Dalam skala besar, konflik yang melibatkan isu etnis dan agama di Kota Medan tidak pernah terjadi, namun pada skala kecil Kelurahan justru sebaliknya.
Salah satu konflik terjadi di Kelurahan Tegal Sari Mandala II, yang disebabkan oleh permasalahan ternak babi yang dipelihara oleh etnis Batak beragama Kristen. Limbah
peternakan selain menimbulkan bau yang tidak sedap, juga sering membuat selokan menjadi tumpat ketika hujan. Akar konflik adalah perbedaan persepsi dalam menilai
babi, dimana umat Islam menilai babi sebagai kotoran yang membuat ibadah seseorang menjadi tidak sah najis. Sementara itu, etnis Batak beragama Kristen
menganggap babi sebagai bahan makanan yang memiliki nilai adat. Fakta tersebut menunjukkan bahwa meskipun Kota Medan terlihat aman dan damai, potensi konflik
antarkelompok etnis dan agama masih tetap ada. Hanya saja konflik mash bertahan pada tahap potential conflict phase, dimana konflik masih berada dalam skala kecil,
dengan intensitas yang rendah, dan belum dikatalisasikan melalui kelompok yang terorganisir.
Pada penelitian, potensi konflik yang muncul dibagi berdasarkan empat aspek utama, yakni aspek sosial dan interaksi, aspek ekonomi, aspek struktural dan politik,
dan aspek budaya. Sesuai dengan kajian teori yang digunakan, aspek ini disebut sebagai sumber-sumber konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.
5.1.1. Aspek Sosial dan Interaksi Komunitas Jawa Muslim
Dalam bergaul, komunitas Jawa Muslim di Kota Medan cenderung fleksibel, serta mengutamakan toleransi dengan orang-orang yang berbeda etnis maupun
agama. Selain itu, kompleksnya konfigurasi etnis di Kota Medan telah membuka
Universitas Sumatera Utara
kesempatan bagi komunitas Jawa Muslim untuk bergaul dengan beraneka ragam etnis dan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam berinteraksi, faktor-faktor identitas sosial seperti; identitas etnis, warna kulit, penampilan, kelas, dan budaya tidak begitu mempengaruhi interaksi responden
komunitas Jawa Muslim di Kota Medan, baik responden laki-laki maupun perempuan. Identitas sosial yang secara signifikan mempengaruhi interaksi komunitas
Jawa Muslim adalah agama, dan bahasa. Agama sebagai identitas sosial dikatakan mempengaruhi interaksi, sebab hal ini diikuti oleh adanya prasangka yang cenderung
menciptakan sikap resisten penolakan terhadap kelompok agama lainnya. Sedangkan penggunaan bahasa yang berbeda dapat mengakibatkan terhambatnya
saluran komunikasi karena tidak adanya pemahaman mengenai informasi yang dipertukarkan, sehingga menutup kesempatan bagi komunitas Jawa Muslim untuk
bergaul dengan etnis lain. Lebih lanjut, jarak sosial komunitas Jawa Muslim terhadap etnis lain tidak
begitu terlihat dalam jawaban yang dikemukakan oleh responden. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang menerima keberadaan penganut agama lain di
kota yang sama dengan mereka 89,3, di Kecamatan yang sama 89,3, di Kelurahan yang sama 89,3, sebagai tetangga di lingkungan tempat tinggal
88,5, dan sebagai anggota kelurga yang masuk melalui pernikahan 76,2. Jarak sosial justru terlihat dalam jawaban yang diberikan oleh komunitas Jawa
Muslim terhadap penganut agama lain, terutama dalam hubungan yang lebih intens keluarga. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang menerima keberadaan
penganut agama lain di kota yang sama dengan mereka 86,1, di Kecamatan yang
Universitas Sumatera Utara
sama 86,1, di Kelurahan yang sama 86,1, sebagai tetangga di lingkungan tempat tinggal 84,4, dan sebagai anggota keluarga yang masuk melalui
pernikahan 20,5. Data di atas menunjukkan bahwa meskipun tidak terlihat adanya perilaku
mengelompok tersegregasi segregated neighborhoods berdasarkan kesamaan etnis dan agama, sebagian besar responden komunitas Jawa Muslim di Kota Medan, baik
laki-laki dan perempuan tidak menerima keberadaan penganut agama lain sebagai anggota keluarga yang masuk melalui pernikahan menantu, suami, atau istri, kecuali
penganut agama lain tersebut menjadi mualaf masuk Islam. Dalam bergaul, komunitas Jawa Muslim cenderung mengutamakan toleransi
terhadap kelompok etnis dan agama lain. Toleransi terhadap etnis lain adalah suatu sikap dimana seseorang dapat menerima perbedaan-perbedaan etnisitas. Tingginya
toleransi komunitas Jawa Muslim dilihat dari tidak adanya rasa terganggu responden terhadap etnis lain melaksanakan kegiatan adat di lingkungan tempat tinggal mereka
85,2, kesediaan menghadiri resepsi pernikahan tetangga mereka yang berbeda etnis dan agama 60,7, kesediaan menghadiri kediaman tetangga mereka yang
tertimpa kemalangan meskipun tetangga mereka berbeda etnis dan agama 61,5, tidak adanya perasaan terganggu ketika penganut agama lain melaksanakan kegiatan
keagamaan di lingkungan tempat tinggal responden 77. Toleransi yang tinggi disertai dengan solidaritas yang tumbuh dengan baik
dalam lingkungan ketetanggaan dapat menghapuskan prasangka buruk, dan menjadi pelumas dalam berinteraksi dengan kelompok etnis dan agama yang berbeda. Satu-
satunya potensi konflik yang tinggi adalah penolakan terhadap pendirian rumah
Universitas Sumatera Utara
ibadah oleh 45,6 responden penelitian. Hal ini muncul karena adanya anggapan bahwa rumah ibadah selain berfungsi sebagai tempat untuk beribadah bagi umat
beragama wilayah sakral, juga memiliki fungsi sebagai simbol eksistensi dari kelompok agama di suatu daerah wilayah profan. Dengan kata lain, jumlah rumah
ibadah di suatu daerah menandakan kelompok mana yang menjadi mayoritas di daerah tersebut, oleh sebab itu pendirian rumah ibadah diatur oleh pemerintah dengan
melibatkan masyarakat setempat sebagai pemberi lisensi sosial. Pada beberapa daerah dimana penganut agama Islam menjadi kelompok
mayoritas, potensi konflik karena rasa terganggu atas pendirian rumah ibadah penganut agama lain masih ada. Namun pada daerah-daerah yang lebih beragam,
pendirian rumah ibadah tidak dianggap sebagai masalah karena beribadah dianggap sebagai hak setiap umat beragama.
5.1.2. Aspek Ekonomi