MONITOR SUHU OBAT‐OBATAN

16

2.5 MONITOR SUHU

Efek fisiologik dari perubahan suhu tubuh adalah alasan utama untuk memonitor suhu tubuh sewaktu tindakan anestesi. Sebagai proteksi supaya tidak terkadi iskemik jaringan direkomendasikan suhu inti intraoperatif harus dijaga diatas 36 C. Pengukuran suhu harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban dari praktisi untuk menentukan metode terbaik mengawasi suhu inti pasien dan untuk menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar sekaligus memperkirakan bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan. Selama periode perioperatif ketika suhu inti berubah dengan cepat, hubungan antara suhu yang terukur pada berbagai bagian tubuh dapat berbeda. Suhu inti diukur pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani. Distal esofagus 25 dari bagian bawah esofagus memberikan gambaran suhu darah dan serebral. Suhu membran timpani dan aural kanal memberikan estimasi suhu hipotalamus dan berkorelasi dengan suhu esofagus. Suhu inti juga dapat diperkirakan dengan menggunakan bagian oral, aksiler, ataupun kandung kencing. Suhu kulit dan rektal yang disesuaikan dapat menggambarkan suhu inti dengan cukup baik, tetapi menjadi tidak dapat diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna. Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengukuran suhu membrana timpani menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran suhu selama dan pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan suhu bergantung pada operator, anatomi pasien, dan alat ukurnya. 7

2.6 OBAT‐OBATAN

Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak sediaan obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis seperti clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah, Universitas Sumatera Utara 17 magnesium sulfat, ketamin,tramadol dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah Pethidin. 8 Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor NMDAN-methyl d-aspartate atau stimulasi dari reseptor- α 2. 8 Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-µ dan reseptor-k dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine. 16 Petidin intratekal akan berikatan dengan reseptor-µ dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor- α 2 dimana jika reseptor ini distimuli akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis reseptor NMDA N-methyl d aspatartate. 8 Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan terjadinya menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju hypothalamus. 8 Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin Universitas Sumatera Utara 18

2.6.1 FARMAKOKINETIK

Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM dari pethidin memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin 2-4 jam, sedikit lebih pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik, pethidin menghasilkan efek sedasi, euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin baik diabsorpsi di saluran cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya. 17 Waktu paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah penyuntikan pethidin intrathecal hanya 0,4 dari dosis awal yang terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi pethidin pada C 7 -T 1 turun dengan cepat,hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi. Efek sistemik lama timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat pethidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam sistem vena dan limphatik. 20

2.6.2 METABOLISME

Metabolism pethidine terjadi di hepar, dimana hampir 90 bentuk asal pethidin mengalami demetilisasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi meperidinic acid. Kemudian diekskresi melalui urin, tetapi tergantung dari nilai pH dari urin. Sebagai contoh pH urin5 sebanyak 25 dari bentuk asli pethidin dikeluarkan. Jadi penambahan keasaman dari pH urin bisa dipertimbangkan untuk mempercepat eliminasi dari pethidin. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan terakumulasi bentuk normeperidine. Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam35 jam pada pasien dengan gagal ginjal dan dapat dideteksi selama 3 hari setelah pemberian. Normeperidine dapat menyebabkan stimulasi dari CNS. Toksisitas dari normeperidine dapat menyebabkan terjadinya myoklonus dan kejang. 16

2.6.3 EFEK SAMPING

A. Kardiovaskuler Pethidin menyebabkan peningkatan heart rate struktur kimia pethidin mirip dengan atropine. Dosis tinggi dari morfin, fentanyl, sulfentanil, remifentanyl dan alfentanyl berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi oleh nervus vagus. Morfin dan pethidin menyebabkan pelepasan dari histamine pada Universitas Sumatera Utara 19 beberapa individu dan dapat menyebabkan menurunnya tahanan perifer sistemik arterial blood pressure. 18 B. Respirasi Opioid dapat mendepressi ventilasi. Hal ini disebabkan ambang rangsang apneu ditingkatkannya dimana PaCO2 meningkat selama periode apneu dan menurunnya hypoxic drive. Morfin dan pethidin juga dapat menginduced bronchospasme. 18 C. Cerebral Opioid dapat mereduksi cerebral oxygen consumption, cerebral blood flow dan tekanan intracranial, tetapi efek ini masih lebih rendah dibandingkan barbiturate atau benzodiazepine. Pethidin merupakan opioid yang unik, dimana bila diberikan secara intrathecal memiliki struktur yang sama dengan sameridin yang memiliki efek local anestetik. 18 D. Gastrointestinal Opioid dapat memperlambat waktu pengosongan lambung dengan menurunkan peristaltik. Nyeri bilier disebabkan karena kontraksi dari spincter Oddi. Pasien yang mendapat opioid dalam waktu lama seperti pada pasien kanker menjadi toleran terhadap efek samping kecuali efek konstipasi yang disebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal. 18 E. Endokrin Stress respon terhadap tindakan pembedahan seperti sekresi hormone katekolamin, antidiuretik hormone dan kortisol. Opioid memblok pelepasan hormone-hormon ini. 18 Secara umum efek samping dari penggunaan opioid tergantung pada besarnya dosis yang digunakan. Ada empat efek samping yang sering timbul pada penggunaan neuraxial opioid,seperti pruritus, mual dan muntah, retensi urin dan depresi pernafasan. 17 a. Pruritus Pruritus adalah efek samping yang paling sering timbul pada penggunaan neuraxial opioids. Sering timbul didaerah wajah,leher dan thorak atas. Pruritus sering timbul pada pasien obstetri,mungkin disebabkan interaksi antara estrogen dengan reseptor opioid. Pruritus yang disebabkan pada penggunaan neuraksial Universitas Sumatera Utara 20 opioid disebabkan oleh migrasi opioid ke cephalad pada CSF dan berinteraksi dengan reseptor opioid di nucleus trigeminal. Antagonist dari opioid seperti naloxone efektive untuk mengurangi pruritus yang terjadi. Antihistamine juga efektive untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh opioid. 17 b. Retensi Urine Retensi urin sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Retensi urin pada penggunaan neuraxial opioid sering terjadi dibandingkan pada penggunaan secara IV dan IM. Terjadinya retensi urin tidak tergantung pada besarnya dosis yang digunakan atau besarnya absorbsi sistemik dari opioid. Retensi urin disebabkan karena interaksi antara opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi pada spinal cord di sacral. Interaksi ini menyebabkan inhibisi dari nervus parasimpatik di sacral yang menyebabkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan maksimum dari volume kandung kemih. 17 c. Depresi pernafasan Efek samping yang paling serius dari penggunaan opioid adalah depresi pernafasan,yang bisa timbul beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian opioid. Insiden terjadinya depresi pernafasan setelah pemakaian neuraxial opioid pada dosis konvensional sekitar 1, sama dengan pemakaian opioid IV dan IM dengan dosis konvensional. Depresi pernafasan yang cepat terjadi dalam waktu 2 jam setelah injeksi opioid pada neuraxial,dan yang lambat terjadi lebih dari 2 jam setelah penyuntikan. Depresi pernafasan terjadi karena absorbsi kesistemik dari opioid yang lipid soluble,walaupun perpindahan opioid di CSF ke cephalad dan berinteraksi dengan reseptor opioid di daerah ventral medulla. Pasien obstetric sedikit yang mengalami depresi pernafasan,mungkin disebabkan oleh meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh progesterone. 17 d. Sedasi Sedasi setelah pemberian neuraxial opioid berhubungan dengan dosis dan bisa timbul pada semua opioid, tapi paling sering pada penggunaan sulfentanyl. Pada waktu timbul sedasi pada penggunaan neuraxial opioid,pertimbangkan akan timbulnya depresi pernafasan pada pasien tersebut. Pengguanaan naloxone 0,25µgkgBBjam IV efektive untuk penanganan mual dan muntah, pruritus,depresi nafas dan perubahan status mental seperti paranoid- psychosis,catatonia dan halusinasi yang disebabkan oleh pemakaian neuraxial opioid. 17 Universitas Sumatera Utara 21

2.7 KERANGKA KONSEP

Dokumen yang terkait

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

4 93 98

Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

0 38 101

Perbandingan Efektifitas Dexamethason 0,2 MG/kgBB I.V Dengan Lidokain 2% 1,5 MG/kgBB I.V Untuk Mencegah Nyeri Tenggorokan Setelah Intubasi Endotrakeal Pada Anestesi Umum

3 38 121

Perbandingan Ketamin 0,5 MG/KGBB Intravena Dengan Ketamin 0,7 MG/KGBB Intravena Dalam Pencegahan Hipotensi Akibat Induksi Propofol 2 MG/KGBB Intravena Pada Anestesi Umum

2 53 97

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

0 51 87

Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal

1 38 69

Perbandingan Pemberian Ondansetron 8 mg dengan Tramadol 1 mg kgBB Intravena untuk Mencegah Menggigil Pascaanestesi Umum pada Operasi Mastektomi Radikal atau Modifikasi | Oktavian | Jurnal Anestesi Perioperatif 231 924 1 PB

0 0 9

Perbandingan Penambahan PePerbandingan Penambahan Petidin 0,25 mg kgBB dengan Klonidin 1 µg kgBB pada Bupivakain 0,25% untuk Blok Infraorbital pada Labioplasti Anak terhadap Analgesia Pascaoperasi | Ramadani | Jurnal Anestesi Perioperatif 302 1040 1 PB

0 0 9

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

0 0 16

PERBANDINGAN LAMA ANALGESIA BUPIVAKAIN HIPERBARIK + MORFIN INTRATEKAL DENGAN BUPIVAKAIN HIPERBARIK + NaCl INTRATEKAL PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL - Repository UNRAM

0 0 12