BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah penelitian, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
dan sistematika penulisan penelitian.
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam proses pembelajaran di sekolah, matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan secara luas pada berbagai jenjang pendidikan di sekolah.
Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan-hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian persoalan
mengenai bilangan. Penguasaan matematika bagi peserta didik sangat penting, baik untuk menunjang keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan maupun
untuk menunjang keberhasilan pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Pentingnya peranan penguasaan matematika dalam menunjang keberhasilan
pembangunan bidang pendidikan, karena penguasaan matematika bagi peserta didik akan menjadi sarana yang penting untuk mempelajari mata pelajaran
lainnya. Selain matematika juga merupakan pelajaran yang selalu ada dan akan sering dipergunakan di beberapa mata pelajaran lainnya, baik pada jenjang yang
sama maupun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tampaknya upaya penguasaan matematika belum diiringi dengan sikap siswa
terhadap pelajaran matematika. Terlihat bahwa pelajaran matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan, pelajaran yang sulit dan tidak
menyenangkan sehingga dihindari, karena matematika penuh dengan rumus- rumus dan memerlukan konsentrasi yang penuh dalam mempelajarinya. Dengan
kata lain, self-efficacy siswa terhadap matematika mempengaruhi kecemasan siswa ketika menghadapi pelajaran tersebut. Hasil wawancara yang peneliti
lakukan pada hari Senin tanggal 19 April 2010 dengan dua orang siswa SMPN 4 Tangerang Selatan yang bernama Maulana dan Rizki menyatakan bahwa mereka
tidak suka dengan pelajaran matematika karena menggunakan banyak rumus dan sulit, sehingga membuat mereka malas untuk mengikuti pelajaran tersebut,
sehingga hal tersebut menimbulkan kecemasan pada siswa serta self-efficacy siswa terhadap pelajaran tersebut menjadi rendah.
Menurut Atkinson 1999, kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut yang dialami seseorang dalam tingkat yang berbeda- beda. Sedangkan kecemasan matematika menurut Dreger Aiken dalam
Kusumawati, 2005, yaitu gejala atau reaksi emosional terhadap aritmatika dan matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika menunjukkan sikap
tidak mau belajar, merasa rendah diri, merasa tidak ada artinya belajar matematika, kebingungan, gugup, gelisah, khawatir, serta mengalami gangguan
fisiologis. Kecemasan matematika muncul dari rasa takut siswa terhadap tugas-tugas
yang berkaitan dengan rumus matematika, ujian atau pada saat pelajaran matematika karena akan merasa gagal, tidak mampu mengikuti pelajaran
matematika, dan ketakutan akan mendapat nilai yang jelek dalam Yoenanto, 2001.
Penelitian lain mengenai kecemasan matematika yang dilakukan oleh Yoenanto 2001, menunjukkan bahwa : 1 faktor-faktor yang memberi
kontribusi besar terhadap kecemasan siswa pada matematika adalah: materi pelajaran yang dianggap sulit 53, fasilitas yang kurang memadai 26, cara
mengajar guru yang sulit dipahami 23, dan karakter guru yang galak 6. 2 semakin rendah tingkat kecemasan siswa pada matematika, akan semakin tinggi
prestasi belajarnya atau semakin tinggi kecemasan siswa pada matematika akan semakin rendah prestasi belajarnya, 3 semakin tinggi tingkat kelas, akan
semakin tinggi tingkat kecemasan siswa pada pelajaran matematika. Penelitian tentang kecemasan siswa dalam pelajaran matematika telah
dilakukan oleh KT. Hill dan Sarason yang dikutip oleh Wigfield dalam Yoenanto, 2001 dengan melakukan studi longitudinal yang intensif pada sampel
berjumlah 700 orang sebagian besar kulit putih di Sekolah Dasar SD pada siswa kelas kategori sedang dan rendah. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa,
ada korelasi yang negatif antara total skor kecemasan dengan prestasi belajarnya, dimana kelas 1 dan kelas 2 sebesar rxy = -0,2, kelas 3 dan kelas 4 sebesar rxy =
-0,25, kelas 5 dan kelas 6 sebesar rxy = -0,44. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yoenanto 2001, bahwa adanya hubungan
antara kecemasan siswa pada pelajaran matematika dengan prestasi belajar matematika, yaitu semakin rendah tingkat kecemasan siswa pada pelajaran
matematika akan semakin tinggi prestasi belajarnya.
Siswa yang mengalami kecemasan terhadap matematika seringkali menampakkan berbagai macam tanggapan emosional dan sikap-sikap negatif,
misalnya naiknya detak jantung dan kepala pusing dalam Purnomo, 1999. Lebih lanjut Sujono dalam Purnomo, 1999 menyatakan bahwa kecemasan
terhadap matematika disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1. Faktor guru, dan
2. Faktor orang tua. Kecemasan yang terjadi pada individu khususnya pada siswa dapat terjadi
melalui suatu proses yang dimulai dengan adanya suatu rangsangan eksternal maupun internal sampai menjadi suatu keadaan yang dianggap sebagai ancaman
atau hal yang membahayakan. Individu yang mengalami kecemasan, sering kali tidak mau mengakui bahwa dirinya cemas.
Menurut Holmes 1991 dalam kecemasan terdapat empat komponen, yaitu: 1. Mood psikologis,
2. Kognitif dalam pikiran, 3. Somatik dalam reaksi fisik atau biologis,
4. Motorik gerak tubuh. Penelitian lain mengenai kecemasan terhadap matematika yang dilakukan
oleh Kusumawati 2005 menunjukkan bahwa, sikap siswa terhadap unsur yang berhubungan dengan kegiatan belajar akan mempengaruhi perilaku dalam
mengikuti kegiatan belajar, seperti halnya juga sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dapat mempengaruhi perilaku dalam mengikuti aktivitas belajarnya.
Dengan adanya unsur penilaian dalam sikap, maka yang terbentuk pun berkisar antara sikap positif atau yang negatif terhadap pelajaran matematika.
Siswa yang mengalami kecemasan biasanya merasa terpaksa untuk mempelajari matematika. Hal ini dapat dilihat dari jawaban atas pertanyaan
apakah siswa tersebut mampu menjawab atau melakukan langkah-langkah belajar yang tepat dalam mempelajari angka-angka atau menyelesaikan soal matematika.
Dengan kata lain, siswa yang merasa bisa dan mempunyai keyakinan tentang apa yang harus dilakukan dalam pelajaran matematika akan menjadi tidak cemas.
Lebih lanjut, siswa yang mempunyai tujuan secara jelas dari apa yang dilakukannya itu, akan tampak menyukai pelajaran matematika. Oleh karena itu,
sangat penting dan menarik untuk memahami kompetensi diri siswa dimana dalam istilah psikologi dikenal dengan nama “self-efficacy” khususnya pada mata
pelajaran matematika. Bandura sebagai penggagas konsep ini mendefinisikan self-efficacy sebagai
penilaian seseorang tentang kemampuannya untuk menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi Bandura,
1986. Peningkatan self-efficacy senantiasa dikaitkan dengan peningkatan sikap positif yang lain. Misalnya, siswa mengekspresikan lebih tertarik dengan
pelajaran matematika dan bertahan pada soal-soal yang sukar. Peran self-efficacy dalam kecemasan menurut teori sosial kognitif, yaitu
orang-orang yang memiliki persepsi self-efficacy yang rendah dengan hubungannya dalam mengatasi ancaman yang mengakibatkan timbulnya
kecemasan yang tinggi pada seseorang Pervin John, 2005.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa, keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi pelajaran matematika yang dimiliki oleh siswa mempengaruhi
kecemasannya. Dari penelitian yang telah dilakukan Betz and Hacket, dan Hackett yang dikutip oleh Meece 1990 yang meneliti akibat self-efficacy matematika
pada kecemasan menunjukkan bahwa, self-efficacy mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kecemasan yang dialami oleh siswa daripada hasil prestasi
matematika. Sedangkan menurut Dale Schunk dalam Santrock, 2001, menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi siswa dalam memilih
kegiatannya. Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang,
sedangkan siswa dengan self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Dengan kata lain, siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah pada keterampilan yang mereka miliki tidak suka melibatkan diri dalam tugas yang
mana keterampilan itu dipersyaratkan. Selain itu, mereka akan kurang terdesak usahanya dan keingintahuannya dalam menghadapi kesukaran. Seseorang yang
mempunyai self-efficacy yang rendah cenderung merasa helpless perasaan tidak berdaya. Pada saat mereka mengalami hambatan, mereka akan dengan cepat
menyerah. Seseorang yang memiliki self-efficacy yang rendah tidak akan melakukan upaya apapun untuk mengatasi hambatan yang ada, karena mereka
percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak akan membawa pengaruh apapun.
Di sisi lain, seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi, percaya bahwa mereka dapat menanggulangi kejadian dan situasi yang dialaminya secara efektif.
Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi dapat menurunkan rasa takut akan kegagalan dan meningkatkan kemampuan kognitif seseorang, sehingga semakin
tinggi self-efficacy yang dipersepsikan seseorang, maka akan semakin besar usaha yang akan dikeluarkan dalam menghadapi tantangan yang ada. Sebaliknya,
semakin individu meragukan kemampuannya, maka akan mengurangi usaha atau menyerah sama sekali. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Betz dan
Hackett menjelaskan bahwa, self-efficacy merupakan hasil dari proses kognitif yang berbentuk keyakinan atau pengharapan tentang sejauhmana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu dalam Litfiah, 1997.
Selain itu, hal ini juga di dukung dengan salah satu penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Warsito 2004, menjelaskan adanya fenomena pada
mahasiswa FIP UNESA dalam memenuhi ketentuan-ketentuan akademiknya maupun pencapaian prestasi akademiknya, merasa kurang yakin dengan
kemampuannya yang ditunjukkan dengan kurangnya usaha keras dari mahasiswa dan cepat menyerah dari masalah-masalah yang ada dan sebagainya, dengan kata
lain ciri-ciri ini menunjukkan mahasiswa memiliki self-efficacynya rendah. Hal tersebut didapat dari hasil penelitian yang dilakukannya pada mahasiswa tersebut
yaitu bahwa ada 19 mahasiswa 31,67 kurang berusaha menyelesaikan tugasnya tepat waktu dengan berbagi alasan, dan 11 mahasiswa 18,33 mudah
menyerah dengan keadaan seperti bila menghadapi banyak masalah, tugas yang
banyak, merasa kurang yakin dapat menyelesaikan sesuatu serta 30 mahasiswa 50 mahasiswa merasa kurang yakin akan kemampuannya untuk dapat
memenuhi ketentuan-ketentuan akademik. Menurut Bandura 1993 individu yang memiliki self-efficacy rendah akan
menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Mereka menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang ada.
Mahasiswa yang memiliki kemauan untuk memenuhi tuntutan akademiknya, tentunya akan selalu berusaha seoptimal mungkin serta harus memiliki keyakinan
akan kemampuannya guna mencapai tujuannya hingga berhasil dalam Warsito, 2004.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa, kecemasan yang dialami siswa ketika menghadapi pelajaran matematika dapat timbul bukan hanya
disebabkan oleh beban yang dirasa bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi siswa terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas
atau soal matematika tersebut yang merupakan self-efficacy. Peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih mendalam apakah ada hubungan antara self-efficacy
matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika.
1.2. Pembatasan Masalah