Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim Terhadap Etnis Berbeda Dan Penganut Agama Lain Di Kota Medan

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

POTENSI KONFLIK KOMUNITAS JAWA MUSLIM TERHADAP ETNIS BERBEDA DAN PENGANUT AGAMA LAIN DI KOTA MEDAN

SKRIPSI Diajukan oleh: NIM: 060901012 Dharma Kelana Putra

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini memfokuskan tentang kajian mengenai potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan. Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya keingintahuan mengenai bagaimana sebenarnya potensi konflik antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, khususnya dari perspektif komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode deskriptif. Dimana data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel silang (cross tabulation).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas jawa Muslim cenderung inklusif dan terbuka dalam bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama. Dalam hubungan yang lebih intens, identitas sosial yang mencakup perbedaan agama dan perbedaan bahasa relatif mempengaruhi interaksi komunitas Jawa Muslim dalam membina hubungan pertemanan. Pada aspek ekonomi, kecemburuan sosial tidak begitu terlihat pada komunitas Jawa Muslim, namun adanya diskriminasi dalam pekerjaan-pekerjaan strategis merupakan potensi konflik yang harus diwaspadai.

Pada aspek politik, etnisitas tidak begitu terlihat dalam pemilihan Walikota, yang disebabkan karena lemahnya identitas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, persamaan agama menjadi prasyarat utama sebagai seorang pemimpin yang ideal menurut komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.

Kata Kunci: Potensi Konflik, Komunitas Jawa Muslim, Identitas Sosial


(3)

DAFTAR ISI

Halaman persetujuan ... ii

Abstrak ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KERANGKA TEORI ... 10

2.1. Teori Konflik ... 10

2.2. Definisi Operasional ... 20

2.2.1. Konflik ... 20

2.2.2. Potensi Konflik ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1. Jenis Penelitian ... 25

3.2. Lokasi Penelitian ... 25

3.3. Populasi dan Penarikan Sampel ... 26

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.5. Teknik Analisis Data ... 27

3.6. Jadwal Penelitian ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 29

4.2. Karakteristik Responden ... 36

4.3. Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim di Kota Medan ... 42

4.3.1. Aspek Sosial dan Interaksi ... 44

4.3.2. Aspek Ekonomi ... 63

4.3.3. Aspek Politik dan Struktural ... 70

4.3.4. Aspek Budaya ... 83

4.4. Analisis Data ... 98

BAB V PENUTUP ... 111

5.1. Kesimpulan ... 111

5.2. Saran ... 114


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama ... 4

Tabel 4.1. Luas Kota Medan Berdasarkan Pemanfaatan Lahan ... 30

Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 31

Tabel 4.3. Koposisi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin... 35

Tabel 4.4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pekerjaan ... 36

Tabel 4.5. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Penghasilan .. 37

Tabel 4.6. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan ... 38

Tabel 4.7. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Terjadinya Konflik Antaretnis dan Agama di Lingkungan Tempat Tinggal ... 40

Tabel 4.8. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Bergaul dengan Orang yang Berbeda Etnis dan Agama... 42

Tabel 4.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Komunitas jawa Muslim ... 44

Tabel 4.10. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Teman yang Berbeda Etnis dan Agama ... 45

Tabel 4.11. Tanggapan Responden Terhadap Etnis Lain yang Melaksanakan Kegiatan Adat di Lingkungan Tempat Tinggal... 47

Tabel 4.12. Tanggapan Responden Terhadap Penganut Agama Lain yang Melaksanakan Kegiatan Keagamaan di Lingkungan Tempat Tinggal ... 48

Tabel 4.13. Tanggapan Responden Terhadap Penganut Agama Lain yang Membangun Rumah Ibadah di Lingkungan Tempat Tinggal ... 49

Tabel 4.14. Komposisi Responden Berdasarkan Kesediaan Membantu/ Menghadiri Resepsi Pernikahan Tetangga yang Berbeda Etnis dan Agama ... 50

Tabel 4.15. Komposisi Responden Berdasarkan Berdasarkan Kesediaan Mengunjungi Apabila Tetangga yang Berbeda Etnis dan Agama Mengalami Kemalangan ... 51

Tabel 4.16. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kota yang Sama ... 52

Tabel 4.17. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kecamatan yang Sama ... 53

Tabel 4.18. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kelurahan yang Sama ... 54

Tabel 4.19. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain Sebagai Tetangga Lingkungan yang Sama ... Tabel 4.20. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain Sebagai Anggota Keluarga yang Masuk Melalui Pernikahan ... 55

Tabel 4.21. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Etnis Lain di Kota yang Sama ... 56


(5)

Tabel 4.22. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap

Keberadaan Etnis Lain di Kecamatan yang Sama ... 57 Tabel 4.23. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap

Keberadaan Etnis Lain di Kelurahan yang Sama ... 57 Tabel 4.24. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap

Keberadaan Etnis Lain Sebagai Tetangga Lingkungan yang Sama ... 58 Tabel 4.25. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap

Keberadaan Etnis Lain Sebagai Anggota Keluarga yang Masuk

Melalui Pernikahan ... 59 Tabel 4.26. Tanggapan Responden Apabila Ada Tetangga yang Berasal

dari Etnis Lain Memiliki Kemampuan Ekonomi Lebih Tinggi ... 60 Tabel 4.27. Tanggapan Responden Apabila Ada Tetangga yang Berasal

dari Etnis Lain Memiliki Status Sosial Lebih Tinggi ... 61 Tabel 4.28. Komposisi Responden Berdasarkan Tanggapan Terhadap

Kesamaan Kesempatan Usaha Antara Etnis Jawa dengan

Etnis Lain ... 63 Tabel 4.29. Tanggapan Responden Terhadap Kesamaan Kesempatan

Dalam Pekerjaan-Pekerjaan Strategis Antara Etnis Jawa

dengan Etnis Lain ... 64 Tabel 4.30. Tanggapan Responden Apabila Mengalami Persaingan

Usaha dengan Etnis Lain ... 65 Tabel 4.31. Tanggapan Responden Apabila Mengalami Persaingan

Usaha dengan Penganut Agama Lain ... 66 Tabel 4.32. Komposisi Responden Berdasarkan Keaktifan Dalam

Organisasi Kemasyarakatan Islam ... 67 Tabel 4.33. Komposisi Responden Berdasarkan Keaktifan Dalam

Organisasi Kemasyarakatan Berbasis Kesukuan ... 68 Tabel 4.34. Komposisi Responden Berdasarkan Afiliasi Partai Politik

Dalam Pemilihan Umum Terakhir ... 69 Tabel 4.35. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini

Etnis Jawa Memiliki Akses yang Sama dalam Kepemilikan

Tempat Tinggal” ... 71 Tabel 4.36. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis

Jawa Memiliki Akses yang Sama Memperoleh Fasilitas dan

Sarana Kesehatan” ... 72 Tabel 4.37. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis

Jawa Memiliki Akses yang Sama dalam hal Pendidikan” ... 73 Tabel 4.38. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis Jawa

Memiliki Akses yang Sama dalam Kepemilikan Tanah” ... 74 Tabel 4.39. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Anda Memilih

Pemimpin Berdasarkan Kesamaan Etnis” ... 75 Tabel 4.40. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Anda Memilih

Pemimpin Berdasarkan Kesamaan Agama” ... 76 Tabel 4.41. Komposisi Responden Berdasarkan Kepuasan Terhadap Proporsi


(6)

dan sebagainya) ... 77 Tabel 4.42. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap

Kepemimpinan non-Jawa di Kota Medan... 79 Tabel 4.43. Tanggapan Responden Terhadap Keterwakilan Aspirasi

Komunitas Jawa Muslim dengan Proporsi Etnis Jawa di DPRD Kota Medan Saat ini ... 80 Tabel 4.44. Komposisi Responden berdasarkan Pengetahuan Tentang

Peninggalan Sejarah ke-Jawaan di kota Medan ... 81 Tabel 4.45. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang

Pelaksanaan Upacara Adat di Lingkungan Tempat Tinggal ... 82 Tabel 4.46. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Kesenian

Adat Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal ... 83 Tabel 4.47. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang

Penggunaan Bahasa Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal ... 84 Tabel 4.48. Komposisi Responden Berdasarkan Penilaian Terhadap Kelompok

Etnis Lain yang Baik Sebagai Teman ... 85 Tabel 4.49. Stereotip Terhadap Etnis Lain Dalam Pandangan Komunitas Jawa

Muslim di Kota Medan ... 87 Tabel 4.50. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Perselisihan dengan

Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan ... 91 Tabel 4.51. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai Untuk

Mengekspresikan Konflik ... 92 Tabel 4.52. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai Untuk


(7)

ABSTRAK

Penelitian ini memfokuskan tentang kajian mengenai potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan. Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya keingintahuan mengenai bagaimana sebenarnya potensi konflik antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, khususnya dari perspektif komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode deskriptif. Dimana data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel silang (cross tabulation).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas jawa Muslim cenderung inklusif dan terbuka dalam bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama. Dalam hubungan yang lebih intens, identitas sosial yang mencakup perbedaan agama dan perbedaan bahasa relatif mempengaruhi interaksi komunitas Jawa Muslim dalam membina hubungan pertemanan. Pada aspek ekonomi, kecemburuan sosial tidak begitu terlihat pada komunitas Jawa Muslim, namun adanya diskriminasi dalam pekerjaan-pekerjaan strategis merupakan potensi konflik yang harus diwaspadai.

Pada aspek politik, etnisitas tidak begitu terlihat dalam pemilihan Walikota, yang disebabkan karena lemahnya identitas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, persamaan agama menjadi prasyarat utama sebagai seorang pemimpin yang ideal menurut komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.

Kata Kunci: Potensi Konflik, Komunitas Jawa Muslim, Identitas Sosial


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, akan tetapi keanekaragaman ini juga tidak jarang menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan tidak jarang menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Potensi konflik biasanya dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek-aspek primordial, seperti etnis, agama, ataupun kebudayaan. Karena sifatnya yang inheren, potensi konflik yang berasal dari aspek primordial cenderung sulit untuk dihilangkan.

Untuk mengatasi hal itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, mulai dari rezim orde lama hingga saat ini. Upaya-upaya tersebut pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan kehidupan antaretnis dan agama yang rukun, aman, damai, dan tenteram yang merupakan kondisi terwujudnya integrasi sosial dalam masyarakat.

Pada masa pemerintahan orde lama, upaya untuk mengurangi gesekan antara etnis dan agama oleh Bung Karno dilakukan dengan mengemukakan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis). Akan tetapi, konsep Nasakom ini kemudian ditentang oleh berbagai pihak khususnya dari kalangan agama, sebab konsep tersebut dianggap telah menyimpang dari setiap ajaran agama yang ada.


(9)

Konsep Nasakom berakhir seiring dengan jatuhnya rezim orde lama, yang ditandai dengan peristiwa pembantaian orang-orang yang terlibat dengan PKI di berbagai daerah di Indonesia. Peristiwa ini hingga saat ini dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI), atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh).

Berbeda dengan orde lama, pada masa pemerintahan orde baru upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi setiap betuk konflik adalah dengan melakukan penyeragaman melalui doktrin P4, yang melibatkan penggunaan bantuan militer sebagai sarana untuk menciptakan situasi aman. Situasi aman pada masa orde baru diciptakan dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap hal-hal yang bersifat kedaerahan, seperti menggunakan isu-isu subversif pada organisasi kedaerahan yang mulai terlihat vokal.

Adanya hal itu memang membuat situasi menjadi aman dan terkendali, akan tetapi keamanan yang tercipta justru bersifat semu. Kekecewaan-kekecewaan yang seharusnya dapat tersalur secara wajar diredam melalui paksaan selama puluhan tahun. Tentunya, hal ini membuat kekecewaan yang ada terakumulasi, sehingga menimbulkan potensi konflik yang sangat besar yang dikemas dengan nuansa agama dan etnis.

Berkaitan dengan hal itu, Sitorus (2003) mengemukakan bahwa di era orde baru, keberpihakan terhadap kapitalisme semu memunculkan prasangka bahwa kelompok etnik Tionghoa secara sosio-ekonomis yang diuntungkan. Prasangka ras (racial prejudice) dan kekentalan aprioritas kelompok pribumi terhadap kelompok etnik Tionghoa telah telah menyebar di tataran kosmis dan kehidupan profan (Sitorus,


(10)

2003). Ini dibuktikan pada saat jatuhnya rezim pemerintahan orde baru, akumulasi kekecewaan berubah menjadi konflik yang nyata dalam bentuk demonstrasi, pembakaran, perkosaan, dan bahkan perusakan barang-barang milik etnis China.

Kemudian pada masa reformasi, sistem yang baru dibenahi membuka peluang bagi seluruh penduduk Indonesia menggunakan kebebasannya dalam berdemokrasi. Situasi ini oleh sebagian besar pihak dianggap sebagai langkah awal menuju masyarakat yang madani. Namun demikian, terbukanya peluang untuk menggunakan kebebasan berpolitik justru membawa potensi konflik horizontal yang menjurus pada konflik antaretnis dan agama.

Di Ambon misalnya, potensi konflik dibawa oleh dua komunitas berbasis agama, yakni komunitas Muslim dan komunitas Kristen. Selain perbedaan kepentingan, konflik Ambon disebabkan oleh ketiadaan jalur komunikasi yang baik antara kedua komunitas yang bertikai, sehingga potensi konflik yang ada tetap terpelihara (persisten) atau bahkan terakumulasi dibalik situasi damai yang semu (www.preventconflict.org,).

Selain konflik yang diakibatkan oleh perbedaan agama, konflik antaretnis juga tidak kalah berbahaya. Di Sampit misalnya, konflik diakibatkan oleh kecemburuan sosial antaretnis, yakni etnis Dayak dengan etnis Madura. Dalam hal ini, sensitifitas etnis Dayak terusik karena etnis Madura lebih berhasil pada sektor ekonomi. Konflik juga semakin dipertajam dengan adanya kontrol yang berlebihan oleh etnis Madura terhadap sumber-sumber daya yang tedapat di Sampit (Susan, 2009).

Terjadinya konflik-konflik primordial dianggap sebagai gambaran yang buruk dari gagalnya integrasi sosial pada negara yang menganut sistem demokrasi. Sebab,


(11)

beberapa ahli dalam teori modern seperti Coleman, Inkeles, Dove, dan Habermas sebelumnya telah mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat seiring dengan modernisasi telah menghapus bentuk-bentuk kesadaran primordial yang menjadi potensi konflik antaretnis dan agama.

Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang majemuk di Indonesia. Kemajemukan Kota Medan dapat dilihat dari keberadaan berbagai lembaga keagamaan yang terdapat di Kota Medan, seperti; Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), dan lain sebagainya.

Mayoritas penduduk di Kota Medan menganut agama Islam. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh kebijakan Sultan Deli pada masa penjajahan, dimana setiap orang yang ingin menjadi penduduk kota Medan harus menanggalkan marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam. Untuk lebih jelas, komposisi penduduk Kota Medan berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase

1 Islam 1.416.815 68,53 %

2 Protestan 373.451 18,10 %

3 Buddha 204.113 9,87 %

4 Katolik 59.038 2,85 %

5 Hindu 13.602 0,66 %

Jumlah 2.067.288 100,00 % Sumber: Medan Dalam Angka Tahun 2007


(12)

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2006, secara kuantitatif mayoritas penduduk di Kota Medan adalah pemeluk agama Islam (68,53%). Dengan jumlah tersebut, penduduk yang beragama Islam dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Sementara itu, dalam kasus Ambon konflik kepentingan dapat dengan mudah dikemas menjadi konflik antara komunitas Muslim dengan komunitas Kristen pada daerah dimana penduduk yang beragama Islam menjadi kelompok minoritas. Fenomena ini seharusnya dapat diungkapkan melalui suatu penelitian yang lebih mendalam.

Lebih lanjut, di Kota Medan juga terdapat beberapa etnis yang membentuk suatu organisasi yang berbasiskan marga atau keluarga. Organisasi tersebut umumnya didirikan untuk melindungi eksistensi dan kepentingan dari etnis yang mendirikannya. Lebih lanjut, organisasi tersebut diantaranya; Ikatan Aceh Sepakat, Himpunan Keluarga Besar Mandailing, Perkumpulan Marga Panjaitan, Ikatan Keluarga Gasan Saiyo, Persatuan Warga Sunda, Pujakesuma, Forum Komunikasi Warga Putra-Putri Jawa, Pendawa, dan lain-lain.

Dalam hubungan antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, sentimen-sentimen primordial tidak sepenuhnya dapat dihilangkan. Isu yang telah bertahan cukup lama di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan adalah sentimen antara etnis Aceh, Minangkabau, Tapanuli, dan Melayu terhadap orang-orang Jawa. Akan tetapi, sentimen tersebut umumnya tidak diperlihatkan dalam interaksi sosial, inilah yang menyebabkan mengapa Kota Medan menjadi kota percontohan untuk kategori integrasi sosial kota yang majemuk.


(13)

Di Sumatera Utara, penelitian mengenai konflik antaretnis pernah diteliti oleh Saladin (1995). Penelitian tersebut terfokus pada konflik dan mekanisme resolusi konflik pada komunitas nelayan di Bagan Asahan. Penelitian tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa konflik antaretnis di Bagan Asahan lebih disebabkan oleh kompetisi atas kontrol terhadap sumber-sumber daya antara kelompok etnis asli dengan etnis pendatang, dimana sumber-sumber daya yang dimaksud meliputi; wilayah penangkapan ikan, perempuan sebagai fungsi reproduksi, serta lokasi untuk berdagang.

Penelitian-penelitian lain mengenai masalah konflik di Medan sendiri hingga saat ini juga telah banyak dilakukan, baik mengenai konflik antaretnis maupun antaragama. Umumnya, penelitian tersebut hanya membahas permasalahan konflik antaretnis dan agama secara umum tanpa melihat realitas subjektif yang khusus dari salah satu etnis, seperti Mandailing, Minangkabau, Batak, maupun etnis Jawa. Oleh sebab itu, penelusuran yang mendalam mengenai realitas subjektif sebagai potensi konflik dari salah satu etnis yang mendiami Kota Medan menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Pada konteks ini, komunitas Jawa ditetapkan sebagai etnis yang akan diteliti, sebab reaksi dari etnis Jawa terhadap sentimen dari berbagai etnis tersebut merupakan potensi konflik yang patut diperhitungkan.

Keberadaan etnis Jawa di Kota Medan sendiri tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme di Indonesia. Dimana pada saat itu etnis Jawa didatangkan secara besar-besaran oleh VOC melalui sistem outsourcing tenaga kerja pertama, yang hingga kini dikenal dengan sebutan “kuli kontrak”. Selanjutnya, perkembangan etnis Jawa yang


(14)

pesat disebabkan oleh kemampuan mereka dalam meregenerasi anggotanya, baik melalui kelahiran atau bahkan melalui migrasi.

Dalam pandangan masyarakat Kota Medan, etnis Jawa dilihat sebagai etnis yang submisif. Hal ini dikarenakan masih melekatnya stereotip bahwa orang Jawa cenderung nrimo atau pasrah dalam segala hal. Adanya stereotip tersebut menafikan faktor penting, dimana salah satu etnis di Sumatera Utara ini juga memiliki potensi konflik yang belum diketahui secara pasti.

Mengingat belum diketahui secara pastinya potensi konflik yang dimiliki oleh komunitas Jawa di Kota Medan, maka penelitian mengenai “Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim Terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan” dianggap perlu untuk diteliti.

Penelitian tentang potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim merupakan suatu upaya awal untuk mengidentifikasi potensi-potensi konflik antaretnis dan agama di Kota Medan. Dari hasil penelitian, dapat diketahui potensi konflik yang ada pada komunitas Jawa Muslim, sehingga kemudian dapat diprediksi kemungkinan terburuk dari konflik yang mungkin terjadi. Selain itu, dapat diketahui sampai sejauhmana potensi konflik pada komunitas tersebut bertahan (persisten) sehingga hasilnya diharapkan dapat menjadi referensi untuk menetapkan model resolusi konflik, serta membangun suatu model kerukunan antaretnis dan agama pada komunitas-komunitas lain dengan skala yang lebih besar.


(15)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:

a. Bagaimanakah potensi konflik yang terdapat pada komunitas Jawa Muslim di Kota Medan?

b. Sejauhmanakah resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap penganut agama lain di Kota Medan?

c. Sejauhmanakah resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap etnis lain di Kota Medan?

d. Bagaimana stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam etnis Jawa terhadap etnis dan agama lain?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.

b. Untuk mengetahui sejauhmana resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap penganut agama lain di Kota Medan.

c. Untuk mengetahui sejauhmana resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap etnis lain di Kota Medan.

d. Untuk mengetahui bagaimana stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam etnis Jawa terhadap etnis dan agama lain?


(16)

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik dan potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim di kawasan perkotaan. Secara teoritis hasil penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah keilmuan bagi perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan ataupun referensi untuk menetapkan model resolusi konflik, serta membangun model kerukunan antarernis dan agama khususnya di Kota Medan. Kemudian bagi peneliti sendiri, hasil penelitian ini berguna untuk memperdalam kajian sosiologis, terutama kajian-kajian yang berkaitan dengan konflik dan resolusi konflik.


(17)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1. Teori Konflik

Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam kajian sosiologis, kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain disebut dengan gregariousness. Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006: 55).

Interaksi sosial sendiri dimulai ketika dua orang bertemu (tatap muka), saling menegur (kontak suara), dan berjabat tangan (kontak fisik). Lebih lanjut, interasi sosial menurut Karp dan Yoels (dalam Soenarto, 2003) ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan penampilan. Ciri-ciri fisik meliputi jenis kelamin, usia, ras, sedangkan penampilan meliputi daya tarik, bentuk tubuh, busana, dan wacana percakapan.

Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa pertimbangan dalam berinteraksi biasanya ditentukan oleh adanya persamaan-persamaan, baik persamaan dalam ciri fisik maupun penampilan. Dalam hal ini, individu cenderung melakukan identifikasi atau mencari persamaan, dimana individu kemudian menempatkan diri pada kelompok tertentu. Pada tataran kelompok etnis, persamaan yang dicari diantaranya persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik.


(18)

Lebih lanjut, bentuk-bentuk interaksi sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat, antara lain; kerjasama, persaingan, dan pertentangan (konflik). Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Sedangkan kompetisi adalah suatu proses dimana individu atau kelompok saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan (sumber daya) yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum.

Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat diterima oleh satu individu dengan individu lain atau antara suatu kelompok dengan kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara individu-individu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan perbedaan kepentingan.

Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan primordial menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya.

Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan primordial melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik, dimana potensi konflik itu dibentuk melalui serangkaian proses panjang, yang diwariskan secara turun-temurun


(19)

melalui sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu.

Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primordial biasanya dapat muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam, prasangka (prejudice), dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh Soenarto (2003) didefinisikan sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional serta berada di bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang dianut telah disangkal melalui bukti-bukti nyata.

Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru menjadi potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama.

Senada dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan.


(20)

Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan tersebut dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh dari suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketegangan sosial.

Perbedaan kepentingan pada konteks ini, oleh Dahrendorf (dalam Poloma, 2003) dibagi menjadi dua, yakni kepentingan manifes dan kepentingan laten. Kepentingan manifes adalah kepentingan yang disadari oleh semua pihak, sedangkan kepentingan laten sendiri merupakan tingkah laku potensil yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari.

Apa yang dikatakan oleh Dahrendorf mengenai kepentingan manifest dan laten (dalam Poloma, 2003) dikuatkan dengan pendapat Giddens yang melihat potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim dengan menggunakan pendekatan primordial. Kemudian, Magenda dalam Sitorus (2003) juga mengatakan bahwa terdapat pembelahan kultur pada masyarakat Jawa, sedangkan pada banyak suku, agama merupakan identitas suku (seperti halnya orang Melayu yang identik dengan agama Islam), sehingga lahirlah konsep agama suku. Adanya pembelahan kultur pada masyarakat Jawa (Jawa Muslim, Jawa Hindu, Jawa Buddha, dan Jawa Kristen) di Indonesia sendiri merupakan salah satu potensi konflik, jika dilihat dari pendekatan yang digunakan oleh Giddens.

Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang dikuasai), serta konflik horizontal atau konflik yang terjadi di antara kelas yang sama. Lebih lanjut, untuk


(21)

membahas setiap situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi dua tipologi, yakni konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan (Poloma, 2003: 111).

Selanjutnya, konflik non-realistis diartikan oleh Coser (dalam Poloma, 2003) sebagai konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistik, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari satu pihak. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya:

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi, kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi.

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan structural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit,


(22)

kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi.

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua bagan yang terpisah, yakni; fase keamanan jangka pendek (security-building

phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta fase keamanan jangka

panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.

Sementara itu, Soekanto (2006) mengutarakan bahwa konflik atau pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain; pertentangan pribadi, pertentangan rasial, pertentangan politik, pertentangan internasional, serta pertentangan antara kelas-kelas sosial. Terkait dengan kelas sosial, Dahrendorf (dalam Poloma, 2003) berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, meskipun bukan determinan kelas akan tetapi dapat mempengaruhi intensitas pertentangan.

Senada dengan apa yang diungkapkan Soekanto, Susan (2009) mengemukakan bahwa konflik dapat muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antarorang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict), serta konflik antarnegara


(23)

(interstate conflict). Konflik yang muncul pada skala tersebut umumnya dapat ditemui oleh individu dalam kehidupan sosial yang nyata di lingkungannya.

Dalam kehidupan sosial di tingkat interpersonal, konflik cenderung disebabkan oleh adanya ikatan yang intim dengan orang lain. Pada tahapan ini, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan daripada mengungkapkan rasa permusuhan. Sementara di sisi lain, penekanan rasa permusuhan itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak apabila konflik tersebut berkembang (Poloma, 2003: 114).

Pada umumnya konflik di tingkat interpersonal relatif mudah untuk ditangani, sebab konflik tersebut hanya melibatkan antara satu orang dengan orang lainnya. Akan tetapi, konflik yang telah melibatkan suatu kelompok pada umumnya relatif sulit untuk ditangani dan memerlukan mekanisme khusus dalam upaya resolusinya.

Coser (dalam Ritzer dan Goodman, 2006) mengemukakan bahwa mekanisme tersebut adalah katup penyelamat atau savety valve. Katup penyelamat memungkinkan luapan konflik tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dimana konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Selain katup penyelamat, mekanisme lain yang dikemukakan oleh Coser adalah pengkambinghitaman atau scapegoating. Pengkambinghitaman sendiri oleh Coser (dalam Poloma, 2003) digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok tidak melepaskan prasangka (prejudice) mereka terhadap kelompok yang benar-benar merupakan lawan, akan tetapi menggunakan kelompok pengganti sebagai objek prasangka.


(24)

Poloma (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Fisher (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa terkait persoalan sikap, perilaku, dan situasi konflik dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe-tipe tersebut terdiri dari:

a. Tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan-hubungan antarkelompok bias saling memenuhi dan damai.

b. Konflik laten; menggambarkan situasi dimana konflik yang ada sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan untuk ditangani.

c. Konflik terbuka; menggambarkan situasi konflik yang nyata dan telah muncul ke permukaan, berakar kuat, serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebabnya.

d. Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar, dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran.

Sebagai suatu proses sosial yang sifatnya dinamis, konflik sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang berasal dari berbagai aspek. Sifatnya yang dinamis cenderung membuat konflik dapat dikelola untuk mencapai suatu resolusi, dimana resolusi tersebut merupakan suatu keadaan dimana kepentingan yang mengalami pergesekan dapat bertemu dan menetapkan kesepakatan bersama.


(25)

Susan (2009) menetapkan metode resolusi konflik melalui konsep tata kelola konflik (conflict governance). Konsep tersebut melibatkan penggunaan seluruh sumber daya yang ada, disertai strategi yang tepat, sehingga tujuan dari resolusi tersebut dapat dicapai dengan baik.

Sementara itu, Wirawan (2010) juga memaparkan bahwa resolusi konflik dapat dicapai dengan dua cara, yakni pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang berkonflik (self regulation), dan melalui intervensi pihak ketiga (third party

intervention). Dalam pengaturan sendiri, pihak-pihak yang terlibat menyusun strategi

konflik untuk mencapai tujuannya. Sementara apabila melibatkan pihak ketiga, terdiri atas; resolusi melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif.

Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan oleh beberapa pakar, maka dapat dijabarkan bahwa dalam menganalis konflik sedikitnya terdapat beberapa indikator penting. Indikator-indikator tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Interaksi (interaction), yakni hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara individu ataupun kelompok yang dapat menyebabkan konflik.

b. Sumber-sumber konflik (source), yang meliputi; perbedaan fisik, perbedaan kepentingan, perbedaan perlakuan, perbedaan identitas, kekecewaan, keterbatasan sumber daya, bahasa, terputusnya komunikasi, perbedaan persepsi, dan stereotip.

c. Pihak-pihak yang berkonflik (stakeholder), yakni pihak-pihak yang berkonflik atau memiliki kepentingan atas terjadinya konflik, meliputi; individu, kelompok, dan pihak ketiga (mediator, free rider, dan lain sebagainya).


(26)

d. Proses (process), yakni bagaimana konflik diawali dan berlangsung hingga saat ini. Proses konflik juga meliputi sampai sejauhmana konflik atau potensi konflik akan terjadi, yang dapat digambarkan sebagai eskalasi dan deskalasi konflik.

e. Ekspresi (expression), yakni dalam bentuk apa konflik ditunjukkan, seperti; ucapan (verbal), tulisan, gerak tubuh (gesture), dan kontak fisik.

f. Hasil akhir (result), meliputi bagaimana hasil akhir dari konflik yang terjadi, seperti; win-win, win-lose, dan lose-lose condition.

Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan

pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup orang Jawa haruslah harmonis, selaras,

serasi, dan seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus dihindari (Wirawan, 2010).

Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang harmonis dapat diwujudkan dengan baik.


(27)

2.2. Definisi Operasional 2.2.1. Konflik

Konflik dalam penelitian ini adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya:

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah.

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi.

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi.

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali


(28)

hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan.

Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan

pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup haruslah harmonis, selaras, serasi, dan

seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus dihindari (Wirawan, 2010).

Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang harmonis dapat diwujudkan dengan baik. Prinsip rukun memandang konflik dapat mengganggu keselarasan, dan harmoni kehidupan. Konflik bertentangan dengan nilai-nilai luhur, serta menyebabkan orang tidak dapat bahagia di dunia dan akhirat, sehingga konflik bagi masyarakat Jawa harus dihindari dalam kehidupan.

Dalam budaya Jawa terdapat stratifikasi sosial yang membedakan antara seorang individu dengan individu lainnya dalam hierarki yang kompleks, seperti bangsawan dan abdi, orang tua dan anak, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Setiap bagian dari hierarki tersebut mempunyai status dan peran yang berbeda. Prinsip hormat menekankan bahwa setiap orang berkewajiban untuk


(29)

menghormati status yang dimiliki orang lain, meskipun penghormatan yang diberikan kepada setiap orang cenderung berbeda.

Selain prinsip rukun dan hormat, dikenal pula pitutur catur murti, yakni; berbicara yang baik, berpikir yang baik, berbuat yang baik, dan berperasaan yang baik. Prinsip ini tidak hanya ditujukan untuk menghindari konflik, tetapi juga menjadi pedoman bagi seseorang untuk berperilaku ketika sedang berada dalam situasi konflik. Pada situasi konflik, penerapan catur murti bertujuan untuk menghargai dan menghormati setiap lawan yang dihadapi. Dalam hal ini, penerapan catur murti biasanya diikuti pula dengan dengan beberapa prinsip, antara lain sebagai berikut:

a. Sugih tanpo bondo; kaya tanpa harta.

b. Ngluruk tanpo bolo; menyerang tanpa tentara.

c. Menang tan ngasorake; menang tanpa merendahkan.

d. Eling; ingat (tidak lupa diri).

e. Aja dumeh; tidak sombong (menganggap remeh).

f. Teposeliro ngerti kualat; tenggang rasa dan memahami resiko perbuatan.

g. Durung menang yen durung wani kalah; belum menang kalau belum siap

untuk kalah.

h. Durung unggul yen durung wani asor; belum di atas kalau belum berani di

bawah.

i. Durung gede yen durung wani cilik; belum dianggap besar kalau belum berani

menjadi (dianggap) kecil.

j. Mikul dhuwur mendem jero; menjunjung setinggi-tingginya (kebaikan lawan),


(30)

2.2.2. Potensi Konflik

Potensi konflik adalah akar permasalahan dari konflik sosial, atau berbagai hal yang dapat memicu terjadinya konflik. Potensi konfik dalam penelitian ini muncul dari beberapa aspek, yakni;

No Aspek Konflik Variabel Indikator

1 Aspek Sosial dan Interaksi

a. Frekuensi interaksi b. Identitas sosial

c. Jumlah teman dalam jejaring sosial

d. Toleransi

e. Jarak sosial (skala Bogardus)

− Perbedaan agama

− Perbedaan etnis

− Perbedaan warna kulit

− Perbedaan budaya

− Perbedaan bahasa

− Perbedaan kelas

− Penampilan

− Tanggapan terhadap

pelaksanaan kegiatan adat etnis lain

− Tanggapan terhadap

pelaksanaan kegiatan agama lain

− Tanggapan terhadap

pembangunan rumah ibadah agama lain

− Menghadiri resepi pernikahan

− Mengunjungi tetangga yang kemalangan

− di kota yang sama

− di kecamatan yang sama

− di kelurahan yang sama

− sebagai tetangga

− sebagai anggota keluarga 2 Aspek Ekonomi a. Kecemburuan sosial − Status ekonomi


(31)

b. Kesempatan kerja

− Kekayaan

− Kesempatan usaha

− Pekerjaan strategis

− Persaingan dengan etnis lain

− Persaingan dengan penganut agama lain

3 Aspek

Struktural dan Politik

a. Partisipasi politik

b. Akses terhadap sumber daya (sarana dan prasarana kota)

c. Etnisitas dalam

kepemimpinan

d. Kepuasan terhadap

kepemimpinan saat ini

− Ormas kesukuan

− Ormas keagamaan

− Partai politik

− Tempat tinggal

− Sarana kesehatan

− Pendidikan

− Kepemilikan tanah

− Berdasarkan kesamaan

agama

− Berdasarkan kesamaan etnis

− Kepuasan terhadap proporsi etnis Jawa di pemerintahan

− Kepuasan terhadap

kepemimpinan non-Jawa

− Keterwakilan aspirasi politik 4 Aspek Budaya a. Pengetahuan tentang

budaya

b. Prasangka dan Stereotip

e. Ekspresi konflik dan Resolusi konflik

− Peninggalan sejarah

kejawaan

− Upacara adat Jawa

− Kesenian adat Jawa

− Gotong-royong

− Penggunaan bahasa

− Penilaian dan citra kaku terhadap etnis lain

− Cara yang disukai untuk menunjukkan rasa tidak suka dan cara yang disukai untuk menyelesaikannya.


(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif tipe deskriptif. Penelitian deskriptif berguna untuk menjelaskan, mendeskripsikan, atau memaparkan potensi konflik komunitas Jawa Muslim di Kota Medan secara komprehensif sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di tujuh wilayah Kecamatan di Kota Medan, dimana wilayah sampel ditentukan dengan teknik penarikan sampel acak bertingkat atau

multistage random sampling. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada data

yang bersumber dari data dasar Badan Pusat statistik (BPS). Dengan menggunakan teknik tersebut, sampel kecamatan terpilih yaitu; Kecamatan Medan Tuntungan (9 Kelurahan), Kecamatan Medan Area (12 Kelurahan), Kecamatan Medan Timur (12 Kelurahan), Kecamatan Medan Selayang (6 Kelurahan), Kecamatan Medan Petisah (7 Kelurahan), Kecamatan Medan Perjuangan (9 Kelurahan), dan Medan Labuhan (6 Kelurahan). Seluruh Kelurahan yang terdapat pada wilayah Kecamatan terpilih ditetapkan sebagai Primary Sampling Unit (PSU) dengan jumlah 61 Unit.


(33)

3.3. Populasi Penarikan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga Jawa Muslim di Kota Medan yang telah menetap sekurang-kurangnya lima tahun, dengan alasan untuk memperoleh informasi yang lebih baik mengenai persepsi responden terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di wilayah tempat tinggal mereka.

Jumlah sampel ditentukan berdasarkan jumlah Primary Sampling Unit (PSU), yakni dua orang dalam setiap Kelurahan atau sejumlah 122 rumah tangga. Penentuan ini dikarenakan tidak tersedianya data yang akurat mengenai jumlah rumah tangga yang termasuk dalam kategori komunitas Jawa Muslim.

Selanjutnya, wilayah sampel untuk satuan wilayah Lingkungan ditentukan sebanyak dua yang didasarkan atas urutan, yakni urutan awal dan urutan akhir. Dari setiap Lingkungan, dipilih satu orang mewakili rumah tangga yang akan dijadikan sebagai calon responden secara purposif berdasarkan kata kunci “Jawa Muslim”. Pembagian responden dari aspek gender ditentukan berdasarkan nomor urut kuesioner, yakni nomor urut ganjil untuk laki-laki dan nomor urut genap untuk perempuan.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat, jenis data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua kategori, yakni data primer dan data sekunder. Lebih lanjut, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Data Primer; data primer dalam penelitian, diperoleh melalui studi lapangan yaitu:


(34)

− Pengamatan, yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Dalam penelitian, peneliti mengamati langsung ke lapangan untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi antara komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain.

− Kuesioner semi terbuka, yakni teknik pengumpulan data melalui serangkaian daftar pertanyaan yang dilengkapi dengan beberapa alternatif jawaban.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan penelitian. Lebih lanjut, data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dari berbagai literatur, baik buku, jurnal, internet, maupun media massa.

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan teknik analisis statistika deskriptif dengan menggunakan tabel silang (cross tabulation), dimana variabel-variabel disajikan dalam sebaran frekuensi baik secara angka mutlak maupun persentase. Prosesnya meliputi; data yang telah terkumpul diberi kode, lalu diteruskan dengan pengolahan data, proses pengeditan, dan kemudian dianalisis berdasarkan teori yang digunakan sampai pada kesimpulan.


(35)

3.6. Jadwal Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan, yang mencakup penelitian lapangan dan penelusuran literatur. Lebih lanjut, perincianan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1. yang terlampir sebagai berikut:

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Bentuk Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Observasi dan Pra-Penelitian √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal Penelitian √

4 Seminar Proposal Penelitian √

5 Revisi dan penguatan referensi √ √

6 Persiapan instrumen penelitian √ √

7 Administrasi dan pengurusan izin √

8

Operasional penelitian: Penelusuran literatur Observasi

Penyebaran Kuesioner

√ √ √ √ √

√ √ 9

Penyusunan Laporan Penelitian: Pengelompokan dan Analisis Data Konsep Laporan

Perbaikan dan Penyempurnaan Laporan

√ √

√ √


(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Medan terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3°30’ sampai 3°43’ LU dan 98°35’ sampai 98°44’ BT, secara astronomis hal ini menempatkan Kota Medan ke dalam wilayah dengan iklim tropis. Secara keseluruhan, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 m sampai 37,5 m di atas permukaan laut. Curah hujan di Kota Medan bergantung pada musim, dimana curah hujan relatif tinggi jika sedang mengalami musim penghujan, dan curah hujan rendah jika sedang mengalami musim kemarau.

Secara administratif, Kota Medan merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Letak Kota Medan relatif strategis, sebab selain dilalui oleh dua sungai besar, pembangunan kota mengacu pada perencanaan yang didesain oleh arsitek Eropa yang memudahkan distribusi barang-barang perdagangan pada masa lalu. Sebagai jalur lintas perdagangan, Kota Medan sendiri saat ini semakin berkembang dengan pesat, baik dari segi sosial-ekonomi maupun dari luas wilayah. Gambaran ini tidak terlepas karena Kota Medan memiliki batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.


(37)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.

Mata pencaharian penduduk Kota Medan sangat beragam, akan tetapi sebagian besar berafiliasi pada jenis-jenis pekerjaan di sektor informal, selebihnya adalah PNS, karyawan swasta, tenaga kerja profesional (guru, dokter, dosen, pengacara, dan sebagainya), buruh, dan lain sebagainya. Luas keseluruhan Kota Medan adalah 265,10 kilometer bujur sangkar atau sekitar 26510 Ha, yang dimanfaatkan sebagai permukiman, persawahan, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, luas kota Medan berdasarkan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Luas Kota Medan Berdasarkan Pemanfaatan Lahan No Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Permukiman 8828 33,3

2 Perkebunan 822 3,1

3 Lahan jasa 504 1,9

4 Persawahan 1617 6,1

5 Industri dan perusahaan 1511 5,7

6 Kebun campuran 12036 45,4

7 Hutan rawa 477 1,8

8 Lain-lain 715 2,7

Jumlah 26510 100


(38)

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan sebagai permukiman seluas 8828 Ha (33,3%), kemudian penggunaan lahan sebagai perkebunan seluas 822 Ha (3,1%). Lahan jasa di Kota Medan seluas 504 Ha (1,9%), sedangkan untuk persawahan seluas 1617 Ha (6,1%). Kawasan perindustrian di Kota Medan menggunakan lahan seluas 1511 Ha (5,7%), sedangkan untuk kebun campuran seluas 12036 Ha (45,4%). Kawasan hutan rawa di Kota Medan seluas 477 Ha (1,8), sedangkan 715 Ha (2,7%) difungsikan untuk berbagai kegiatan yang lain.

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kota Medan dimanfaatkan sebagai kebun campuran oleh masyarakat. Kebun campuran merupakan kawasan perladangan yang diselenggarakan masyarakat di atas lahan-lahan milik pemerintah (PTPN), maupun milik pribadi. Kawasan perkebunan, kebun campur, dan persawahan umumnya terletak di pinggiran Kota Medan, atau di kawasan perbatasan antarkota.

Permukiman di Kota Medan menggunakan lahan seluas 8828 Ha (33,3%), ini menunjukkan bahwa Kota Medan mulai mengalami kepadatan penduduk yang ditandai dengan tingginya pemanfaatan lahan sebagai kawasan permukiman. Dari perspektif konflik, jumlah penduduk yang relatif besar memiliki keterkaitan erat dengan terbatasnya pemanfaatan lahan untuk aktivitas ekonomi, seperti; industri dan perusahaan (5,7%), lahan jasa (19%), dan perkebunan (3,1%). Hal ini berakibat semakin tersegregasinya kelompok-kelompok etnis dan agama karena tingginya kompetisi antaretnis dan agama yang dalam memperoleh kesempatan kerja.

Kota Medan terdiri atas 21 wilayah Kecamatan, yang terhubung satu sama lain dengan jalan protokol dan jalan-jalan kecil. Jalan tersebut dapat diakses oleh


(39)

kendaraan beroda dua (sepeda motor), beroda tiga (beca motor), beroda empat dan enam (mobil). Namun, sebagian besar jalan kondisinya kurang baik, hal ini disebabkan seringnya badan jalan tergenangi air dari selokan (parit) yang tumpat. Kota Medan berpenduduk sebanyak 2.076.821 jiwa, yang terdiri dari beragam etnis dan agama. Tercatat lebih dari 11 etnis yang bermukim di Kota Medan, yang disajikan pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Etnis No Etnis Jumlah penduduk

(Jiwa)

Persentase (%)

1 Jawa 682.205 33

2 Batak Toba 396.919 19,2

3 Tionghoa 219.133 10,6

4 Mandailing 193.911 9,4

5 Minangkabau 177.786 8,6

6 Melayu 136.411 6,6

7 Karo 86.826 4,2

8 Aceh 57.884 2,8

9 Simalungun 14.264 0,69

10 Nias 14.264 0,69

11 Pak-pak 14.265 0,69

12 Lain-lain 81.658 3,95

Jumlah 2.067.288 100

Sumber: Medan Dalam Angka Tahun 2007

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Medan adalah etnis Jawa, dengan proporsi 33% dari total keseluruhan penduduk, atau sekitar 682.205 jiwa. Disusul oleh etnis Batak Toba dengan proporsi 19,2 %, atau sekitar 396.919 jiwa. Selanjutnya etnis Tionghoa dengan proporsi 10,6%, atau sekitar 219.133 jiwa. Lalu etnis Mandailing dengan proporsi 9,4%, atau sekitar 193.911 jiwa. Kemudian, etnis Minangkabau dengan proporsi 8,6%, atau sekitar 177.786 jiwa. Proporsi etnis


(40)

Melayu adalah 6,6%, atau sekitar 136.411 jiwa. Sementara itu, etnis Karo memiliki proporsi sebesar 4,2%, atau sebesar 86.826 jiwa. Etnis Aceh dengan proporsi 2,8%, atau sebesar 57.884 jiwa. Sedangkan untuk etnis Simalungun, Nias, dan Pak-Pak masing-masing memiliki proporsi sebesar 0,69%, atau sekitar 14.264 jiwa. Terakhir, adalah gabungan dari beberapa etnis minoritas dengan proporsi sebesar 3,95%, atau sebanyak 81.658 jiwa.

Data tersebut menunjukkan bahwa etnis Jawa sebagai kelompok mayoritas (33%) sebenarnya memiliki potensi untuk mendominasi berbagai sektor di Kota Medan, baik ekonomi, politik, maupun dominasi budaya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Etnis Jawa di Kota Medan justru mengambil peran sebagai kelompok yang moderat, sehingga akhirnya etnis Jawa mulai termarjinalkan dalam berbagai sektor.

Kondisi demikian membuat kompetisi yang terjadi di Kota Medan menjadi sedikit longgar, sehingga gesekan-gesekan kepentingan antarkelompok etnis tidak begitu terlihat menonjol. Situasi Hal ini memberikan kesan bahwa ada satu kekuatan tidak terlihat yang mengatur terciptanya integrasi sosial yang nyaris sempurna di Kota Medan. Namun demikian, segregasi antaretnis masih dapat dilihat dengan adanya kawasan-kawasan permukiman yang identik dengan etnis-etnis yang ada di Kota medan, baik yang sudah lama terbentuk maupun yang baru terbentuk beberapa tahun belakangan. Seperti halnya kawasan Sukaramai yang identik dengan etnis Minangkabau, Tembung dengan etnis Jawa, Bandar Selamat dengan etnis Mandailing, Padang Bulan dengan etnis Karo, Kota Matsum dengan etnis Melayu, kawasan Kesawan dengan etnis Tamil, kawasan Darussalam dengan etnis Aceh,


(41)

kawasan Sekip dengan etnis Batak Toba, kawasan Sentral dan Jl. Asia dengan etnis Tionghoa (Pecinan).

Sebagai kota metropolitan dan salah satu kota terbesar di Indonesia, kehidupan di Kota Medan tidak pernah berhenti. Sejak fajar menyingsing hingga senja, kemudian dilanjutkan hingga fajar menyingsing keesokan harinya. Dengan kata lain, kehidupan Kota Medan berlangsung selama 24 jam dalam tujuh hari.

Apabila ditilik dari aspek sejarah, Kota Medan pantas dikatakan sebagai “Kota Perwujudan Segala Impian”. Sebab kota ini dibangun oleh impian dari para migran, yang diwujudkan melalui kerja keras selama ratusan tahun, hingga akhirnya terbentuklah Kota Medan yang menuju metropolitan.

Sejarah kota Medan sendiri dimulai ketika seorang Karo yang dikenal dengan sebutan Guru Patimpus, mendirikan sebuah kampung yang bernama Medan Putri tahun 1590-an. Tengku Lukman Sinar dalam Silaban (2010) mengatakan bahwa sebutan Guru Patimpus sendiri berasal dari bahasa Karo, dimana Guru dapat berarti dukun atau “orang berilmu”. Kemudian, Pa dapat diartikan sebagai Bapak, sedangkan

Timpus berarti kain yang digunakan untuk membungkus bekal atau bawaan. Apabila

ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia, maka Guru Patimpus berarti “dukun yang senantiasa bepergian membawa bungkusan”.

Letak asli Kampung Medan berada tepat dimana sungai Babura dan Sungai Deli bertemu, yang saat ini dekat dengan Jl. Putri Hijau. Secara harfiah, nama “Medan” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab Maidani yang berarti kota yang aman, damai, tentram, dan sejahtera. Menurut Buiskool (dalam Colombijn, 2005) pemberian nama ini dikarenakan oleh adanya peraturan Sultan Deli, yang


(42)

mewajibkan setiap orang yang hendak bermukim di Kampung Medan harus menanggalkan Marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam.

Masuknya pedagang Eropa pada tahun 1642 merubah Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya menjadi jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal, mulai dari kopi, karet, coklat, tembakau, sawit, dan lain sebagainya. Lokasi yang strategis, iklim yang mendukung, dan lahan yang potensial membuat Sumatera Timur mulai dilirik oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dari seluruh dunia.

Puncaknya, Jacob Nienhuys mencoba menanam tembakau pertamanya di Sumatera Timur tahun 1960-an, dengan berbekal konsesi atas lahan seluas 2000 m2 dari Sultan Deli. Hasil yang diperoleh sangat memuaskan, sehingga para pengusaha yang tergabung dalam serikat dagang VOC meminta konsesi besar-besaran di Sumatera Timur. Dengan uang hasil konsesi tersebut, Sultan Deli kemudian membangun istana barunya tidak jauh dari Kampung Medan, yang saat ini dikenal dengan nama Istana Maimoon.

Perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan yang demikian pesat, membutuhkan administrasi yang lebih baik, koordinasi yang cepat dengan Sultan, dan jalur distribusi yang lebih strategis. Dengan alasan tersebut, kantor perusahaan Deli Maatschapij kemudian dipindahkan ke Kampung Medan (sekarang Balai Kota). Hal ini berdampak pada semakin berkembangnya Kampung Medan, dimana sarana dan prasarana seperti jalan beraspal, rel kereta api, kantor pos, gedung perkantoran, listrik, air bersih, bahkan hotel bagi para turis dan investor mulai dibangun.

Setelah seluruh fasilitas dibangun, pusat aktivitas yang sebelumnya berada di Labuhan kemudian dipindahkan ke Kota Medan. Pemindahan ini mengikuti


(43)

perencanaan yang ditetapkan oleh Deli Maatschapij, yang saat itu menguasai perekonomian melalui sistem perkebunan. Hal ini kemudian menjadi magnet bagi para pendatang dari berbagai daerah. Dengan modal yang dimiliki, mereka datang untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan membuka lembaran baru kehidupan mereka di kampung kecil bernama Medan.

4.2. Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan dengan melibatkan 122 responden, yang ditarik dengan metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Responden yang terjaring terdiri atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang seimbang (equal), yakni 61 responden laki-laki dan 61 responden perempuan. Seluruh sampel terdiri dari kelompok umur yang bervariasi sesuai dengan teknik pemilihan sampel secara purposif, agar pendapat dari keseluruhan populasi dapat terwakili dengan lebih baik. Untuk lebih jelas, komposisi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3. Komposisi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

No Usia Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a 16 – 25 13 10,6 27 22,1 40 32,8

b 26 – 35 12 9,8 12 9,8 24 19,8

c 36 – 45 11 9 10 8,2 21 17,2

d 46 – 55 18 14,8 10 8,2 28 23

e > 55 7 5,7 2 1,6 9 7,3

Jumlah 61 50 61 50 122 100


(44)

Data di atas menunjukkan bahwa responden didominasi oleh responden dengan usia 16-25 tahun sebanyak 40 orang (32,78%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 13 orang (10,6%) dan responden perempuan berjumlah 27 orang (22,1%). Responden dengan dengan usia 26-35 sebanyak 24 orang (19,68%), dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan sebanyak 12 orang (9,8%). Kemudian, responden dengan kelompok umur 36-45 berjumlah 21 orang (17,21%), dengan reponden laki-laki berjumlah 11 orang (9%) dan responden perempuan sebanyak 10 orang (8,2%). Responden dengan usia 46-55 berjumlah 28 orang (22,95%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 18 orang (14,8%) dan responden perempuan sebanyak 10 orang (8,2%). Responden dengan usia >55 berjumlah 9 orang (7,38%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 7 orang (5,7%) dan responden perempuan sebanyak 2 orang (1,6%).

Responden komunitas jawa Muslim didominasi oleh responden dengan kelompok usia muda dengan kisaran usia 16-25 tahun, Perspektif konflik memandang hal ini sebagai salah satu potensi konflik, dimana pada usia tersebut seseorang telah dimasukkan dalam kategori angkatan kerja. Secara tidak langsung, kompetisi dalam memperoleh lapangan pekerjaan akan semakin ketat, segregasi antarkelompok etnis dan agama juga memiliki kemungkinan untuk meningkat karena keterbatasan lapangan pekerjaan di Kota Medan.


(45)

Tabel 4.4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a Profesional 6 4,9 8 6,6 14 11,5

b TNI/Polri 4 3,3 2 1,6 6 4,9

c PNS 7 5,7 3 2,5 10 8,2

d Kary. Swasta 16 13,1 13 10,7 29 23,8 e Wiraswasta 14 11,5 10 8,2 24 19,7

f Lain-lain 5 4,1 6 4,9 11 9

g Tidak bekerja 9 7,4 19 15,6 28 23

Jumlah 61 50 61 50 122 100

Sumber Data: Data Primer 2010

Data di atas menunjukkan bahwa 14 orang responden (11,5%) bekerja sebagai profesional (guru, dosen, dokter, dan sebagainya), dengan proporsi 6 orang (4,9%) responden laki-laki dan 8 orang (6,6%) responden perempuan. Responden yang berprofesi sebagai TNI/Polri sebanyak 6 orang (5%), dengan proporsi 4 orang (3,3%) responden laki-laki dan 2 orang (1,6%) responden perempuan. Kemudian, 10 orang responden (8,2%) bekerja sebagai PNS, dengan proporsi 7 orang (5,7%) responden laki-laki dan 3 orang (2,5%) responden perempuan. 29 orang responden (23,8%) bekerja sebagai pegawai swasta, dengan proporsi 16 orang (13,1%) responden laki-laki dan 13 orang (10,7%) responden perempuan. Terdapat 24 orang responden (19,7%) yang membuka usaha sendiri, dengan proporsi 14 orang (11,5%) responden laki-laki dan 10 orang (8,2%) responden perempuan. 11 orang responden (9%) bekerja pada bidang lain yang belum terdefinisi, dengan proporsi 5 orang (4,1%) responden laki-laki dan 6 orang (4,9%) responden perempuan. sedangkan 28 orang responden (23%) masih sekolah dan tidak bekerja, dengan proporsi 9 orang (7,4%) responden laki-laki dan 19 orang (15,6%) responden perempuan.


(46)

Data di atas menghasilkan analisa bahwa sebagian besar responden komunitas Jawa Muslim di Kota Medan bekerja pada sektor swasta, baik usaha milik sendiri (19,7%), maupun bekerja pada majikan sebagai karyawan swasta dengan berbagai jenis pekerjaan yang beragam (23,8%). Jumlah responden yang bekerja pada pekerjaan strategis justru relatif sedikit, seperti PNS (8,2%), dan TNI/Polri (4,9%). Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses etnis Jawa terhadap bidang-bidang pekerjaan tersebut, sebab persaingan semakin ketat dan segregasi antarkelompok etnis memainkan peranan dalam memperoleh setiap akses terhadap pekerjaan-pekerjaan strategis.

Lebih lanjut, Jenis pekerjaan yang mereka geluti juga memiliki kontribusi terhadap potensi konflik di lingkungan tempat tinggal mereka, yakni dalam hal kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial muncul ketika seseorang merasa terganggu ketika melihat tetangga sebelah, yang berbeda etnis atau agama memiliki pekerjaan yang relatif lebih tinggi status sosialnya dibandingkan dengan mereka.

Tabel 4.5. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Penghasilan

No Penghasilan Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a Belum berpenghasilan 8 6,6 14 11,5 22 18 b < Rp. 1 Juta 17 14 13 10,6 30 24,6

c Rp. 1 – 2 Juta 17 14 16 13,1 32 27

d Rp. 2 – 4 Juta 14 11,5 12 9,8 26 21,3

e Rp. 4 – 6 Juta 4 3,3 2 1,6 6 4,9

f > Rp. 6 Juta 5 4,1 0 0 5 4,1

Jumlah 61 50 61 50 122 100


(47)

Dari data yang disajikan pada tabel 4.5 diketahui bahwa 22 orang responden (18%), diantaranya 8 orang laki-laki (6,6%) dan 14 orang perempuan (11,5%) belum memiliki penghasilan. Sedangkan responden yang berpenghasilan kurang dari Rp. 1.000.000,- berjumlah 30 orang (24,6%), diantaranya 17 orang laki-laki (14%), dan 13 orang perempuan (10,3%). Responden dengan tingkat penghasilan antara Rp. 1.000.000,- hingga Rp. 2.000.000,- sebanyak 32 orang (27%), dengan proporsi 17 orang laki-laki (14%) dan 16 orang perempuan (13,1%). 26 responden (21,3%), diantaranya 14 orang laki-laki (11,5%) dan 12 orang perempuan (9,8%) memiliki tingkat penghasilan antara Rp. 2.000.000,- sampai Rp. 4.000.000,-. 6 orang responden (4,9%) berpenghasilan antara Rp. 4.000.000,- sampai Rp. 6.000.000,-, dengan proporsi 4 orang laki-laki (3,3%) dan 2 orang perempuan (1,6%). Hanya 5 responden (4,1%) saja yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 6.000.000,-, yang kesemuanya adalah laki-laki.

Analisis terhadap data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden komunitas Jawa Muslim berada pada tingkatan ekonomi menengah dan menengah ke bawah. Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari bidang pekerjaan yang mereka geluti, yakni pada sektor-sektor swasta dengan penghasilan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan strategis, seperti; PNS, TNI/Polri. Rendahnya penghasilan dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi, terutama di lingkungan ketetanggaan. Kesenjangan ekonomi apabila dibumbui dengan isu perbedaan etnis atau agama dapat menimbulkan konflik sosial yang relatif besar, seperti halnya konflik di Sampit, Ambon, dan Tarakan baru-baru ini.


(48)

Tabel 4.6. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan

No Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a Tidak pernah sekolah 1 0,8 0 0 1 0,8

b SD/ MI 6 4,9 2 1,6 8 6,6

c SMP/ MTs 12 9,8 6 4,9 18 14,8

d SMA/ MA 23 18,8 30 24,6 53 43,4

e Diploma 8 6,6 13 10,6 21 17,2

f Sarjana 11 9 10 8,2 21 17,2

Jumlah 61 50 61 50 122 100

Sumber Data: Data Primer 2010

Tabel 4.6. menunjukkan bahwa 1 orang responden laki-laki (0,8%) tidak pernah sekolah. Responden berpendidikan SD/MI sebanyak 8 orang (6,6%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 6 orang (4,9%) dan perempuan 2 orang (1,6%). Responden yang berpendidikan SMP/MTs sebanyak 18 orang (14,8%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 12 orang (9,8%) dan responden perempuan sebanyak 6 orang (4,9%). Responden dengan tingkat pendidikan SMA/MA sebanyak 53 orang (43,4%), dengan proporsi responden laki-laki berjumlah 23 orang (18,8%) dan responden perempuan 30 orang (24,6%). Responden yang berpendidikan Diploma sebanyak 21 orang (17,2%), dengan proporsi responden laki-laki berjumlah 8 orang (6,6%) dan responden perempuan sebanyak 13orang (10,6%). Responden berpendidikan sarjana masing-masing berjumlah 21 orang (17,2%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 11 orang (9%) dan responden perempuan berjumlah 10 orang (8,2%).

Data di atas menunjukkan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai jenjang pendidikan. Hal ini


(49)

menunjukkan bahwa kemauan untuk menempuh pendidikan relatif tinggi, serta tidak adanya pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menempuh jenjang pendidikan. Responden komunitas Jawa Muslim didominasi oleh responden dengan tingkat pendidikan SMA, hal ini berarti responden komunitas Jawa Muslim hanya mampu menyelesaikan pendidikan pada tingkatan tersebut. Jumlah responden berpendidikan Diploma dan Sarjana jumlahnya relatif lebih kecil, sebab hanya sedikit responden yang mampu menempuh jalur pendidikan hingga tingkat Diploma dan Sarjana. Apabila dilihat dengan menggunakan perpektif konflik, hal ini menimbulkan potensi konflik yang relatif sedikit. Sebab orientasi hidup komunitas Jawa Muslim di Kota Medan adalah pekerjaan, bukan tingginya tingkat pendidikan yang dienyam.

4.3. Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim di Kota Medan

Secara sosiologis, keberagaman etnis dan agama memiliki potensi yang besar untuk menimbulkan konflik. Gesekan-gesekan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antarkomunitas etnis dan agama dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tanpa dapat diprediksi sebelumnya.

Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, Kota Medan terdiri atas konfigurasi etnis dan agama yang sangat beragam. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan awal, terdapat sedikitnya empat belas kategori etnis yang ada di Kota Medan, diantaranya; Mandailing, Karo, Pak-Pak (Dairi), Simalungun, Batak Toba, Nias, Banjar, Tionghoa, Arab (Pakistan), Tamil, Melayu, Minangkabau, Sunda (Banten), Aceh, dan etnis lain yang tersebar dalam jumlah kecil (minoritas).


(50)

Sebagaimana halnya dengan etnis lain yang mendiami Kota Medan, komunitas Jawa Muslim juga merupakan salah satu kontributor dalam konflik antaretnis dan agama. Namun demikian komunitas ini tidak begitu diperhitungkan sebagai komunitas yang patut diwaspadai, sebab komunitas mereka sangat jarang memulai koflik dengan kelompok etnis dan agama lainnya. Data mengenai pengetahuan responden mengenai terjadinya konflik yang melibatkan isu etnis dan agama dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini.

Tabel 4.7. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Terjadinya Konflik Antaretnis dan Agama di Lingkungan Tempat Tinggal

No Jawaban Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a Pernah 4 3,3 1 0,8 5 4,1

b Tidak Pernah 57 46,7 59 48,4 116 95,1

c Tidak menjawab 0 0 1 0,8 1 0,8

Jumlah 61 50 61 50 122 100

Sumber: Data Primer 2010

Tabel 4.7 menjelaskan tentang bagaimana pengalaman responden komunitas Jawa Muslim tentang konflik antaretnis dan agama yang pernah terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. 5 orang responden (4,1%), diantaranya 4 orang responden laki-laki (3,3%) dan 1 orang responden perempuan (0,8%) mengatakan konflik antaretnis dan agama pernah terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. 116 orang responden lain (95,1%), diantaranya 57 orang respodnen laki-laki (46,7%) dan 59 orang responden perempuan (48,4%) menjawab konflik tidak pernah terjadi di


(51)

lingkungan tempat tinggal mereka. 1 orang responden perempuan (0,8%) tidak menjawab dengan alasan tidak tahu.

Secara kuantitatif konflik yang melibatkan isu etnis dan agama di Kota Medan tidak pernah terjadi, akan tetapi konflik tersebut justru pernah terjadi dalam skala kecil (Kelurahan). Salah satu konflik terjadi di Kelurahan Tegal Sari Mandala II serta kawasan pinggiran rel, dimana konflik disebabkan oleh permasalahan ternak babi yang dipelihara oleh etnis Batak yang beragama Kristen. Limbah peternakan selain menimbulkan bau yang tidak sedap, juga sering membuat selokan menjadi tumpat ketika hujan. Akar konflik adalah perbedaan persepsi dalam menilai babi, dimana umat Islam menilai babi sebagai kotoran yang membuat ibadah seseorang menjadi tidak sah (najis). Sementara itu, etnis Batak yang beragama Kristen menganggap babi sebagai bahan makanan yang memiliki nilai adat.

Hal ini berarti bahwa meskipun Kota Medan terlihat aman dan damai, potensi konflik antarkelompok etnis dan agama masih tetap ada. Hanya saja konflik yang terjadi masih berada dalam skala kecil, dengan intensitas yang rendah, serta masih dapat diredam dengan sikap saling pengertian oleh masing-masing pihak yang berkonflik.

4.3.1. Aspek Sosial dan Interaksi Komunitas Jawa Muslim 4.3.1.1. Faktor-Faktor Interaksi

4.3.1.1.1. Pengalaman Bergaul dengan Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain

Pergaulan dengan etnis berbeda dan penganut agama lain menentukan keterbukaan seorang individu dalam berinteraksi. Pengalaman bergaul, selain


(52)

menunjukkan fleksibilitas dalam berinteraksi, juga dapat menghilangkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok lain. Gambaran selengkapnya mengenai pengalaman bergaul responden komunitas Jawa Muslim dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut.

Tabel 4.8. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Bergaul dengan Orang yang Berbeda Etnis dan Agama

No Frekuensi interaksi

Laki-laki Perempuan Total

n f n f N F

a Setiap hari 28 23 33 27 61 50 b Sering 25 20,5 21 17,2 46 37,7

c Jarang 4 3,3 6 4,9 10 8,2

d Tidak pernah 4 3,3 1 0,8 5 4,1

Jumlah 61 50 61 50 122 100

Sumber Data: Data Primer 2010

Tabel 4.8. menunjukkan bahwa 61 orang responden (50%) bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama setiap harinya, dengan proporsi 28 orang (23%) responden laki-laki dan 33 orang (27%) responden perempuan. Kemudian 46 orang responden (37,7%) sering bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama, dengan proporsi 25 orang (20,5%) responden laki-laki dan 21 orang (17,2%) responden perempuan. 10 orang responden (8,2%) mengatakan bahwa mereka jarang bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama, dengan proporsi 4 orang (3,3%) responden laki-laki dan 6 orang (4,9%) responden perempuan. Responden yang tidak pernah bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama hanya 5 orang (4,1%), dengan proporsi 4 orang (3,3%) laki-laki dan 1 orang (0,8%) perempuan.


(53)

Data pada tabel 4.8 menggambarkan bahwa komunitas Jawa Muslim di Kota Medan cenderung fleksibel dalam bergaul, serta mengutamakan toleransi dengan orang-orang yang berbeda etnis maupun agama. Selain itu, kompleksnya konfigurasi etnis di Kota Medan telah membuka kesempatan bagi komunitas Jawa Muslim untuk bergaul dengan beraneka ragam etnis dan agama dalam kehidupan sehari-hari.

4.3.1.1.2. Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan faktor yang sering mempengaruhi minat seorang individu dalam berinteraksi dengan orang lain, dimana seseorang cenderung mencari persamaan identitas dengan orang lain sebelum memasuki tahap interaksi yang lebih intens. Identitas sosial dalam hal ini terdiri dari; agama, etnis, warna kulit, penampilan, budaya, bahasa, dan kelas. Untuk lebih jelas, faktor-faktor yang mempengaruhi komunitas Jawa Muslim dalam berinteraksi dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini.

Tabel 4.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Komunitas jawa Muslim

No Variabel

Interaksi

Laki-laki Perempuan Total

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

n f n f n f n f N F N F

a Agama 28 23 33 27 22 18 39 32 50 41 72 59

b Etnis 11 9 50 41 13 10,7 48 39,3 24 19,7 98 80,3

c Warna kulit 4 3,3 57 46,7 1 0,8 60 49,2 5 4,1 117 95,9

d Penampilan 8 6,6 53 43,4 1 0,8 60 49,2 9 7,4 113 92,6

e Budaya 17 13,9 44 36 14 11,5 47 38,5 31 25,4 91 74,6

f Bahasa 21 17,2 40 32,8 17 13,9 44 36 38 31,1 84 68,9

g Kelas 21 17,2 40 32,8 15 12,3 46 37,7 36 29,5 86 70,5


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta.

Chatib, Nazief. 1995. Para Pendatang di Kota-Kota Sumatera Timur. Medan:

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Colombin, Freek, dkk. (ed.). 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di

Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak.

Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches.

London: Sage Publisher.

Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Grafindo

Persada.

Lan, Thung Ju. 2006. Redefinisi Etnisitas Dalam Konteks Kebudayaan Nasional.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VIII No. 1 Tahun 2006.

Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Grafindo

Persada.


(2)

Ritzer, George. 2003. Contemporary Sociologal Theory and Its Classical Roots: The

Basics. New York: McGraw-Hill.

Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern.

Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Pustaka Kencana.

Ritzer, George. 2007. Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Saladin, Tengku Ilham. 1995. Konflik, Potensi Konflik dan Jalannya Konflik Antar

Etnis Pada Masyarakat Majemuk. Karya Ilmiah, Tidak Diterbitkan. Medan:

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Santoso, Thomas (ed.). 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sitorus, Henry. 2003. Problema Pluralitas Dalam Otonomi daerah: Rekonfigurasi

Tata Etnik Untuk Integrasi Nasional. Makalah disampaikan dalam Pelatihan

Pendidikan Kebangsaan, Kantor Linmas Provinsi Sumatera Utara, tanggal 21

Oktober 2003.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Grafindo

Persada.

Soenarto, Kamanto. 2003. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia Press.


(3)

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:

Kencana.

Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Unuiversalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana

atas Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme.

Diterjemahkan oleh Tim penerjemah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian.

Jakarta: Salemba Humanika.

Situs Web:

Biro Pusat Statistik. 2007. Medan Dalam Angka Tahun 2007, (online).

Jajak Pendapat Masyarakat Maluku. 2002. Mayoritas Masyarakat Maluku

Mendukung Penyelesaian Konflik “Dari Bawah”, (online).

Kalo, Syafruddin. 2004. Antara cambuk dan Tembakau: Eksploitasi Agraria di

Sumatra Timur Jaman Kolonial, (online),

tanggal 14 Agustus 2007.


(4)

LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dharma Kelana Putra Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Kewarganegaraan : Indonesia

Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 9 Maret 1987

Alamat Rumah : Jl. Kapt. M. Jamil Lubis Blok BB No. 15 Medan

No. HP : 085276602111

Hobi : Bersepeda, Pecinta alam

1.

• 2006 – 2010 : Program Strata-1 (S-1) Departemen Sosiologi

Riwayat Pendidikan

FISIPOL Universitas Sumatera Utara Medan • 2002 – 2005 : SMAN 8 Medan

• 1999 – 2002 : SLTPN 13 Medan

• 1993 – 1999 : SD Swasta Pembangunan Nasional Medan

2.

Sebagai Surveyor pada penelitian “Survey Brand dan Reputasi Pertamina Tahun 2010”, yang dilaksanakan oleh PT. Cipta Karsa Indonesia.

Riwayat Pekerjaan

Sebagai Puncher (data entry) pada penelitian “Survey Kepuasan Pegawai PDAM Tirtanadi Se-Sumatera Utara”, yang dilaksanakan oleh PDAM Tirtanadi dan FISIP USU pada bulan Juni - Juli 2010.

Sebagai Enumerator pada penelitian “Rural-Urban Migration in China and Indonesia (RUMiCI) Tahun ke-tiga (2010)”, yang dilaksanakan oleh Australia National University (ANU) bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) pada tanggal 19 Juni - 4 Juli 2010.

Sebagai Surveyor pada penelitian “Islamisasi Ruang Publik: Identitas Muslim dan Menegosiasikan Masa Depan Demokrasi”, yang dilaksanakan oleh Center for Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) pada bulan April – Mei 2010.

Sebagai Puncher (data entry) pada penelitian “Survey Kepuasan Pelanggan PDAM TIRTANADI Tahun 2009”, yang dilaksanakan oleh PDAM TIRTANADI dan FISIP USU pada bulan Januari – Maret 2010.

Sebagai Enumerator pada penelitian “Survey Kepuasan Pelanggan PDAM TIRTANADI Tahun 2009”, yang dilaksanakan oleh PDAM TIRTANADI dan FISIP USU pada bulan Januari – Maret 2010.

Sebagai Surveyor pada penelitian “Brand dan Reputasi Pertamina Tahun 2009” oleh PT. Cipta Karsa Indonesia tahun 2009.

Sebagai Enumerator pada penelitian “Model Pemberdayaan Institusi Pendidikan Melalui Partisipasi Masyarakat yang Berbasis Modal Sosial (Studi Terhadap Program CERDAS di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara”


(5)

Oleh Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, tahun 2009.

Sebagai Asisten Notulen dalam Focus Group Discussion (FGD) “Revitalisasi Kelompok Moderat: Memperkuat Integrasi Sosial Komunitas Lintas Agama” oleh CSRC UIN Jakarta dan Departemen Sosiologi FISIP USU, tahun 2008. • Sebagai Staff Penyunting dalam penerbitan Jurnal Harmoni Sosial No. I Edisi

ketiga Tahun 2008 hingga sekarang.

3.

• 2009 – 2010 : Pengurus IMASI FISIP USU Tahun Akademik 2009-2010

Organisasi Yang Pernah Diikuti

• 2008 – 2009 : Pengurus IMASI FISIP USU Tahun Akademik 2008-2009

• 2006 – 2007 : Pengurus UKMI As-Siyasah FISIP USU • 2004 – 2005 : Pengurus PKR XIII SMAN 8 Medan

4.

• Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik Tahun 2007 - 2008

Beasiswa yang Pernah Diterima

• Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik Tahun 2008 - 2009 • Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik Tahun 2009 - 2010

5.

Pelatihan “Pembuatan dan Pengelolaan Situs Web E-Journal Tahun 2010”, Oleh Perpustakaan dan Sistem Informasi Universitas Sumatera Utara (PSI-USU), sebagai peserta”

Pelatihan yang Pernah Diikuti

Pelatihan “Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2009” Oleh Unit Bina Kokurikuler Universitas Sumatera Utara (UBK USU), sebagai peserta.

Pelatihan “Participatory Rural Appraissal (PRA I) Tahun 2009” Oleh Ikatan Mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (IMASI FISIP USU), sebagai peserta.

Pelatihan “Soft Skill Untuk Mahasiswa Tahun 2008” Oleh Unit Bina Kokurikuler Universitas Sumatera Utara (UBK USU), sebagai peserta.

Pelatihan “Penulisan Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Tahun 2008” Oleh Unit Bina Kokurikuler Universitas Sumatera Utara (UBK USU), sebagai peserta. • Pelatihan “Pemberdayaan Perempuan dan Analisis Gender bagi PNS dan

Peminat Gender Sumatera Utara Tahun 2008” Oleh Departemen Sosiologi FISIP USU, sebagai Panitia.

Pelatihan “Konsep Dasar Sosiologi untuk Guru SMA Se-kota Medan, Binjai, Deli Serdang Tahun 2007” Oleh Departemen Sosiologi FISIP USU, sebagai Panitia.

Training “Penelitian dan Pengembangan Ormawa USU Tahun 2006” Oleh Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (PEMA USU), sebagai peserta.

6.

• Program Orientasi Budaya Lokal di Kalangan Mahasiswa, dengan judul “Pemanfaatan Modal Sosial Sebagai Strategi Bertahan Komunitas Nelayan Desa Meunasah Keudee, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Penelitian yang Pernah Dilakukan


(6)

Provinsi Aceh”, sebagai Ketua Peneliti. Diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Aceh-Sumut tahun 2010. • Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) dengan judul

“Pola Resosialisasi Narapidana Pelaku Perkosaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Klas IA Medan Tahun 2009”, sebagai Ketua Peneliti. Di danai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). • Penelitian lapangan mahasiswa, dengan judul “Potensi Modal Sosial pada

Komunitas Lokal Desa Sena, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009”, sebagai Peneliti Lapangan.

Praktek Kerja Lapangan (PKL) Departemen Sosiologi dengan judul “Strategi Pemberdayaan Komunitas Nelayan Tradisional Desa Sialang Buah, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009”, sebagai Ketua Peneliti.

Demikian biodata ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Medan, 1 Oktober 2010