RUMUSAN MASALAH HIPOTESA TUJUAN FISIOLOGI

3 intrathecal 0,2mgkgBB dengan efek samping yang lebih minimal. 13 Chen J.C dkk melakukan penelitian pada 60 orang pasien yang akan menjalani operasi dengan anestesi spinal yang menggunakan anestesi lokal tetracain 12‐16mg ditambah petidin 0,2mgkgBB pada grup experience dan normal saline pada grup control didapati hasil pada grup experience timbul menggigil sebesar 16,7 dan pada grup kontrol 56,7 dengan P0,005. 14 J.Y Hong dan I.H Lee meneliti pada pasien yang akan menjalani operasi section dengan anesthesi kombinasi spinal dan epidural,diberikan bupivacain 0,5 hiperbarik 8‐10mg tunggal pada kelompok I,kelompok II ditambah morfin 0,1mg, kelompok III ditambah morfin 0,2mg dan kelompok IV ditambah pethidin 10mg. Dari hasil penelitian dijumpai pada kelompok I timbul menggigil 23.3 730,kelompok II 17 529 ,kelompok III 13.3 430 dan kelompok IV 3.3 130 p 0.05. 15

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah pemberian pethidin intrathecal 0,1mgkgBB akan memberikan efek yang sama dengan pethidin intrathecal 0,2mgkgBB dalam mencegah terjadinya menggigil pada anestesi intrathecal? Universitas Sumatera Utara 4

1.3. HIPOTESA

Tidak ada perbedaan pada pemberian pethidin 0,1mgkgBB dengan 0,2mgkgBB secara intrathecal dalam mencegah menggigil.

1.4. TUJUAN

1.4.1 Tujuan umum: untuk mendapatkan dosis pethidin intrathecal yang tepat dalam mencegah menggigil. 1.4.2 Tujuan khusus : 1. Untuk mengetahui efek pethidin 0,1mgkgBB dan 0,2mgkgBB intrathecal yang digunakan dalam mencegah menggigil pada anestesi intrathecal. 2. Untuk mengetahui efek mual muntah yang timbul setelah pemberian pethidin pada dosis 0,1 mgkgbb dan 0,2 mgkgbb secara intrathecal.

1.5. MANFAAT

1. Mendapatkan dosis pethidin intrathecal yang efektif untuk mencegah mengigil dengan efek samping yang minimal. 2. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis pethidin yang berbeda. 3. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan pethidin dibandingkan obat lain yang dapat digunakan mencegah menggigil Universitas Sumatera Utara 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60 . Ciri khas menggigil berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat. 6

2.1. FISIOLOGI

Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5 C pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi. 8 Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur inti 1 C lebih rendah di bawah standar deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal 28‐35 C. Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif. 8 Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon Universitas Sumatera Utara 6 eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas. 8 Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu‐satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh. 8 Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom. 8

2.1.1. Termosensor dan Jalur Saraf Aferen

Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25‐30 C. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 45‐50 C dan berjalan pada serabut saraf tipe C. 8 Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan dalm waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus. 8 Universitas Sumatera Utara 7 Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu jelas secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur inti tubuh menurun kurang dari 36 C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu penting bila dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set‐point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer. 8 Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi 6

2.1.2. Hipotalamus Pusat Integrasi

Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon Universitas Sumatera Utara 8 peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior, formatio retikularis, dan medula spinalis. 8 Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5 C dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. 8 Suatu penelitian terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat terhadap kulit yang dingin. 8 Temperatur set‐point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐ 37,1 C. Set‐point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan pada manusia sangat unik. Pada manusia set‐point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,2 C sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 1 C menjelang malam. Wanita memiliki nilai set‐point yang lebih tinggi 1 C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti space‐occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum jelas. 8 Universitas Sumatera Utara 9 Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus. 6

2.1.3. Respon Efektor

Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan peningkatan rata‐rata metabolisme. 8 Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit. 8 Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar dibawah ini. 8 Universitas Sumatera Utara 10 Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi. 6

2.2. PATOFISIOLOGI

Dokumen yang terkait

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

4 93 98

Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

0 38 101

Perbandingan Efektifitas Dexamethason 0,2 MG/kgBB I.V Dengan Lidokain 2% 1,5 MG/kgBB I.V Untuk Mencegah Nyeri Tenggorokan Setelah Intubasi Endotrakeal Pada Anestesi Umum

3 38 121

Perbandingan Ketamin 0,5 MG/KGBB Intravena Dengan Ketamin 0,7 MG/KGBB Intravena Dalam Pencegahan Hipotensi Akibat Induksi Propofol 2 MG/KGBB Intravena Pada Anestesi Umum

2 53 97

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

0 51 87

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

1 38 69

Perbandingan Pemberian Ondansetron 8 mg dengan Tramadol 1 mg kgBB Intravena untuk Mencegah Menggigil Pascaanestesi Umum pada Operasi Mastektomi Radikal atau Modifikasi | Oktavian | Jurnal Anestesi Perioperatif 231 924 1 PB

0 0 9

Perbandingan Penambahan PePerbandingan Penambahan Petidin 0,25 mg kgBB dengan Klonidin 1 µg kgBB pada Bupivakain 0,25% untuk Blok Infraorbital pada Labioplasti Anak terhadap Analgesia Pascaoperasi | Ramadani | Jurnal Anestesi Perioperatif 302 1040 1 PB

0 0 9

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

0 0 16

PERBANDINGAN LAMA ANALGESIA BUPIVAKAIN HIPERBARIK + MORFIN INTRATEKAL DENGAN BUPIVAKAIN HIPERBARIK + NaCl INTRATEKAL PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL - Repository UNRAM

0 0 12