas lain dengan skala yang lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah