Tabel 35. Perbandingan Data Empirik dan Data Hipotetik Dimensi Profesional Respek
Dimensi Data Empirik
Data Hipotetik P.Respek
Min Max
Mean SD
Min Max
Mean SD
5 24
18,68 3,26
5 25
15 3,3
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh hasil perbandingan mean empirik dan mean
hipotetik dari dimensi loyalitas
yang menunjukkan bahwa rerata empirik X = 18,68 lebih tinggi daripada
rerata hipotetik µ = 15. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dimensi profesional respek
pada subjek penelitian lebih tinggi. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa standar deviasi empirik S = 3,26
lebih rendah dari standar deviasi hipotetik σ = 3,3. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi loyalitas pada karyawan perkebunan memiliki variasi
yang rendah.
D. Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat apakah tuntutan kerja dan hubungan atasan-bawahan memiliki pengaruh terhadap stres kerja pada
karyawan. Hasil penelitian pada 140 orang karyawan perusahaan perkebunan menunjukkan hipotesis yang berbunyi “ ada pengaruh antara tuntutan kerja dan
hubungan atasan-bawahan terhadap stres kerja” diterima. Dan “ada pengaruh dimensi-dimensi tuntutan kerja work load, emotional load dan cognitive load
Universitas Sumatera Utara
dan dimensi hubungan atasan -bawahan kontribusi, loyalitas, afeksi dan profesional respek terhadap stres kerja” di terima.
Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan k aryawan PT. X kantor operasional di Tebing Tinggi mengalami stres kerja. Karyawan menunjukkan
bahwa mereka mengalami stres kerja kategori sedang, stres kerja ini yang berasal dari tuntutan kerja, mereka merasakan beban kerja terlalu banyak,
selain mereka harus menyelesaikan pekerjaan utama terkadang mereka juga harus menyelesaikan pekerjaan tambahan diluar dari uraian pekerjaan, bahkan
mereka bekerja diluar dari jam kerja. Namun, tuntutan pekerjaan dirasakan banyak mereka tetap cukup bertanggung jawab terha dap pekerjaannya. Hal ini
dikarenakan mereka menyadari pekerjaan -pekerjaan itu sudah menjadi bagian mereka sebagai karyawan dan mereka harus bertahan hidup demi keluarga
sehingga mereka mau menerima segala bentuk situasi dan kondisi yang ada di perusahaan.
Sebagian lagi karyawan merasa tingkat stres kerja nya berada kategori rendah, hal ini dikarenakan beberapa karyawan sudah merasa nyaman dengan
pekerjaannya, sehingga dalam menyelesaikan pekerjaan mereka menganggap pekerjaan yang ada bukan sebagai beban m elainkan sebagai tantangan. Hal ini
sejalan dengan beberapa karyawan yang menyukai tuntutan kerja yang banyak karena dapat membuat dirinya menjadi lebih kreatif, aktif dan bonus yang
diterima bertambah. Sejalan dengan h asil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tuntutan kerja merupakan persepsi karyawan untuk
menilai lingkungan kerja yang akan menggarahkan karyawan untuk
Universitas Sumatera Utara
menggangap sebagai tantangan atau sebagai beban kerja Bakker, A Demerouti, E. 2006. Lebih lanjut dikatakan bahwa karyawan yang
menganggap tuntutan kerja sebagai beban atau ancaman cenderung berpotensi stres Dianne, G; Richard, F. 2009.
Tuntutan kerja di perusahaan PT. X tuntutan kerja tergolong tinggi, hal ini dikarenakan karyawan diharuskan untuk menyelesaikan banyak pekerjaa n
dalam waktu yang bersamaan. PT. X yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet, karyawan setiap hari dituntut untuk menghasilkan
produksi yang banyak, hasil produksi setiap hari dikontrol baik dari segi jumlah produksi maupun dari sisi kuali tas nya. Bila karyawan tidak mencapai
target produksi karyawan mendapatkan sanksi manajemen dan pemotongan bonus. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan beberapa karyawan ketika
hasil produksi tidak mencapai target, karyawan PT. X mengalami kecemasan, yang akhirnya dapat berujung pada stres kerja. Sejalan dengan penjelasan
diatas, dimensi tuntutan kerja yang paling berpengaruh terhadap stres kerja adalah workload.
Stres kerja yang ada di PT. X juga dipengaruhi dengan hubungan atasan - bawahan. Berdasarkan hasil penelitian kategorisasi hubungan atasan -bawahan
di PT. X adalah tinggi, hal ini dikarenakan karyawan memiliki kualitas hubungan yang baik dengan atasanya. Hal ini terungkap dalam wawancara
dengan atasan yang mengatakan bahwa hubungan atasan -bawahan terjalin baik bila karyawan mau bekerja sama dan menunjukkan hasil kerja nyata yaitu
mencapai target perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Sayangnya perhatian atasan terhadap karyawan satu dengan karyawan yang lain berbeda. Karena berdasarkan hasil penelitian terdapat kategorisasi
hubungan atasan-bawahan yang sedang. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan beberapa karyawan PT.X di kebun Tebing Tinggi bahwa karyawan
merasa komunikasi dengan atasannya terbatas, adanya jarak antara atasan - bawahan serta peluang karir yang terbatas. De ngan kata lain hubungan atasan -
bawahan yang berupa hubungan persahabatan kurang terjalin dan berdasarkan hasil penelitian dimensi yang paling berpengaruh terhadap stres kerja adalah
dimensi afeksi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan hasil penelitian ini pen garuh hubungan atasan-bawahan terhadap stres kerja adalah diterima.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian ini dimensi hubungan atasan - bawahan yang paling berpengaruh terhadap stres kerja adalah dimensi afeksi,
kontribusi dan loyalitas. Dimana dimensi afe ksi dapat menjelaskan 13 tingkat stres kerja, dimensi afeksi dan kontribusi dapat menjelaskan 19,7
terhadap stres kerja, dimensi afeksi, kontribusi dan workload terhadap stres kerja 25,3 terhadap stres kerja dan dimensi afeksi, kontribusi, loyalitas dan
workload dapat menjelaskan 27,6 terhadap stres kerja. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini m odel persamaan regresi
estimasi linear berganda yang diperoleh adalah Y = 46,483 +0,574+0,5- 0,022
X1
+ - 0,692 + 0,522 - 0,957+ 0,151
X2,
yang dapat diartikan bahwa jika dimensi tuntutan kerja dan dimensi hubungan atasan-bawahan adalah 1 maka
stres kerja adalah sebesar 4 6,559 satuan.
Universitas Sumatera Utara
Penyebab lain hubungan atasan -bawahan dipengaruhi dengan demografis subjek. Xin 1997 menjelaskan demografis secara sig nifikan menyumbang
pada pembentukan kualitas hubungan atasan -bawahan. Berdasarkan hasil penelitian ini, subjek penelitian yang berjenis kelamin laki -laki lebih besar dari
pada perempuan. Hal ini sesuai dengan tuntutan pekerjaan PT. X yang harus bekerja operasional di perkebunan. Selain itu, pengawas pria akan memberikan
perlakuan berbeda dengan bawahan wanita, begitu juga bila pengawas wanita memperlakukan bawahan pria Varma dan Stroh; 2001.
Dengan kata lain, tingkat stres kerja di perkebunan yang di dom inasi pria memungkinkan untuk
meningkat. Berdasarkan hasil penelitian ini, level pendidikan karyawan PT. X di
Tebing Tinggi kebanyakan berada pada level SMA, hal ini dikarenakan pekerjaan yang ada bentuknya rutinitas dan ini juga terlihat dari hasil penel itian
ini yang kebanyakan usia karyawan PT. X berkisar 21 -40 tahun. Artinya karyawan PT. X di Tebing Tinggi memiliki karyawan yang berada usia
produktif. Penelitian menemukan karyawan dibatasi dalam mengungkapkan
pendapatnya serta kurangnya pengembangan sumber daya manusia khususnya di bidang psikologis. Dan berdasarkan hasil wawancara kepada bawahan ketika
tamu dari Medan datang atasan terlihat lebih sering menyalahkan bawahan tanpa ada alasan yang jelas, menegur bawahan di depan orang banyak tanpa
memperdulikan perasaan karyawannya. Sehingga sejalan dengan hasil
penelitian bahwa kualitas hubungan atasan -bawahan yang rendah hanya
Universitas Sumatera Utara
terbatas pada kontrak kerja. dan hubungan atasan -bawahan yang tinggi menyerupai hubungan kemitraan yang berdasar pada saling m enghargai,
percaya dan mutual obligation wech, 2002. Melihat situasi dan kondisi pekerjaan yang ada di perkebunan PT. X Tebing Tinggi, maka intervensi yang
paling memungkinkan untuk dilakukan adalah peningkatan keterampilan hubungan atasan-bawah guna membantu karyawan dalam mengelola tingkat
stres kerjanya, salah satu adalah pelatihan supervisor.
E. Keterbatasan Penelitian