Hubungan Interrole Conflict Dengan Komitmen Organisasi PadaWanita Bekerja

(1)

HUBUNGAN INTERROLE CONFLICT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA WANITA BEKERJA

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

REZKI BONTARASWATY 031301059

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN MARET 2008


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi pada Wanita Bekerja” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kekurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi –sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 11 Maret 2008

Rezki Bontaraswaty 031301059


(3)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas SumateraUtara

Maret 2008 Rezki Bontaraswaty: 031301059

Hubungan Interrole Conflict Dengan Komitmen Organisasi PadaWanita Bekerja

X + 59 hal + 19 tabel + 1 gambar + 4 lampiran Bibliografi (1964-2007)

Komitmen organisasi merupakan sikap pekerja terhadap organisasi tempatnya bekerja (Baron, 2004). Menurut Van Dyne dan Graham (dalam Coetze, 2005) komitmen organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu personal factors, situational factors dan positional factors. Dari faktor personal akan timbul dua keadaan eksternal yang akan mempengaruhi proses komitmen (Chusmir, 1986) yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Dalam situasi keluarga diketahui bahwa wanita yang menikah mengalami konflik peran yang lebih tinggi dari pada wanita yang tidak menikah (Herman dan Gyllstrom, dalam Chusmir, 1986) dan lebih tidak puas terhadap pekerjaan mereka dibanding wanita yang tidak menikah. Ketika seorang wanita menikah yang bekerja mengalami tuntutan peran yang mengakibatkan ketidaksesuaian antara peran di tempat kerja dan peran dikeluarga, maka keadaan inilah yang disebut sebagai interrole conflict. Interrole conflict dapat diartikan sebagai tekanan peran yang terjadi karena keanggotaan di salah satu organisasi bertentangan dengan tekanan dari keanggotaan di organisasi lainnya (Kahn, 1964).

Dalam penelitian ini, komitmen organisasi merupakan dependen variabel dan interrole conflict adalah independen variabel. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan sampel diambil berdasarkan karakteristik dari populasi yaitu: wanita bekerja dengan status telah menikah, berusia 20-40 tahun, dan bekerja di bagian marketing. Sampel diperoleh melalui tehnik nonprobability sampling secara incidental sampling dan berjumlah 150 orang. Alat ukur yang dipergunakan berbentuk skala Likert, yaitu skala komitmen organisasi dan skala interrole conflict. Pengukuran reliabilitas menggunakan metode alpha cronbach dan validitas dengan professional judgement.

Hasil utama penelitian menunjukkan hubungan yang negatif dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -4,26 dengan nilai p = 0.000 yang < 0,01 , yang berarti

semakin tinggi interrole conflict semakin rendah komitmen organisasi pada wanita bekerja. Sebaliknya semakin rendah interrole conflict semakin tinggi komitmen organisasi pada wanita bekerja. Kontribusi interrole conflict terhadap komitmen organisasi sebesar 18 %. Hal ini terlihat dari R-Square yang diperoleh dari hubungan interrole conflict dengan komitmen organisasi sebesar 0,18.


(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya yang melimpahkan pengetahuan, pengalaman, dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga penulisan penelitian merupakan usaha yang terbaik dan mendapat ridha-Nya.

Peneliti dalam kesmpatan ini mengajukan judul “Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi pada Wanita Bekerja” guna memenuhi persyaratan ujian sarjana psikologi. Proses penyusunan skripsi merupakan suatu proses panjang yang membawa peneliti dapat belajar lebih jauh lagi mengenai ilmu psikologi itu sendiri beserta aplikasinya. Banyak makna dan pelajaran yang peneliti dapatkan dari proses pengerjaan skripsi ini, yang mungkin tidak akan peneliti dapatkan di bangku kuliah.

Atas bantuan dan pemikiran selama ini yang diberikan kepada penulis dalam pengerjaan proposal skripsi ini dan selama perkuliahan, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda, Ibunda, Kakak dan Adik yang telah banyak mendidik, memberikan dukungan moral dan materiil selama ini.

2. Ibu Rika Eliana, M.Psi, selaku dosen pembimbing dalam penulisan proposal ini atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini.

3. Ibu DR. Irmawati, M.Psi dan Bapak Ari Widianta M.Si selaku dosen penguji. Terima kasih atas segala masukkan yang telah diberikan.


(5)

ii

4. Ibu Drs. Sri Mulyani, selaku pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan motivasi dan arahan kepada penulis.

5. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staff Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada peneliti secara langsung ataupun tidak langsung tidak ada yang dapat peneliti ucapkan selain terima kasih yang sebesar-besarnya.

7. Kepada Pak Aswan, Pak Iskandar, Kak Ari, Kak Devi selaku pegawai pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah membantu peneliti dalam urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.

8. Untuk semua para ibu-ibu yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi skala dan menjadi bagian yang paling penting dalam penelitian ini.

9. Kepada Tri Teguh Mahdata yang telah memberikan dukungan kepada peneliti selama ini.

10.Sahabat-sahabatku Alya, Arum, Nita dan Mira. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan, arahan, dan motivasi hingga proposal ini bisa diselesaikan oleh penulis.

11.Kepada Ridha Masniari yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.


(6)

iii

12.Teman-temanku Tatiana, Lia dan Ami, yang selama ini selalu bersedia untuk mendengar segala keluh kesah.

13.Teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan yang diberikan.

14.Serta semua pihak-pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan penulisan proposal skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, karena terbatasnya pengalaman dan pengetahuan dari penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.Akhir kata penulis berharap proposal penelitian ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 17 Maret 2008


(7)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang ... 1

I.B. Tujuan Penelitian ... 7

I.C. Manfaat Penelitian ... 7

I.D. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Komitmen Organisasi ... 10

II.A.1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 10

II.A.2. Komponen-komponen Komitmen Organisasi ... 11

II.A.3. Faktor-faktort yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 12

II.A.4. Menciptakan Komitmen ... 15

II.B. Interrole Conflict ... 17

II.B.1. Pengertian Interrole Conflict ... 18

II.B.2. Dimensi-dimensi Interrole Conflict ... 18


(8)

v

II. C. Wanita Bekerja ... 20

II. C. 1. Faktor-Faktor yang Melandasi Wanita bekerja ... 21

II.D. Dinamika Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi ... 23

II. E. Hipotesa ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27

III.B. Definisi Operasional ... 27

III.B.1. Komitmen Organisasi ... 27

III.B.2. Interrole Conflict ... 28

III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 29

III.C.1. Populasi dan Sampel ... 29

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 30

III.C.3. Jumlah Sampel ... 31

III. D. Alat Ukur yang Digunakan ... 31

III.D.1. Skala Komitmen Organisasi ... 32

III.D.2. Skala Interrole Conflict ... 33

III.D.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 34

III. D. 3. a. Hasil UjiCoba Alat Ukur Komitmen Organisasi 34 III. D. 3. b. Hasil UjiCoba Alat Ukur interrole conflict ... 35


(9)

vi

III. E. Metode Analisis Instrumen ... 36

III.E.1. Reliabilitas ... 36

III.E.2. Validitas ... 37

III. F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

III.F.1. Tahap Persiapan ... 37

III. F.2. Pelaksanaan Penelitian ... 38

III. G. Metode Analisis Data ... 39

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ... 41

IV.A.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 41

IV.A.2. Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ... 42

IV.A.3.Gambaran Subjek Berdasarkan Anak yang Dimiliki .... 42

IV.B. Hasil Penelitian ... 43

IV.B.1. Hasil Uji Asumsi IV.B.1.a. Uji Normalitas Sebaran ... 43

IV.B.1.b. Uji Linearitas Hubungan ... 44

IV.B.2. Kategorisasi Data Penelitian ... 45

IV.B.2.a. Kategorisasi Skor Interrole Conflict ... 46

IV.B.2.b. Kategorisasi Skor Komitmen Organisasi ... 47


(10)

vii

IV. C. Hasil Tambahan ... 49

IV.C.1. Komitmen Organisasi Ditinjau Dari Usia ... 49

IV.C.2. Komitmen Organisasi Ditinjau Dari Lama Bekerja ... 50

IV.C.3. KomitmenOrganisasi Ditinjau Dari Jumlah Anak ... 51

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN V.A. Kesimpulan ... 53

V.B. Diskusi ... 54

V.C. Saran ... 57

V.C.1.Saran Metodologis ... 58

V. C.2. Saran Praktis ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(11)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Distribusi Aitem-aitem Skala Komitmen Organisasi ... 33

Tabel 2. Blue Print D istribusi Aitem-aitem Skala Interrole Conflict ... 34

Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem-aitem Skala Komitmen Organisasi Setelah Uji Coba ... 35

Tabel 4. Blue Print Distribusi Aitem-aitem Skala Interrole Conflict Setelah Uji Coba ... 36

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 41

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja ... 42

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki 42 Tabel 8. Hasil Uji Normalitas Sebaran ... 44

Tabel 9. Gambaran Skor Skala Interrole Conflict ... 46

Tabel 10. Kategorisasi Data Empirik Variabel Interrole Conflict ... 46

Tabel 11. Gambaran Skor Skala Komitmen Organisasi ... 47

Tabel 12. Kategorisasi Data Empirik Variabel Komitmen Organisasi ... 47

Tabel 13. Hubungan antara Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi ... 49

Tabel 14. DeskripsiSkor Komitmen Organisasi Ditinjau dari Usia ... 50

Tabel 15. AnalisaVarians Komitmen Organisasi Ditinjau dari Usia ... 50

Tabel 16. DeskripsiSkor Komitmen Organisasi Ditinjau dari Lama Bekerja ... 51


(12)

ix

Tabel 18. DeskripsiSkor Komitmen Organisasi Ditinjau dari Jumlah Anak ... 52 Tabel 19. AnalisaVarians Komitmen Organisasi Ditinjau dari Jumlah Anak ... 52


(13)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Scatterplot Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi pada Wanita Bekerja ... 45


(14)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas SumateraUtara

Maret 2008 Rezki Bontaraswaty: 031301059

Hubungan Interrole Conflict Dengan Komitmen Organisasi PadaWanita Bekerja

X + 59 hal + 19 tabel + 1 gambar + 4 lampiran Bibliografi (1964-2007)

Komitmen organisasi merupakan sikap pekerja terhadap organisasi tempatnya bekerja (Baron, 2004). Menurut Van Dyne dan Graham (dalam Coetze, 2005) komitmen organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu personal factors, situational factors dan positional factors. Dari faktor personal akan timbul dua keadaan eksternal yang akan mempengaruhi proses komitmen (Chusmir, 1986) yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Dalam situasi keluarga diketahui bahwa wanita yang menikah mengalami konflik peran yang lebih tinggi dari pada wanita yang tidak menikah (Herman dan Gyllstrom, dalam Chusmir, 1986) dan lebih tidak puas terhadap pekerjaan mereka dibanding wanita yang tidak menikah. Ketika seorang wanita menikah yang bekerja mengalami tuntutan peran yang mengakibatkan ketidaksesuaian antara peran di tempat kerja dan peran dikeluarga, maka keadaan inilah yang disebut sebagai interrole conflict. Interrole conflict dapat diartikan sebagai tekanan peran yang terjadi karena keanggotaan di salah satu organisasi bertentangan dengan tekanan dari keanggotaan di organisasi lainnya (Kahn, 1964).

Dalam penelitian ini, komitmen organisasi merupakan dependen variabel dan interrole conflict adalah independen variabel. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan sampel diambil berdasarkan karakteristik dari populasi yaitu: wanita bekerja dengan status telah menikah, berusia 20-40 tahun, dan bekerja di bagian marketing. Sampel diperoleh melalui tehnik nonprobability sampling secara incidental sampling dan berjumlah 150 orang. Alat ukur yang dipergunakan berbentuk skala Likert, yaitu skala komitmen organisasi dan skala interrole conflict. Pengukuran reliabilitas menggunakan metode alpha cronbach dan validitas dengan professional judgement.

Hasil utama penelitian menunjukkan hubungan yang negatif dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -4,26 dengan nilai p = 0.000 yang < 0,01 , yang berarti

semakin tinggi interrole conflict semakin rendah komitmen organisasi pada wanita bekerja. Sebaliknya semakin rendah interrole conflict semakin tinggi komitmen organisasi pada wanita bekerja. Kontribusi interrole conflict terhadap komitmen organisasi sebesar 18 %. Hal ini terlihat dari R-Square yang diperoleh dari hubungan interrole conflict dengan komitmen organisasi sebesar 0,18.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan kerja merupakan suatu lingkungan sosial, yang di dalamnya terdapat orang-orang yang saling berinteraksi setiap jam bahkan setiap hari. Kebanyakan dari kita akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja daripada melakukan hal lainnya. Dalam bekerja kita akan berdampingan dengan banyak orang. Berdasarkan fakta ini terlihat jelas bahwa ilmu-ilmu dan penemuan dari psikologi sosial sangat berhubungan dengan lingkungan kerja dan apapun yang berada di dalamnya. Psikologi sosial dapat diaplikasikan untuk mengetahui berbagai aspek perilaku dan pikiran orang-orang di dunia kerja. Hal ini sebenarnya juga telah dibahas oleh Psikolog industri dan organisasi, tetapi Psikolog sosial juga secara aktif terlibat dalam bidang ini (Baron, 2004).

Salah satu hal yang dibahas oleh kedua bidang di atas yaitu mengenai komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap pekerja terhadap organisasi tempatnya bekerja (Baron, 2004). Menurut Morrow (dalam Setiawati dan Zulkaida, 2007) karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi akan menunjukkan sikap bahwa dia membutuhkan dan mempunyai harapan yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja, serta lebih termotivasi dalam bekerja.

Komitmen dapat diartikan sebagai kesetiaan untuk melakukan apa yang telah diputuskan. Biasanya komitmen memerlukan suatu pengorbanan dan pengabdian. Definisi yang jelas tentang komitmen dikemukan oleh Zangaro


(16)

2

(2001), yaitu komitmen merupakan tingkah laku yang menunjukkan janji untuk memenuhi kewajiban terhadap orang lain atau sesuatu pada masa yang akan datang.

Menurut Zangaro (2001), sejak tahun 1970-an terdapat dua pandangan yang mendominasi literatur komitmen organisasi. Pandangan pertama mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu perilaku. Sedangkan pandangan kedua mendefinisikan komitmen organisasi dengan lebih menekankan pada pendekatan sikap.

Pada pendekatan perilaku, fokus penelitian adalah perilaku yang tampak sebagai manifestasi dari komitmen. Dengan menggunakan pendekatan perilaku, Salancik (dalam Karim dan Noor, 2006) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang menjadikan individu bersedia bertindak berdasarkan kepercayaan. Komitmen terhadap organisasi ini dibuktikan dengan adanya aktivitas dan keterlibatan.

Pada pandangan kedua yang menggunakan pendekatan sikap, komitmen organisasi merupakan identifikasi yang relatif kuat pada organisasi dan tujuannya. Para pekerja akan berharap untuk tetap menjadi anggota organisasi untuk memfasilitasi tujuan tersebut. Berdasarkan pendekatan sikap, Mowday dan Boulian (dalam Zangaro, 2001) menandai komitmen seseorang dengan sikap penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Dengan kata lain, apabila individu memiliki komitmen organisasi yang tinggi maka ia akan menunjukkan ketiga tanda tersebut.


(17)

3

Pada perkembangan selanjutnya, Allen dan Meyer (dalam Cetin, 2006) meneliti komitmen organisasi dengan pendekatan multi-dimensional. Mereka mengklasifikasikan komitmen organisasi dalam tiga komponen yaitu affective, continuance, dan normative. Komponen affective berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai dalam organisasi. Komponen continuance

didasarkan pada persepsi pekerja tentang kerugian apabila ia meninggalkan organisasi. Sedangkan komponen normative menunjukkan perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi.

Komitmen organisasi merupakan hasil kerjayang penting, karena dari hal tersebut ditunjukkan pengaruh kerja yang positif yang berhubungan dengan perilaku dan sikap, seperti keinginan untuk tetap di organisasi dan pemakaian waktu untuk peran ekstra atas nama organisasi (Perrewe, 1995). Selain itu komitmen organisasi juga merupakan identifikasi dan berhubungan dengan seluruh keefektifan dan kesuksesan sebuah organisasi (Young, 1998).

Bila kita berbicara tentang komitmen organisasi, maka akan terdapat kaitan yang erat antara komitmen organisasi dengan peran pekerja dalam organisasi tersebut. Dalam usaha untuk memenuhi tujuan organisasi, pekerja dituntut untuk menjalankan perannya dalam organisasi secara maksimal (Kurniasari, 2005). Pekerja dengan komitmen yang tinggi akan menerima semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Kuntjoro, 2002). Menurut Moore (2005) seorang pekerja yang menunjukkan komitmen organisasi yang tinggi akan menunjukkan unjuk kerja dan produktivitas yang tinggi, tingkat turn over yang rendah, absen yang rendah, serta tingkat keterlambatan yang rendah.


(18)

4

Dengan kata lain komitmen organisasi seseorang akan mempengaruhi kinerja seseorang dalam organisasi.

Menurut Van Dyne dan Graham (dalam Coetze, 2005) komitmen organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu personal factors, situational factors

dan positional factors. Situational factors berhubungan dengan situasi di dalam organisasi. Positional factors berhubungan dengan posisi seseorang dalam lingkungan dalam lingkungan kerjanya. Sedangkan personal factors berhubungan dengan faktor-faktor personalyang terdapat di dalam diri individu.

Latar belakang pekerja merupakan salah satu bagian dari faktor personal, yang didalamnya diketahui bahwa diri dan keluarga memiliki pengaruh yang kuat terhadap komitmen kerja (Chusmir, 1986). Nilai dan sikap juga merupakan bagian dari faktor personal. Sikap individu, nilai-nilai yang dimilikinya serta kebutuhan dirinya memperlihatkan secara langsung atau tidak langsung komitmen pekerjaanya (Chusmir, 1986).

Dari faktor personal akan timbul dua keadaan eksternal yang akan mempengaruhi proses komitmen (Chusmir, 1986) yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Dalam situasi keluarga diketahui bahwa wanita yang menikah mengalami konflik peran yang lebih tinggi dari pada wanita yang tidak menikah (Herman dan Gyllstrom, dalam Chusmir, 1986) dan lebih tidak puas terhadap pekerjaan mereka dibanding wanita yang tidak menikah. Fuchs (1971) menyatakan bahwa wanita yang komitmen organisasinya rendah juga mengalami ketidakpuasan dalam kehidupan keluarga, suami dan perannya sebagai ibu. Pada faktanya beberapa wanita memiliki tingkat komitmen kerja yang tinggi disertai dengan kehidupan pernikahan yang tidak bahagia.


(19)

5

Ketika seorang wanita menikah yang bekerja mengalami tuntutan peran yang mengakibatkan ketidaksesuaian antara peran di tempat kerja dan peran dikeluarga, maka keadaan inilah yang disebut sebagai interrole conflict. Interrole conflict dapat diartikan sebagaitekanan peran yang terjadi karena keanggotaan di salah satu organisasi bertentangan dengan tekanan dari keanggotaan di organisasi lainnya (Kahn, 1964).

Interrole conflict, yang merupakan bagian dari role conflict (Kahn, 1964). Menurut Munandar (2001) role conflict muncul jika seorang pekerja mengalami pertentangan antara tanggung jawab yang dia miliki dengan tugas-tugas yang harus dilakukannya. Hal ini terjadi bila menurut pandangan pekerja tersebut tugas yang dia lakukan bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. Selain itu terdapat pula tuntutan yang bertentangan baik dari atasan, rekan, dan bawahan, serta adanya pertentangan nilai dan kepribadian sewaktu melakukan tugasnya.

House and Rizzo (dalam Lui dkk, 2001) mengatakan bahwa role conflict

secara umum didefinisikan sebagai kemunculan yang simultan dari dua atau lebih tekanan peran. Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain. Kahn dkk (dalam Hardyastuti, 2001) mengatakan bahwa harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.

Penelitian mengenai role conflict kebanyakan difokuskan pada

ketidaksesuaian yang terjadi antara peran pekerjaan dan peran dalam keluarga, terutama pada wanita (Settles & Seller, 2002). Hal ini dikarenakan wanita yang


(20)

6

bekerja akan memegang dua peranan yang penting, yaitu sebagai pekerja dan perannya di rumah tangga.

Hardyastuti (2001) mengatakan bahwa konflik peran lebih dirasakan oleh wanita dari pada laki-laki. Menurut Moen (dalam Hardyastuti, 2001) perbedaan terjadi dikarenakan sifat permintaan peran yang berbeda. Wanita lebih dihadapkan pada permintaan antara peran kerja dan peran keluarga secara serentak yang memerlukan prioritas dalam menjalankan kedua peran tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik apabila wanita tidak dapat membagi waktu antara perannya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja.

Rini (2002) juga menyatakan bahwa interrole conflict akan lebih dirasakan oleh wanita yang bekerja. Hal ini disebabkan karena wanita yang bekerja akan menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dengan alam kebudayaan Indonesia, wanita akan dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar, sehingga banyak wanita karir yang serba salah ketika harus bekerja.

Studi lain yang dilakukan oleh Walter dan McKenry (dalam Barling, 1985) menunjukkan bahwa para wanita yang bekerja akan merasa bahagia selama mereka dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan bekerjanya secara harmonis. Konflik peran terjadi ketika perasaan bersalah muncul pada wanita yang meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu rumah tangga pada saat bekerja. Hal ini membuat wanita tersebut tidak dapat menikmati perannya dalam dunia kerja.

O’Driscoll dkk (2007) menyatakan bahwa interrole conflict berhubungan dengan ketidakhadiran (absen), kepuasan kerja, keadaan psikologis, kesehatan


(21)

7

fisik serta konsekuensi lainnya yang dirasakan seorang pekerja. Mednick (dalam Zatz, 1996) dalam penelitiannya pada agen asuransi menyatakan bahwa interrole conflict akan berpengaruh pada keadaan keluarga. Efek yang timbul antara lain adanya kecemasan, konflik keluarga, jumlah anak serta keterlibatan yang rendah pada peran keluarga dan pekerjaan.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi seseorang dipengaruhi oleh faktor personal antara lain latar belakang pekerja dan sikap serta nilainya. Faktor personal ini akan menimbulkan dua keadaan yang mempengaruhi proses terbentuknya komitmen organisasi, yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Apabila terjadi ketidaksesuain antara situasi keluarga dan situasi pekerjaan, maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya

interrole conflict. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat kaitan antara interrole

conflict dengan komitmen organisasi. Maka peneliti ingin melihat hubungan

interrole conflict terhadap komitmen organisasi pada wanita bekerja.

I.B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana hubungan interrole conflict terhadap komitmen organisasi pada wanita bekerja.

I.C. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang ilmu psikologi sosial. Serta memberikan masukan bagi peneliti lain terutama dalam hal mengetahui hubungan interrole


(22)

8

conflict terhadap komitmen organisasi pada wanita bekerja. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan kita tentang Psikologi Sosial , khususnya mengenai suatu organisasi.

Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan penting bagi dunia ilmu psikologi sosial, khususnya bagi suatu organisasi untuk mengetahui komitmen organisasi pekerjanya apabila seorang pekerja yang mengalami interrole conflict khususnya pada wanita bekerja. Diharapkan dari penelitian ini, suatu organisasi mengambil manfaat dari penelitian ini sehingga dapat menunjang kesuksesan suatu organisasi.

I.D. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian adalah :

Bab I. Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II. Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari komitmen organisasi dan


(23)

9

Bab III. Metode Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, identifikasi variabel penelitian, definisi variabel operasional penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, alat ukur yang digunakan, uji daya beda aitem, dan reliabilitas serta metode analisis data.

Bab IV Analisa Data dan Interpretasi

Bab ini berisikan uraian hasil penelitian dan analisis data.

Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi yang merupakan pembahasan dan perbandingan dengan teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya, serta saran, baik untuk penyempurnaan penelitian atau bahan rujukan penelitian di masa yang akan datang.


(24)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Komitmen Organisasi

Secara teoritis terdapat perbedaan dalam mendefinisikan konsep komitmen organisasi di antara para ahli dan peneliti (Karim dan Noor, 2006). Sehingga berkembang dan tercipta beberapa pengertian atau definisi yang berbeda mengenai konsep komitmen organisasi dari berbagai disiplin ilmu.

II. A. 1. Pengertian Komitmen Organisasi

Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendefinisikan komitmen organisasi. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan perilaku, pendekatan sikap dan pendekatan multidimensional (Zangaro, 2001).

Pendekatan sikap berfokus pada proses berpikir individu tentang hubungan mereka dengan organisasi (Mowday dalam Allen & Meyer,1991). Individu akan mempertimbangkan kesesuaian nilai dan tujuan mereka dengan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan ditunjukkan dengan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tujuan dari organisasi tersebut.

Sedangkan pendekatan perilaku berhubungan dengan proses dimana individu itu telah terikat dengan organisasi tertentu. Komitmen individu tersebut ditunjukkan dengan adanya tindakan. Contohnya individu dengan komitmen yang tinggi akan tetap berada di organisasi dan akan mempunyai pandangan yang positif tentang organisasinya. Selain itu individu akan menunjukkan perilaku yang


(25)

11

konsisten untuk tetap mempunyai persepsi diri yang positif (Mowday dalam Allen & Meyer, 1991).

Menurut Zangaro (2001) ada beberapa tokoh yang menggunakan pendekatan perilaku untuk mendefinisikan komitmen organisasi, diantaranya adalah Salancik (dalam Noordin dan Zainuddin, 2004). Salancik mengartikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang menjadikan individu bersedia bertindak berdasarkan kepercayaan, yang dibuktikan dengan aktivitas dan keterlibatan.

Komitmen organisasi itu sendiri memiliki dasar yang berbeda-beda secara psikologis. Untuk itu perlu meneliti komitmen organisasi dengan menggunakan pendekatan secara multidimensional. Allen & Meyer (1991) melakukan penelitian secara multidimensional tentang komitmen organisasi. Ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.

II. A. 2. Komponen Komitmen Organisasi

Menurut Allen dan Meyer (1991) terdapat tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu:

1. Komponen affective

Komponen ini menunjukkan kelekatan emosional pekerja, mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan keterlibatannya di dalam organisasi tersebut. Dimana pekerja yang memiliki komponen afektif yang tinggi melanjutkan


(26)

12

keanggotaannya ke dalam organiasi karena memang hal itulah yang mereka inginkan untuk tetap berada di organisasi.

2. Komponen continuance

Komponen ini menunjukkan kesadaran tentang kerugian yang dihadapi seorang pekerja bila dia meninggalkan pekerjaannya. Pekerja yang mau tetap berada di organisasi berdasar komponen continuance karena memang mereka membutuhkan organisasi.

3. Komponen normative

Komponen ini mencerminkan perasaan tentang kewajiban untuk tetap bekerja di organisasi. Pekerja dengan komponen normatif yang tinggi merasa mereka harus tetap berada di organisasi.

II. A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen

Komitmen di dalam suatu organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pendekatan multidimensional akan lebih menjelaskan hubungan pekerja dengan organisasi yang mempekerjakannya (Cetin, 2006). Van Dyne dan Graham (dalam Coetzee, 2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang berdasarkan pendekatan multidimensional, yaitu:

1. Personal Factors

Ada beberapa faktor personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja, antara lain usia, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta kebutuhan intrinsik pekerja. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa tipe pekerja memiliki komitmen yang lebih tinggi pada organisasi yang mempekerjakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pekerja yang lebih


(27)

13

teliti, ekstrovet, dan mempunyai pandangan positif terhadap hidupnya (optimis) cenderung lebih berkomitmen. Selain itu, pekerja yang berorientasi kepada kelompok, memiliki tujuan serta menunjukkan kepedulian terhadap kelompok, juga merupakan tipe pekerja yang lebih terikat kepada keanggotaannya. Sama halnya dengan pekerja yang berempati, mau menolong sesama (altruistic) juga lebih cenderung menunjukkan perilaku sebagai anggota kelompok pada pekerjaannya.

2. Situational Factors

a. Workpace values

Pembagian nilai merupakan komponen yang penting dalam setiap hubungan atau perjanjian. Nilai yang tidak terlalu kontroversial (kualitas, inovasi, kerjasama, partisipasi) akan lebih mudah dibagi dan akan membangun hubungan yang lebih dekat. Jika pekerja percaya pada nilai kualitas produk organisasi, mereka akan terikat pada perilaku yang berperan dalam meningkatkan kualitas. Jika pekerja yakin pada nilai partisipasi organisasi, mereka akan lebih merasakan bahwa partisipasi mereka akan membuat suatu perbedaan. Konsekuensinya, mereka akan lebih bersedia untuk mencari solusi dan membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi. b. Subordinate-supervisor interpersonal relationship

Perilaku dari supervisor merupakan suatu hal yang mendasar dalam menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan. Perilaku dari supervisor yang termasuk ke dalamnya seperti berbagi informasi yang penting, membuat pengaruh yang baik, menyadari dan menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai orang lain. Butler (dalam Coetzee, 2007)


(28)

14

mengidentifikasi 11 perilaku supervisor yaitu memfasilitasi kepercayaan

interpersonal yaitu kesediaan, kompetensi, konsistensi, bijaksana, adil, jujur, loyalitas, terbuka, menepati janji, mau menerima, dan kepercayaan. Secara lebih luas apabila supervisor menunjukkan perilaku yang disebutkan ini maka akan memperngaruhi tingkat komitmen bawahannya.

c. Job characteristics

Berdasarkan Jernigan, Beggs dan Kohut (dalam Coetzee, 2007) kepuasan terhadap otonomi, status, dan kepuasan terhadap organisasi adalah prediktor yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Hal inilah yang merupakan karakteristik pekerjaan yang dapat meningkatkan perasaan individu terhadap tanggung jawabnya, dan keterikatan terhadap organisasi.

d. Organizational support

Ada hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan kepercayaan pekerja terhadap keterikatan dengan organisasinya. Berdasarkan penelitian, pekerja akan lebih bersedia untuk memenuhi panggilan di luar tugasnya ketika mereka bekerja di organisasi yang memberikan dukungan serta menjadikan keseimbangan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga menjadi lebih mudah, mendampingi mereka menghadapi masa sulit, menyediakan keuntungan bagi mereka dan membantu anak mereka melakukan sesuatu yang mereka tidak dapat lakukan.

3. Positional Factors

a. Organizational tenure

Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara masa jabatan dan hubungan pekerja dengan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa


(29)

15

pekerja yang telah lama bekerja di organisasi akan lebih mempunyai hubungan yang kuat dengan organisasi tersebut.

b. Hierarchical job level

Penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi menjadi satu-satunya prediktor yang kuat dalam komitmen organisasi. Hal ini terjadi karena status yang tinggi akan merujuk pada peningkatan motivasi dan kemampuan untuk terlibat secara aktif. Secara umum, pekerja yang jabatannya lebih tinggi akan memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan para pekerja yang jabatannya lebih rendah. Ini dikarenakan posisi atau kedudukan yang tinggi membuat pekerja dapat mempengaruhi keputusan organisasi, mengindikasikan status yang tinggi, menyadari kekuasaan formal dan kompetensi yang mungkin, serta menunjukkan bahwa organisasi sadar bahwa para pekerjanya memiliki nilai dan kompetensi dalam kontribusi mereka.

II. A. 4. Menciptakan Komitmen

Menurut Martin dan Nicholas (dalam Kurniasari, 2004) ada tiga pilar besar yang membentuk komitmen organisasi. Ketiga pilar itu meliputi:

1. Adanya perasaan menjadi bagian dari organisasi (a sense of belonging to the organization).

Untuk mencapai rasa memiliki tersebut, maka salah satu pihak dalam manajemen harus mampu membuat pekerja:


(30)

16

b. Merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya/ pekerjaannya adalah berharga bagi organissi tersebut.

c. Merasa nyaman dengan organisasi tersebut.

d. Merasa mendapatkan dukungan yang penuh dari organisasi dalam bentuk misi yang jelas (apa yang direncanakan untuk dilakukan), nilai-nilai yang ada (apa yang diyakini sebagai hal yang penting oleh manajemen) dan norma-norma yang berlaku (cara-cara berperilaku yang bisa diterima oleh organisasi).

2. Perasaan bergairah terhadap pekerjaan (a sense of excaitement in the job) Perasaan seperti ini bisa dimunculkan dengan cara:

a. Mengenali faktor-faktor motivasi instrinsik dalam mengatur desain pekerjaan (job design).

b. Kualitas kepemimpinan

c. Kemauan dari manajer dan supervisor untuk mengenali bahwa motivasi dan komitmen karyawan bisa meningkat jika ada perhatian yang terus menerus, memberi delegasi atas wewenang serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan keahliannya secara maksimal.

3. Pentingnya rasa memiliki (ownership)

Rasa memiliki bisa muncul jika pekerja merasa bahwa mereka benar-benar diterima menjadi bagian atau kunci penting dari organisasi. Konsep penting dari ownership akan meluas dalam bentuk partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan dan mengubah praktek kerja, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keterlibatan pekerja. Jika pekerja merasa dirinya dilibatkan


(31)

17

dalam membuat keputusan dan jika mereka merasa idenya didengar serta kontribusi yang ada pada hasil yang dicapai, maka mereka akan cendrung menerima keputusan-keputusan atau perubahan-perubahan yang dilakukan. Hal ini dikarenakan mereka merasa dilibatkan, bukan karena dipaksa.

II. B. Interrole Conflict

Dalam mendefinisikan interrole conflict akan terdapat kaitan yang sangat erat dengan istilah role conflict (Hennesy, 2005). Hal ini dikarenakan interrole conflict merupakan salah satu bentuk dari role conflict.

Konflik peran atau role conflict menurut Kahn dkk. (1964) adalah adanya ketidakcocokan antara, harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Dimana dalam kondisi yang cukup ekstrem, kehadiran dua atau lebih harapan peran atau tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan.

Menurut Kahn dkk. (1964) terdapat empat bentuk dari role conflict.

Bentuk-bentuk tersebut antara lain intra-sender conflict, terjadinya konflik ini dikarenakan adanya persepsi dan perintah yang berbeda dari salah satu pengirim harapan peran yang tidak sesuai. Bentuk yang kedua adalah inter-sender conflict

yang terjadi akaibat tekanan dari salah satu pengirim harapan peran berlawanan dengan tekanan yang diberikan dari pengirim peran lainnya. Bentuk yang ketiga yaitu person-role conflict, terjadi ketika peran yang dijalankan bertentangan dengan nilai moral yang dianut seseorang. Dan bentuk yang terakhir dari role conflict adalah interrole conflict yang terjadi dikarenakan keanggotaan di salah


(32)

18

satu organisasi bertentangan dengan tekanan dari keanggotaan di organisasi lainnya.

II. B. 1. Pengertian Interrole Conflict

Greenhause dan Beutell (dalam Zatz dkk, 1996) mendefinisikan interrole conflict sebagai bentuk tekanan yang berlawanan yang berasal dari partisipasi pada peran yang berbeda, ketika salah satu tekanan peran meningkat akan terjadi ketidaksesuaian pada peran yang lainnya. Salah satu bentuk dari interrole conflict

adalah work-family conflict, yaitu ketidaksesuaian antara tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga. Partisipasi dalam peran pekerjaan akan membuat partisipasi peran dalam keluarga menjadi lebih sulit.

II. B. 2. Dimensi-dimensi Interrole Conflict

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam O’Driscoll dkk, 1997) ada 3 dimensi dari interrole conflict yaitu:

1. Time-based conflict

Yaitu konflik yang terjadi karena permintaan waktu dari peran yang lainnya, sehingga individu tidak mampu melaksanakan tugas perannya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan secara fisik maupun secara kognitif.

2. Strain-based conflict

Yaitu konflik yang dialami individu ketika permintaan dari satu peran menimbulkan ketegangan sehingga menyebabkan terganggunya pelaksanaan peran yang kedua secara adekwat.


(33)

19 3. Behavior-based conflict

Yaitu konflik yang terjadi karena perilaku spesifik dari satu peran tidak sesuai dengan perilaku yang harus ditunjukkan pada peran kedua. Ketidaksesuaian terjadi karena perbedaan norma dan harapan antara kedua peran tersebut.

II. B. 3. Konsekuensi Interrole Conflict

Menurut O’Driscoll dkk (1997), ada beberapa konsekuensi pekerja yang mengalami interrole conflict, di antaranya yaitu:

1. Ketidakhadiran

Interrole conflict berhubungan positif dengan ketidakhadiran dan

intensitas turnover. Hal ini disebabkan karena kesulitan membagi waktu untuk memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda.

2. Kepuasan

Penelitian menunjukkan bahwa interrole conflict akan menurunkan kepuasan, baik kepuasan pekerjaan maupun kepuasan pernikahan.

3. Keadaan psikologis

Hubungan antara interrole conflict dan stres psikologis telah menyebar secara luas dan diketahui bahwa peningkatan konflik berkaitan dengan peningkatan stres psikologis.

4. Kesehatan fisik

Penelitian terbaru menemukan adanya asosiasi negatif antara interrole conflict dengan kesehatan fisik. Dilaporkan bahwa orang dengan interrole conflict mengalami penurunan berat badan, insomnia, sakit kepala, sakit jantung, serta hilangnya energi.


(34)

20 5. Konsekuensi lainnya

Konsekuensi lain yang mungkin akan timbul dari interrole conflict adalah akan meningkatnya kosumsi alkohol di antara orang yang mengalaminya.

II. C. Wanita Bekerja

Menurut Beneria, wanita yang bekerja adalah wanita yang menjalankan peran produktifnya (dalam Rini, 2002). Wanita memiliki dua kategori peran, yaitu peranan reproduktif dan peranan produktif. Peranan reproduktif mencakup peranan reproduksi biologis (pelahiran), sedangkan peranan produktif adalah peranan dalam bekerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis (economically actives).

Menurut Sayogyo dan Hubeis (dalam Wasito, 2004) Dari perkembangan dalam organisasi ekonomi yang tradisional, terdapat dua tipe peranan perempuan yaitu :

1. Peranan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup semua anggota keluarga dan rumah tangganya (peran tradisi). Peran-peran tersebut antara lain sebagai:

- Pendamping suami

- Pengasuh bagi anak-anaknya.

- Memperhatikan kebutuhan anak (perhatian/ atensi, kasih sayang, penerimaan/ acceptance, perawatan/care, dan lain-lain)

- Melaksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan bergaul, serta menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan ketaatan pada aturan keluarga. Mencurahkan kasih sayang


(35)

21

namun tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun bukan tidak percaya atau mengekang anggota keluarga.

- Berperan sebagai kawan terhadap anak-anaknya, sehingga dapat membantu mencari jalan keluar dari kesulitan yang dialami anak-anaknya.

- Memotivasi anak dan mendorong untuk meraih prestasi yang setinggi tingginya.

- Mengatur kelancaran rumah tangga.

- Mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman.

- Menjadi sumber informasi bagi anak: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan.

2. Perempuan mempunyai dua peranan (peran transisi), yaitu dalam pekerjaan rumah tangga dan perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan sumberdaya pembangunan. Wanita dituntut untuk dapat berpartisipasi dan berperan di masyarakat. Ketika berada di tempat bekerja wanita dituntut untuk berupaya mengembangkan diri seluas-luasnya untuk mencapai hasil maksimal dalam pekerjaannya.

II.C.1. Faktor-faktor Yang Melandasi Wanita Bekerja

Menurut Jacinta F. Rini (2002), faktor-faktor yang mendasari kebutuhan wanita untuk bekerja di luar rumah adalah:

1. Kebutuhan finansial

Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan


(36)

sehari-22

hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun “hati” nya tidak ingin bekerja.

2. Kebutuhan sosial-relasional

Ada pula wanita-wanita yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi, dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang wanita untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.

3. Kebutuhan aktualisasi diri

Abraham Maslow (1960) mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi – adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualiasai diri melalui profesi atau pun karir, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini – terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang tinggi. Bagi


(37)

23

wanita yang sejak sebelum menikah sudah bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi, maka ia akan cenderung kembali bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bekerja dan pekerjaan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, menyokong sense of self dan kebanggaan diri – selain mendapatkan kemandirian secara finansial.

4. Lain-lain

Pada beberapa kasus, ada pula wanita bekerja yang memang jauh lebih menyukai dunia kerja ketimbang hidup dalam keluarga. Mereka merasa lebih rileks dan nyaman jika sedang bekerja dari pada di rumah sendiri. Dan pada kenyataannya, mereka bekerja agar dapat pergi dan menghindar dari keluarga. Kasus ini memang dilandasi oleh persoalan psikologis yang lebih mendalam, baik terjadi di dalam diri orang yang bersangkutan maupun dalam hubungan antara anggota keluarga.

II. D. Dinamika Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi

Menurut Allen dan Meyer (1991) komitmen organisasi diartikan sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan berusaha menerima semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Van Dyne dan Graham (dalam Coetzee, 2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang. Faktor-faktor yang


(38)

24

mempengaruhi komitmen organisasi tersebut antara lain faktor personal, situasional, dan positional. Dalam faktor situasional terdapat beberapa hal yang disebutkan mempengaruhi komitmen organisasi yaitu karakteristik pekerjaan dan dukungan organisasi.

Sedangkan Menurut Beggs dan Kohut (dalam Coetzee, 2005) ada beberapa karakteristik pekerjaan yang membuat pekerja berkomitmen tinggi terhadap organisasi. Karakteristik pekerjaan tersebut antara lain kepuasan tehadap otonomi, status dan kepuasan pada permintaan organisasi, sehingga seorang pekerja akan merasa bertanggung jawab dan keterikatan dengan organisasinya. Sedangkan karakteristik pekerjaan yang menunjukkan adanya komitmen yang rendah adalah pekerjaan yang memiliki rutinitas yang tinggi.

Dukungan organisasi sendiri menurut Coetzee (2007) sangat penting agar pekerja mau memberikan waktu yang lebih untuk organisasi. Dukungan yang dapat diberikan oleh organisasi kepada pekerjanya dapat berupa kemudahan untuk menyeimbangan antara tanggung jawab pekerjaan dan tanggung jawab keluarga mereka. Dengan kata lain apabila pekerja merasa bahwa perannya di dalam suatu organisasi tidak akan mengganggu perannya didalam keluarga, maka pekerja tersebut akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi.

Menurut Chusmir (1986) berdasarkan faktor personal, maka pekerja akan dihadapkan pada dua situasi yang mempengaruhi proses tebentuknya komitmen organisasi, yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Situasi ini diakibatkan oleh latar belakang pekerja dan keluargannya. Selain itu juga sikap dan nilai pekerja juga mempengaruhi terbentuknya komitmen organisasi.


(39)

25

Apabila seorang pekerja mengalami dua tuntutan peran yang berbeda yang membuat mereka kesulitan dalam melaksanakan peran yang lainnya maka pekerja tersebut mengalami intrerrole conflict (Kahn, 1964). Greenhaus dan Beutell (dalam O’Driscoll dkk, 2007) mengatakan bahwa interrole conflict ini terjadi dikarenakan peran pekerjaan dan peran keluarga membutuhkan perhatian yang sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa interrole conflict ini akan lebih dirasakan oleh wanita dari pada laki-laki.

Wanita sering menghadapi konflik di dalam hidupnya yang bersumber dari perbedaan peran. Peran yang sering menjadi sumber konflik adalah peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurusi kebutuhan suami dan anak-anaknya serta peran sebagai wanita karir (Ancok dalam Hamid, 1989).

Menurut Arinta dan Azwar (1993) hal yang menjadi penyebab munculnya

interrole conflict pada wanita dikarenakan wanita yang telah berumah tangga dan bekerja dituntut untuk berhasil dalam dua peran yang bertentangan. Di rumah wanita dituntut untuk selalu siap memberikan bantuan kepada keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka diharapkan menjadi seorang yang agresif.

Kligler (dalam Arinta dan Azwar, 1993) mengatakan banyak wanita bekerja yang menunjukkan kecemasan dan perasaan bersalah terhadap perannya di keluarga. Hal ini dikarenakan mereka merasa tidak dapat menjalankan perannya di keluarga dengan baik akibat partisipasinya pada perannya di tempat kerja.

Berdasarkan pemaparan diatas penulis berasumsi apabila seorang wanita bekerja yang telah menikah, berdasarkan faktor personal akan mengalami dua situasi yang berbeda yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Maka mereka


(40)

26

harus menyeimbangkan peran mereka sebagai pekerja dan peran mereka dalam keluarga. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara peran keluarga dan peran di tempat kerja mereka akan mengalami interrole conflict yang tinggi yang berhubungan dengan rendahnya komitmen organisasi.

II. E. Hipotesa

Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut:

Ada hubungan negatif antara interrole conflict dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi interrole conflict, menyebabkan semakin rendah komitmen organisasi. Sebaliknya semakin rendah interrole conflict maka semakin tinggi komitmen organisasi.


(41)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis (Hadi, 2000).

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yang di prediksi memiliki hubungan.

III. A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

a. Dependent Variable yaitu Komitmen Organisasi b. Independent Variable yaitu Interrole Conflict

III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian III. B. 1. Komitmen Organisasi

Pada penelitian ini, pengukuran komitmen organisasi didasarkan pada definisi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1991). Komitmen organisasi adalah kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara


(42)

28

pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut yang diukur dengan menggunakan skala komitmen organisasi.

Skala komitmen organisasi disusun berdasarkan tiga komponen komitmen yang dikemukan oleh Allen dan Meyer (1991) yaitu komponen affective, continuance, dan normative. Semakin tinggi skor skala komitmen organisasi yang diperoleh seseorang maka semakin tinggilah komitmen organisasi yang dimilikinya. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh seseorang maka semakin rendahlah komitmen organisasi yang dimilikinya.

III. B. 2. Interrole Conflict

Interrole conflict menurut Greenhause dan Beutell (dalam Zatz, 1996) adalah bentuk tekanan yang berlawanan yang berasal dari partisipasi pada peran yang berbeda, ketika salah satu tekanan peran meningkat akan terjadi ketidaksesuaian pada peran yang lainnya yang diukur dengan menggunakan skala

interrole-conflict. Yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi interrole conflict

yaitu time-based conflic, strain-based conflict, behavior-based conflict.

Semakin tinggi skor skala interrole conflict yang diperoleh seseorang maka semakin tinggilah interrole conflict yang dialaminya. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh seseorang maka semakin rendahlah interrole conflict


(43)

29

III. C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel III. C. 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau individu yang setidaknya mempunyai sifat yang sama (Hadi, 2000).

Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi (Hadi, 2000). Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama. Sampel yang direncanakan dalam penelitian ini adalah pekerja yang memiliki karakteristik sesuai dengan populasi.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan sampel diambil berdasarkan karakteristik dari populasi yaitu:

1. Wanita bekerja dengan status telah menikah

Menurut Greenhause dan Beutell (dalam O’Driscoll, 1997) konflik peran lebih sering dirasakan oleh wanita, karena wanita yang bekerja memiliki dua peran yang bertentangan yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja.

2. Usia

Subjek penelitian berusia 20-40 tahun, menurut Hurlock (1997) usia tersebut merupakan usia individu melakukan penyesuian pada pekerjaanya. Pada wanita, penyesuaian ini banyak menimbulkan masalah diantaranya yaitu karena fleksibiltas waktu kerja yang rendah membuat wanita sulit untuk menyesuaikan diri dengan jadwal pekerjaan dan tugas-tugas dirumah. Selain itu juga pada usia tersebut wanita cenderung kurang


(44)

30

mantap dalam pekerjaan yang dipilihnya, hal ini dikarenakan banyak tekanan yang dirasakan oleh wanita yaitu rasa bersalah ketika harus meninggalkan pekerjaan rumah karena pekerjaan di kantor.

3. Bekerja di bagian marketing

Pekerjaan di bidang marketing merupakan pekerjaan yang menuntut mobilitas yang tinggi. Menurut Chusmir (1986), pekerjaan dengan mobilitas yang tinggi, akan berpengaruh pada tingkat komitmen organisasi.

III. C. 2. Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Pada penelitian ini sampel diperoleh melalui tehnik nonprobability

sampling secara incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa dalam

teknik incindental sampling ini berarti setiap anggota populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang disesuaikan dengan karakteristik tertentu.

Setiap orang yang daitemui di lapangan yang kira-kira memenuhi karakteristik subjek penelitian ini akan ditanya kesediaannya mengisi kedua skala tersebut. Orang-orang yang bersedia dan sesuai dengan karakteristik subjeklah yang dijadikan subjek penelitian ini.


(45)

31

III. C. 3. Jumlah Sampel

Adapun jumlah sampel yang direncanakan dalam penelitian ini sebanyak 150 orang. Mengenai jumlah sampel, tidak ada batasan mengenai jumlah ideal sampel penelitian. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) mengatakan bahwa jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada sampel yang sedikit.

III. D. Alat Ukur Yang Digunakan

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada penyelidik adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyelidik.


(46)

32

Maka skala yang digunakan pada penelitian adalah skala likert. Adapun alat ukur yang digunakan yaitu: skala komitmen organisasi dan skala interrole conflict.

III. D. 1. Skala Komitmen Organisasi

Penyusunan skala komitmen organisasi didasarkan pada definisi operasional variabel dan komponen dari komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1991). Komponen tersebut meliputi affective, continuance dan normative.

Adapun jumlah aitem skala komitmen organisasi adalah 40 aitem, yang memuat dua kategori pernyataan yakni pernyataan favorable dan pernyataan

unfavorable. Masing-masing pernyataan menyediakan 4 alternatif jawaban mulai dari sangat sesuai sampai jawaban sangat tidak sesuai.

Pemberian skor untuk aitem favorable adalah, 4 untuk jawaban sangat sesuai, 3 untuk jawaban sesuai, 2 untuk jawaban tidak sesuai, 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai.

Sedangkan pemberian skor untuk aitem unfavorable adalah 1 untuk jawaban sangat sesuai, 2 untuk jawaban sesuai, 3 untuk jawaban tidak sesuai, 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai.

Berikut ini disajikan Tabel 1 yang berisi blueprint distribusi aitem-aitem skala komitmen organisasi:


(47)

33

Tabel 1.Blueprint Distribusi Aitem-aitem Skala Komitmen Organisasi

Aspek Nomor Aitem Jumlah

Affective F 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 24, 25, 28 10

UF 31, 33, 36, 38, 40 5

Continuance F 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20 7

UF 23, 26, 29, 32, 34, 35, 37, 39 8

Normative F 3, 6, 9, 12, 15, 18 6

UF 21, 22, 27, 30 4

Total 40

III. D. 2. Skala Interrole Conflict

Penyusunan skala interrole conflict didasarkan pada definisi operasional variabel, serta dimensi dari interrole conflict yang dikemukan oleh Greenhause dan Beutell (dalam O’Driscoll dkk, 1997) yang terdiri dari time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conflict.

Adapun jumlah aitem skala interrole conflict adalah 40 aitem, yang memuat satu kategori pernyataan yakni pernyataan favorable. Setiap pernyataan menyediakan 4 alternatif jawaban mulai dari sangat sesuai sampai jawaban sangat tidak sesuai.

Pemberian skor untuk aitem favorable adalah, 4 untuk jawaban sangat sesuai, 3 untuk jawaban sesuai, 2 untuk jawaban tidak sesuai, 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai.

Berikut ini disajikan Tabel 2 yang berisi blueprint distribusi aitem-aitem skala interrole conflict :


(48)

34

Tabel 2. Blueprint Distribusi Aitem-aitem Skala Interrole Conflict

Aspek Nomor Aitem Jumlah

Time-based conflict,

1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, 28, 31, 33, 35, 37, 39

15

Strain-based conflict

2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26, 29, 32, 34, 36,38, 40

15

Behavior-based conflict

3, 6, 9, 12, 15,18, 21, 24, 27, 30 10

Total 40

III. D. 3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Peneliti akan melakukan satu kali uji coba pada skala komitmen organisasi dan skala interrole conflict kepada sampel, dengan tujuan memperoleh skala ataupun alat ukur yang valid dan reliabel. Hadi (2000) mengemukakan tujuan dari

try out adalah sebagai berikut :

1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang tidak jelas maksudnya.

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik, ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang bias atau hanya

menimbulkan jawaban-jawaban yang dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu ataupun meniadakan aitem yang ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

III. D. 3. a. Hasil Uji Coba Alat Ukur Komitmen Organisasi

Alat ukur komitmen organisasi diuji cobakan pada 55 orang wanita bekerja di Medan. Hasil uji coba alat ukur komitmen organisasi menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, nilai koefisien reliabilitas apha sebesar 0,896


(49)

35

dengan kisaran nilai corrected item total correlation bergerak dari 0,320-0,671. Jumlah aitem yang diuji cobakan adalah sebanyak 40 aitem dan dari 40 aitem diperoleh 26 aitem yang sahih yang memiliki koefisien korelasi rxx minmal 0,300 yang daya pembedanya dianggap memuaskan. Distribusi aitem yang sahih dari skala komitmen organisasi dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Blue Print Skala Komitmen Organisasi Setelah Uji Coba

Aspek Nomor Aitem Jumlah

Affective F 1, 4, 7, 12, 14 5

UF 21, 24, 26 3

Continuance F 2, 5, 8, 10 4

UF 16, 18, 22,23, 25 5

Normative F 3, 6, 9, 11,13, 17 6

UF 15, 19,20 3

Total 26

III. D. 3. b. Hasil Uji Coba Alat Ukur Interrole Conflict

Alat ukur interrole conflict diuji cobakan pada 55 orang wanita bekerja di Medan. Hasil uji coba alat ukur komitmen organisasi menunjukkan bahwa alat ukur valid dan reliabel, nilai koefisien reliabilitas apha sebesar 0,911 dengan kisaran nilai corrected item total correlation bergerak dari 0,319-0,752. Jumlah aitem yang diuji cobakan adalah sebanyak 40 aitem dan dari 40 aitem diperoleh 35 aitem yang sahih yang memiliki koefisien korelasi rxx minmal 0,300 yang daya pembedanya dianggap memuaskan. Distribusi aitem yang sahih dari skala komitmen organisasi dapat dilihat pada tabel 4.


(50)

36

Tabel 4. Blue Print Skala Interrole Conflict Setelah Uji Coba

Aspek Nomor Aitem Jumlah

Time-based conflict,

1, 3, 5, 8, 10, 13, 16, 19, 21, 23, 26, 28, 30, 32, 34

15

Strain-based conflict

2, 4, 6, 11, 14, 17, 20, 22, 24, 27, 29, 31, 33, 35

14

Behavior-based conflict

7, 9, 12, 15, 18, 25 6

Total 35

III. E. Metode Analisis Instrumen III. E. 1. Reliabilitas

Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda. Dengan kata lain reliabilitas adalah indeks sejauhmana alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan.

Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi butir-butir pernyataan tes dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

Penelitian ini menggunakan uji reliabilitas pendekatan konsistensi internal yang prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Menurut Azwar (2000) pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi. Teknik yang digunakan untuk pengujian reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


(51)

37

koefisien reliabilitas alpha cronbach. Nantinya penelitian ini akan menghasilkan reliabilitas dari skala komitmen organisasi dan interrole conflict.

III. E. 2. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000).

Validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas ini diestimasi lewat pengujian isi tes dengan analisis rasional atau profesional judgement (Azwar, 2000). Professional judgement pada penelitian ini adalah dosen pembimbing penelitian ini.

III. F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian III. F. 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah: 1. Pembuatan alat ukur

Alat ukur terdiri dari skala komitmen organisasi yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1991) dan skala interrole conflict disusun berdasarkan dimensi-dimensi interrole conflict yang dikemukakan oleh Greenhause dan Beutell (dalam O’Drisscoll, 1997). Jumlah aitem pada masing-masing skala adalah 40 aitem. Skala dibuat dalam bentuk buku, disamping


(52)

38

pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab, sehingga memudahkan subjek untuk memberikan jawaban.

2. Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 4-16 Februari 2008 terhadap 55 orang wanita bekerja di kota Medan yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Setiap subjek yang ikut dalam uji coba alat ukur menerima dua buah skala yang masing-masing berisi 40 aitem skala komitmen organisasi dan skala interrole conflict.

3. Revisi Alat Ukur

Setelah melakukan uji coba alat ukur, selanjutnya peneliti melakukan uji reliabilitas kedua skala dengan bantuan program SPSS version 14.0 for

Windows. Hasil uji coba alat ukur menunjukkan, untuk skala komitmen

organisasi ada 26 aitem yang sahih dan untuk skala interrole conflict

terdapat 35 aitem yang sahih. Kemudian peneliti memakai aitem-aitem tersebut untuk mengambil data penelitian.

III. F. 2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur di uji cobakan dan direvisi, maka dilaksanakan penelitian kembali pada sejumlah sampel. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan teknik incidental sampling.

Pengambilan data penelitian dilakukan pada 25 Februari 2008 sampai 9 Maret 2008 pada 150 wanita bekerja di kota Medan yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti memberikan skala langsung kepada subjek penelitian yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian.


(53)

39

III. G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisis statistik. Pertimbangan penggunaan analisis ini adalah (Hadi, 2000) :

1. Statistik bekerja dengan angka 2. Statistik bersifat objektif

3. Statistik bersifat universal dalam arti dapat digunakan dalam hampir semua bidang penelitian.

Penelitian ini menggunakan analisa statistik untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Tujuannya untuk melihat hubungan antara satu variabel bebas (interrole conflict) dengan satu variabel tergantung (komitmen organisasi).Teknik yang digunakan untuk membuktikan hipotesa tersebut adalah teknik korelasi

Pearson Product Moment. Alasan peneliti menggunakan analisa ini karena

korelasi Pearson Product Moment dipakai untuk melukiskan hubungan dua gejala dengan skala ordinal (Azwar, 2000).

Dalam menguji data penelitian dilakukan uji normalitas dan uji linearitas. Adapun kegunaan kedua uji tersebut yaitu:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel tergantung (komitmen organisasi) dan variabel bebas (interrole conflict) telah menyebar secara normal. Pengukuran normalitas dilakukan dengan menggunakan kolmogorov-smirnov-goodness-of-fit test


(54)

40

.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah data distribusi penelitian, yaitu variabel tergantung (komitmen organisasi) dan variabel bebas (interrole conflict) memiliki hubungan linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik interactive graph yang menghasilkan diagram pencar (scatter plot).

Semua data dalam penelitian ini dioleh dengan menggunakan aplikasi


(55)

41

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan gambaran hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, yang akan dilanjutkan dengan analisa dan interpretasi data penelitian.

IV. A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah wanita bekerja di kota Medan yang berusia antara 20-40 tahun dan yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Total subjek berjumlah 150 orang. Berdasarkan hal tersebut diperoleh gambaran subjek penelitian berdasarkan usia, lama bekerja dan jumlah anak.

IV. A. 1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia N Persentase

20-25 tahun 22 14,7 %

26-30 tahun 59 39,3%

31-35 tahun 39 26 %

36-40 tahun 30 20 %

Jumlah 150 100 %

Berdasarkan tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian yang terbanyak adalah subjek penelitian dengan usia 26-30 tahun (39,3 %), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek penelitian dengan usia 20-25 tahun (14,7 %).


(56)

42

IV. A. 2. Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Bekerja

Berdasarkan lamanya bekerja, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 6. Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Bekerja

Lama Bekerja N Persentase

1-5 tahun 84 56 %

6-10 tahun 45 30 %

> 10 tahun 21 14 %

Jumlah 150 100 %

Berdasarkan tabel 6 maka dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian yang terbanyak dengan lama bekerja 1-5 tahun (56%), sedangkan yang paling sedikit adalah subjek penelitian dengan lama bekerja >10 tahun (21 %).

IV. A. 3. Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Anak yang Dimiliki

Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki oleh subjek penelitian, dapat dilihat penyebaran subjek penelitian pada tabel 7 berikut ini:

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak

Jumlah Anak N Persentase

1 orang 67 44,7 %

2 orang 47 31,3%

3 orang 22 14,7%

>3 orang 14 9,3%

Jumlah 150 100 %

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa subjek penelitian terbanyka adalah dengan jumlah anak 1-2 orang (76 %), sedangkan jumlah subjek penelitian yang paling sedikit adalah dengan jumlah anak >5 orang (1,3 %).


(57)

43

IV. B. Hasil Penelitian IV. B. 1.Hasil Uji Asumsi

IV. B. 1. a. Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian telah menyebar secara normal. Penelitian ini menggunakan teknik

Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan bantuan SPSS 14.00 for Windows

Evaluation Version yang menunjukkan sebaran yang normal dari variabel

interrole conflict dan komitmen organisasi. Data dikatakan terdistribusi normal jika harga p >0,05. Hasil dari uji normalitas sebaran dapat dilihat di bawah ini, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8.

a. Skor variabel interrole conflict menunjukkan nilai Z = 1,122 dan nilai probabilitas (Asymp. Sig (2-tailed)) p = 0,161 yang berada di atas 0,05 yang menunjukkan sebaran normal.

b. Skor varibel komitmen organisasi menunjukkan nilai Z = 0,944 dan nilai probabilitas (Asymp. Sig (2-tailed)) p = 0,334 yang berada di atas 0,05 yang menunjukkan sebaran normal.


(58)

44

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KomitmenOrganisasi InterroleConflict

N 150 150

Normal

Parameters(a,b)

Mean

64.8733 77.8667

Std. Deviation 9.97601 20.21185

Most Extreme Differences

Absolute

.092 .077

Positive .053 .048

Negative -.092 -.077

Kolmogorov-Smirnov Z 1.122 .944

Asymp. Sig. (2-tailed) .161 .334

a Test distribution is Normal. b Calculated from data.

IV. B. 1. b. Uji Linearitas Hubungan

Uji linearitas hubungan dalam penelitian ini menggunakan interactive graph yang menghasilkan diagram pencar (scatterplot) dengan menggunakan bantuan SPSS 14.00 for Windows Evaluation Version yang menunjukkan bahwa variabel interrole conflict berkorelasi secara linear terhadap varibel komitmen organisasi dengan signifikansi linearitas 0,000, dimana nilai tersebut berada di bawah 0,05. Linearitas hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:


(59)

45

Gambar 1. Scatterplot Hubungan Interrole Conflict dan Komitmen Organisasi

Linear Regres sion

4 0.0 0 6 0.0 0 8 0.0 0 1 00 .0 0

InterroleConflict 5 0.0 0

6 0.0 0 7 0.0 0 8 0.0 0 9 0.0 0

K o m it m e n O rg a n is a s i                                                                                                                                                 

Kom itm enOrganisasi = 81.25 + -0.21 * InterroleConflict R-Square = 0.18

IV. B. 2. Kategorisasi Data Penelitian

Berdasarkan data penelitian, dapat dilakukan pengelompokkan yang mengacu pada kriteria kategorisasi. Kategorisasi ini berdasarkan asumsi bahwa skor subjek penelitian dalam populasinya terdistribusi secara normal. Skor yang diperoleh individu dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Untuk skor skala

interrole conflict dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Sedangkan untuk skala komitmen organisasi, skor yang diperoleh juga dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah.


(60)

46

IV. B. 2. a.Kategorisasi Skor Interrole Conflict

Gambaran interrole conflict dari hasil penelitian dapat dilihat dari tabel 9 berikut ini:

Tabel 9.Gambaran Skor Skala Interrole Conflict

Variabel Min Maks Mean SD

Interrole conflict 35 115 77.8667 20,21185

Berdasarkan mean empirik sebesar 77,8667 dan standar deviasi sebesar 20,21185 maka dapat dibuat kategorisasi interrole conflict menjadi 2 kategori dengan rumus sebagai berikut:

Rendah : X < µ

Tinggi : µ ≤ X

Kategorisasi interrole conflict dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini:

Tabel 10. Kategorisasi Data Empirik Variabel Interrole Conflict

Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi (F) Persentase (%)

Interrole conflict

Tinggi X < 78 72 48 %

Rendah 78 ≤ X 78 52 %

Berdasarkan hasil tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian termasuk ke dalam kategori interrole conflict yang rendah yaitu 78 orang (52 %)


(61)

47

IV. B. 2. b. Kategorisasi Skor Komitmen Organisasi

Gambaran komitmen organisasi dari hasil penelitian dapat dilihat dari tabel 11 berikut ini:

Tabel 11. Gambaran Skor Skala Komitmen Organisasi

Variabel Min Maks Mean SD

Komitmen Organisasi 43 93 67,8733 9,97601

Berdasarkan mean empirik sebesar 67,8733 dan standar deviasi sebesar 9,97601 maka dapat dibuat kategorisasi komitmen organisasimenjadi 2 kategori dengan rumus sebagai berikut:

Rendah : X < µ

Tinggi : µ ≤ X

Kategorisasi komitmen organisasi dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini:

Tabel 12. Kategorisasi Data Empirik Variabel Komitmen Organisasi

Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi (F) Persentase (%)

Komitmen Organisasi

Tinggi X < 68 65 43,3 %


(1)

57

Setiawati dan Zulkaida (2007) bahwa wanita bekerja yang telah memiliki keluarga dengan jumlah anak yang banyak cenderung membuat wanita bekerja sebaik mungkin agar dapat menopang kehidupan keluarga yang membutuhkan biaya relatif besar. Selain itu juga,menurut Rini (2000) faktor dukungan positif dari suami, dengan menunjukkan sikap-sikap dalam bentuk kerjasama untuk mengurus anak-anak, menyelesaikan pekerjaan rumah serta dukungan emosi akan membantu mengurangi beban seorang wanita dalam pekerjaannya, sehingga mereka bisa berkonsentrasi dalam mengerjakan pekerjaanya. Selain faktor dukungan dari suami, dukungan dari pihak lain seperti pengasuh atau pembantu yang bisa diandalkan ataupun dari sanak saudara akan dapat membantu wanita bekerja mengurangi stress yang dirasakan wanita bekerja, sehingga mereka akan menunjukkan komitmen organisasi yang tinggi. Memperkerjakan seorang pembantu akan membantu meringkan beban pekerjaan rutin di rumah tangga, dengan demikian ketika pulang dari bekerja ataupun hari libur akan tersedia lebih banyak waktu untuk bersantai dengan keluarga dan ketika bekerja para ibu dapat lebih berfokus pada pekerjaannya.

V. C. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang diuraikan diatas, maka peneliti mengemukakan beberapa saran mengingat penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran-saran ini diharapkan berguna bagi perkembangan kelanjutan studi mengenai hubungan interrole conflict dengan komitmen organisasi pada wanita bekerja.


(2)

58 V. C. 1. Saran Metodologis

Untuk peningkatan penelitian yang berhubungan dengan hubungan interrole conflict dengan komitmen organisasi pada wanita bekerja selanjutnya diharapkan:

a. Dalam mengungkap variabel komitmen organisasi sebaiknya juga mengontrol variabel-variabel lain yang mempengaruhi komitmen organiasasi seperti jabatan, tempat bekerja, latar belakang pendidikan, usia anak, sehingga akan diperoleh data dan informasi yang benar-benar dapat menggambarkan komitmen organisasi.

b. Penggunaan self administered questionnaire dapat menyebabkan terjadinya bias informasi, misalnya pernyataan berlebihan tentang komitmen organisasi. Hal ini bisa saja terjadi karena situasi pengisian kuesioner yang tidak kondusif, atau mungkin disengaja subjek terhadap manajemennya. Oleh karena itu, untuk peneliti selanjutnya bisa membuat penelitian yang sama dengan menggunakan sampel yang berbeda atau sampel yang lebih luas, agar dapat dijadikan bahan perbandingan.

V. C. 2. Saran Praktis

Disamping saran-saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian, berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan lainnya yang berkaitan dengan masalah komitmen organisasi pada wanita bekerja:

a. Untuk para ibu yang bekerja, sebaiknya bisa membuat manajemen waktu yang efisien untuk masing-masing peran.


(3)

59

b. Untuk mempunyai kualitas waktu bersama keluarga, sebaiknya tidak menunda penyelesaian pekerjaan di tempat bekerja, yang nantinya akan membuat para ibu selalu memikirkan pekerjaan ketika sudah ada di rumah.

c. Sebaiknya mencari alternatif lain untuk meringankan pekerjaan di rumah atau mengasuh anak, jika memungkinkan bisa memankai jasa pembantu atau pengasuh yang dapat meringankan beban tugas di rumah, sehingga ketika berada di tempat kerja dapat fokus pada pekerjaannya.


(4)

60

DAFTAR PUSTAKA

Allen, J. P. & Allen, N. J. (1991). Commitmen in the Workplace: Theory, Research and Application. [online].

(http://books.google.com/books?id=jn4VFpFJ2qQC&pg=PP5&ots=ITRW Y1lsh&dq=commitment+in+workplace+by+meyer&sig=LuWKdAZWox V_wnSbPbs68Dus7SM). Tanggal akses 23 Februari 2007.

Arinta, I. L. dan Azwar, S. (1993). Peran Jenis Androgini dan Konflik Peran Ganda pada Ibu Bekerja. Jurnal Psikologi, no.1, hal. 20-29.

Azwar, S. (2000). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

_________. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

________. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Barling, Julian. (1986). Interrole conflict and Marietal Funtioning Amongst Employed Father. Journal of Occupational Behavior, Vol.7, Pg.1, Pgs. 8. (http://www.emeraldinsight.com/Insight/html/Output/Published/EmeraldF ullTextArticle/Pdf/0860070704.pd). Tanggal akses 12 Januari 2007.

Basow, Susan A (1990). Gender: Streotype and Roles. 3rd edition. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Baron, R. A. Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Jilid 2. 10th edition. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Cetin, Munevver O. (2006). The Relationship Between Job Satisfaction, Occupational and Organizational Commitment of Academics. Journal of American Academy of Bussiness, Vol.8, Pg.78, Pgs.10. (http:// www.jaabc.com/journalv8n1preview.html - 138k). Tanggal akses 16 Januari 2007.

Chusmir, Leonard H. (1986). Job Commitment and the Organizational Women. The Academy Management Review. Vol. 7, Pg. 595.

Fuchs, R. (1971). Different Meaning of Employement for Women. Human Relation, Vol. 24, Hal. 459-499.


(5)

61

Coetzee, M. (2005). Employee Commitment. [online]. (http://upetd. up.ac.za/thesis/available/etd-04132005-130646/unrestricted/05chapter5). Tanggal akses 3 Maret 2007.

Greenhaus, J.H dan Beutell, N.J. (1985). Source of Conflict Between Work and Family Roles. Academy of Management Review, Vol. 10, Pg. 76, Pgs.12. (http://links.jstor.org/sici?sici=03637425(198501)10%3A1%3C76%3ASO CBWA%3E2.0.CO%3B2-K). Tanggal akses 28 Februari 2007.

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research (jilid 1). Yogyakarta : Andi Offset. Hardyastuti, Suhatmini. (2001). Pengurangan Konflik Peran Kerja dan Peran

Keluarga: Siapa Pelakunya?. [online].

(http://www.cpps.or.id/seminar/S298.pdf). 12 Januari 2007.

Hamid, Harlina. (2005). Hubungan antara Androginitas dengan Konflik Peran Ganda pada Wanita. Jurnal Intelektual. Vol. 3, No. 2, 129-136.

Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Irmawati, dkk. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karim, Noor H. A. Dan Noor, Noor H. N. M. (2006). Evaluating the Psychometric Properties of Allen and Meyer’s Organizational Commitment Scale: A Cross Cultural Application Among Malaysian Academic Librarians. Journal of Library & Informational Science, Vol.11, Pg. 89-101.

Khan, Robert L. dkk. (1964). Organizational Stress: Studies in Role Conflict and Ambiguity. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.

Kuntjoro, Zainuddin S. (2002). Komitmen Organisasi. [online]. (www.e-psikologi.com/masalah/250702.htm). Tanggal akses 7 Februari 2007. Kurniasari, Luvi. (2005). Pengaruh Komitmen Organisasi dan Job Insecurity

Karyawan terhadap Intensi Turn Over. [online]. (http://www.damandiri.or.id/detail. php?id=38). Tanggal akses 13 Februari 2007.

Lui, Steven S. dkk. (2001) Interrole Conflict as a Predictor of Job Satisfaction and Propensity to Leave: A Study of Professional Accountants. Journal of Managerial Psychology, Vol.16, Pg 469-484, Pgs 16.

Moore, Eugene R dan Sales, Amos P. (2005). Organizational Commitment as a Predictor of Staf Working Alliances with Juvenille Offernders. [online].


(6)

62

(http://accessmylibrary.com/com2/summary_0286-9675791_ITM). Tanggal 28 Februari 2007.

Munandar, Ashar. S. (1985). Peran Ganda dalam Keluarga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

________________. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

O’Driscoll, Michael. dkk. (2007). Work Family Conflict and Facilitation. [online].

(http://www.waikato.ac.nz/php/research.php?mode=show&author=627.00 &mode=show&page=2). Tanggal akses 3 Maret 2007.

Perrewe, Pamela L. dkk. (1995). A Model Depicting the Relations among Perceived Stressor, Role Conflict and Organizational Commitment: A Comparative Analysis of Hong Kong and the United States. Asia Pasific Journal of Management, Vol.12, Pg 1, Pgs 21.

(http:www//proquest.umi.com/pqdweb?did=9069163&sid=4&Fm.t=3&cli entid=63928&RQT=309&Vname=PQD). Tanggal akses 12 Februari 2007. Rini, Jacinta. (2006). Stress Kerja. [online]. (http://perummisinokomika.com).

Tanggal akses 3 Maret 2007.

__________. (2002). Wanita Bekerja. [online]. (http://perummisinokomika.com). Tanggal akses 5 Juni 2007.

Setiawati, D. dan Zulkaida, A. (2007). Perbedaan Komitmen Kerja Berdasarkan Orientasi Peran Gender Pada Karyawan Di Bidang Kerja Non Tradisional. Jurnal PESAT. Vol 2, hal 71-77.

Settles, Isis H dan Sellers, Robert M. (2002). One Role or Two? The Function of Psychosocial Separation in Role Conflict. Journal Applied Psychplogy,

Vol.87,Pg.574-582.(http://Settles,%20Sellers,%20&%20Damas%20One%20role%20or% 20two.pdf). Tanggal akses 13 Maret 2007.

Zangaro, George A. (2001). Organizational Commitment: A Concept Analysis. [online]. (http://www.accessmylibrary.com/coms/summary 0286-20824026 ITM). Tanggal akses 14 Februari 2007.

Zatz, David. (1996). Job Invoment and Identity. [online]. (http:// www. toolpack.ifo/articles/job-involvement.html). Tanggal akses 14 Maret 2007.