mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. Q.S. al-Ankabut,
29:2-3. Pada ayat tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa Allah SWT akan
menguji kualitas keimanan seseorang dengan berbagai evaluasi atau cobaan. Dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang benar-benar mantab
imannya dan siapa saja yang imannya palsu. Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik
dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai pencipta, hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, hubungan manusia dengan alam
sekitarnya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Paradigma pendidikan islam mengintegralkan semua ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik, sehingga terciptalah manusia yang paripurna yang dapat mengaktualisasikan
keimanan, keilmuan
dan amal
shalihnya.
41
Dari beberapa pendapat para pakar dapat disimpulkan, evaluasi adalah pengoreksian, pengawasan dan perefleksian terhadap komponen-komponen
kurikulum dalam upaya mengetahui keberhasilan kurikulum. Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah mengevaluasi tingkat keberhasilan peserta didik
dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran Islam.
F. Pendidikan Perspektif Muhammad Al-Naquib Al-Attas.
1. Pengertian Pendidikan Definisi Pendidikan, menurut Al-Attas berasal dari kata ta’dib yang
berartikan penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Al- Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah
Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakkan disebut dengan sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal al-insan al-kulliyy. Oleh
karena itu, sistem pendidikan harus merefleksikan manusia sempurna.
42
Pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Mekkah, pada April 1971. Al-Attas mengajukan agar
41
Samsul Nizar, op. cit., h. 83
42
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan Media Utama, 1998. h. 174.
definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib. Gagasan definisi pendidikan
tersebut diterima sebagai istilah yang dikompromiskan dengan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.
43
Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept if
Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.
Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam,
bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang digunakan waktu itu. Dia mengatakan, “ struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu ilm,
instruksi ta’lim dan pembinaan yang baik tarbiyah.
44
Al-Attas berpendapat kata “tarbiyah” yang dalam bahasa latin ialah education. Tarbiyah adalah proses menghasilkan dan mengembangkan
mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsep-konsep latin yang
dikembangkan dari istilah-istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan berakal”
45
. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang
dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja dan medan-medan semantiknya meluas kepada spesies-
spesies lain untuk mineral, tanaman dan hewan.
46
Konsep tarbiyah bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, dengan demikian konsep tarbiyah tidak
43
Ibid., h. 175.
44
Ibid., h. 175.
45
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar
Bagir, Bandung: Mizan, 1984. h. 64.
46
Ibid., h. 66.
cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusia saja.
47
Selain itu tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang tuanya
dan biasanya para orang tua sebagai pemilik yang berhak mentarbiyahkan keturunannya. Pemilikan-pemilikan yang dimaksud adalah pemilikan yang
berhubungan dengan relasional. Mengingat bahwa pemilikan yang
sebenarnya ada pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi, Pengurus dan Pemilik segala sesuatu, yang kesemuanya itu
tercakup dalam istilah tunggal ar-Rabb. Jadi kata Rabba yang diturunkan kepadanya jika diterapka pada manusia dan hewan-hewan menunjukkan
suatu “milik yang dipinjamkan”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh,
menanggung, memberi
makan, mengembangkan,
memelihara, membesarkan, menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan
dan sebagainya. Kesemuanya itu bukan pekerjaan pendidikan. Pendidikan
adalah penanaman pengetahuan yang berkenaan dengan manusia saja dengan penggunaan intelektual manusia.
48
Jika penyelenggaran tarbiyah digunakan sebagai pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja
akan menyebabkan pola pendidikan sekuler yang berprinsip utilitarian yang cenderung pada aspek-aspek fisik, material kehidupan sosial dan politis
manusia.
49
Konsep ta’dib adalah pendidikan yang menekankan pada adab yang mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk
menjamin bahwasanya ilmu ilm dipergunakan secara baik di dalam masyarakat oleh karena inilah para pakar pendidikan dan para sarjana-
sarjana terdahulu mengombinasikan ilm dengan amali dan adab. Dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.
50
47
Ibid., h. 67.
48
Ibid., h. 68.
49
Ibid., h. 69.
50
Ibid., h. 62.
Adab adalah pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan- kesalahan penilaian. Adab
berarti pengenalan dan pengetahuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai
dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta
dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun ruhaniah seseorang.
51
Oleh karena itu, Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai
pendidikan. Al-Attas menolak tarbiyah sebab istilah tarbiyah hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam perkembangan manusia
dan hewan. Ibn Miskawaih Sebagaimana dikutip Al-Attas, misalnya menggunakan istilah ta’dib untuk menunjukkan pendidikan intelektual,
spiritual, dan sosial, baik anak muda maupun orang dewasa.
52
Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika
seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-
sifat kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan karenanya ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang
benar adapun sebaliknya jika tidak, ia menjadi sesuatu yang tidak adil zhulm al-nafs.
53
Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma- norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya
dilakukan dilingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi seseorang “bukanlah sesuatu yang ditentukan manusia berdasarkan kriteria
kekuatan, kekayaan ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh al- Qur’an berdasarkan kriteria terhadap ilmu pengetahuan, akal pikiran dan
perbuatan yang mulia. Jika manusia tersebut melakukannya dengan tulus
51
Ibid., h. 63.
52
Wan Daud, op. cit., h. 180.
53
Ibid., h. 178.