BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Medan terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3°30’ sampai 3°43’ LU dan 98°35’ sampai 98°44’ BT, secara astronomis hal
ini menempatkan Kota Medan ke dalam wilayah dengan iklim tropis. Secara keseluruhan, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 m sampai 37,5 m di atas
permukaan laut. Curah hujan di Kota Medan bergantung pada musim, dimana curah hujan relatif tinggi jika sedang mengalami musim penghujan, dan curah hujan rendah
jika sedang mengalami musim kemarau. Secara administratif, Kota Medan merupakan salah satu Daerah Tingkat II
yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Letak Kota Medan relatif strategis, sebab selain dilalui oleh dua sungai besar, pembangunan kota mengacu pada perencanaan
yang didesain oleh arsitek Eropa yang memudahkan distribusi barang-barang perdagangan pada masa lalu. Sebagai jalur lintas perdagangan, Kota Medan sendiri
saat ini semakin berkembang dengan pesat, baik dari segi sosial-ekonomi maupun dari luas wilayah. Gambaran ini tidak terlepas karena Kota Medan memiliki batas-
batas sebagai berikut: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. -
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli
Serdang. -
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.
Mata pencaharian penduduk Kota Medan sangat beragam, akan tetapi sebagian besar berafiliasi pada jenis-jenis pekerjaan di sektor informal, selebihnya
adalah PNS, karyawan swasta, tenaga kerja profesional guru, dokter, dosen, pengacara, dan sebagainya, buruh, dan lain sebagainya. Luas keseluruhan Kota
Medan adalah 265,10 kilometer bujur sangkar atau sekitar 26510 Ha, yang dimanfaatkan sebagai permukiman, persawahan, dan lain sebagainya. Untuk lebih
jelas, luas kota Medan berdasarkan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1. Luas Kota Medan Berdasarkan Pemanfaatan Lahan No Pemanfaatan Lahan
Luas Ha Persentase 1
Permukiman 8828
33,3 2
Perkebunan 822
3,1 3
Lahan jasa 504
1,9 4
Persawahan 1617
6,1 5
Industri dan perusahaan 1511
5,7 6
Kebun campuran 12036
45,4 7
Hutan rawa 477
1,8 8
Lain-lain 715
2,7 Jumlah
26510 100
Sumber: www.pemkomedan.go.id
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan sebagai permukiman seluas 8828 Ha 33,3, kemudian penggunaan lahan sebagai perkebunan seluas 822
Ha 3,1. Lahan jasa di Kota Medan seluas 504 Ha 1,9, sedangkan untuk persawahan seluas 1617 Ha 6,1. Kawasan perindustrian di Kota Medan
menggunakan lahan seluas 1511 Ha 5,7, sedangkan untuk kebun campuran seluas 12036 Ha 45,4. Kawasan hutan rawa di Kota Medan seluas 477 Ha 1,8,
sedangkan 715 Ha 2,7 difungsikan untuk berbagai kegiatan yang lain. Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kota Medan
dimanfaatkan sebagai kebun campuran oleh masyarakat. Kebun campuran merupakan kawasan perladangan yang diselenggarakan masyarakat di atas lahan-lahan milik
pemerintah PTPN, maupun milik pribadi. Kawasan perkebunan, kebun campur, dan persawahan umumnya terletak di pinggiran Kota Medan, atau di kawasan perbatasan
antarkota. Permukiman di Kota Medan menggunakan lahan seluas 8828 Ha 33,3, ini
menunjukkan bahwa Kota Medan mulai mengalami kepadatan penduduk yang ditandai dengan tingginya pemanfaatan lahan sebagai kawasan permukiman. Dari
perspektif konflik, jumlah penduduk yang relatif besar memiliki keterkaitan erat dengan terbatasnya pemanfaatan lahan untuk aktivitas ekonomi, seperti; industri dan
perusahaan 5,7, lahan jasa 19, dan perkebunan 3,1. Hal ini berakibat semakin tersegregasinya kelompok-kelompok etnis dan agama karena tingginya
kompetisi antaretnis dan agama yang dalam memperoleh kesempatan kerja. Kota Medan terdiri atas 21 wilayah Kecamatan, yang terhubung satu sama
lain dengan jalan protokol dan jalan-jalan kecil. Jalan tersebut dapat diakses oleh
Universitas Sumatera Utara
kendaraan beroda dua sepeda motor, beroda tiga beca motor, beroda empat dan enam mobil. Namun, sebagian besar jalan kondisinya kurang baik, hal ini
disebabkan seringnya badan jalan tergenangi air dari selokan parit yang tumpat. Kota Medan berpenduduk sebanyak 2.076.821 jiwa, yang terdiri dari beragam etnis
dan agama. Tercatat lebih dari 11 etnis yang bermukim di Kota Medan, yang disajikan pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Etnis No
Etnis Jumlah penduduk
Jiwa Persentase
1 Jawa
682.205 33
2 Batak Toba
396.919 19,2
3 Tionghoa
219.133 10,6
4 Mandailing
193.911 9,4
5 Minangkabau
177.786 8,6
6 Melayu
136.411 6,6
7 Karo
86.826 4,2
8 Aceh
57.884 2,8
9 Simalungun
14.264 0,69
10 Nias 14.264
0,69 11 Pak-pak
14.265 0,69
12 Lain-lain 81.658
3,95 Jumlah
2.067.288 100
Sumber: Medan Dalam Angka Tahun 2007
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Medan adalah etnis Jawa, dengan proporsi 33 dari total keseluruhan penduduk, atau sekitar 682.205
jiwa. Disusul oleh etnis Batak Toba dengan proporsi 19,2 , atau sekitar 396.919 jiwa. Selanjutnya etnis Tionghoa dengan proporsi 10,6, atau sekitar 219.133 jiwa.
Lalu etnis Mandailing dengan proporsi 9,4, atau sekitar 193.911 jiwa. Kemudian, etnis Minangkabau dengan proporsi 8,6, atau sekitar 177.786 jiwa. Proporsi etnis
Universitas Sumatera Utara
Melayu adalah 6,6, atau sekitar 136.411 jiwa. Sementara itu, etnis Karo memiliki proporsi sebesar 4,2, atau sebesar 86.826 jiwa. Etnis Aceh dengan proporsi 2,8,
atau sebesar 57.884 jiwa. Sedangkan untuk etnis Simalungun, Nias, dan Pak-Pak masing-masing memiliki proporsi sebesar 0,69, atau sekitar 14.264 jiwa. Terakhir,
adalah gabungan dari beberapa etnis minoritas dengan proporsi sebesar 3,95, atau sebanyak 81.658 jiwa.
Data tersebut menunjukkan bahwa etnis Jawa sebagai kelompok mayoritas 33 sebenarnya memiliki potensi untuk mendominasi berbagai sektor di Kota
Medan, baik ekonomi, politik, maupun dominasi budaya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Etnis Jawa di Kota Medan justru mengambil peran sebagai kelompok
yang moderat, sehingga akhirnya etnis Jawa mulai termarjinalkan dalam berbagai sektor.
Kondisi demikian membuat kompetisi yang terjadi di Kota Medan menjadi sedikit longgar, sehingga gesekan-gesekan kepentingan antarkelompok etnis tidak
begitu terlihat menonjol. Situasi Hal ini memberikan kesan bahwa ada satu kekuatan tidak terlihat yang mengatur terciptanya integrasi sosial yang nyaris sempurna di Kota
Medan. Namun demikian, segregasi antaretnis masih dapat dilihat dengan adanya kawasan-kawasan permukiman yang identik dengan etnis-etnis yang ada di Kota
medan, baik yang sudah lama terbentuk maupun yang baru terbentuk beberapa tahun belakangan. Seperti halnya kawasan Sukaramai yang identik dengan etnis
Minangkabau, Tembung dengan etnis Jawa, Bandar Selamat dengan etnis Mandailing, Padang Bulan dengan etnis Karo, Kota Matsum dengan etnis Melayu,
kawasan Kesawan dengan etnis Tamil, kawasan Darussalam dengan etnis Aceh,
Universitas Sumatera Utara
kawasan Sekip dengan etnis Batak Toba, kawasan Sentral dan Jl. Asia dengan etnis Tionghoa Pecinan.
Sebagai kota metropolitan dan salah satu kota terbesar di Indonesia, kehidupan di Kota Medan tidak pernah berhenti. Sejak fajar menyingsing hingga
senja, kemudian dilanjutkan hingga fajar menyingsing keesokan harinya. Dengan kata lain, kehidupan Kota Medan berlangsung selama 24 jam dalam tujuh hari.
Apabila ditilik dari aspek sejarah, Kota Medan pantas dikatakan sebagai “Kota Perwujudan Segala Impian”. Sebab kota ini dibangun oleh impian dari para
migran, yang diwujudkan melalui kerja keras selama ratusan tahun, hingga akhirnya terbentuklah Kota Medan yang menuju metropolitan.
Sejarah kota Medan sendiri dimulai ketika seorang Karo yang dikenal dengan sebutan Guru Patimpus, mendirikan sebuah kampung yang bernama Medan Putri
tahun 1590-an. Tengku Lukman Sinar dalam Silaban 2010 mengatakan bahwa sebutan Guru Patimpus sendiri berasal dari bahasa Karo, dimana Guru dapat berarti
dukun atau “orang berilmu”. Kemudian, Pa dapat diartikan sebagai Bapak, sedangkan Timpus berarti kain yang digunakan untuk membungkus bekal atau bawaan. Apabila
ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia, maka Guru Patimpus berarti “dukun yang senantiasa bepergian membawa bungkusan”.
Letak asli Kampung Medan berada tepat dimana sungai Babura dan Sungai Deli bertemu, yang saat ini dekat dengan Jl. Putri Hijau. Secara harfiah, nama
“Medan” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab Maidani yang berarti kota yang aman, damai, tentram, dan sejahtera. Menurut Buiskool dalam Colombijn, 2005
pemberian nama ini dikarenakan oleh adanya peraturan Sultan Deli, yang
Universitas Sumatera Utara
mewajibkan setiap orang yang hendak bermukim di Kampung Medan harus menanggalkan Marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam.
Masuknya pedagang Eropa pada tahun 1642 merubah Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya menjadi jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat
terkenal, mulai dari kopi, karet, coklat, tembakau, sawit, dan lain sebagainya. Lokasi yang strategis, iklim yang mendukung, dan lahan yang potensial membuat Sumatera
Timur mulai dilirik oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dari seluruh dunia. Puncaknya, Jacob Nienhuys mencoba menanam tembakau pertamanya di
Sumatera Timur tahun 1960-an, dengan berbekal konsesi atas lahan seluas 2000 m
2
dari Sultan Deli. Hasil yang diperoleh sangat memuaskan, sehingga para pengusaha yang tergabung dalam serikat dagang VOC meminta konsesi besar-besaran di
Sumatera Timur. Dengan uang hasil konsesi tersebut, Sultan Deli kemudian membangun istana barunya tidak jauh dari Kampung Medan, yang saat ini dikenal
dengan nama Istana Maimoon. Perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan yang demikian pesat,
membutuhkan administrasi yang lebih baik, koordinasi yang cepat dengan Sultan, dan jalur distribusi yang lebih strategis. Dengan alasan tersebut, kantor perusahaan Deli
Maatschapij kemudian dipindahkan ke Kampung Medan sekarang Balai Kota. Hal ini berdampak pada semakin berkembangnya Kampung Medan, dimana sarana dan
prasarana seperti jalan beraspal, rel kereta api, kantor pos, gedung perkantoran, listrik, air bersih, bahkan hotel bagi para turis dan investor mulai dibangun.
Setelah seluruh fasilitas dibangun, pusat aktivitas yang sebelumnya berada di Labuhan kemudian dipindahkan ke Kota Medan. Pemindahan ini mengikuti
Universitas Sumatera Utara
perencanaan yang ditetapkan oleh Deli Maatschapij, yang saat itu menguasai perekonomian melalui sistem perkebunan. Hal ini kemudian menjadi magnet bagi
para pendatang dari berbagai daerah. Dengan modal yang dimiliki, mereka datang untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan membuka lembaran baru kehidupan mereka di
kampung kecil bernama Medan.
4.2. Karakteristik Responden