Flora dan Fauna Sejarah

1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas seluruhnya 51.600 ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini terdiri dari Cagar Alam CATaman Wisata Alam TWA Sibolangit, Suaka Margasatwa SM Langkat Selatan, Taman Wisata Alam TWA Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan Bumper Pramuka Sibolangit www.dephut.go.id.

2.6.1 Flora dan Fauna

Flora yang tumbuh di kawasan Taman Wisata AlamCagar Alam Sibolangit sebagian adalah jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri. Pada umumnya terdiri dari pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, seperti di antaranya jenis sono kembang Dalbergia latifolia, angsana Pterococarpus indicus dan kelenjar Samanea saman. Ada juga jenis tanaman palam dan pinang. Di samping itu terdapat pula tumbuhan yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi diperkirakan antara 3000 sampai dengan 4000 mmtahun. Sedangkan tanaman bawah atau ground cover yang dipakai sebagai pembatas jalan setapak pada umumnya didominasi jenis dari genus Anthurium dari famili Araceae. Tumbuhan khas di kawasan ini juga ditemukan yakni salah satu tumbuhan yang tergolong langka tumbuh setiap 5 tahun sekali dan mempunyai daya tarik tersendiri yaitu bunga bangkai Amorphophallus titanum. Ada pun jenis fauna yang sering dijumpai adalah kera Macaca fascicularis dan lutung Presbytis sp yang senang bermain-main di pohon. Apalagi pada musim buah duku dan durian, frekuensi kunjungannya akan semakin sering. Keberadaan kera dan lutung ini memberikan daya tarik tersendiri karena dapat beratraksi dan mengeluarkan bunyi suara yang amat nyaring. Selain itu, pada musim yang sama musim buah banyak dijumpai Universitas Sumatera Utara jenis-jenis burung seperti burung rangkong Buceros sp, burung kutilang Pycnonotus sp, kacer Copsycus sp, srigunting Dicrurus sp serta jenis hewan lainnya seperti babi hutan Sus sp, biawak Varanus salvator kancil Tragulus javanicus dan trenggiling Manis javanica www.dephut.go.id.

2.6.2 Sejarah

Taman Wisata AlamCagar Alam Sibolangit yang terlihat saat ini mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dahulu, Pemerintah Belanda menganggap kawasan hutan yang dikenal sebagai Kebun Raya Botanical Garden Sibolangit sebagai bentang alam yang penting terutama dari sisi ekologi, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan Kota Medan. Kebun Raya KR Sibolangit merupakan salah satu dari dua cabang Kebun Raya Bogor yakni Kebun Raya Sibolangit dan Kebun Raya Setia Mulia di Sumatera Barat. Kebun Raya Sibolangit resmi dibuka pada tahun 1914 oleh J.A Lorzing dan didukung oleh Dr J.C. Koningsberger yang menjabat Direktur Kebun Raya Bogor di masa itu. Untuk memperjelas statusnya, tahun 1916 diadakan pemetaan dan pembuatan tapal batas Kebun Raya Sibolangit. Berdasarkan tapal batas, waktu itu kebun raya masuk dalam kekuasaan Sultan Deli yang berpusat di Medan. Pernah Hortus Sibolangit, sebutan lain berbahasa Belanda untuk Kebun Raya Sibolangit mengalami masa kejayaan di era 1914 hingga 1928. Pendataan, pengoleksian serta pengadaan herbarium layaknya kegiatan sebuah kebun raya dikerjakan dan kegiatan ini memakan energi yang tidak sedikit. Hal ini antara lain dapat dilihat dari keberadaan tungku pengeringan spesimen yang sudah tergolong maju waktu itu. Selain itu tumbuhan koleksi sedang dalam tahap pengembangan. Kekurangan dana operasional pada tahun 1928 memaksa kebun raya ini vakum beberapa tahun. Praktis kegiatan perkebunrayaannya pun terhenti. Pada tanggal 24 Mei 1934, Kesultanan Deli menimbang bahwa luasan hutan tersebut dianggap penting lalu mengubah statusnya menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Z.b No.85 PK. Kevakuman berakhir hingga Indonesia merdeka dari kolonial. Pada tahun 1948 dibuka Universitas Sumatera Utara kembali, namun dana yang minim akhirnya dipilih menyerahkan kebun raya kepengelolaan Djawatan Kehutanan. Tahun 2000-an tidak banyak yang berubah pada Cagar Alam Sibolangit. Sebelumnya, CA Sibolangit pernah diperluas sebanyak 5,85 ha berasal dari bekas Hak Guna Usaha Seng Hap dengan SKPT Menteri Pertanian Agraria No.104KA1957 Tanggal 11 Juni 1957. Kemudian pada tahun 1980, luasan hutan CA Sibolangit sebanyak 24,85 ha dialihstatuskan menjadi Taman Wisata Alam TWA Sibolangit mengingat hutan tersebut penting dan potensial dijadikan sebagai laboratorium alam dan sarana rekreasi. Pengalihsatatusan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 636KptsUm91980 dengan harapan menjadi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan serta pengembangan pariwisata sesuai fungsi Taman Wisata Alam. Saat ini luas CA Sibolangit tinggal 95,15 ha. Pada tahun 2001 Taman Wisata AlamCagar Alam TWACA Sibolangit menjadi perhatian masyarakat umum. Terutama dibangunnya Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Desa Batu Mbelin oleh Yayasan Ekosistem Lestari YEL dengan suntikan dana dari Yayasan Pan Eco, Swiss. Setahun setelahnya, menyusul Conservation International CI memberikan perhatian yang serius dengan memperbaiki dan membangun sarana seperti wisma tamu guest house, pintu gerbang, perawatan jalan interpretasi, pengadaan papan pendidikan, pendidikan pemuda setempat sebagai interpreter serta menyusun program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah. Program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah sangat bermanfaat dan bernilai positif walaupun kunjungan dinilai masih sedikit. Berbagai usaha dilakukan agar tingkat kunjungan meningkat di masa krisis moneter waktu itu. Poster-poster pendidikan pun mulai ditingkatkan serta mengundang anak sekolah secara khusus. Namun, setelah masa- masa itu berlalu, beberapa tahun belakangan ini kegiatan-kegiatan yang sama mulai meredup seiring habisnya program lembaga pendukung dan minimnya dana operasional sehari-hari Sari Widodo, 2004.

2.6.3 Potensi Wisata